Jangan lupa vote dan komennya ya, Kak. Terima Kasih
Pov : Azka "Za, kapan sampai rumah? Kok nggak bilang ummi dulu kalau mau pulang. Nggak ada yang jemput dong jadinya," ucap ummi begitu berbinar, saat ia dapati Mas Gaza sudah duduk di sofa ruang keluarga. Sejak pagi hingga sesore ini ummi memang nggak ada di rumah, ada kegiatan dengan kawan arisannya. Sedangkan aku dan Rania baru pulang dari rumah ibu, kebetulan bertemu ummi di pertigaan gang perumahan. "Baru sampai kok, Mi. Setengah jam yang lalu," ucapnya sembari melirikku. Aku? Atau Rania? Entah! "Gimana kabarnya, Mas? Baik?" tanyaku mencoba kembali beramah-tamah padanya, meski kulihat wajahnya masih tampak tak bersahabat. Mungkin karena lelah. Mungkin juga karena memikirkan pesan yang kukirimkan padanya kemarin. Sementara Rania masih menggamit lenganku mesra. Aku laki-laki, bisa merasakan jika kini dia agak salah tingkah. Beberapa kali kutemukan matanya menatap lenganku. Tatapannya pada Rania juga sudah berubah. Tak seperti sebelum pergi ke Kairo yang terlihat jijik dan pen
Pov : Azka "Rania, aku minta maaf." Laki-laki yang wajahnya serupa denganku itu menundukkan kepalanya. Baru kali ini kudengar sebuah kata maaf keluar dari bibir itu. Biasanya, dia terlalu angkuh untuk sekadar mengakui kesalahan dan minta maaf atas kekeliruannya. Hanya alibi dan berbagai alasan yang dia ungkapkan tanpa mau introspeksi atas kesalahan yang dia lakukan. Sebuah keajaiban bisa menundukkan wajah Mas Gaza dan membuatnya minta maaf. Rania yang masih duduk di pembaringan hanya menatapnya sekilas, lalu kembali terisak di pundakku. Kedua tangannya melingkar di pinggangku, sementara tanganku masih terus mengusap punggungnya pelan. Ummi pun masih menangis di samping abah, sementara mas Alif terdiam di sofa kamar, menatap adik perempuannya dengan tatapan iba dan cinta. "Aku benar-benar minta maaf, Rania. Harusnya aku memang mendengarkan penjelasanmu dulu, bukan langsung menjatuhkan talak itu. Aku sangat
Pov : Azka "Aku sudah memenjarakan mereka, Rania. Aku sudah membuat mereka jera. Apa dengan itu, kamu sudi memaafkanku?" Pertanyaan laki-laki yang kutahu masih begitu mengharapkan Rania itu membuat dada sedikit sesak. Ada perih yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Siapalah aku dibandingkan Mas Gaza. Tak ada apa-apanya. Tak ada yang lebih istimewa. Apakah Rania benar-benar memaafkannya? Lalu ... kembali memberinya kesempatan kedua? Entah mengapa, tiba-tiba air mata ini menggenang. Bahkan aku kesulitan bernapas sekarang. "Aku berusaha melupakan semuanya, Mas. Aku terus berusaha memaafkanmu meski kamu pun tahu jika itu terlalu sulit buatku. Tapi sudahlah, bukankah kita bagian dari keluarga yang harusnya memang saling memaafkan?" Kutatap wajah Rania yang mulai tenang. Namun entah mengapa ketenangannya justru membuatku sedikit gelisah. Benarkah dia hanya sekadar memaafkan? Tak berniat untuk kembali berhubungan? Astaghfirullah ... lama-lama hati ini mulai kacau. Selalu diseli
Pov : Azka Orang bilang, tetangga adalah saudara terdekat yang seringkali menjadi orang pertama yang membantu kita saat membutuhkan pertolongan. Memang benar, karena itu pula aku selalu berusaha untuk berbuat baik pada siapa pun, apalagi pada tetangga. Tak suka berbuat ulah, ghibah, atau pun ribut dengan mereka. Namun, entah mengapa kurasakan sikap mereka cukup berbeda akhir-akhir ini. Tak ada tanya atau pun sapa saat aku di depan kontrakan bersama Rania, yang ada justru tatapan sinis yang mereka lakukan. Sering kali bisik-bisik nggak jelas lalu menatap kami bergantian. Bahkan saat ada abang sayur lewat, mereka suka bergerombol lalu melirik ke arah kami hingga aku semakin yakin jika aku dan Rania memang sedang menjadi bahan perbincangan. Aku juga tak paham kesalahan apa yang sudah kulakukan hingga membuat mereka seperti ini. Padahal sebelumnya begitu ramah, baik dan sering menyapa tiap kali aku akan berangkat ke outlet martabak cinta. "Mas, sepertinya tetangga kita mulai aneh,
