Sejenak, gelak tawa menyebalkan itu sirna mendengar nada tinggi yang keluar dari mulutku. Ternyata reaksi itu cuma hiburan semata bagiku. Seolah mewakili aspirasi teman-temannya, salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri—pelajar laki-laki, masih dengan tas sekolah yang terselempang di bahunya—dan maju ke depan kelas. Tubuhnya ceking, wajahnya tirus. Bahkan, kacamata model bundar yang dikenakannya sama sekali tidak memberi kesan berisi pada wajahnya.
”Gue nggak mau belajar kalau gurunya keliatan nggak punya pengalaman. Dan malah keliatan nggak berkualitas!” ceracaunya. Lalu, mengeloyor meninggalkan kelas begitu saja.
Kucoba menahan emosi walaupun terkejut melihat sikap siswa tadi. Satu per satu, tanpa dikomando siswa-siwi yang masih tinggal di kelas pun berdiri dan berjalan acuh tak acuh melewatiku. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan kelas sambil melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Tak satu pun dari mereka yang kepergiannya bisa
Hiruk-pikuk kembali kudengar dari luar. Gerutuan keras huuuu, disusul teriakan lantang petugas piket yang seolah tak bosan-bosannya menegakkan aturan di sekolah ini, mengiringi satu per satu siswa-siswiku yang beberapa saat lalu meninggalkan kelas, kembali masuk ke ruangan. Kuhitung satu per satu kepala yang kembali ke bangku masing-masing. Tiga puluh empat orang. Kulirik list siswa di tanganku. Total siswaku seharusnya 35 orang. Dengan langkah pelan dan dagu yang sedikit terangkat, aku memastikan keberadaan mereka. Ternyata seluruh siswaku sudah di sini kecuali pemuda berkacamata bertubuh ceking yang mengawali ‘pemberontakan’ seisi kelas terhadapku tadi. Ya, aku pastikan, anak itu saja yang belum kembali ke kelas ini.Ah, aku tak akan peduli padanya. Tiga puluh empat orang siswa di depanku inilah yang terpenting saat ini, tak peduli sesinis apa pun tampang mereka. Ingatanku melayang pada materi yang kupelajari dari buku-buku pedagogis yang dipin
“Selamat siang, Pak Bram,” selarik senyum dan kalimat sapa yang menyejukkan menyambutku di ruang guru, setelah beberapa lama suasana kelas yang hampir mirip neraka tadi seolah memanggangku.“Selamat siang, Bu,” balasku tak kalah sopan.Dia guru piket yang tadi menggiring siswa-siswiku kembali ke kelas. Ah, akhirnya kami bertemu dalam suasana yang normal, setelah dua-tiga kali aku hanya melihatnya berteriak-teriak gusar.“Saya Bu Veni.” Katanya memperkenalkan diri. “Selamat datang di sekolah kita. Ini meja kerja Pak Bram. Silakan, selamat bertugas.”Dia menunjukkanku sebuah meja yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Meja yang besar dan rapi. Kursi yang disediakan pun tampak sangat nyaman. Sayang belum saatnya menikmati empuknya kursi itu, karena sorot mataku menangkap bahwa ruang guru mulai ramai. Hanya seorang guru berpakaian olahraga yang masih berdiri di pintu masuk, tengah menggoda beberapa sisw
Dalam perjalanan pulang, aku memilih diam. Bukan karena tak mau mengobrol lagi dengan Elis, justru bagiku bersamanya malam ini membuatku kembali mendapat semangat baru. Aku sedang teringat Edo dan teman-temannya. Tatap mata Edo yang penuh keraguan, air muka yang penuh ketidakpuasan, membayang jelas dalam ingatan. Ya, besok aku bertekad membungkam mulutnya dengan keberhasilanku menjawab tantangannya.Sanggupkah aku?Perutku kembali terasa lapar, setelah lepas Isya tadi bersama Fajrin melahap martabak pemberian Elis. Saat kutuang teh hangat ke dalam gelas untuk keduakalinya, di atas meja kutemukan beberapa potong martabak telur yang masih menunggu untuk disantap. Kuhabiskan potongan yang tersisa di piring karena kupikir Fajrin tak mungkin lagi memakannya. Dia masih sibuk mempersiapkan materi kuliah besok, bisa-bisa hingga larut malam.Malam ini konsentrasiku terbagi dua. Pertama, menyelesaikan tugas kuliah yaitu melahap novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Kupungut spidol hitam dan mulai menulis dua kata--seni dan rupa—pada white board. Ini langkah awalku untuk mencuri perhatian, cara yang kupelajari dari guru kesenian saat SMK. ”Saya ingin bertanya, adakah di antara kalian yang menyukai bidang seni yang saya tulis di sini?” ”Nggak adaaa!” seperti sebuah choir, jawaban atas pertanyaan yang kulontarkan. “Baik.” Aku mengangguk seraya mengacungkan ibu jari hingga setinggi wajah, berusaha tetap bersikap cool. Walau hati ini mulai bergolak memanas, kepalaku harus tetap dingin. “Sekarang saatnya saya membuat kalian menyukai seni, atau paling tidak menuntaskan kewajiban kalian hari ini dalam hal memahami ilmunya sebagai nilai tambahan rapor kalian
