"Tolong buatkan Nita Teh hangat, ya. Perut Nita sakit," ucapnya.Entah dapat keberanian darimana. Aku mendekati Nita, lalu menempelkan punggung tanganku ke dahinya.Panas. Itu yang kurasakan."Apa kita ke rumah sakit saja, Nit?" tanyaku padanya.Nita hanya diam tak menjawab pertanyaanku."Mpok tadi sore sudah belikan obat kan untuk Nita?" tanya Nita tak menghiraukan pertanyaanku. Ia bahkan menjauhkan tanganku dari dahinya."Sudah, Non ... eh maksud saya Nyonya," jawab Mpok Wati terdengar gugup.Ia datang sambil meletakkan dua cangkir teh hangat. Satu untuk Nita dan satu lagi untukku."Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" Aku menarik lengannya. Namun dihempaskan Nita dengan kasar.Nita meminum Teh hangat yang sudah dibuatkan Mpok Wati. Bahkan menoleh pun tidak padaku. Saat sakit pun dia masih saja berkelakuan aneh-aneh.Cewek emang gini kali ya, suka sekali cari masalah. Dicuekin marah, diperhatiin pun juga marah. Dasar aneh!Mpok Wati menatapku dengan pandangan sendu."Nyonya mau makan
Tidurku sangat nyenyak tadi malam. Sampai-sampai tak terdengar suara apapun. Aku bangun dengan agak tergesa.Kuperhatikan sekelilingku, mencari sosok yang tak kulihat dari tadi "Ke mana Nita," gumamku. Karena tak melihat keberadaannya di sini. Aku bergegas ke luar kamar dan mencari keberadaan Nita.Sepi, rumah ini seperti tak ada yang mendiami, karena masing-masing sibuk dengan kerjaannya."Mpok!""Mpok!!" panggilku untuk ke dua kalinya.Namun tak juga kudapatkan jawaban dari Mpok Wati."Mpok Wati ke mana, ya?" tanyaku pada diri sendiri."Nita!" teriakku.Sama, Nita juga tak menyahut ketika aku memanggil namanya.Tak ingin terlalu pusing memikirkannya, aku memilih untuk pergi ke kamar mandi, bergegas untuk berangkat bekerja.Saat memasuki kamar, kakiku terhenti ketika melihat pakaian yang sudah disiapkan Nita di atas tempat tidur."Ah, akhirnya dia menyiapkan pakaian juga untukku. Kupikir dia tetap mempertahankan sikap egoisnya itu. Untung saja," ujarku sambil menghela napas pelan.A
"Nyonya pergi?" tanya Mpok Wati balik dengan raut wajah yang terlibat linglung."Tuan apakan Nyonya tadi malam, kenapa Nyonya pergi, Tuan!" teriak Mpok Wati padaku.Aku terkejut mendengar penuturannya.Mpok Wati terlihat menangis, ia menyeka air mata yang membasahi pipi keriputnya."Kau apakan lagi Nyonya, Tuan. Belum cukup kau lukai mentalnya, belum cukup kau menyakiti hatinya! Nyonya lagi hamil, Tuan!" bentak Mpok Wati padaku.Aku semakin kalang kabut, tak tau harus berbuat apa.Baru kali ini aku melihat Mpok Wati semarah ini padaku.Memang kuakui, Mpok Wati sangat menyayangi Nita, bahkan Nita juga sudah menganggap Mpok Wati sebagai ibunya di sini."Kau apakan dia, Tuan?" tanya Mpok Wati dengan suara melemah. Ia memegang lenganku, aku hanya bisa terdiam melihatnya yang menangis."Mpok, saya tidak melakukan apapun padanya. Saya tidak menyakitinya tadi malam," bantahku atas tuduhan Mpok Wati."Lalu kenapa Nyonya pergi begitu saja. Tidak mungkin dia pergi tanpa alasan!" bentak Mpok Wat
***Aku pergi ke kantor dengan perasaan yang tak dapat digambarkan."Pak!" Aku tersentak saat Sarah memanggil namaku."Ada apa?" tanyaku padanya."Katanya kau tidak hadir hari ini," ujarnya."Mau aku hadir atau tidak itu bukan urusanmu. Sekarang yang penting, kau kerjakan saja pekerjaan milikmu secepatnya!" tegasku."Baiklah, Pak. E+em kita ada pertemuan lagi hari ini," jawab Sarah pelan."Batalkan saja!" ucapku dingin."T-tapi, Pak!" Aku langsung menatapnya tajam sebelum saran berbicara terlalu panjang."Kamu tidak dengar apa yang saya perintahkan, hah!" bentakku padanya."B-baik, Pak. Akan saya lakukan," ujar Sarah lagi.Kegiatanku hanya melamun, melamun dan melamun.Tok! Tok! Tok!Pintu diketuk dari luar."Apalagi sih, Sarah! Sudah saya bilang kan tadi!!" bentakku.Pintu ruangan lalu terbuka dan menampilkan Aryo di sana dengan wajah menyebalkannya."Marah lu sama gue? Kayak anak kecil aje," ledeknya sambil berjalan mendekatiku.Aku lalu memgembuskan napas kasar, kupikir tadi adala
