Sepulang dari kuliah, kubaringkan tubuhku di atas lantai keramik putih. Pandangan mataku menerawang ke langit-langit kamar. Hampa rasanya. Kepalaku semakin pusing saat mengingat tunggakan bayaran kuliah yang belum bisa aku bayarkan. Orang tuaku di kampung sudah lama tak mengirim uang. Pihak kampus sudah memanggilku berkali-kali. Bahkan mereka mengancam untuk mengeluarkanku dari kampus jika bulan depan aku masih belum juga melunasi tunggakan. Aku bingung untuk mencari solusinya.
Ketukan di pintu kamar terdengar agak mengejutkanku. Bergegas aku membukanya. Tergugup aku mendapati Elis yang tersenyum dan berdiri di depanku. Ujung jilbab lebarnya bergerak-gerak tertiup angin siang yang berembus. Hari ini, wajahnya yang bersih cerah terlihat begitu indah dipandang.
“Aa, ada titipan dari Umi, nih,” ucapnya, lalu menunduk. Di tangannya kulihat sepiring makanan yang ditutup sehelai daun pisang.
Aku tersenyum sambil meraih piring yang ternyata berisi nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Pas sekali waktunya, perutku sejak tadi memang keroncongan karena sepagian belum terisi apa-apa. Bukan tidak lapar, tetapi karena persediaan uangku terus menipis. Sudah dua semester ibuku berhenti mengirimiku uang, entah apa alasannya aku tak tahu. Sudah berkali-kali aku menulis surat pada Ibu tentang hal ini, tapi sampai sekarang belum juga ada balasan.
“Makasih ya, Lis. Jadi nggak enak nih, merepotkan terus,” ucapku basa-basi.
“Nggak apa-apa, Aa. Umi kok yang nyuruh,” sahut Elis dengan mimik wajah terlihat malu-malu.
“Bilang sama Umi, ya, Aa terima kasih banyak.”
“Iya, nanti Elis bilangin. Oh ya, A, ini sekalian ada surat buat Aa. Umi yang terima dari pos.”
Aku menerima amplop tertutup yang diulurkan Elis. Kutemukan nama ibuku di alamat pengirim. Setelah Elis berpamitan, kuletakkan piring di atas meja belajarku, dan bergegas membuka surat.
“Bram, maafkan Umak. Sudah beberapa bulan ini tidak mengirimi kamu uang. Kopi-kopi kita tak berbuah banyak seperti tahun kemarin. Warung Umak macet karena banyak pembeli yang berutang. Umak hampir saja kehabisan modal. Listrik sudah dua bulan ini menunggak, Nak, hampir saja diputus oleh PLN. Untung pamanmu bersedia meminjamkan Umak uang untuk membayarnya. Adik-adikmu juga menunggak bayaran sekolah.
Jika tidak mengganggu kuliahmu, Umak menyarankan agar kamu juga mencari pekerjaan. Tapi jika tidak bisa, Umak punya rencana menjual sawah kita pada Mang Bahar, agar uangnya bisa melunasi utang Umak dan membiayai kuliahmu di Jakarta. Hanya ini jalan satu-satunya. Umak tak punya pilihan lain. Umak ingin kamu tetap kuliah, mengejar cita-cita yang selama ini kamu impikan. Umak tunggu balasanmu. Jika kamu setuju, Umak akan jual sawah kita secepatnya.
Belajar yang rajin, Bram. Jangan tinggalkan sholat lima waktu. Tetap berdoa, Umak yakin ujian ini hanya sementara.”
Aku menarik napas panjang. Rasanya tak berselera lagi menikmati nasi pemberian Elis di atas meja belajarku.
Aku tak mau Umak menjual sawah peninggalan almarhum Ayah. Selama ini, sawah itulah yang menjadi penambah penghasilan Umak selain kebun kopi kami. Aku harus bekerja, bagaimanapun aku tak boleh putus kuliah hanya gara-gara cobaan ini. Namun, aku harus kerja apa? Bagaimana cara mengatur jadwalnya?
