Pov : Azka
Kisah cintaku dimulai dari sini. Saat aku berhasil membuat wajahnya yang ayu tampak malu-malu. Senyum manis itu pun mengembang di kedua sudut bibir tipisnya.
Rania ...
Perlahan dia berani membuka hijab yang selama ini menutupi rambut panjangnya. Wangi shampo menguar ke penciuman hingga membuatku terhanyut dalam dekap cintanya yang menenangkan dan menyenangkan.
Dalam keletihan, kupandangi wajahnya yang begitu mempesona. Dia adalah salah satu anugerah terindah dariNya dalam hidupku. Dia mampu membalut sedikit demi sedikit hatiku yang penuh luka dengan tawa.
Dia mampu menyirami jiwaku yang penuh duka dengan kelembutan dan cintanya yang tak biasa. Sederhana tapi sangat terasa dalam dada.
Sejak ada dia dalam hidupku, tiap denting waktu terasa begitu istimewa. Senyumnya ... tawanya ... kelembutannya ... dan semua yang ada pada dia begitu membuatku tergi°a-gi°a.
Sejak ada dia, ada kenikmatan berbeda tiap kali kumembuka mata
POV : Gaza Pikiranku mendadak kacau sejak membaca pesan panjang yang dikirimkan Azka. Sahabat-sahabatku yang sengaja menghancurkan pernikahanku dengan Rania? Benarkah? Kali ini bercandanya memang benar-benar kelewatan. Bagaimana mungkin persahabatan yang selama ini aku genggam erat bisa dijadikannya lelucon murahan. Tapi ... bukankah selama ini Azka memang hampir tak pernah bercanda? Apalagi denganku?Jadi gimana? Apa benar dua diantara ketiga sahabatku itu dalang dari ini semua? |Mas Gaza, baiknya kamu tanyakan sendiri apa yang sudah dua sahabatmu lakukan pada Rania. Sahabat yang begitu kamu percaya ternyata menusukmu dari belakang.| Dua sahabatku. Siapakah itu? Ahdan dengan Windy? Windy dengan Yoanda? Ahdan dengan Yoanda atau siapa diantara mereka yang sudah bersekongkol menghancurkanku? Kepala mendadak pusing memikirkan semuanya. Mereka benar-benar kelewatan jika memang ucapan Azka benar adanya. Kurang apa aku sebagai sahabat? Tiap ke makan atau ke mall, selalu aku yang ke
Pov : Azka "Za, kapan sampai rumah? Kok nggak bilang ummi dulu kalau mau pulang. Nggak ada yang jemput dong jadinya," ucap ummi begitu berbinar, saat ia dapati Mas Gaza sudah duduk di sofa ruang keluarga. Sejak pagi hingga sesore ini ummi memang nggak ada di rumah, ada kegiatan dengan kawan arisannya. Sedangkan aku dan Rania baru pulang dari rumah ibu, kebetulan bertemu ummi di pertigaan gang perumahan. "Baru sampai kok, Mi. Setengah jam yang lalu," ucapnya sembari melirikku. Aku? Atau Rania? Entah! "Gimana kabarnya, Mas? Baik?" tanyaku mencoba kembali beramah-tamah padanya, meski kulihat wajahnya masih tampak tak bersahabat. Mungkin karena lelah. Mungkin juga karena memikirkan pesan yang kukirimkan padanya kemarin. Sementara Rania masih menggamit lenganku mesra. Aku laki-laki, bisa merasakan jika kini dia agak salah tingkah. Beberapa kali kutemukan matanya menatap lenganku. Tatapannya pada Rania juga sudah berubah. Tak seperti sebelum pergi ke Kairo yang terlihat jijik dan pen
Pov : Azka "Rania, aku minta maaf." Laki-laki yang wajahnya serupa denganku itu menundukkan kepalanya. Baru kali ini kudengar sebuah kata maaf keluar dari bibir itu. Biasanya, dia terlalu angkuh untuk sekadar mengakui kesalahan dan minta maaf atas kekeliruannya. Hanya alibi dan berbagai alasan yang dia ungkapkan tanpa mau introspeksi atas kesalahan yang dia lakukan. Sebuah keajaiban bisa menundukkan wajah Mas Gaza dan membuatnya minta maaf. Rania yang masih duduk di pembaringan hanya menatapnya sekilas, lalu kembali terisak di pundakku. Kedua tangannya melingkar di pinggangku, sementara tanganku masih terus mengusap punggungnya pelan. Ummi pun masih menangis di samping abah, sementara mas Alif terdiam di sofa kamar, menatap adik perempuannya dengan tatapan iba dan cinta. "Aku benar-benar minta maaf, Rania. Harusnya aku memang mendengarkan penjelasanmu dulu, bukan langsung menjatuhkan talak itu. Aku sangat
Pov : Azka "Aku sudah memenjarakan mereka, Rania. Aku sudah membuat mereka jera. Apa dengan itu, kamu sudi memaafkanku?" Pertanyaan laki-laki yang kutahu masih begitu mengharapkan Rania itu membuat dada sedikit sesak. Ada perih yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Siapalah aku dibandingkan Mas Gaza. Tak ada apa-apanya. Tak ada yang lebih istimewa. Apakah Rania benar-benar memaafkannya? Lalu ... kembali memberinya kesempatan kedua? Entah mengapa, tiba-tiba air mata ini menggenang. Bahkan aku kesulitan bernapas sekarang. "Aku berusaha melupakan semuanya, Mas. Aku terus berusaha memaafkanmu meski kamu pun tahu jika itu terlalu sulit buatku. Tapi sudahlah, bukankah kita bagian dari keluarga yang harusnya memang saling memaafkan?" Kutatap wajah Rania yang mulai tenang. Namun entah mengapa ketenangannya justru membuatku sedikit gelisah. Benarkah dia hanya sekadar memaafkan? Tak berniat untuk kembali berhubungan? Astaghfirullah ... lama-lama hati ini mulai kacau. Selalu diseli
