Share

Part 3

Ini uangku, Mas

Part 3

 

"Ibu ..., aku juga mau Mimi jadi artis, beliin aku hp, Mas Aga ..., bantuin mmm." 

 

Lebay sekali Ima menangis. Seperti anak kecil meraung minta dibelikan sesuatu. Padahal punya cincin emas yang bisa dijual, lah aku, hanya anting perak dan berdaster bolong.

 

"Tuh, istrimu perhitungan, ada duit bukannya bantu adikmu malah cuek seperti nggak punya perasaan." Suara ibu terdengar lantang menyindir. Aku tetap berbaring di kamar pura-pura tidur.

 

"Lagian Ima ada emas, jual saja kenapa?" Terdengar tanggapan mas Aga. Kali ini ia membelaku.

 

"Hey Ga, pikir ya, jika perhiasan dijual, ntar Ima nggak bisa membangga lagi di warung, apa lagi sama Mpok Leha, pasti ia cari cara membuat adikmu rendah."

 

"Mpok Leha wajar punya uang banyak, suaminya baru jual tanah, jangan lihat ke atas lah, Bu."

 

"Kamu mana ngerti, pergi pagi pulang sore, kalau Ima banyak emas, setidaknya Ibu juga ikut membangga, nggak malu punya mantu pelit kayak istrimu. Coba kamu menikah dengan wanita kaya, aku nggak bakalan makan hati dengan sikap istrimu."

 

Dadaku panas mendengar ucapan ibu. Sebenarnya sudah setiap hari aku dengar ucapan pedasnya, tapi tetap saja bikin sakit dan nyesek. Aku bertekad akan kumpulin uang untuk cari kontrakkan. Seatap dengan mertua dan ipar sangat tak tenang.

 

"Pokoknya, Ima harus beli hp, kamu carikan uang dua juta, atau mau kusumpahi masuk neraka jadi anak durhaka?!"

 

"Tapi, Bu. Aku dapat uang dari mana? Gajiku Ibu tau berapa."

 

"Ibu nggak mau tau! Sana kompromi ma istrimu." Kata-kata ibu terdengar memaksa.

 

Tidak terdengar lagi perdebatan di luar. Aku tahu mas Aga memilih diam. Ibunya masih kukuh agar dicarikan uang dua juta untuk Ima. Apa dia tak mikir putranya hanya pegawai swasta dengan penghasilan pas-pasan?

 

***

 

Selesai salat magrib, aku memasak telur dadar karena Mas Aga sangat suka. Tadinya ikan gulai yang kumasak habis, tentu saja habis, Ima makan empat kali, belum lagi sekali makan ambil dua atau tiga potong ikan. 

 

"Ini, Mas," ucapku meletakkan telur dadar di dekat piring nasinya.

 

"Ya," jawab mas Aga langsung makan. Aku duduk menemani.

 

"Tia sudah makan, Mit?"

 

"Sudah, tadi makan sebelum magrib, Mas," jawabku.

 

"Gimana dengan novelmu? Ada laris?"

 

"Alhamdulillah, Mas. Lagian aku juga baru menulis, belum seberapa."

 

"Itu sistemnya transfer ya?"

 

"Iya."

 

"Emang dapat berapa kemaren?"

 

"Dua juta delapan ratus, Mas."

 

"Ooh," jawab mas Aga tetap melanjutkan makan.

 

Tumben mas Aga banyak tanya. Cara nanya pun terdengar baik. Biasanya sebelum tahu aku menulis, ia dan ibu serta Ima sering mengatai aku sok kaya karena main f******k. Bukan hanya itu, bahkan ibu mertua bilang aku puber karena meniru anak muda.

 

"Ma, lihat nih." Tiba-tiba Tia mendekat dan memperlihatkan layar ponselnya.

 

"Ini benaran?" tanyaku terkejut, bahkan sangat terkejut.

 

"Iya, Ma," jawab Tia tersenyum senang.

