"DANIEL! Bagaimana, sih, istri kamu? Kemarin kebakaran, sekarang mesin cuci rusak, besok apalagi hah?" Teriakan Radmila di telepon sangat nyaring hingga Daniel menjauhkan ponsel dari telinganya..
Daniel baru saja selesai berbenah di ruangan kerja yang baru. Seusai BenStory diakuisisi Escort Labels, kantornya pindah. BenStory menempati salah satu unit di gedung Escort yang baru saja direnovasi. Lelah beres-beres bukannya bersantai, ia malah harus menghadapi kemarahan ibunya."Dia begitu gara-gara kamu memanjakannya selama ini, Daniel! Tidak tahu diri sekali! Dipikir dia adalah anak konglomerat yang kerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki saja? Baju arisan Mama juga berlubang gara-gara disetrika sama dia. Apa dia sudah gila? Kapan dia bisa bekerja dengan becus?"Daniel menghela napas panjang. Selama ini urusan rumah selalu dikerjakan ART yang direkrut sendiri oleh Diva. Daniel tidak tahu bahwa Diva menyewa ART karena istrinya itu payah dalam urusan rumah tangga. Tapi sejak BenStory mulai bangkrut, gaji Diva dialihkan untuk pesangon para karyawan yang terpaksa di-PHK. Daniel juga rugi besar, tabungannya sudah terkuras habis dan investasinya gagal. Ekonomi mereka memburuk sampai di titik mereka tidak bisa lagi membayar gaji ART. Mengakibatkan Diva harus mengerjakannya semuanya sendiri.Radmila mengomel sampai setengah jam berikutnya. Daniel terpaksa menutup telepon dengan alasan rapat. Namun, selang 30 menit berikutnya, Radmila menelpon lagi dengan gila."Kali ini kenapa lagi, Ma?" tanya Daniel dengan nada letih."ISTRI BISU KAMU MENGHILANGKAN CINCIN BERLIAN MAMA!""Hah? Sejak kapan Mama punya cincin berlian?" Daniel bertanya heran."I-itu, itu sebenarnya cincin milik Sania. Mama meminjamnya selama 3 hari untuk pamer di arisan. Tapi cincin itu sekarang hilang, Daniel! Mama harus bagaimana?" Suara Radmila di seberang sana menciut takut."Aduh, semakin rumit saja!""Harganya ratusan juta, Daniel! Hilang begitu saja gara-gara istri kamu tidak mengecek pakaian yang sedang dicucinya! Ini semua salah dia! Dia yang harus ganti rugi!""Mama, dengarkan Daniel dulu," kata Daniel pelan, "Lebih baik Mama dan Diva berusaha mencarinya lagi. Siapa tahu masih ada di sekitar rumah. Masalah Sania biar Daniel yang urus.""Sania jangan sampai tahu dulu, dong, Daniel! Kamu bagaimana, sih?""Sudah, tenang saja. Tidak usah pikirkan Sania. Kalian cari saja cincin itu sampai ketemu. Kalau memang benar-benar hilang, ya sudah mau bagaimana lagi? Daniel akan melobi Sania untuk masalah kerugiannya.""Baiklah kalau begitu. Mama tutup teleponnya."Daniel memijat pangkal hidungnya dengan berat. Kapan masalah ini akan selesai? Mengapa mereka seceroboh itu? Daniel rasanya ingin membanting ponselnya kalau saja ia tak ingat bahwa ini adalah ponsel satu-satunya yang dia miliki.Saat itulah pintu ruangan mendadak terbuka. Sesosok wanita melenggang masuk dengan tersenyum."Selamat siang, Daniel.""Sania?"