Pertanyaanku belum terjawab ketika datang temanku satu indekos, Fajrin namanya, membawa kantong plastik berisi makanan di tangan.
“Wah, wah, dari aromanya, hmmm ... kayaknya ada yang nganterin makanan enak lagi, nih,” celetuk Fajrin tiba-tiba sambil mengendus-endus ke sekitar.
Aku membiarkannya mendekat ke meja belajar dan kulihat dia menemukan suguhan makanan yang dibawa Elis tadi.
“Cieeee, Bram! Udahlaaah, nunggu apa lagi, sih? Kapan lagi ada cewek kayak dia?” Fajrin mulai menggodaku. “Sholehah. Pinter ngaji. Cantik lagi! Sampai kapan ente mau diem-diem aja, Bram? Kasihan tuh Eliiis, nungguin ungkapan kata hati ente. Ane bisa menebak dari matanya, kalo dia itu mengharap kata cinta dari ente!"
Cowok berpostur tinggi, berambut cepak dan berkulit putih itu memandangku dengan serius. Aku diam, sedang tak ingin merespon candanya.
“Hei, Bram, kok murung gitu sih? Lah, ini nasinya nggak dimakan?" Lama-lama, Fajrin pun menyadari ekspresi wajahku yang tak biasanya. Sambil meletakkan tasnya di atas meja belajar, dia melihat ke lembaran surat di tanganku. “Itu surat dari Umak?"
Aku mengangguk.
“Aman-aman saja, kan?”
Aku tersenyum dipaksakan. Tak ingin Fajrin mengetahui masalahku, aku pun menjawab, “Aman. Aku cuma stres sama tugas-tugas hari ini, Sob,”
“Kirain ada apa-apa di kampung,” Fajrin terlihat lega mendengar pengakuanku. Lalu, lagi-lagi dia menyambung, “Elis itu … udah ibunya baik, bapaknya apalagi!”
“Emang nggak ada pembahasan lain, ya, selain Elis? Aku lagi mau serius kuliah dulu, Sob, belum kepikiran yang begituan. Jadi, kalau kamu suka sama dia, ya monggo, nanti aku bilang ke dia kalau kamu suka. Gimana?"
“Haah? Nggak! Nggak! Dia sukanya sama ente, kok malah ditawarin ke ane sih?" kulit wajah Fajrin yang bersih mendadak terlihat bersemu merah.
“Hahaha! Makanya, jangan ngeledekin aku terus kayak gitu!”
Fajrin geleng-geleng kepala, mengakui ‘kekalahannya’ sambil mulai membongkar perbekalan makanan dari kantung plastik. “Mendingan makan. Perut ane udah keroncongan nih, Sob. Yuk!"
Kami pun menikmatinya bersama. Saat tengah lahap menyantap hidangan, tiba-tiba pikiranku kembali teringat kondisi keuanganku yang kosong. Aku benar-benar tak punya uang saat ini. Sepeser pun tak ada. Mau pinjam pada Fajrin, malu rasanya. Ya Allah, berilah aku jalan, doaku dalam hati.“Assalaamualaikum!"Lagi, aku mendengar suara Elis di luar rumah. Hampir bersamaan, aku dan Fajrin bangkit dan menunda makan untuk membukakan pintu depan. Benar saja, gadis Cianjur itu berdiri di depan pintu.“Waalaikum salam, Elis,” jawab kami, nyaris berbarengan pula.“Makan, Lis,” Fajrin menawari sambil menunjuk piring yang setengah kosong di tangannya.“Makasih, Mas Fajrin. Alhamdulillah, Elis sudah makan.” Sahut gadis manis itu. Lalu, katanya sambil tersenyum, “Maaf, A Bram. Elis mau nyampein pesen Umi. Kata Umi, malam ini kalau bisa Aa ajarin Asep matematika. Besok Asep ulangan.”Entah kenapa aku sepert