"Astaga!! Kalian ngapain!" Sarah tiba-tiba muncul dari balik pintu dan berteriak dengan keras.Brugh!Aryo mendorongko hingga tubuhku mengenai dinding ruangan."Gue kayak gini bukan karena nggak care sama lo! Justru gue kayak gini biar rumah tangga lu baik-baik aja. Lu nggak tau kan, gimana jadi anak broken home. Hidup tanpa seorang Ayah! Dan gue nggak mau itu terjadi pada anak lu! Ngerti lu!" Jari telunjuk Aryo mengarah ke arahku.Dia merapikan bajunya yang sempat berantakan.Aku hanya terdiam sambil membersihkan darah yang mengalir dari sudut bibirku."Lu nggak tau rasanya kehilangan orang yang disayang! Nita itu anak yatim, dia cuma punya lu buat ngelindungin dia! Lu sendiri yang cerita ke gue kalo Ibu Nita udah berumur dan Nita nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini! Harusnya lu sebagai suami bisa membimbing dia, memberikan perlindungan terbaik buat dia! Lu nggak bakal ngerti rasanya jadi Nita dan gue, Mar, karena hidup lu penuh dengan kebahagiaan!" Aryo menepuk dadanya. Aku me
***Tok! Tok! Tok!Baru saja kupikirkan orang itu kembali lagi masuk ke dalam ruanganku."Ada apa lagi, Sarah?" tanyaku. Begitu pun Aryo pandangannya langsung beralih pada Sarah."Bu Nita ke mana, Pak?" Sarah mendekat dan tiba-tiba langsung bertanya seperti itu Aryo menyenggol lenganku. Mengisyaratkan agar aku cepat menyuruhnya pergi dari sini "Ada," jawabku singkat."Nita pergi dari rumah 'kan, Aku tadi sudah mendengar pembicaraan kaliaan. Benar, 'kan, pasti Nita pergi dari rumah?" tanyanya lagi yang membuatku ingin memasukkan tisu ke dalam mulutnya."Bukan urusanmu." Aku lalu memijat kepala yang mulai berdenyut."Saya bisa menemani Bapak malam ini, jika Bapak merasa kesepian," jawabnya yang membuat mataku membulat sempurna.Aryo tertawa. Aku menatapnya yang sedang menatap Sarah dari atas hingga bawah. "Kamu masih punya harga diri?" Pertanyaan Aryo seperti pedang yang menusuk.Sarah menatap Aryo tajam, lalu tersenyum miring."Kenapa? Toh saya dan Damar pernah menjalin hubungan. Bah
Pikiranku benar-benar tak karuan. Masalah datang silih berganti.Kubuku laci meja kerjaku. Di sana ada foto pernikahanku dan Nita.Nita nampak cantik dengan senyuman di raut wajahnya.Aku merasa aneh dengan diriku sendiri, kadang merasa sedih dengan kepergiannya. Namun kadang juga merasa marah, saat merasa ia menyebabkan masalah yang terjadi dalam kehidupanku."Apa gue ke rumah ibunya Nita aja, ya," ucapku berpikir keras sambil mengetuk daguku."Tapi dari rumahku ke kampung halaman Nita itu jauh banget, perlu waktu berjam-jam untuk sampai ke sana," gumamku lagi."Ya udah deh nggak papa, yang penting gue bisa nemuin Nita." Lagi, aku bergumam sendiri.Setelah itu aku bergegas untuk pulang terlebih dahulu. Dan bersiap-siap untuk pergi ke kampung halaman Nita.****Aku membunyikan bel rumah.Klek!Pintu terbuka, menampilkan Mpok Wati dengan raut wajahnya yang tak lagi menampakkan senyum kebahagiaan."Assalamualaikum, Mpok!" salamku.Mpok Wati sempat tertegun saat aku mengucap salam.Aku a
****"Jauh nggak dari rumah lu?" tanya Aryo saat kami sedang dalam perjalanan."Lumayan, butuh waktu sekitar sepuluh jam-an buat sampai ke kampung Nita," jawabku masih fokus dengan jalan di depan."Lumayan juga ya," sahutnya pelan."Lu tau darimana gue mau ke kampung halaman Nita." Aku meliriknya sebentar lalu kembali fokus terhadap jalanan yang lenggang.Aryo sempat terdiam menikmati musik yang kumainkan."Nggak sengaja dengar waktu gue mau pergi dari kantor lu," jawab Aryo. Ia lalu bersenandung kecil, sambil memejamkan matanya."Oh begitu, berarti tadi lu nggak langsung pulang gitu?" tanyaku padanya."Semarah apapun gue sama lu yang namanya sahabat bakalan selalu ada di dalam suka maupun duka, paham lu," tuturnya tanpa menatapku.Aku terdiam mendengarnya. Kami berdua lalu fokus dengan pikiran masing-masing. Aku memikirkan Nita, sedangkan Aryo tertidur.Setelah empat jam perjalanan, aku menghentikan mobil di pinggir jalan dekat warung soto."Kenapa berhenti?" tanya Aryo padaku. Ia ce