Share

TIGA

Ini sudah hari ketiga setelah Sarala membuka matanya, dia dipindahkan ke ruang ICU dengan segera. Beberapa dokter spesialis sering mengunjungi ruang ICU untuk mengecek keadaan wanita itu, dari luar ruang ICU setiap pulang dari bekerja Kelam akan datang dan memandang istrinya dari balik kaca.

“Bu Nilakandi sudah bisa membuka mata dan bernapas sendiri, sudah tidak membutuhkan lagi alat bantu. Kaki dan tangannya sedikit demi sedikit sudah bisa digerakkan, namun suaranya masih belum jelas terdengar.” Kata salah satu suster menjelaskan, penjelasan itu berubah-ubah setiap harinya mengikuti perkembangan Sarala, dan untungnya setiap hari ada hal-hal baik yang terjadi pada diri Sarala.

Kelam ingin segera menemui istrinya, dia tahu benar Sarala juga merindukannya.

Dia bisa melihat istrinya belajar memberikan isyarat untuk hal-hal kecil seperti meminta minum atau lap, suara Sarala belum sepenuhnya keluar dan terkadang dia terlihat kebingungan. Benturan keras di kepalanya benar-benar seperti membuat dirinya begitu kepayahan sekarang.

“Hasil MRI menunjukkan ada keanehan di bagian otak bu Nilakandi..” Kata dokter di suatu petang, kala itu hari ketujuh setelah Sarala membuka mata dan berada di ICU. Kelam baru saja pulang dari urusan bisnis diluar kota, setelah istrinya membuka mata dan mengalami penyembuhan yang cukup pesat, Kelam sedikit merasa ringan dan kembali berusaha membagi waktunya untuk pekerjaan, Sarala serta Soga yang masih di rumah.

“Keanehan?” Kelam bertanya, tidak mengerti maksud arah pembicaraan sang dokter.

“Saya belum tahu pasti, tapi hari ini bu Nilakandi sudah boleh pindah ke ruang rawat. Sebaiknya bapak menemui dulu istri bapak, sehingga kami bisa memantau perkembangannya.”

Kelam tidak mengerti tapi dia berusaha membantu dokter agar bisa terus memberikan yang terbaik untuk istrinya.

Dia menunggu di dalam ruang rawat ketika kasur dorong datang, Sarala terlentang disana menatap langit-langit, infusan masih menempel di lengannya. Para suster mengatur tempat tidur wanita itu dan tiga dokter masuk ke dalam ruang rawat inap.

“Bu Nilakandi, ibu sudah masuk ke dalam ruang rawat inap.” Kata salah satu suster pada Sarala.

Wanita itu menatap si suster lekat-lekat.

“Terima kasih ya,” Ucapnya pelan sambil tersenyum tipis.

Ada perasaan lega di dada Kelam, dia bisa mendengar suara istrinya lagi. Melihat bagaimana para suster dan Sarala berinteraksi dengan baik, dia tidak melihat ada yang salah dengan istrinya.

Para dokter memberikan aba-aba padanya untuk mendekat.

Kelam mengambil langkah kecil, ada perasaan gemetar dan takut serta bahagia. Istrinya sudah melewati masa sulit, masa kritis yang dia takutkan sudah berlalu ini saatnya dia fokus pada pemulihan sang istri dan kembali pulang.

“Ala…” Panggilnya lembut, dia mendekat, menatap wanita yang berada di depannya.

Sarala, menatap Kelam lekat.

Matanya beradu pandang, menyelami bola mata hitam milik Kelam. Mata bulat itu mengedip, kini arah pandangnya beralih kepada para dokter dan suster.

Kelam menghentikan langkahnya, “Ala….” Panggilnya lagi.

Wanita itu masih menatapnya kemudian melemparkan pandangan ke segala arah, “Maaf, anda siapa?”

Kelam mematung, jantungnya seperti jatuh ke bawah seketika. Dia terdiam.

“Maaf, anda siapa?” Pertanyaan itu kembali terulang, Sarala masih menatapnya. Asing.

Begitu asing sampai-sampai Kelam merasa malu sendiri.