POV : GAZA Malam semakin larut. Denting jarum jam terdengar begitu kerasnya, seolah memang sengaja menemani malam gulita. Sejak dua jam lalu membaringkan badan di tempat tidur, mata tak bisa diajak kerjasama. Ingin rasanya terlelap, melepas semua beban di dada namun nyatanya sia-sia. Sesak itu semakin lama semakin begitu terasa. Kupikir, keputusanku untuk memilih tinggal di sini bersama ummi dan tak melanjutkan study di Kairo adalah keputusan yang tepat. Aku bisa dekat dengan ummi lagi dan yang paling penting bisa mencuri kembali hati Rania. Dia yang pada akhirnya harus terpaksa menerima lamaran Azka, daripada menanggung malu atas talakku di malam pertama itu. Aku bisa memastikan jika Rania terpaksa menerima lamaran Azka untuk menutupi semuanya. Setidaknya agar kabar buruk itu tak terus mengudara dan membuat keluarga malu di depan banyak orang. Aku percaya ada sebuah keterpaksaan di sana. Tak mungkin secepat itu Rania menambatkan hatinya untuk laki-laki lain selain aku bukan? Apala
Detik ini, Ummi terlihat rapi dengan gamis dan hijabnya yang senada. Cinta pertamaku di dunia itu terlihat semringah saat menghampiriku di sofa ruang tengah. "Ummi, tumben pagi-pagi cerita begini." Aku mulai menyelidik. Tak biasanya Ummi sesemangat ini mengawali hari. "Iya, dong. Selalu ceria biar awet muda," balasnya dengan senyum tipis sembari membenarkan pucuk hijabnya yang sedikit berantakan. "Sekarang antar ummi ke rumah ibu," ucap Ummi lagi setelah memperbaiki penampilannya. Pagi ini Ummi benar-benar berbeda. Bisa kubilang terlalu bersemangat. Entah kabar apa yang dikatakan Azka padanya, sampai berhasil membuat ummi terlihat begitu bahagia. Aku benar-benar cemburu melihat Ummi mulai dekat dengan saudara kembarku itu. Aku cemburu. Aku pun tak paham dengan hatiku sendiri, mengapa selalu saja cemburu bila melihat kebahagiaan Azka. Padahal selama ini, dia jarang sekali terlihat bahagia. Selalu aku yang diutamakan dan dinomorsatukan ummi dalam hal apa pun. Aku pula yang selalu b
POV : RANIA "Ya Allah, kamu pucat sekali, Dek. Dari pagi mual-mual terus, mas suapin bubur kacang hijau, ya? Tadi sudah mas masakin, kalau misal kurang enak maaf ya, Dek. Harap dimaklumi," ucap Mas Azka sembari tersenyum kecil sedangkan tangan kanannya menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tak gatal. "Makasih banyak ya, Mas. Kamu sudah serepot ini sampai masak bubur segala. Kalau kamu yang masak, nggak enak pun akan terasa nikmat, Mas." Aku kembali memuji sembari tersenyum tipis. Selama menjadi istrinya, aku selalu berusaha menyenangkan hatinya. Aku sudah berjanji pada diri sendiri akan membuat hidupnya lebih berwarna meski dengan segala keterbatasan yang ada. Aku tak pernah mencela apapun yang dia hidangkan untukku, sesederhana apapun itu. Aku sangat menghargai apapun yang diusahakannya karena kutahu semua yang dia lakukan selalu penuh cinta. "Kalau begitu makan biar badanmu nggak lemas ya, Dek?" Mas Azka kembali merayu. Namun, lagi-lagi aku hanya membalasnya dengan senyum t
IZINKAN AKU MENCINTAIMU |Azka, kamu ini gimana? Sudah tahu Rania hamil muda. Kenapa malam-malam begini diajak jalan-jalan ke alun-alun kota? Pakai vespa pula! Bagaimana ummi nggak khawatir kalau kamu seperti ini? Nggak ada tanggungjawabnya sama sekali. Atau kamu memang sengaja supaya cucu ummi kenapa-napa?|Pesan itu akhirnya terbaca juga oleh Mas Azka, setelah dia kembali dari toilet sekalian salat isya di masjid sebelah, katanya. Kulihat wajahnya berubah masam seketika. Mungkin dia lelah dan kecewa mendapatkan pesan seperti itu tiba-tiba, di saat aku dan dia baru saja ingin menikmati momen bersama. Perlahan air matanya menitik namun dengan cepat disekanya. Lelakiku yang sederhana itu pun menghembuskan napas panjang, entah apa yang dia ketikkan di sana namun sepertinya cukup panjang. Aku juga tak berani mencuri pandang hanya sesekali menatapnya yang terlihat ada duka di sana. "Siapa, Mas?" tanyaku pura-pura tak tahu. Kutatap wajah Mas Azka yang berubah, sok baik-baik saja. Seperti