***"Cepat sana cari di selokan!" Radmila membanting pintu rumah dengan marah, lalu menguncinya dari dalam. Kemudian dia berteriak lagi, "Jangan harap kamu bisa masuk rumah sebelum cincin itu ketemu!"Diva menggerutu dalam hati. Tak habis pikir dengan kelakuan mertuanya yang di luar nalar. Bukan salahnya mesin cuci mereka mati. Tetapi dia yang harus mencuci semua baju mereka secara manual dengan tangan. Mana dia tahu bahwa Radmila meletakkan cincin di saku bajunya? Dia yang disalahkan, dia juga yang harus mencarinya sambil menerima caci maki Radmila. Seakan belum cukup, Radmila masih menyuruh Diva mengais selokan, mengantisipasi cincin itu terbawa air hingga ke sana. Kini Diva harus rela menurunkan kaki dan tangannya di tempat yang menjijikan itu.Selokan itu cukup dalam. Genangan airnya berwarna cokelat keruh dengan arus yang lumayan deras. Diva bergidik jijik ketika kedua tangannya mengais-ngais tanah lembek di dasar selokan. Mencari barang yang entah ada di mana sembari menahan gejolak mual yang sejak pagi tadi dirasakannya.Guntur menggelegar di langit yang menggelap. Disusul rintik-rintik air yang jatuh mengenai punggung Diva. Dia sudah satu jam berdiri membungkuk di dalam selokan, tetapi barang yang dicari tidak ketemu juga.Gerimis semakin deras. Radmila sekarang berdiri di teras untuk mengawasi. Dia akan melotot dan berteriak ketika Diva hendak naik dari selokan.Jadi, mau tak mau Diva meneruskan pencariannya meski hujan telah turun dengan sangat deras. Meski tubuhnya telah basah kuyup, dengan baju melekat di badannya seperti menyatu.'Kenapa hidupku semenyedihkan ini?''Andai saja Diva tahu … bahwa ketika ia sedang kesulitan dan menderita secara fisik dan psikis, di tempat lain suaminya sedang memadu cinta dengan wanita lain.Beberapa jam kemudian, Diva hampir tidak mampu berdiri lagi. Tubuhnya terasa lelah dan gemetar, dan pada akhirnya, dia terjatuh ke tanah. Pandangannya memudar dan segalanya terasa kabur sebelum akhirnya matanya tertutup dalam kelelahan.Tiba-tiba, dia merasakan seseorang mengguncangkan lengannya dengan lembut dan suara cemas memanggil namanya, "Mbak Diva! Apa yang terjadi padamu?"Dengan susah payah, Diva membuka mata dan melihat sosok seorang wanita yang akrab di hadapannya. Tetangganya, Bu Samad, yang selalu ramah dan peduli. Diva mencoba untuk berbicara, tetapi bibirnya terasa kaku dan sulit untuk mengeluarkan kata-kata.Bu Samad berkata, "Mbak Diva harus segera ke rumah sakit! Ayo, Ibu akan membantumu."Dengan bantuan Bu Samad dan beberapa orang lainnya, Diva dibantu naik ke dalam mobil dan dibawa ke rumah sakit terdekat.Sesampainya di rumah sakit, Diva langsung mendapatkan perawatan medis. Namun, ketika dokter memberi tahu hasil pemeriksaan, Diva merasakan dunianya runtuh.Dia mengalami keguguran. Janin berusia satu bulan yang dia kandung telah pergi bahkan sebelum dia sempat menyadari.'Tidak! Janin kecilku ..."Air mata tak tertahankan lagi mengalir dari mata Diva. Rasa sakit dan kehilangan begitu mendalam, membuatnya merasa hancur.Saat dia terbaring di ranjang rumah sakit, Diva merasa begitu rapuh dan terpuruk. Namun, rasa sakit dan kehilangan bukanlah satu-satunya beban yang dia rasakan. Dengan tangan gemetar, dia mengambil ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Daniel, ingin memberitahunya tentang apa yang terjadi. Namun, saat dia menekan nomor panggilan, apa yang dia dengar membuat hatinya hancur sekali lagi."Daniel ...,""Sania, kamu ..."Tidak mungkin! Diva membatin.Betapapun inginnya dia menyangkal, tetapi suara desahan dan kata-kata mesra Daniel, bersama