~Benedict~
Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman.
Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku.
Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah.
Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun dan memasuki SLTP, kecurigaannya itu terbukti. Aku berhenti tumbuh. Badanku bahkan menjadi lebih pendek dari kedua adikku.
Ibu dan Nenek berusaha menenangkan Ayah dengan mengatakan bahwa setiap anak memiliki fase pertumbuhannya sendiri. Kakek juga mulai tidak suka dengan tinggi badanku yang berada di bawah rata-rata anak seusiaku. Wajah dan tubuhku menunjukkan tanda-tanda perubahanku menjadi seorang pria, tetapi tinggiku tidak juga bertambah.
Mereka memindahkan aku ke SLTP lain di mana tidak ada orang yang akan mengenal aku sebagai bagian dari keluarga besar kami. Nenek dan Ibu berusaha untuk melindungi aku dari sikap kejam Kakek dan Ayah. Mereka membawa aku menemui spesialis untuk mencari masalah yang terjadi pada tubuhku dan menemukan solusinya. Bahkan membayar seorang pelatih fisik agar tinggiku bisa bertambah. Semua itu terasa bagai neraka.
Nenek meninggal dunia saat aku berusia empat belas tahun, maka duniaku pun berubah seratus delapan puluh derajat. Ayah dan Kakek bersikap semakin keras kepadaku. Mereka mulai memberi aku label, memperberat latihan fisikku, juga memaksa aku mengonsumsi berbagai macam obat, ramuan, dan entah apa lagi supaya badanku tumbuh.
Aku yang biasanya mereka bawa dengan bangga menghadiri undangan demi undangan digantikan oleh adikku. Setiap kali keluarga kami mengadakan perayaan, aku tidak boleh menghadirinya. Ulang tahunku yang biasanya dirayakan setiap tahun pun tidak diingat lagi.
Perlahan namun pasti, Kakek dan Ayah menjauhkan aku dari mata publik. Mereka menyembunyikan aku dari pandangan dunia. Sampai akhirnya orang-orang lupa bahwa aku, Benedict, adalah bagian dari keluarga besar Kumara yang terpandang. Bahkan lebih dari itu, ahli waris utama mereka.
Kedua adikku memperlakukan aku sama buruknya dengan Kakek dan Papa. Mereka pasti cemburu kepadaku yang selalu dianakemaskan sejak aku kecil. Begitu kedua orang yang punya kuasa tertinggi di keluarga kami berbalik sikap kepadaku, mereka memanfaatkan kesempatan itu. Aku yang harus membayar setiap perlakuan istimewa mereka dengan penghinaan dari kedua adikku.
Mereka memberi aku pakaian dan sepatu bekas mereka yang sudah kekecilan. Adik laki-lakiku bahkan menghina aku dengan memberi pakaian dalam bekasnya. Ketika tubuh mereka semakin lebih besar dariku, mereka mulai menyakiti aku secara fisik. Mungkin mereka merasa tidak puas karena aku tidak menunjukkan rasa sedih saat mereka menyakiti aku secara verbal.
Pada saat duduk di bangku SMU, sudah tidak ada lagi yang mengingat siapa Benedict Kumara. Guru di sekolah suka menyebut namaku sebagai bahan guyonan. Guru olahraga sering menjadikan aku bahan bulan-bulanannya. Aku melaporkan kejadian itu kepada Ayah, dia tidak peduli. Menurutnya, semua itu aku perlukan agar aku tumbuh menjadi laki-laki kuat dan tidak lemah.
Melihat guru tidak menghormati aku, maka para siswa juga mulai merundung aku, baik di saat ada guru di sekitar kami maupun tidak. Serendah apa pun penghinaan yang mereka lakukan kepadaku, aku tidak meneteskan air mata atau menunjukkan rasa takut. Hal yang membuat mereka semakin geram dan terus menyakiti aku hanya untuk melihat aku menangis minta ampun kepada mereka.
Untuk apa aku menangis? Untuk apa juga aku minta ampun? Semua itu tidak akan membuat mereka berhenti, justru semakin merendahkan aku. Tidak ada siswa yang mau dekat denganku. Juga tidak ada guru yang peduli kepadaku, jadi aku memilih untuk mengasingkan diri. Lalu mereka pun berhenti mengganggu aku dan menganggap aku tidak ada.