Tiba-tiba, pintu kelas berderak keras dan membuka. Derryl berdiri di depan pintu. Di luar dugaan, anak muda itu melangkah ke depan kelas, meraih eraser di meja guru dan langsung menghapus lukisan di white board. ”Jangan bikin gue marah!” serunya pada Nayyara yang seolah tak memercayai apa yang dilihatnya barusan.Sepertinya, drama percintaan akan kusaksikan lagi hari ini. “Dan Pak Bram,” Derryl menuding ke arahku. “Dengar, ya, Pak. Saya nggak suka sama guru yang kegenitan macam Bapak. Saya nggak suka lihat Bapak kecentilan sama Nayya. Apa Bapak tau siapa papa saya? Papa saya seorang perwira tinggi yang kapan saja bisa mengirim pasukannya untuk menghabisi Bapak kalau saya mau!”Setelah menebar ancaman, Derryl pun menuju bangkunya. Dia hanya mengambil tas sekolah lalu menar
Tiba di rumah sakit, kami bergegas menuju salah satu kamar VIP dimana Marsel terbaring lemah. Setelah sedikit berbincang dengan kemenakannya, tante Marsel mempersilakanku mendekat ke tempat tidur. Anak itu duduk berselonjor memangku laptop di atas ranjang. Tubuhnya terlihat semakin kurus dengan kelopak mata yang begitu cekung. Sorot matanya terasa dingin menusuk saat melihat kehadiranku.“Bagaimana keadaanmu?” sapaku hati-hati.Marsel diam. Dia malah membuang tatapannya ke luar jendela.“Sebenarnya saya sedikit lega, absenmu di sekolah hari ini bukan karena hal lain. Semoga kondisimu cepat pulih lagi, Marsel, dan bisa kembali ke sekolah.”“Nggak usah sok jadi pahlawan hanya karena nengok aku ke sini.” Potong Marsel. Kulihat dia menutup laptop dan menyingkirkannya. “Aku nggak akan ke sekolah lagi. Aku nggak senang melihat Bapak mengajar di kelas.”“Kamu, nggak kangen sama teman-teman? Jangan pern
Aku sampai berdiri dari kursi karena geram. Namun, belum lagi bibirku membuka, anak itu mengeloyor dari hadapanku tanpa permisi. Pak Tris yang sedari tadi memerhatikan kami dari depan ruangannya, bangkit mendekat padaku dan menepuk bahuku pelan. Beberapa rekan guru pun hanya saling pandang dengan bingung.“Namanya Anton, ‘penguasa’ kelas XII IPA.” Kata Pak Tris sambil tersenyum menyabarkanku. “Temuilah mereka, dan bicarakan baik-baik.” Kuembuskan perlahan napas berat yang sejak jadi tertahan, mengangguk dan tersenyum lega menerima dukungan moral dari Pak Tris. Langkahku pun mantap menuju kelas XII IPA, kelas yang memiliki situasi dan kondisi tak jauh beda dengan kelas yang kupegang. Ruangan yang besar itu tengah riuh-rendah oleh kelompok-kelompok kecil yang saling beradu mulut, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Mengetahui bahwa jam pelajaran belum dimulai kembali, ak
Hari ini Elis ulang tahun? Kupandangi kalender di dinding ruang tamu. Tanggal tujuh di bulan Agustus. Benar!Kutepuk keningku. Kenapa aku bisa lupa begini? Kesibukan kuliah dan mengajar sesudahnya membuatku tidak lagi memikirkan hal-hal semacam ini. Apa yang harus kulakukan sekarang? Di saat bingung begini, aku malah melihat bayangan Elis di kamarnya melalui tirai. Kurasa dia mencoba mencuri dengar obrolanku dengan Asep sejak tadi.“Abi sama Umi lagi ke mana?” tanyaku.“Lagi pergi ke undangan kawinan, A. Dari habis maghrib tadi belum pulang-pulang juga.”“Hmm, kalau gitu Aa pulang dulu, ya,”“Kok Aa pulang?”“Sssstt. Mau nyiapin sesuatu buat Teteh,” bisikku pula.Asep mengangguk senang. Kutinggalkan anak itu dan pulang ke rumah.Kulihat Fajrin di kamar masih membuka-buka bukunya. Saat melihatku memungut gitar di kamar, Fajrin hanya menoleh. Konsentrasi belajarnya tak t