Seperti yang sudah-sudah, malam itu aku menemani Asep mempersiapkan diri untuk ulangan matematika besok. Walaupun bukan guru matematika, kalau hanya mengajar materi matematika untuk anak SD saja tentu aku bisa.Satu jam lebih Asep belajar bersamaku. Kulihat dia sudah mulai mengantuk. Aku pun menutup materi matematika malam itu. Lalu, berpamitan pada Asep dan tak lupa mengingatkan anak itu agar tidak tidur terlalu malam.“Bram, tunggu sebentar!”Abi memanggilku—ah, kukira beliau sudah tidur—persis sebelum Asep menutup pintu depan.“Ini, simpanlah.” Laki-laki itu mengulurkan selembar amplop putih padaku. “Jangan dilihat jumlahnya yang nggak seberapa. Semoga bisa sedikit menambah ongkos kuliahmu. Kebetulan Abi ada sedikit rezeki. Lagipula, selama ini kamu selalu mengajari Asep sehingga nilainya bagus-bagus. Coba kalau memanggil guru privat dari sekolah, pasti mahal bayarannya.”“Ah, nggak usah, Abi
Putih-hitam adalah warna yang melekat di tubuhku saat ini. Baju putih, celana panjang hitam, disempurnakan oleh sepatu pantovel hitam yang disemir hingga berkilau. Aku mengikuti saran Fajrin pagi tadi. Katanya, ‘seragam’ model begini umum dikenakan sebagai identitas pemburu pekerjaan.Hari ini aku bertekad harus ada pekerjaan sampingan yang kudapat. Dari informasi yang kuperoleh di kampus, jika sulit menemukan pekerjaan dengan jam kerja malam hari dan terpaksa harus bekerja dari pagi hingga sore, aku tetap bisa kuliah pada hari Sabtu-Minggu. Konsekuensinya, aku harus pindah kelas. Bukan masalah besar bagiku, yang terpenting aku tetap terus kuliah.Seperti biasa, cuaca terik menjadi sahabat setia sejak menjalani awal hari di kampus. Aku tak peduli, terus berjalan membawa map berisi dokumen di tangan, mengitari Pamulang dan mengarah ke Ciputat. Lelah mulai menghinggapiku. Kini aku terdampar di Pasar Jumat, Lebak Bulus. Sejauh ini, aku tak menemukan lowongan p
Masih di tempat yang sama, keesokan harinya.Kulihat langit tampak mendung dan mulai gelap. Ketika akhirnya hujan deras mengguyur, aku mengikuti orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh. Sebuah halte tak jauh dari sini, tampaknya menjadi satu-satunya tujuan kami.Aku berdiri seolah terpaku menghadap jalan yang basah oleh rinai hujan. Punggung dan kakiku masih terasa sakit. Semalam, di antara nyeri yang belum mau pergi, aku kembali menulis CV dan surat lamaran pekerjaan. Namun, sepertinya hari ini pun aku tak bisa berbuat banyak. Fajrin memang membantuku mencarikan iklan lowongan kerja di koran-koran, tetapi lokasinya selalu tak terjangkau. Jika aku tetap nekat mencoba, rasanya itu hanya akan menambah kesusahanku.“Bram!”Seseorang menepuk bagian belakang bahuku. Aku menoleh cepat ke arahnya.“Lho, Pak Tris?” seruku riang begitu mengetahui orang di belakangku. Kugenggam erat dan kucium tangannya dengan hormat. &ldqu
Ini sudah hari Minggu. Masih satu hari sebelum memenuhi undangan Pak Tris, yakni mengantarkan berkas lamaran pekerjaan untuk menjadi guru kesenian di SMU Insan Kamil. Aku gelisah dan mondar-mandir di teras. Masih ragu, apakah aku yakin telah menerima tawaran Pak Tris? Apakah tidak lebih baik jika kuurungkan saja dan mencari pekerjaan lain?Menjadi guru di SMU Insan Kamil. Siswa-siswanya yang terkenal badung, suka tawuran serta berlabel anak buangan dari sekolah lain menjadi pertimbanganku. Mengenai penyampaian materi seni itu sendiri pun—walaupun aku menguasai musik berikut teorinya dan bisa melukis—tetap akan menjadi tantangan bagiku. Bisa jadi siswa-siswi SMU itu justru tidak menganggapku sama sekali, bahkan melawanku, setelah tahu bahwa guru kesenian mereka yang baru ‘hanyalah’ seorang anak muda sepertiku.Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Menolak tawaran itu?Gelisahku seorang diri di teras ternyata mengundang perhatian orang lain m
