Share

6. Dia Arkais

Setelah melewati proses panjang, Diva akhirnya mendapatkan kembali suara indah yang pernah menjadi identitasnya. Transplantasi pita suara yang dilakukan di rumah sakit luar negeri berkat koneksi dan dukungan finansial ayahnya berhasil mengembalikan suara yang hilang. Bagi Diva, kembalinya suara itu adalah seperti mendapatkan hidupnya kembali. Setiap nada yang keluar dari suaranya terasa sebagai kemenangan atas masa-masa sulit yang telah ia lewati.

Tapi suaranya yang telah pulih tidak lantas menjadi alasan untuk merayakannya. Suara itu seolah membawa beban baru, tugas besar yang harus diemban. Diva merencanakan sebuah pertemuan dengan Arka, orang yang harus ia menangkan. Suara yang kini sudah kembali, menjadi alat yang ia gunakan untuk menghadapinya.

Diva berdiri di depan gedung megah Bahureksa dengan langkah ragu. Ketinggian bangunan itu seakan sebanding dengan perasaannya yang campur aduk. Dia mengatur napasnya, mencoba untuk mengatasi kecemasan yang membuncah.

Berjalan menuju meja resepsionis, wajahnya tampak tegar, meskipun hatinya berdebar-debar dalam antisipasi. Begitu tiba di sana, dia menghela napas dan dengan senyum lembut berkata pada resepsionis, "Permisi, saya ingin bertemu dengan Tuan Arka."

Resepsionis meliriknya sejenak sebelum memeriksa jadwal. "Maaf, Nona. Tuan Arka sedang tidak ada di kantor saat ini."

"Benarkah?" tanya Diva memastikan.

Resepsionis itu mengangguk sambil tersenyum sesuai prosedur, "Benar, Nona. Sebagai Presiden Direktur Bahureksa, Tuan Arka sangat sibuk dan cukup jarang berada di kantor."

Diva merasa kecewa namun mencoba untuk menyembunyikan ekspresinya. "Oh, begitu ya. Baiklah, mungkin lain kali saja."

Dia hendak berbalik untuk pergi, tetapi sesuatu menarik perhatiannya. Dia melihat ke arah lift yang dindingnya terbuat dari kaca transparan, sehingga siapapun bisa melihat orang yang sedang berada di dalamnya. Dan mata Diva tidak bisa melepaskan pandangannya dari dua sosok manusia yang berdiri di sana. Salah satu orang itu adalah pria keturunan Belanda-Jawa yang tingginya hampir mencapai 190 cm, menjadikan pria di sebelahnya menciut meskipun orang itu juga termasuk tinggi. Diva tahu, dia tidak mungkin salah mengenali sosok tinggi besar itu sebagai Arka.

Kembali ke resepsionis dengan langkah pasti, Diva dengan suara tegas berkata, "Maaf, tetapi saya baru saja melihat Tuan Arka di sana, di dalam lift."

Resepsionis mengangkat alis, tetapi kemudian dia menatap Diva dengan tatapan tidak percaya. "Nona pasti salah lihat. Tuan Arka tidak ada di sini."

Diva merasa kesal dan frustrasi. "Tidak, saya yakin itu adalah Tuan Arka! Saya mengenalnya!"

Perdebatan antara Diva dan resepsionis semakin memanas, hingga akhirnya seorang satpam datang untuk mengamankan situasi. Diva merasa marah dan ingin mempertahankan pendiriannya dengan menunjuk lift tersebut. Tetapi orang-orang yang menghuni lift itu sudah berganti menjadi karyawan biasa. Dia tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, bagaimana Arka bisa menghilang begitu saja?

Tiba-tiba, dalam kebingungan dan perdebatan sengit dengan resepsionis, Diva merasa tubuhnya menabrak sesuatu. Dan sesuatu itu ternyata adalah dada seseorang. Ketika Diva menoleh ke atas, dia menemukan dirinya bertatapan dengan Arka, dengan ekspresi wajah yang sama dingin dan datarnya seperti dulu.

Di samping Arka, berdiri seorang pria yang tampak familiar. Itu adalah Yasa, asisten pribadi Arka. Pria yang selalu berada di samping Arka dan tampaknya menjadi tangan kanannya.