dengan suara seorang wanita bernama Sania, mengisi telinganya.Diva terpaku, hampir tidak percaya pada apa yang dia dengar. Suaminya berselingkuh saat dia sedang berduka atas keguguran yang baru saja dia alami. Rasa sakit dan kemarahan bercampur aduk dalam hati Diva. Dia merasa dikhianati dan dihina.'Aku tidak bisa lagi menerima semua ini!'Di balik semua perasaan itu, ada percikan dendam yang mulai tumbuh. Keyakinannya semakin kuat untuk membalas semua perlakuan buruk yang dia terima.Ketika Diva masih merenungi perasaannya yang bercampur aduk, tiba-tiba sebuah bayangan muncul di pintu ruangan. Seorang pria berdiri di sana, sosoknya tinggi menjulang dengan bahu lebar yang nyaris menutupi pintu. Irisnya segelap obsidian, memancarkan kekuatan yang menarik pandangan siapapun yang melihatnya. Darinya, terpancar aura seperti mampu menggenggam dunia ini dalam telapak tangannya. Sorot mata yang tajam dan penuh percaya diri itu, seolah mengatakan bahwa ia adalah penguasa segala yang ia sentuh.Arkais Dirgasena Sasrabahu.'Mengapa dia ada di sini?'Arka mematri Diva dalam pandangannya, tidak beranjak walau seinchi pun. Saat iris terang dan gelap mereka bertemu, mendadak lidah Diva kelu, tidak tahu harus mengatakan apa. Rasa sedih dan kecewa yang begitu mendalam membuatnya sulit untuk berbicara.Sebelum dia bisa mengeluarkan sepatah kata pun, Arka pergi dengan langkah tenang, meninggalkan Diva dalam keheningan.Melihat betapa bermartabatnya sosok Arka, Diva merasakan kekosongan yang semakin dalam di hatinya. Dia merasa begitu jijik pada dirinya sendiri karena telah menjalani lima tahun hidupnya dengan sia-sia.'Andaikan lima tahun yang lalu aku tidak kabur dari rumah, apakah nasibku akan berbeda?'Diva merasa dunia di sekitarnya hancur, seperti reruntuhan yang tak pernah bisa disatukan kembali. Dia terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, hatinya berat oleh rasa duka yang dalam, terus mengingat janin kecilnya yang telah tiada. Namun, suara dering telepon dari Daniel terus menggema, menciptakan kontras menyakitkan dengan perasaannya yang hancur."Halo! Diva, kamu di rumah, 'kan?" terdengar suara Daniel di ujung telepon, suara yang penuh dengan semangat dan tidak menyadari krisis yang tengah dialami oleh Diva. "Berkas pentingku ketinggalan di meja kamar, bisakah kamu mengantarkannya ke kantor baruku?"Diva ingin menangis, berteriak mengungkapkan betapa hancur hatinya kehilangan calon buah hati. Namun, bisu membuatnya tak bisa berbicara, tak bisa mengungkapkan perasaannya. Hanya bisikan dalam hati yang menyayat, mengingatkan bahwa dia tak akan pernah bisa mengekspresikannya dengan kata-kata."Diva? Kenapa diam saja?" tanya Daniel, tanpa menyadari bahwa Diva meratap dalam keheni
Diva merentangkan pandangan ragu-ragu pada pintu besar rumah keluarga Sinclair. Hatinya berdegup kencang, mencampur aduk antara kerinduan dan kekhawatiran. Setelah lima tahun yang panjang, dia kembali ke tempat yang dulu dia tinggalkan dengan gegap gempita. Dia tahu, langkah ini adalah satu-satunya harapan untuk mengembalikan kehormatannya yang terluka.Pintu terbuka perlahan, dan di baliknya, sosok pria setengah baya yang selalu ia segani berdiri dengan ekspresi tak tertebak. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kenangan pahit kembali menghantam Diva. Dia melangkah maju dengan gemetar, menelan ludah."Kamu?" suara Jeffrey Sinclair keluar dari bibirnya dengan dingin. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih memiliki nyali untuk datang kesini?"Diva menahan air mata yang hampir tumpah. 'Aku tahu aku membuat kesalahan besar. Tapi aku sudah menanggung akibatnya. Aku bisu sekarang. Daniel mengkhianati aku, dan aku tidak punya apa-apa lagi.'"Dan apa yang kamu harapkan dari
Setelah melewati proses panjang, Diva akhirnya mendapatkan kembali suara indah yang pernah menjadi identitasnya. Transplantasi pita suara yang dilakukan di rumah sakit luar negeri berkat koneksi dan dukungan finansial ayahnya berhasil mengembalikan suara yang hilang. Bagi Diva, kembalinya suara itu adalah seperti mendapatkan hidupnya kembali. Setiap nada yang keluar dari suaranya terasa sebagai kemenangan atas masa-masa sulit yang telah ia lewati.Tapi suaranya yang telah pulih tidak lantas menjadi alasan untuk merayakannya. Suara itu seolah membawa beban baru, tugas besar yang harus diemban. Diva merencanakan sebuah pertemuan dengan Arka, orang yang harus ia menangkan. Suara yang kini sudah kembali, menjadi alat yang ia gunakan untuk menghadapinya.Diva berdiri di depan gedung megah Bahureksa dengan langkah ragu. Ketinggian bangunan itu seakan sebanding dengan perasaannya yang campur aduk. Dia mengatur napasnya, mencoba untuk mengatasi kecemasan yang membuncah.Berjalan menuju meja re
Diva merasa campur aduk, harapannya mulai berkobar saat bertanya, "Apa kesepakatan itu?"Dalam detik-detik yang terasa berabad-abad, perasaan Diva berkecamuk. Hatinya berdesir akan harapan, tapi juga terjepit oleh kekhawatiran. Dia mengikuti setiap langkah Arka yang mendekat, tanpa sadar tubuhnya terus mundur hingga punggungnya menabrak dinding yang keras di belakangnya. Matanya yang terang bertemu dengan iris Arka yang gelap. Diva bisa merasakan intensitas ketegasan dan misteri dari setiap jengkal jarak di antara mereka. Langkah Arka baru berhenti ketika ujung sepatu mereka hanya terpisah oleh sehelai benang saja. Kedua tangan Arka berada dalam saku celana, dan ketika suaranya terucap, itu terdengar amat dingin. "Aku akan memberikan segala yang kau inginkan, dengan harga yang harus kau bayar menggunakan jiwa dan ragamu." Dengan rasa kaget, Diva menyadari bahwa harga itu tak ubahnya seperti memberikan seluruh eksistensinya pada Arka. Dia pun tak kuasa menyembunyikan rasa jijik pada k
"Astaga, sebentar lagi kita terlambat!" Yasa mengoceh kesal seraya menekan tombol lift yang akan membawa mereka ke lantai paling tinggi di gedung Bahureksa.Arka setengah mendengus. "Kita masih punya waktu. Santai saja."Yasa memberi komentar dengan nada pedas, "Santai? Kita hampir terlambat untuk pertemuan yang Tuan sendiri anggap sangat penting."Arka bergumam pelan, "Benar juga." Kemudian dia menoleh pada Yasa. "Lalu katakan padaku siapa yang sudah mengacau di sini?""Yang pertama adalah Tuan Muda Kedua.""Oh? Apa yang dia lakukan?"Yasa menghela napas pendek. "Dia mencuri pesawat yang sudah saya siapkan untuk Anda, dan menerbangkannya ke Makau.""Gizariel?" ulang Arka seakan tak percaya dia melakukan hal seperti itu. Yasa mengangguk membenarkan. "Memang sepintas sulit dipercaya bagi Mas Giza untuk bertindak di luar batas, tapi memang seperti itu kenyataannya."Arka terlihat merenungkan sesuatu sebelum berucap, "Aku percaya pada penilaian adikku. Dia bukanlah seseorang yang bertin