“Bu Nilakandi, ibu tidak mengenal pria ini?” Tanya salah satu dokter, mendekat kearah Sarala dan menunjuk Kelam.

Wanita itu menggeleng.

“Kelam. Pak Kelam Baja Birendra.” Ujar dokter itu lagi.

Sarala masih terdiam, wajahnya kebingungan, dia menggeleng lagi, “Apa…saya harus kenal dia siapa?” Katanya.

Kelam menatap Sarala penuh keterkejutan, dia mundur dan meninggalkan ruangan rawat inap. Peluhnya mendadak mengucur begitu saja padahal ruangan full AC, jantungnya berdegup dengan kencang, dan dia bisa merasakan kepalanya dipenuhi dengan gas yang membuatnya tidak tahu apakah yang barusan terjadi benar atau hanya khayalannya saja.

Salah satu dokter menghampirinya, mengucapkan banyak kalimat yang kini tidak bisa Kelam dengar karena keterkejutan masih ‘memakan’nya.

“Pak Kelam?”

Sadarnya kembali, dia menatap dokter yang juga menatapnya penuh rasa kasihan. Dia menelan ludahnya, berusaha lebih fokus lagi dan meminta dokter untuk mengulang apa yang sudah dia jelaskan. Dokter itu menghela napas dan kembali menjelaskan bahwa memang benar adanya benturan keras yang terjadi di area kepala namun ketika operasi dokter tidak menemukan ada tanda-tanda kemungkinan mengalami hilang ingatan. Kondisi Sarala sendiri memang cukup parah di bagian kepala. Dokter berkata ada kemungkinan itu adalah bentuk pertahanan tubuhnya karena trauma.

“Apa mungkin sampai dia tidak bisa mengenali saya?” Tanya Kelam. Dokter berkata bahwa setiap orang yang mengalami hilang ingatan atau amnesia biasanya tidak mengingat beberapa orang atau bahkan tidak bisa membedakan tahun bahkan hari.

“Kebanyakan, hanya melupakan hari dimana dia kecelakaan seperti anak pak Kelam, Soga.”

Kelam masih terdiam. Sampai saat ini Soga sendiri memang kehilangan sebagian memorinya, dan benar apa yang dokter jelaskan kebanyakan dia tidak ingat apa yang terjadi. Dia hanya ingat sampai bagian Sarala mengantarnya sampai pintu gerbang, melambaikan tangan dan berjanji padanya akan menjemputnya bersama Kelam.

“Dokter, memori istri saya….Kini sedang dimana?”

“Bu Nilakandi, bisa saya tanya usia bu Nilakandi dan nama lengkapnya?” Salah satu dokter bertanya dengan lembut pada Sarala yang kini memandang bingung sekelilingnya, dua dokter dan tiga perawat ada di kanan serta kirinya sedangkan Kelam berdiri cukup jauh menghindari pandangan Sarala.

“S..Saya Nilakandi Sarala. Panggilan saya, Sarala, Ala. Usia saya, 20 tahun.” Dia menjawab dengan takut-takut, suaranya pelan hampir tidak terdengar.

Dari sudut ruangan Kelam bisa mendengarnya dengan jelas.

20 tahun.

“Bu Nilakandi sudah menikah?” Tanya dokter lagi.

Sarala mengangguk, para dokter sedikit terkejut dengan hal itu, mereka saling menatap.

“Bisa sebutkan siapa suami ibu?”

“Gandaria. Gandaria Wijaya.”

Dan seluruh ruangan menahan napasnya. Kelam terdiam, hatinya sudah tidak karuan, mendengar nama itu disebut lagi oleh istrinya membuatnya tidak sanggup untuk mengatakan apapun. Ingatan Sarala berhenti di usianya yang ke 20 tahun, usia dimana dia dan mantan suaminya Gandaria baru saja menikah.

“Suami saya, dimana ya? Kenapa selama saya disini dia tidak datang?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Sarala, membuat hati Kelam begitu sakit.

15 tahun.

Ingatan wanita itu mundur ke 15 tahun sebelum mereka saling mengenal. Ingatan yang mungkin bagi Sarala adalah ingatan paling membahagiakan untuknya kala itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status