“Ibu,” kataku pada hari Minggu itu, saat semua orang sedang tidak ada di rumah. Wanita baik hati itu tersenyum dan membalas sapaanku. “Pakaianku terasa tidak nyaman. Bisakah kita pergi ke penjahit dan membuat baju khusus untukku?”
“Tidak.” Entah bagaimana Ayah bisa ada di rumah, karena aku yakin aku melihat dia pergi dan belum kembali. “Keluarga ini tidak akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk anak memalukan seperti kamu. Apa yang tersedia untukmu, itu yang bisa kamu pakai, makan, atau minum.”
“Bila putraku membutuhkan pakaian yang nyaman untuknya, dia tidak perlu menggunakan uang dari keluarga ini. Aku punya cukup uang untuk menjahitkan puluhan pakaian untuknya.” Ibu berdiri dari tempat duduknya dan membawa aku pergi dari ruangan itu.
Penjahit yang kami temui sangat sabar mendengarkan permintaanku. Tinggiku hanya seratus tiga puluh senti, jadi keluargaku berpikir bahwa pakaian anak-anak cocok untuk aku kenakan. Tetapi aku bukan anak-anak, aku adalah seorang pemuda dengan tubuh pendek. Jadi, ada beberapa bagian pada baju dan celana yang aku pakai yang terasa tidak nyaman.
Kejadian itu memberi aku sebuah ide. Aku punya begitu banyak model pakaian di dalam kepalaku yang aku tuangkan ke sebuah gambar. Aku memberikan desain itu kepada seorang penjahit dan hasilnya sangat memuaskan. Penampilanku tidak kalah dari orang lain dan aku semakin percaya diri.
Suatu hari seorang siswa di tempatku mengikuti les tambahan memperlihatkan beberapa pesan kepadaku di media sosial miliknya. Tanpa izinku, dia memasang fotoku dengan berbagai pakaian yang aku desain sendiri. Orang-orang menyukainya dan bertanya di mana pakaian untuk orang seperti aku bisa didapatkan.
Itu adalah sepuluh pesanan pertama yang aku dapatkan dalam satu hari. Aku memberikan alternatif ukuran yang aku sediakan dan mereka memesan sesuai ukuran yang mereka butuhkan. Aku hanya perlu menemui penjahit yang telah membantu aku, mengirim pakaian yang mereka pesan, dan uang pun aku terima. Penghasilan pertamaku.
Aku semakin bersemangat mendesain berbagai model pakaian, celana, dan mulai tertarik untuk merambah sepatu juga. Aku menjadikan diriku sendiri sebagai model dari busana desainku. Teman baruku yang memotret dan menggunakan sosial medianya sebagai tempat promosi. Usaha kecilku itu sangat sukses dan aku menghasilkan cukup banyak uang.
Kedua adikku mengejek usahaku tersebut, tetapi aku menutup telinga. Mereka menghina desainku tidak akan memberi pengaruh apa pun karena mereka bukanlah pembeli pakaian yang aku desain. Mereka mengadukan usahaku itu pada Kakek dan Ayah dengan harapan mereka akan menyuruh aku untuk berhenti melakukannya. Mereka justru hanya diam saja.
Segalanya berjalan dengan baik. Aku bersekolah dari pagi sampai siang hari, lalu menggunakan beberapa jam untuk mengurus usahaku. Aku dan sahabatku mendapatkan banyak uang setiap bulannya. Sampai suatu hari, aku mengetahui bahwa teman bisnisku itu menerima beberapa pesanan tanpa sepengetahuan aku dan menyimpan uang yang didapat untuk dirinya sendiri.
Pakaian, sepatu, bahkan topi yang ada pada fotoku itu adalah desainku sendiri. Hasil kerja kerasku. Jadi, saat dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, aku berhenti bekerja dengannya. Aku membuat media sosialku sendiri menggunakan nama merekku. Aku sengaja tidak menggunakan nama asliku agar tidak dikait-kaitkan dengan nama besar keluarga Kumara.
Namun hal yang tidak aku duga adalah pemuda yang aku kira temanku itu menyebarkan hal buruk mengenai aku sehingga aku kembali menjadi sasaran perundungan di sekolah. Dia menyebut bahwa aku mencuri ide usahanya. Buku desainku dirobek di depan mataku, ponselku mereka injak-injak sampai hancur, dan mereka menampar aku ketika aku tidak menjawab semua tuduhan mereka.