Diva merasa terkejut. Sekejap, kebingungan merayapi dirinya yang tak siap bertemu Arka dalam keadaan sedang diseret paksa oleh satpam. Namun, tidak ingin melepaskan kesempatan ini, Diva memutuskan untuk berbicara dengan Arka.

"A-Arka," panggilnya dengan suara gemetar. Sejak suaranya pulih, baru kali ini dia merasakan seolah tenggorokannya tercekik dan sulit mengucapkan sepatah kata.

Arka hanya melihatnya dengan tatapan yang sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun. Dia tidak berbicara, bahkan tidak merespon sama sekali.

Diva merasa bingung, dia ingin berbicara dengan Arka, tapi sepertinya Arka tidak mempedulikannya. Dia merasa semakin terpojok, dan dalam kebingungannya, dia tidak bisa menahan emosinya.

"Anda pikir Anda bisa mengabaikanku begitu saja?" serunya dengan suara lantang, tetapi Arka masih tetap diam.

Sosok bermata pekat itu melanjutkan langkah dengan tatapan lurus tanpa melirik kanan kiri, seolah-olah tidak pernah melihat keberadaan Diva.

Diva dibuat geram menyaksikan hal tersebut. Dia tahu dengan jelas bahwa Arka sedang menghinanya dengan mengabaikannya. Lebih sering daripada tidak, dahulu juga sama seperti itu.

'Dasar kanebo kering!'

Sementara itu, Yasa melangkah mendekat, tersenyum sopan pada Diva. "Nona Diva, mungkin sebaiknya Anda mengikuti saya ke ruangan Tuan Arka."

"Hah?" Tanpa sadar, Diva terperangah tidak elit.

Yasa mengulas senyum profesionalnya lagi. "Anda punya waktu sepuluh menit, Nona. Tuan Arka akan segera terbang ke Singapura setelah ini."

Diva merasa heran dengan tindakan Yasa yang seolah bisa membaca pikiran tuannya. Namun, tanpa banyak berpikir, dia mengangguk dan mengikuti Yasa menuju ruangan Arka.

Saat mereka tiba di ruangan itu, Diva merasa semakin bingung. Mengapa Arka tiba-tiba bersedia meluangkan waktunya yang berharga untuknya setelah semua pengabaian itu? Apa yang sebenarnya terjadi?

Memasuki ruangan tersebut, dia merasakan kehadiran Arka bahkan sebelum melihatnya. Sebuah aura yang kuat dan dingin mengelilingi udara, membingkai sosok Arka yang duduk dengan tenang di meja kerjanya.

Dengan hati yang berdebar, Diva mendekati meja Arka. Dia mengambil napas dalam-dalam dan mencoba tersenyum meskipun hatinya masih gemetar.

"Arka," sapanya perlahan, mencoba menarik perhatian pria itu.

Arka mengangkat kepala, dan tatapan mata obsidiannya yang tajam menembus Diva. Dia hanya mengangguk sekilas, tanpa senyum, tanpa kata-kata menyambut.

Diva menyandarkan tubuhnya pada tepi meja Arka, mencoba untuk tetap tenang. "Kau ingat, bukan? Pertemuan kita di rumah sakit beberapa waktu lalu?"

Arka mengarahkan pandangannya padanya, seolah baru saja sadar akan keberadaannya. "Ya." Suaranya rendah dan berat saat menjawab singkat.

Diva mencoba tersenyum, meskipun perasaannya semakin gugup. "Maaf aku tidak menyapamu dengan benar waktu itu."

Namun, Arka hanya menatapnya tanpa ekspresi apa pun. Diva merasa seakan kata-katanya hanyalah angin yang berlalu begitu saja. Dia mencoba untuk melanjutkan, "Sebenarnya, aku datang untuk mengatakan sesuatu."

Arka mengangkat alisnya, memberi isyarat agar Diva melanjutkan.

Dengan napas dalam-dalam, Diva berbicara, "Aku ingin meminta maaf, Arka. Aku sadar bahwa dulu aku telah menyakiti perasaanmu, dan juga mempermalukan keluarga Sasrabahu. Aku ingin memperbaiki semua ini."

