Share

Part 6

Ini uangku, Mas

Part 6 (kedatangan ibuku) 

 

"Eh, Bu Besan, ayo masuk. Ima! Bikinin teh hangat untuk Ibunya Mita!"

 

Idih, ibu mertua terdengar sangaaaat baik. Oke mertua, aku tahu baiknya pasti ada mau. Kutes dulu ah, pura-pura tak dengar kalau ibuku datang.

 

"Iya, Bu!" Kali ini suara Ima terdengar baik. Seperti penjahat insaf saja. Mulut pun bersih dari kata sindiran.

 

"Bu Ros apa kabar? Sehat, Bu?" Terdengar suara ibuku menyapa ibu mertua. Itu lah ibu, suara tenang dan selalu ramah.

 

"Alhamdulillah, Bu Eli, Bu Eli sendirian saja?"

 

"Tadinya sama Papanya Mita, tapi karena Papanya ke notaris, makanya saya sendirian, Bu."

 

"Notaris? Wah, sudah pensiun tetap sibuk ya, Bu."

 

"Ya, karena ada yang diurus, Bu. Oh ya, Mita dan Tia mana, Bu?"

 

"Oh ada, Mita jam segini mah tidur siang, kalau Tia bermain. Sebentar saya panggilkan, Bu."

 

Aku pura-pura berbaring tidur. Tak lama kemudian, terdengar pintu kamarku berderit ada yang masuk.

 

"Mit! Mita! Bangun, ada Ibumu, Nak." teriak ibu membangunkan.

 

'Nak', tumben ibu mertua memanggilku dengan sebutan itu. Biasanya 'tukang pelit' atau semacamnya. Oke ibu mertua, mari kita bersandiwara. Aku yakin ibuku pasti bawa banyak buah tangan seperti biasa. Tentu saja, aku anak satu-satunya.

 

"Mmmk, iya, Bu," sahutku pura-pura terbangun. Lalu aku bangkit dari tempat tidur ingin ke luar. Tapi ....

 

"Tunggu! Jangan pakai baju itu ke luar, pakai baju gamis tadi," bisik ibu tegas karena aku memakai daster yang banyak tambalnya. Seperti ban bocor saja.

 

"Nggak usah, Bu, ini saja seperti biasa," sanggahku.

 

Lalu ibu mencengkram lenganku. "Kamu mau seperti ini dilihat ibumu? Jangan gara-gara kamu aku dan ibumu perang. Atau kamu mau menjanda gara-gara ibumu marah?" Ini ancaman yang sering kudengar setiap kali ibuku berkunjung. Dulu aku takut karena mas Aga akan menceraikanku. Lagian ibuku pernah bilang dosa melawan suami selagi tidak menentang agama. Sepertinya sekarang aku nyerah untuk bersabar.

 

"Bu, aku tak mau pura-pura lagi, bohong dilarang agama," sanggahku.

 

"Bohong untuk kebaikan tak masalah, tua-tua  gini aku masih ngerti, jangan sok mengajari!" 

 

"Mita! Mita! Ini Ibu, Nak." Ibuku berteriak dari luar. Kusepai tangan ibu mertua lalu melangkah keluar kamar. Aku yakin ibu mertua memendam marah sebesar rumah.

 

"Mita! Mita!" Suara ibu mertua terdengar marah tapi ditekan agar ibuku tak dengar. Aku tak peduli, dengan daster seadanya yang sering kupakai harian, tetap melangkah menemui ibuku. Capek pura-pura terus.

 

"Ibu." Kucium punggung tangan ibu. Lalu ibu memelukku.

 

"Gimana kabarmu, Nak? Kenapa jarang kunjungi Ibu lagi, di rumah kami kesepian, apa lagi Ayahmu, setiap kali beli marbak mesir, selalu nyebut namamu."

 

"Ayah masih ingat makanan kesukaan Mita ya, Bu."

 

"Tentu dong, kamu putri kami satu-satunya." Ibu mencubit hidungku. Aku merasa seperti anak kecil. Itu lah ibu dan Ayah, namun aku juga harus tetap bertanggung jawab, pilihanku menikah dengan mas Aga akan kutanggung konsekwensinya. Mungkin ini efek ayah mengajariku tanggung jawab dari kecil. 

 

Kami duduk. Ibu mertua juga ikut duduk beserta Ima di ruang tamu ini. Kulihat ibuku bawa dua kotak donat, beras sekarung besar, mie instan dua kardus, telur, gula, satu kantong belum tahu isinya dan rantang makanan tingkat tiga.