Aku pulang dalam keadaan babak belur membuat ibuku panik dan histeris, tetapi kedua adikku tersenyum puas. Dan ayahku? Dia hanya menatap aku sekilas, lalu masuk ke ruang kerjanya. Aku berhenti berharap pada bantuannya, maka aku tidak mengadukan apa pun.
Pada hari itu aku mempelajari satu hal paling penting dalam hidupku, aku tidak bisa percaya kepada siapa pun. Aku juga tidak perlu bergantung kepada siapa pun lagi. Bila aku ingin bertahan hidup, maka aku hanya punya diriku sendiri sebagai andalanku.
“Ini adalah kampus dan jurusan yang harus kamu lamar.” Ayah meletakkan setumpuk kertas di atas meja belajarku pada hari itu. Aku sedang belajar untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri.
“Ilmu Sosial?” tanyaku bingung. “Aku akan menjadi penerus Kakek dan Ayah. Mengapa aku diminta untuk mengambil jurusan ini?”
“Aku tidak sudi mengakui kamu sebagai putraku apalagi menunjuk kamu sebagai dirut selanjutnya. Reputasi keluarga dan perusahaan bisa tercoreng karenamu. Adikmu yang akan menjadi dirut menggantikan aku nanti,” kata Ayah dengan tegas.
“Tetapi aku adalah anak pertama Ayah. Aku sama sekali tidak punya cela yang bisa membuat nama baik keluarga atau perusahaan kita hancur.” Tiba-tiba saja kepalaku dicengkeram dari belakang dan Ayah mengantukkan kepalaku ke meja. Karena aku sedang menoleh ke arahnya, sisi kepala kiriku yang mengenai permukaan meja.
“Dengar. Aku sudah cukup menahan diri melihat manusia gagal sepertimu lahir dari rahim istriku.” Kalimat itu menghunjam dadaku dengan tajam. Tangan Ayah masih mencengkeram kepalaku, jadi aku tidak bisa bergerak. “Jangan buat aku kehabisan kesabaran dengan semua ucapan sok pintarmu. Aku yang menentukan siapa yang akan duduk di kursi direktur utama, bukan kamu.”
Karena sudah terbiasa dipukul, dihina, dan dianggap tidak ada, semua itu tidak terasa sakit lagi. Jadi, aku tetap maju menemui Kakek untuk bicara dengannya. Mereka boleh menghina aku, menganggap aku tidak ada, bahkan menyembunyikan aku dari dunia. Tetapi aku tetaplah putra sulung yang punya hak atas seluruh kekayaan keluargaku.
Ayah sangat marah saat melihat aku datang menemui Kakek yang sedang berada di ruang kerjanya. Kami berdua berdebat sangat alot, tetapi aku tidak mundur. Aku sedang memperjuangkan hakku, maka aku mengerahkan seluruh tenaga dan pikiranku melawan pendapat Ayah.
“Baik. Kamu benar. Kami tidak bisa menyangkal bahwa ini adalah hakmu sebagai putra sulung.” Kakek akhirnya menengahi perdebatanku dengan Ayah.
“Pa,” protes Ayah. Kakek segera mengangkat tangannya, memberi tanda bahwa dia tidak ingin dibantah. Ayah pun merapatkan bibirnya.
“Begitu ayahmu pensiun, kamu akan mendapatkan semua hakmu sebagai ahli waris utama Kumara.” Kakek bicara dengan tenang yang justru membuat aku curiga bahwa dia punya agenda lain di balik kalimat itu. “Tetapi kamu harus memenuhi dua syarat yang aku ajukan.”
Hai, teman-teman. Terima kasih sudah mampir untuk membaca bukuku ini. Bab lanjutannya akan aku publikasikan setiap hari, kecuali ada halangan yang tidak bisa dihindari. Semoga teman-teman menyukai cerita Delima dan Ben. Bagaimana sejauh ini? Apa tanggapan teman-teman mengenai mereka? Ben adalah tokoh yang berbeda dari tokoh yang biasa aku tulis. Semoga saja teman-teman bisa menyukai dia, sebagaimana dia berhasil menyentuh hatiku untuk memilih dia menjadi tokoh cerita ini. Aku tidak lupa mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H bagi teman-teman yang merayakan. Selamat berkumpul bersama keluarga dan orang-orang tersayang, ya. Salam sayang, Meina H.
Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku. Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak. Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan me
Reaksi keluargaku sudah bukan kejutan lagi. Ini bukan pertama kalinya aku datang menemui mereka menyatakan rencanaku untuk menikah. Jadi, mereka tertawa dan mengejek aku dengan kalimat yang sudah aku hapal di luar kepala. Setelah mendengar mereka akan datang pada hari pernikahanku, maka tidak ada lagi yang perlu aku lakukan di rumah itu. Aku yakin bahwa mereka pasti akan datang. Mereka tidak akan melewatkan momen di mana aku mengalami hari paling sial dalam hidupku. “Ben.” Aku menghentikan langkahku saat mendengar suara ibuku. Aku membalikkan badan dan melihat dia tersenyum kepadaku. “Apa kamu sudah makan malam?” “Aku akan makan malam di apartemenku, Bu. Karno menunggu dan dia juga belum makan malam.” Aku menolak tawarannya sehalus mungkin. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang sayang kepadaku. Tetapi aku tidak mau menjadi sumber pertengkarannya dengan Ayah. Jadi, sebelum Ayah keluar dari ruang keluarga dan melihat aku masih ada di rumah ini, lebih baik bagiku untuk pergi. “Kalau
Musik memecahkan keheningan di dalam bangunan besar yang hanya diisi oleh beberapa orang tersebut. Pianis memainkan lagu pernikahan dan pintu belakang gereja pun terbuka. Aku melihat ke arah belakang di mana Delima berjalan didampingi oleh ayahnya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan rok panjang menutupi hingga mata kakinya. Aku sudah melihat dia di ruang tunggu, jadi aku tahu dia sengaja menata rambutnya dengan sederhana tanpa hiasan apa pun. Perhiasan satu-satunya pada tubuhnya adalah anting panjang mutiara di telinganya. Dia membawa bunga mawar pada tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya melingkar di lekukan lengan ayahnya. Meskipun dia tidak tersenyum, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Wajahnya kini sedikit lebih rileks, tidak setegang saat aku bicara dengannya. Berbeda dengan pria yang berjalan di sisinya. Ayahnya terlihat berusaha keras untuk menutupi rasa marahnya. Itukah sebabnya mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk datang? Apa mereka bertengkar di rua
~Delima~ Pria itu tidak berbohong. Dia telah membayar lunas semua utang yang diwariskan Bakti kepadaku. Jumlah totalnya kurang dari lima ratus juta karena mereka memberi diskon untuk pelunasan tunai dalam waktu kurang dari satu tahun peminjaman diterima. Nama Bakti, nomor tanda pengenal, juga namaku dan nomor tanda pengenalku ada pada selembar kertas pelunasan tersebut. Aku sudah tidak punya kewajiban apa pun lagi kepada para rentenir itu. Aku sepenuhnya bebas dari lilitan utang. Air mata menetes satu per satu membasahi surat tersebut. Aku segera menjauhkannya dariku agar bukti pembayaran itu tidak rusak. Orang-orang jahat itu tidak akan datang lagi untuk mengancam dan mengintimidasi aku. Tidak ada lagi teriakan, benda yang dilempar, atau kunjungan dadakan yang membuat aku tidak bisa tidur. Aku juga tidak perlu menahan rasa malu harus meminjam uang kepada orang lain. Aku sudah selamat. Karena pria itu telah menepati janjinya lebih cepat dari waktu yang sudah kami sepakati bersama,