Rumah Arka menjulang megah di tengah kemewahan dan keanggunan. Terik matahari pagi menciptakan bayangan panjang yang menambah kesan kokoh pada bangunan itu. Seperti sebuah istana modern, rumah tersebut menjadikan setiap orang yang melihatnya terpana.Saat Diva memasuki gerbang utama, aroma harum bunga segar menyapanya dengan lembut. Kicauan burung-burung di taman depan seolah menciptakan senandung yang menyambut kedatangannya.Setapak pertama di dalam rumah menghantarnya ke ruang keluarga yang luas, lengkap dengan perabotan yang elegan dan nyaman. Sofa berwarna lembut ditempatkan di tengah ruangan, menghadap sebuah perapian marmer megah yang memberikan kehangatan visual.Rumah itu terasa begitu luas dan mewah, tetapi secara bersamaan juga kosong dan sepi. Diva merasakan seolah-olah dirinya terjebak dalam dunia yang asing baginya. Pelayan-pelayan yang berlalu lalang sepertinya lebih sibuk dengan tugas-tugas mereka masing-masing. Seakan-akan Diva adalah tamu yang tidak diharapkan.Sement
"Ini adalah hari pertama kita menjadi suami istri. Menurutmu apa yang ingin aku lakukan, Aurora?" Arka bertanya dengan nada yang begitu tenang, tetapi di dalamnya terdapat isyarat yang tak terbantahkan.Diva merasa jantungnya berdegup semakin cepat. Keringat dingin mengalir di punggungnya, dan dirinya terjebak dalam situasi yang sangat canggung. Dia ingin memberikan jawaban yang tepat, tetapi kata-kata terasa begitu sulit untuk keluar dari bibirnya."Tuan Arka, saya …," Diva merasa kata-kata terjepit di kerongkongannya, dan ia merasa jantungnya berdebar semakin keras. Dia merasa tertekan oleh sosok Arka yang berdiri begitu dekat dengannya. Aroma jeruk dan kayu yang menguar dari tubuh pria itu membuatnya sulit bernapas.Arka tersenyum tipis, meskipun Diva tidak bisa melihat ekspresinya dari arah yang sekarang. "Kenapa begitu canggung, Aurora?""Saya hanya ... tidak tahu apa yang harus saya lakukan," kata Diva dengan jujur, mengakui kebingungannya.Arka menimpali lagi, embusan napasnya
Di pagi hari menjelang siang yang cerah, ketika sang surya menggantung dengan percaya diri di langit biru, Diva duduk di kursi meja makan dengan mata yang kosong. Sebuah pertanyaan sederhana dari Arka telah menggiringnya ke dalam pertimbangan-pertimbangan yang rumit. Hidupnya, yang semula hanya terasa seperti lagu-lagu yang dinyanyikannya di atas panggung, kini terasa seperti sebuah permainan catur yang rumit. Diva mengingat betapa matanya dulu selalu bersinar di bawah sorot lampu panggung saat dia menyanyikan harmoni dan nada, saat suaranya terasa seperti sentuhan malaikat di telinga pendengarnya. Tapi kemudian, semuanya berubah.Diva tidak lagi menginginkan pekerjaan yang sejak dulu selalu menjadi mimpinya itu. Tidak sejak dia mengalami kegagalan total yang menyebabkan hilangnya nada-nada indah dari suaranya. Kegagalan yang membuat dia diminta turun dari atas panggung, disoraki dengan keras, dan ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang yang mengaku sebagai penggemarnya. Seperti bel