Elis meminjamkan buku-bukunya padaku. Kubawa semuanya ke kamar agar bisa membacanya kapan saja. Tak kusangka, ternyata Fajrin sudah tiba lebih dulu di rumah dan kini sedang rebah di lantai sambil mendengarkan radio bututnya.“Wiuh, yang habis nganter yayang ke pasar!” ledeknya sambil mesem. “Kira-kira, ada kabar baik apa, yaa ...?””Apa sih, pengen tahu aja urusan orang,” gubrisku sambil duduk di bawah pintu. Kulepaskan lelah yang tak seberapa. Kuletakkan buku-buku yang kubawa, kusandarkan punggung, dan mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Perhatikanku kini tertuju pada gitar yang kupajang di sudut kamar, benda yang pada setiap dawainya sering kumainkan nada pelipur gundah atau—sebaliknya—sebagai penanda tengah bahagia. Ah, kali ini aku sedang tidak ada niat memetiknya.”Buku apaan, Sob?” Fajrin bangkit dari tidur-tidurannya, mengambil salah satu buku di dekatku, dan membukanya.&
Tidak terlalu sulit menemukan ruang guru di seantero bangunan bertingkat ini. Aku sudah hampir sampai, ketika sosok Pak Tris tertangkap pandanganku tengah berdiri di depan sebuah ruangan. Rupanya beliau sengaja menunggu kedatanganku.”Bram! Alhamdulillaah, Bapak kira kamu nggak jadi datang!”Aku mengangguk sopan dan mencium tangannya, persis seperti saat masih menjadi muridnya dulu. Ah, sampai kapan pun, Pak Tris memang akan selalu menjadi guruku. “Ayo masuk, Bram,” diajaknya aku ke ruangan guru. Setelah memperkenalkanku sebentar kepada beberapa guru di sana, Pak Tris mengajakku ke ruangannya sendiri. Dia langsung memeriksa map berisi CV dan surat permohonan mengajar yang kuajukan.”Berkas lamaranmu Bapak terima, ya, walaupun ini sebenarnya hanya formalitas saja.” Pak Tris tersenyum senang. “Oh ya, hari ini bapak kepala sekolah berhalangan da
Sejenak, gelak tawa menyebalkan itu sirna mendengar nada tinggi yang keluar dari mulutku. Ternyata reaksi itu cuma hiburan semata bagiku. Seolah mewakili aspirasi teman-temannya, salah satu dari mereka tiba-tiba berdiri—pelajar laki-laki, masih dengan tas sekolah yang terselempang di bahunya—dan maju ke depan kelas. Tubuhnya ceking, wajahnya tirus. Bahkan, kacamata model bundar yang dikenakannya sama sekali tidak memberi kesan berisi pada wajahnya.”Gue nggak mau belajar kalau gurunya keliatan nggak punya pengalaman. Dan malah keliatan nggak berkualitas!” ceracaunya. Lalu, mengeloyor meninggalkan kelas begitu saja.Kucoba menahan emosi walaupun terkejut melihat sikap siswa tadi. Satu per satu, tanpa dikomando siswa-siwi yang masih tinggal di kelas pun berdiri dan berjalan acuh tak acuh melewatiku. Beberapa dari mereka bahkan meninggalkan kelas sambil melirik ke arahku dengan tatapan mengejek. Tak satu pun dari mereka yang kepergiannya bisa