Aku tidak berniat menjawab telepon itu karena aku tidak punya hubungan apa pun lagi dengan mereka. Tetapi mengingat sifat mantan ibu mertuaku itu, yang tidak akan berhenti mengganggu aku sampai aku menjawab panggilan darinya, maka aku menjawabnya. “Kamu ada di mana? Mengapa kamu tidak ada di rumahmu?” tanyanya tanpa basa-basi. “Maaf, Tante.” Aku sengaja memberi penegasan pada kata tante. “Kita sudah tidak punya hubungan apa pun lagi, jadi aku tidak punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan itu.” “Tidak punya hubungan? Kamu adalah janda putraku. Sampai kamu mati nanti, kamu masih punya kewajiban kepadaku. Putraku sudah tidak ada, maka mengurus keperluanku dan adik-adiknya sudah menjadi tanggung jawabmu,” katanya dengan tegas. Perempuan ini memang sudah gila dan tidak tahu malu. Aku dan Bakti sudah bercerai secara resmi lewat kematian. Kami tidak punya anak, lalu apa yang masih mengikat antara aku dan keluarganya? Tidak ada. Apa wanita ini pura-pura tidak tahu mengenai fakta tersebut
Seorang pria bertubuh lebih tinggi dariku, tersenyum ramah. Wajahnya persegi dengan tulang pipi yang menonjol dan rahang yang tegas. Hidungnya mancung dengan bibir yang tipis di atas dan tebal di bagian bawah. Dahinya yang lebar dia tutupi dengan poni berbelah pinggir yang sedikit menutupi matanya. Rambutnya lurus dan tebal. Yang menarik adalah matanya tertutup saat dia tersenyum. “Jangan bilang, kamu sudah lupa kepadaku,” kata pria itu sambil memicingkan matanya. “Baru-baru ini kita bicara di telepon, bagaimana mungkin aku melupakan kamu?” Aku membalas senyumnya. “Kamu banyak berubah, jadi aku sedikit pangling.” Pria bernama Elan ini adalah teman sekelasku semasa SMU. Aku tidak ingat apa yang membuat kami dekat, tetapi kami cukup sering bersama sampai teman-teman berpikir kami berpacaran. Dia adalah sahabat baikku, jadi aku tidak tertarik untuk punya hubungan lebih dari itu. Lagi pula semasa SMU, aku sudah jatuh cinta pada sahabat baik Kak Pangestu. Bakti datang ke rumah hampir se
Aku diam sejenak dan tidak tergesa-gesa menanggapi kalimatnya itu. Seingatku, tidak ada satu poin pun dalam surat perjanjian pranikah kami yang membahas tentang pekerjaanku. Lagi pula aku terikat kontrak kerja, tidak mungkin bisa meninggalkan posisiku sembarangan. Selama aku menikah dengan Ben, dia akan memberi aku uang bulanan yang cukup besar. Jumlah uang itu jauh lebih besar dari gajiku sebagai sekretaris Pak Luis. Bila aku tidak bekerja, maka aku tidak akan kekurangan uang. Aku yakin uang pemberiannya itu tidak akan habis aku gunakan. Aku akan tinggal bersamanya, makan di rumahnya, tidak ada yang perlu aku beli dengan uangku sendiri. Tetapi ketika kami bercerai nanti, bagaimana aku membiayai hidupku? Meskipun dia akan memberi aku banyak uang saat kami berpisah, uang itu hanya akan aku terima apabila kami genap menikah selama satu tahun. Usia manusia tidak ada yang tahu, bagaimana kalau kakeknya meninggal dalam waktu dekat? Aku tidak akan mendapat uang satu miliar yang tertera pad
Dia tertawa kecil. “Apa kamu tidak membaca detail properti yang aku miliki? Ini bukan satu-satunya apartemen di gedung ini yang aku punya, Ima.” Wow. Dia tidak membeli sebuah penthouse melainkan beberapa apartemen? Itu di luar dugaanku. “Ben, daftar harta yang kamu miliki ada banyak dan aku tidak tertarik membacanya. Semua itu milikmu, untuk apa aku menghafal semuanya?” Dia berjalan menuju ruang tengah, aku mengikutinya. “Karno tinggal di apartemen nomor tiga, sedangkan Gayuh dan Mara di apartemen nomor dua. Mereka adalah pengurus apartemenku. Mara juga bertugas sebagai koki. Tetapi sebulan sekali aku meminta mereka untuk memanggil jasa untuk membersihkan ketiga apartemen secara menyeluruh.” Dia duduk di sofa. “Apartemen dua dan tiga yang ada di lantai ini juga?” tanyaku mengonfirmasi. “Iya. Gayuh dan Mara sudah menyusun barang-barang pribadi kamu di kamar utama. Aku akan tidur di kamar kedua. Kita hanya tinggal di sini pada hari kerja agar kita tidak perlu berangkat terlalu pagi k