 

Akan tetapi, ini menjadi pusat perhatian Ima dan ibu. Mereka sedang duduk depan televisi, langsung berbisik-bisik melihat kami. Jiwa kepo mereka melunjak sepertinya.

 

"Ada apa Tia?" tanya mas Aga ke Tia.

 

"Ini, Pa, aku dibayar buat endorse sepatu joging."

 

"Benaran, Tia?" tanya Mimi terdengar lantang. Tepatnya juga terkejut.

 

"Edors tu siapa, Mi?" tanya Ima ke putrinya.

 

"Tia sudah punya pacar? Uh! Kecil-kecil bukan sekolah, hey Mita! Ajarin anakmu jauh dari zina," ucap ibu sewot.

 

Astagfirullahalazimm. Aku mengurut dada sambil menghela nafas. Ini mertua dan ipar sok tahu. 

 

"Ibu kenapa suozon, sih?" tukas suamiku.

 

"Siapa yang suozon, itu si endor pasti pacarnya Tia, jadi gini ia dibeliin hp? Biar bebas pacaran. Didikan nggak benar, sudah pelit, nggak bisa mendidik anak," cerocos ibu belum juga berhenti.

 

"Ih, Nenek, endorse ... bukan endor," bantah Mimi.

 

"Tetap aja sama, toh sama-sama nama lelaki," kata Ima sambil melirik sinis padaku.

 

"Bibi kok ngomongnya gitu? Siapa juga yang pacaran, jangan asal nuduh," ucap Tia kesal. Pantas lah ia kesal, toh itu tak benar kok.

 

"Bunda dengar dulu, Tia tu dibayar buat endorse produk yang akan dijual, kali ini barangnya sepatu joging," jelas Mimi ke Bundanya.

 

Seketika ibu dan Ima mangap dengan mata membulat. Untung tidak ada lalat masuk ke mulut mereka.

 

Aku dan Tia bertatapan sambil tersenyum.

 

"Makanya jangan suozon, kalau tidak ngerti ya ditanya dulu, ini main tuduh saja," ucapku datar. Mau keluarkan suara tinggi, tapi aku masih menghormati suamiku.

 

"Be-berarti dapat duit dong?" Ima tergagap.

 

"Iya, Bunda."

 

"Benaran Tia?" Ima melihat ke Tia.

 

"Iya, Bi. Jangan asal nuduh." Alis Tia bertaut.

 

"Kalau gitu, kamu juga harus masuk tik tok, Mi, biar dapat duit juga."

 

"Bukan hanya tik tok, Bun, Tia juga selebgram."

 

"Selebgram apaan? Salep buat dijual juga?" Kali ini ibu yang bertanya.

 

"Ha ha ha." Mimi dan Tia langsung tertawa kencang. Aku berusaha menahan tawa, begitu juga dengan suamiku. Sementara Ima melongo seperti tidak mengerti.

 

"Mimi, Tia! Sudah cukup! Maklum Nenek belum mengerti," bela mas Aga.

 

"Maaf, Pa," jawab Tia.

 

"Abis Nenek lucu, selebgram dibilang salep, Ha ha ha." Mimi mengeluarkan tawa besarnya.

 

"Selebgram itu, selebriti i*******m, jadi ada nama aplikasi selain tik tok, namanya i*******m, Bu," jelas mas Aga ke ibunya.

 

"Jadi bukan hanya artis tik tok? Ada lagi yang lain?" Ima berambisi ingin tahu.

 

"Iya, Bi, ntar kalau honorku sudah cair, Bibi aku beliin lipstik deh," kata Tia. Ia tahu kalau Ima paling suka pakai lipstik merah sepanjang hari, katanya biar seperti orang kaya dengan dandan.

 

"Benaran ya Tia, tapi bedak juga dong, sekalian deodorant juga, he he he."