 

"Ini Ibu semua yang bawa?" Kupegang rantang itu karena penasaran apa isinya.

 

"Iya, coba buka," ucap ibu. Dan mata ibu mertua serta Ima juga tertuju pada rantang itu. 

 

Kubuka rantang itu. "Waaah, ada rendang ayam, rendang daging dan sosis goreng kesukaan Tia."

 

Senangnya, untuk tiga hari ke depan tak perlu masak. 

 

"Ini juga ada sosis mentah, masukin ke kulkas, Mit." Ibu menyodorkan satu kantong  kresek. Tapi tangan Ima lebih dulu menggapai kantong itu.

 

"Biar kutarok di kulkas, Bu, duduk saja bersama Mita melepas kangen," ucap Ima di sela senyum. Ibuku membalas mengangguk sambil tersenyum juga. Lalu Ima ke dapur membawa sekantong sosis itu.

 

"Banyak sekali bawaan Ibu Eli, rendangnya juga wangi, bikin perut lapar," ucap ibu mertua. Padahal barusan sudah makan.

 

"Ini sengaja saya buat banyak, biar semuanya bisa menyicipinya, Bu Ros."

 

"Iya, terima kasih, ya, Bu Eli."

 

"Ayah mana, Bu?" Kulihat ayah tak ikut serta.

 

"Ayahmu ke notaris ngurus jual beli tanah."

 

"Mau jual tanah, ya, Bu?" sahut ibu mertua. Matanya membulat.

 

"Iya, Bu Ros, tanah kami ada dua kavling dekat persimpangan sebelum pasar pagi, satu kavling dijual, uangnya rencana untuk membangun rumah buat Mita."

 

"A-apa? Bangun rumah? tapi di sini sudah enak kok, Bu, kenapa tak beli mobil saja?" ucap ibu mertua tergagap. 

 

"Terserah Mita saja, nanti mau beli mobil atau bangun rumah, toh uang hasil jual tanah sudah diperuntukkan buat Mita," jelas ibuku.

 

"Rumah aja, Bu, aku juga ingin mandiri," jawabku menyanggah ide ibu mertua. Siapa juga yang sudi tinggal di sini. Sudah cukup bagiku delama itu tersiksa. Sekarang lah kesempatanku selagi tak minta ke orang tua, tapi diberi.

 

"Mita ..., rumah ini cukup besar, lagian Ibu sendirian merasa kesepian tak ada kamu dan Tia."

 

Cuih! Sok manis. Barusan tadi menyindirku dengan anak kesayangannya tentang aku hanya numpang tinggal di rumah ini. 

 

"Bukankah ada Ima dan Mimi, Bu." Ibuku menjawab sebelum itu kusebut.

 

"Iya sih, Bu, tapi kemungkinan Ima akan ikut suaminya ke luar daerah, kalau ada Tia cucu kesayangan saya, rumah ini terasa damai."

 

Sandiwara apa lagi ini? Cucu kesayangan, makan ayam bakar tak ingat anakku. Bohong.

 

Akan tetapi sepertinya aku ingin memberi mertua dan adik iparku pelajaran. Aku akan menerima uang dari ayah, aku yakin mereka pasti bersikap baik. Akan kubuktikan pradugaku ini.

 

"Assalamu'alaikumm. Oma!" Tia datang langsung berlari memeluk ibuku.

 

"Cucu Oma dari mana?"

 

"Beli ayam bakar," jawab Tia memperlihatkan kantong di tangannya.

 

"Iya, Bu Eli, Tia suka ayam bakar, kalau tak pakai ayam susah sekali makannya," timpa ibu mertua.

 

"Nggak kok, Nek, selama ini makan dengan tempe pun tak masalah, lagian tadi Nenek sudah makan ayam bakar tak berbagi denganku," jawab Tia jujur. Ibuku langsung menatap dengan alis bertaut.

 

"Hay Tia, ini ada sosis kesukaan kamu loh." Tiba-tiba Ima muncul dan langsung menarik tangan Tia.

 

"Nanti Bi, aku la ...." Tia tak bisa menolak saat Ima menariknya ke dapur.

 

Ibuku terdiam terpana. Mungkin mencerna apa yang diucapkan Tia.

 

"Tadi beli ayam bakar tapi Tia tak ada di rumah, saya kira ia sudah makan, Bu Eli," poles ibu mertua.

 

"Oooh, iya iya, Bu Ros," jawab ibu berusaha tersenyum.