Pov : Azka Orang bilang, tetangga adalah saudara terdekat yang seringkali menjadi orang pertama yang membantu kita saat membutuhkan pertolongan. Memang benar, karena itu pula aku selalu berusaha untuk berbuat baik pada siapa pun, apalagi pada tetangga. Tak suka berbuat ulah, ghibah, atau pun ribut dengan mereka. Namun, entah mengapa kurasakan sikap mereka cukup berbeda akhir-akhir ini. Tak ada tanya atau pun sapa saat aku di depan kontrakan bersama Rania, yang ada justru tatapan sinis yang mereka lakukan. Sering kali bisik-bisik nggak jelas lalu menatap kami bergantian. Bahkan saat ada abang sayur lewat, mereka suka bergerombol lalu melirik ke arah kami hingga aku semakin yakin jika aku dan Rania memang sedang menjadi bahan perbincangan. Aku juga tak paham kesalahan apa yang sudah kulakukan hingga membuat mereka seperti ini. Padahal sebelumnya begitu ramah, baik dan sering menyapa tiap kali aku akan berangkat ke outlet martabak cinta. "Mas, sepertinya tetangga kita mulai aneh,
POV : GAZA Malam semakin larut. Denting jarum jam terdengar begitu kerasnya, seolah memang sengaja menemani malam gulita. Sejak dua jam lalu membaringkan badan di tempat tidur, mata tak bisa diajak kerjasama. Ingin rasanya terlelap, melepas semua beban di dada namun nyatanya sia-sia. Sesak itu semakin lama semakin begitu terasa. Kupikir, keputusanku untuk memilih tinggal di sini bersama ummi dan tak melanjutkan study di Kairo adalah keputusan yang tepat. Aku bisa dekat dengan ummi lagi dan yang paling penting bisa mencuri kembali hati Rania. Dia yang pada akhirnya harus terpaksa menerima lamaran Azka, daripada menanggung malu atas talakku di malam pertama itu. Aku bisa memastikan jika Rania terpaksa menerima lamaran Azka untuk menutupi semuanya. Setidaknya agar kabar buruk itu tak terus mengudara dan membuat keluarga malu di depan banyak orang. Aku percaya ada sebuah keterpaksaan di sana. Tak mungkin secepat itu Rania menambatkan hatinya untuk laki-laki lain selain aku bukan? Apala
Detik ini, Ummi terlihat rapi dengan gamis dan hijabnya yang senada. Cinta pertamaku di dunia itu terlihat semringah saat menghampiriku di sofa ruang tengah. "Ummi, tumben pagi-pagi cerita begini." Aku mulai menyelidik. Tak biasanya Ummi sesemangat ini mengawali hari. "Iya, dong. Selalu ceria biar awet muda," balasnya dengan senyum tipis sembari membenarkan pucuk hijabnya yang sedikit berantakan. "Sekarang antar ummi ke rumah ibu," ucap Ummi lagi setelah memperbaiki penampilannya. Pagi ini Ummi benar-benar berbeda. Bisa kubilang terlalu bersemangat. Entah kabar apa yang dikatakan Azka padanya, sampai berhasil membuat ummi terlihat begitu bahagia. Aku benar-benar cemburu melihat Ummi mulai dekat dengan saudara kembarku itu. Aku cemburu. Aku pun tak paham dengan hatiku sendiri, mengapa selalu saja cemburu bila melihat kebahagiaan Azka. Padahal selama ini, dia jarang sekali terlihat bahagia. Selalu aku yang diutamakan dan dinomorsatukan ummi dalam hal apa pun. Aku pula yang selalu b
POV : RANIA "Ya Allah, kamu pucat sekali, Dek. Dari pagi mual-mual terus, mas suapin bubur kacang hijau, ya? Tadi sudah mas masakin, kalau misal kurang enak maaf ya, Dek. Harap dimaklumi," ucap Mas Azka sembari tersenyum kecil sedangkan tangan kanannya menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tak gatal. "Makasih banyak ya, Mas. Kamu sudah serepot ini sampai masak bubur segala. Kalau kamu yang masak, nggak enak pun akan terasa nikmat, Mas." Aku kembali memuji sembari tersenyum tipis. Selama menjadi istrinya, aku selalu berusaha menyenangkan hatinya. Aku sudah berjanji pada diri sendiri akan membuat hidupnya lebih berwarna meski dengan segala keterbatasan yang ada. Aku tak pernah mencela apapun yang dia hidangkan untukku, sesederhana apapun itu. Aku sangat menghargai apapun yang diusahakannya karena kutahu semua yang dia lakukan selalu penuh cinta. "Kalau begitu makan biar badanmu nggak lemas ya, Dek?" Mas Azka kembali merayu. Namun, lagi-lagi aku hanya membalasnya dengan senyum t