 

Ini nih, Ima. Dikasih hati minta jantung. Tadi saja bilang putriku kecentilan main tik tok, trus dibilang pacaran juga. Tipe manusia berburuk sangka. Kalau tidak mengerti ya tanya, bukan main tuduh, akhirnya malu sendiri. Tapi kayaknya Ima nggak bakalan malu deh, buktinya ia minta lipstik dan deodorant juga.

 

"Tia, jika sudah terkenal, jaga sikap, terutama mulut dan hati, jangan suka berburuk sangka, dosa loh," nasehatku ke Tia. Sebenarnya menyindir ibu dan Ima. 

 

"Iya, Ma, lagian aku ingin bantu Mama dan Papa agar kita bisa punya rumah sendiri," jawab Tia sangat mengerti kondisiku di rumah ini.

 

"A-apa? Beli rumah? Emang bisa? Kok banyak amat duitnya?" tanya Ima, alisnya naik berucap dengan suara tergagap.

 

"InsyaAllah, Bi," jawab Tia disela senyum melirikku.

 

"Ntar beliin Mimi hp ya, Tia? Biar bisa terkenal sepertimu," pinta Ibu sangat lembut. Tadi menuduh dengan nada miring, lah sekarang terdengar lembut.

 

Tanpa menjawab mulut ibu dan Ima, mereka tertampar sendiri dengan kebodohan mereka. Aku sabar karena masih tinggal di rumah mertua, mau mandiri belum cukup biaya. Sabar hingga suatu saat aku bisa membeli rumah, mungkin mengontrak dulu awalnya. Mudah-mudahan.

 

***

 

Hari ini mas Aga gajian. Aku berharap besok bisa bayar hutang warung. Uangku sengaja kusimpan dulu karena itu peganganku. 

 

"Mas Aga, ini silahkan minum kopinya." Tiba-tiba Ima yang membuatkan suamiku kopi. Biasanya aku, terlambat sesaat saja, Ima sudah duluan. Tapi ..., tumben ia yang bikinin kopi?

 

"Makasi, Im," jawab mas Aga. 

 

"Iya, Mas." Ima tersenyum lebar. Lalu ia berlalu pergi ke luar dengan Mimi.

 

"Mas, tadi aku ingin bikinin kopi tapi ...."

 

"Nggak apa-apa, Mita, sama saja, yang penting aku minum kopi." Mas Aga tersenyum hangat sambil membuka sepatu.

 

Aku duduk di tepi ranjang menunggu mas Aga selesai mandi. Kusiapkan pakaian dalam serta satu stel baju rumahnya. Tak lama kemudian mas Aga masuk hanya berbalut handuk. Kamar mandi hanya satu yaitu di sudut dapur.

 

Mas Aga memakai pakaian. Lalu ia mengambil tas kerjanya.

 

"Mita, ini gajiku, tapi ...." Mas Aga menyodorkan amplop coklat, tapi ia tak melanjutkan kata-katanya.

 

"Tapi kenapa, Mas?" tanyaku menerima amplop itu.

 

Mas Aga diam menatap lantai.

 

Kubuka amplop itu. Tapi kenapa terasa sangat tipis?

 

"Loh, kok cuma tiga ratus ribu, Mas?"

 

"Kamu masih punya simpanan bukan? Lagian Tia juga punya uang sebentar lagi, bantuin aku kali ini memenuhi permintaan Ibu. Aku tak ingin melawan Ibu."

 

"Tapi nggak bisa begini, Mas, dapat apa sebulan hanya tiga ratus ribu."

 

"Pakai uangmu dulu, sudah ah, jangan ribut, aku capek." Lalu mas Aga berlalu ke luar kamar.

 

Uh! Kesal sekali. Pasti gara-gara membelikan Ima ponsel. Pantas ia yang bikini suamiku kopi. 

 

Oke, oke ..., aku tidak bisa seperti ini. Akan kuperlihatkan dengan uang tiga ratus ribu dapat apa selama sebulan, tanpa menyentuh uangku.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status