 

Oke, kali ini kubiarkan ibu mertua menang di depan ibuku. Bukan tanpa sebab, aku ingin melihat reaksi mereka seandainya ibuku sudah pulang. 

 

Rantang makanan yang dibawa ibuku kuhidangkan. Aku ingin makan bersama ibu. Dan ternyata Ima, Mimi dan ibu mertua juga ikut makan, padahal mereka baru saja selesai makan. 

 

"Rendangnya enak," ucap Ima mengambil dua rendang potong sekaligus.

 

"Iya, enak sekali, Bunda, padahal kita sudah makan," sambung Mimi juga makan dengan dua potong rendang sekaligus. Tentu ia meniru bundanya.

 

Ibuku melihatnya. Tapi kali ini ibu seperti tak suka cara Ima kurang tata krama. Makan seperti rakus meskipun ada tamu.

 

"Lain kali bikinin lagi ya, Bu Eli, enak sekali," pinta ibu mertua.

 

"InsyaAllah, Bu," jawab ibuku, lalu kami beradu pandang sesaat. Entah apa yang dipikirkan ibuku.

 

Selesai makan siang, kubawa piring ke dapur. Kali ini Ima mencuci piring tanpa disuruh, biasanya ia jarang mencuci piring. Tumben. Sementara itu, ibuku sedang duduk bersama Tia di ruang tamu.

 

Aku melangkah ingin ke ruang tamu, tapi tiba-tiba ibu mertua menahan tanganku.

 

"Beliin jeruk ke warung, setelah itu bikin jus jeruk, kamu mau menjamu ibumu dengan teh hangat saja? Sekalian beli peyek kacang," titah ibu mertua sambil menyodorkan uang dua puluh ribu.

 

Tumben, biasanya tak pernah kasih uang kalau ke warung. Kuterima uang itu, lagian aku juga ingin melihat ibuku senang sesekali berkunjung.

 

"Bu, aku ke warung sebentar," ucapku minta izin ke ibuku.

 

"Ngapain ke warung? Duduk sama Ibu di sini, Mit," jawab ibuku.

 

"Saya minta belikan obat sakit kepala, Bu Eli," timpa ibu mertua.

 

"Oooh," jawab ibuku, lalu mengobrol lagi dengan Tia.

 

Ada rasa aneh tapi kuabaikan. Yang penting ibuku dijamu dengan baik.

 

Setelah membeli sekatong jeruk dan sebungkus peyek kacang, aku langsung bergegas pulang. Biasanya mengobrol sebentar dengan ibu-ibu yang ada di warung sekedar bergaul agar tak sombong. 

 

Saat jalan menuju pulang, kulihat Tia juga melangkah ke warung.

 

"Ngapain Tia?" tanyaku menghentikan langkah saat kami hampir berselisih jalan.

 

"Nenek minta beliin sabun cuci piring, Ma."

 

"Loh, bukannya masih banyak?" Tentu saja aku tahu, mencuci tugas rutinku setiap hari.

 

"Nggak tau, Ma, tapi Nenek yang nyuruh."

 

Perasaanku tidak enak. Ibu mertua seperti mencoba membuatku dan Tia ke luar dari rumah. Sepertinya ibu mertua ingin bicara sesuatu dengan ibuku tanpa aku ketahui.

 

"Ayo pulang, sabunnya masih banyak."

 

Kupercepat langkah. Rasa penasaran ingin segera tahu. Apa maksud ibu mertua menyuruhku dan Tia ke warung dengan urusan yang tak begitu penting. Sampai depan rumah, kuminta putriku agar melangkah pelan agar tak terdengar kalau kami sudah kembali. Rencanaku ingin mendengar apa yang ingin dibicarakan ibu mertua ke ibuku.

 

"Untuk apa uang sebanyak itu, Bu?" Terdengar suara ibuku bertanya. Posisiku dan Tia ada di balik dinding dekat jendela kaca.

 

"Untuk beli baju daster Mita, selama ini ia terlalu berhemat, Ibu lihat sendiri dasternya, tak layak pakai, aku malu tetangga bergunjing seakan-akan Putraku tak mampu belikan daster, jika aku yang mengolah gaji anakku, sudah kubelikan ia baju bagus, tapi Bu Eli tau sendiri, yang berhak mengolah gaji putraku ya Mita istrinya."

 

Jadi ini alasan aku disuruh ke warung? Ibu mertua ada maunya. Pinjam uang, aku tak yakin uang itu untuk beli baju dasterku.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status