Arka masih terlihat datar, tetapi Diva bisa merasakan bahwa dia mendengarkan. Diva melanjutkan dengan perasaan yang tulus, "Aku juga ingin mengatakan bahwa aku berniat untuk meneruskan pertunangan yang dulu terputus di antara kita lima tahun yang lalu."

Arka mendengarkan tanpa menyela, tapi ekspresinya tidak berubah.

"Dulu aku membuat kesalahan besar, Arka. Aku tidak bermaksud untuk mempermalukan keluargamu, tapi saat itu aku terlalu muda dan bodoh. Aku ingin mencoba memperbaiki semuanya."

Arka masih tetap diam, dan Diva merasa putus asa. Tetapi dia tiba-tiba merasa dorongan kuat untuk tidak menyerah begitu saja.

"Arka," serunya dengan lantang, membuat pria itu menoleh padanya lagi.

"Apa yang harus aku lakukan agar kau mau menikahi aku?" tanyanya dengan rasa kebingungan.

Arka terlihat heran, dan Diva bisa merasakan bahwa dia telah menangkap perhatiannya. Tapi Arka tidak berbicara, dia hanya melanjutkan dengan berdiri dan bersiap untuk pergi.

"Tunggu!" panggil Diva dengan cepat. Dia merasa terjepit di sudut, tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tapi dia tidak ingin kehilangan kesempatan ini.

Arka berbalik padanya, wajahnya masih begitu datar, tapi iris obsidiannya beriak kesal.

"Jika itulah yang harus aku lakukan, aku bersedia," ucap Diva dengan tegas.

Arka terdiam sejenak, seolah terkejut dengan keberanian Diva. Namun, setelah beberapa saat, dia tertawa kecil, suara yang dingin namun menyimpan sentuhan keceriaan yang aneh.

Diva mendapati dirinya membeku saat akhirnya melihat ekspresi lain terpahat di wajah tampan itu.

"Apa yang kau katakan?" tanyanya, sudut miring terangkat sedikit di bibirnya.

Diva mengambil napas dalam-dalam, berbicara dengan tulus, "Aku bersedia menjadi apa saja yang kau inginkan, Arka. Aku akan menuruti semua perintahmu, bahkan aku bersedia menjadi budakmu jika itu yang kau mau."

Arka hanya mengangkat satu alisnya, matanya berkilat penuh kegelian. "Apa?"

Diva tidak membiarkan kebingungannya menghentikannya. "Aku tahu bahwa aku telah mempermalukan keluargamu. Jika ini satu-satunya cara agar aku bisa memperbaikinya, maka aku rela melakukannya."

Arka hanya menatapnya, senyum miringnya semakin dalam. "Kau adalah orang yang arogan, Sinclair."

Diva merasa bingung dengan komentar tersebut. "Apa maksudmu?"

Arka melangkah mendekat, tatapannya yang penuh kegelian membuat Diva merasa gugup. "Aku suka melihat seorang Sinclair memohon. Terlihat seperti hewan peliharaan yang ingin dilindungi."

Diva memutar otaknya, mencari cara untuk mengambil alih situasi ini. Dia mencoba tersenyum dan berkata dengan nada yang frontal, "Baiklah, Arka. Aku bersedia menjadi peliharaanmu jika itu yang kau inginkan. Kau ingin seperti itu? Aku akan melakukannya."

Arka hanya mengangkat alisnya dengan senyum tipis. "Oh?"

Diva mengangguk tegas, "Ya. Aku akan menjadi peliharaanmu, sekaligus calon istri. Hanya satu syarat, kau harus mau menikahiku."

Arka melihatnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, tetapi ada sesuatu yang bermain di balik tatapannya yang dingin. Akhirnya, dia berkata dengan nada yang berubah, penuh pesona, "Kau benar-benar berani."

Diva mencoba tersenyum, meski tahu bahwa dia baru saja menghilangkan harga dirinya sendiri. "Aku ingin memperbaiki segalanya, Arka. Aku tahu ini adalah jalan terakhir yang kumiliki."

Arka mengedipkan bola matanya dengan lambat, "Baiklah, mari kita buat kesepakatan."

Diva merasa campur aduk, harapannya mulai berkobar. "Apa kesepakatan itu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status