Tiba di rumah sakit, kami bergegas menuju salah satu kamar VIP dimana Marsel terbaring lemah. Setelah sedikit berbincang dengan kemenakannya, tante Marsel mempersilakanku mendekat ke tempat tidur. Anak itu duduk berselonjor memangku laptop di atas ranjang. Tubuhnya terlihat semakin kurus dengan kelopak mata yang begitu cekung. Sorot matanya terasa dingin menusuk saat melihat kehadiranku.
“Bagaimana keadaanmu?” sapaku hati-hati.
Marsel diam. Dia malah membuang tatapannya ke luar jendela.
“Sebenarnya saya sedikit lega, absenmu di sekolah hari ini bukan karena hal lain. Semoga kondisimu cepat pulih lagi, Marsel, dan bisa kembali ke sekolah.”
“Nggak usah sok jadi pahlawan hanya karena nengok aku ke sini.” Potong Marsel. Kulihat dia menutup laptop dan menyingkirkannya. “Aku nggak akan ke sekolah lagi. Aku nggak senang melihat Bapak mengajar di kelas.”
“Kamu, nggak kangen sama teman-teman? Jangan pern
Aku sampai berdiri dari kursi karena geram. Namun, belum lagi bibirku membuka, anak itu mengeloyor dari hadapanku tanpa permisi. Pak Tris yang sedari tadi memerhatikan kami dari depan ruangannya, bangkit mendekat padaku dan menepuk bahuku pelan. Beberapa rekan guru pun hanya saling pandang dengan bingung.“Namanya Anton, ‘penguasa’ kelas XII IPA.” Kata Pak Tris sambil tersenyum menyabarkanku. “Temuilah mereka, dan bicarakan baik-baik.” Kuembuskan perlahan napas berat yang sejak jadi tertahan, mengangguk dan tersenyum lega menerima dukungan moral dari Pak Tris. Langkahku pun mantap menuju kelas XII IPA, kelas yang memiliki situasi dan kondisi tak jauh beda dengan kelas yang kupegang. Ruangan yang besar itu tengah riuh-rendah oleh kelompok-kelompok kecil yang saling beradu mulut, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Mengetahui bahwa jam pelajaran belum dimulai kembali, ak
Hari ini Elis ulang tahun? Kupandangi kalender di dinding ruang tamu. Tanggal tujuh di bulan Agustus. Benar!Kutepuk keningku. Kenapa aku bisa lupa begini? Kesibukan kuliah dan mengajar sesudahnya membuatku tidak lagi memikirkan hal-hal semacam ini. Apa yang harus kulakukan sekarang? Di saat bingung begini, aku malah melihat bayangan Elis di kamarnya melalui tirai. Kurasa dia mencoba mencuri dengar obrolanku dengan Asep sejak tadi.“Abi sama Umi lagi ke mana?” tanyaku.“Lagi pergi ke undangan kawinan, A. Dari habis maghrib tadi belum pulang-pulang juga.”“Hmm, kalau gitu Aa pulang dulu, ya,”“Kok Aa pulang?”“Sssstt. Mau nyiapin sesuatu buat Teteh,” bisikku pula.Asep mengangguk senang. Kutinggalkan anak itu dan pulang ke rumah.Kulihat Fajrin di kamar masih membuka-buka bukunya. Saat melihatku memungut gitar di kamar, Fajrin hanya menoleh. Konsentrasi belajarnya tak t
Keceriaanku semalam terbawa hingga pagi hari saat di kampus. Entahlah, setiap kebersamaan yang kulalui bersama Elis dari satu momen ke momen lainnya seakan terus me-recharge hidupku. Mindset-ku terhadap tugas-tugas kuliah pun makin cenderung ke arah yang lebih positif. Siang ini diskusiku dengan dosen di kelas terasa begitu bergairah dan semangatku seakan meletup untuk segera menyelesaikan tugas-tugas makalah.Sebenarnya aku tidak berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. Kuakui, para dosen seakan-akan tak punya hati dengan membanjiri kami dengan banyaknya tugas setiap harinya. Namun, setiapkali jenuh menyapa—apalagi sejak merasakan ‘sensasi’ menjadi guru di SMU Insan Kamil—aku kembali pada pola pikirku: bahwa dosen memiliki tujuan tersendiri saat membombardir mahasiswanya dengan tugas makalah. Bukankah untuk menyusun makalah yang baik selalu membutuhkan referensi? Untuk mendapat referensi itulah, mahasiswa dituntut kreatif dan rajin men
Untuk Pak Bram di tempat.Assalaamualaikum, Pak. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Bapak. Kartu-kartu penyemangat dari teman-teman telah membuat saya menangis haru. Saya menjadi lebih hidup, yang selama ini saya merasa tak ada yang peduli dengan saya. Kartu-kartu itu membuat saya bersemangat, ternyata saya memang tidak sendirian di dunia ini. Terima kasih, Pak. Ini sudah cukup menunjukkan pada saya bahwa Bapak bukan guru biasa. Maafkan kelancangan saya terhadap Bapak, saya sadar itu sangat salah. Saya tak mau bersedih lagi akan masalah keluarga yang saya hadapi. Saya tak mau bersedih lagi akan penyakit yang saya derita. Bapak bena
Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.Harap dan cemas meliputi hati dan langkah-langkah kami saat menyusuri lorong-lorong panjang menuju kamar dimana Marsel terbaring saat ini. Saat suster yang menjaga ruangan mengatakan bahwa Marsel telah dibawa ke kamar operasi, bersama 20 orang muridku kami segera menuju ke sana.Sungguh ruang tunggu yang mencekam. Dingin. Sepi. Hanya di deretan bangku panjang inilah kami diperbolehkan menunggu hingga operasi dinyatakan selesai, persis di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Tante Marsel saat ini ada bersama kami. Di sebelahnya duduk seorang pria gagah setengah baya—papa Marsel—yang juga terlihat muram.Satu per satu dari kami menyalami kedua orang itu.”Kami mohon doa dari Bapak, dan murid-murid Bapak semuanya,” pinta papa Marsel, tersendat-sendat. Wajah pria berpakaian necis itu terlihat berduka. “Doakan, mohon doakan anak saya,”Sekuat tenaga papa Marcel berusaha
Aku tertegun mengetahui tekad dan keinginan Fajrin. Apalagi, dia mengucapkannya dengan mimik serius tanpa aksen Jawa seperti biasanya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti dia: seseorang yang tangguh, punya karakter, kepribadiannya khas, dan tidak suka ikut-ikutan. Selama dekatnya dengannya pun, aku merasa dalam diri ini ada beberapa hal yang berubah ke arah yang lebih baik.Fajrin memberiku pengalaman berharga bukan melalui ceramah-ceramah atau dengan cara terang-terangan mengajakku memperdalam agama. Salah satu cara Fajrin yang membuatku tersentuh adalah saat dia mengajakku berlibur ke kampung halamannya di Bumi Jawa, di kawasan sekitar Gunung Slamet yang berpanorama alam sangat indah, yang begitu sejuk dengan banyaknya kebun-kebun stroberi. Aku diperkenalkan pada para santri sahabat-sahabat Fajrin. Melalui obrolan dan diskusi ringan kami seputar agama, semakin bertambahlah wawasanku mengenai Islam dan bagaimana menjadi muslim yang sesungguhnya.“Dari dulu pu
”Ya, saya sering lihat Sylla dan teman-temannya sesama pengamen di Pasar Jumat, Lebak Bulus, Pak.” Ungkap Nelwan siang itu. “Dia memang sempat cerita sama saya tentang kerjaannya itu. Kadang dia ngamen di metromini jurusan Blok M, kadang di bus Mayasari jurusan Bekasi dan Cikarang.”Saat ini sudah jam istirahat. Nelwan kuminta datang menemuiku di kantin sekolah. Kami memang mulai akrab sejak sama-sama ‘berdamai’ dengan Marsel beberapa waktu lalu.”Kamu bisa antar saya ke tempat Sylla mengamen?””Bisa, Pak, kebetulan hari saya bawa motor. Nanti Pak Bram aja ya, yang nyetir motornya,”Tak kusia-siakan kesempatan itu. Selepas maghrib, begitu jam belajar berakhir, Nelwan benar-benar menepati janjinya mengantarku mencari Sylla.Di luar dugaanku, suasana petang menjelang malam ternyata tak membuat kami kesulitan menemukan gadis itu di antara para pengamen jalanan. Ya, kami menemukan Sylla. Dalam
Esoknya di sekolah, sebuah insiden kecil kembali menyeret langkahku cepat menuju ruang kelas XI IPA. Sebuah pemandangan tak menyenangkan tersaji di depan mata, seperti drama remaja yang tak layak ditonton anak-anak yang membuatku lagi-lagi beristighfar dan menarik napas berat. Kejadian semacam ini seakan telah menjadi ‘makanan’ sehari-hariku di tempat ini, yang suka atau tidak suka harus kubereskan. "Ayo! Lawan! Kamu pasti menang, Nay!” “Hahaha! Syllaa, ayoo tunjukkin jiwa preman elo! Masa kalah sih?!” Di tengah-tengah kelas, tampak Nayyara dan Syilla tengah berseteru. Saling memaki, mengumpat, saling berjambak rambut ‘lawannya’ satu sama lain. Herannya tak satu pun teman-teman mereka berusaha melerai. Seisi kelas malah menambah suasana kian panas dengan menyorakkan dukungan. “Piting dia, Nayya! Elo mah kereeen! Hahaha!” “Ayo, Sylla! Makan tu jablai!” Aku tidak tahan lagi. Kugebrak-gebrak meja di dekatku. "Nayya! Sy