Pernikahannya dengan Sarala bukanlah yang pertama untuk perempuan itu, jauh sebelum bertemu dengannya dia pernah menjalin sebuah pernikahan selama lima tahun bersama kekasih masa sekolahnya. Gandaria Wijaya. Kecelakaan itu membuat Sarala kembali disaat dia dan Gandaria masih baru saja menikah, dia tidak mengingat Kelam bahkan buah hatinya, Soga.
Dokter menyarankan agar Kelam tidak menemui Sarala terlebih dahulu, melihat bagaimana terkejutnya Sarala melihat Kelam yang tidak dia kenali membuat dokter membuat keputusan seperti itu. Dia tidak ingin kondisi pasiennya semakin memburuk.
Jadi, Kelam menitipkan Sarala kepada bi Miah. Dia hanya akan menunggu hasil.
Nyatanya menunggu tidak mudah. Ada banyak hari dimana Kelam ingin melangkah masuk ke dalam Rumah Sakit tapi dia mengurungkan niatnya dan hanya diam didalam mobil, menelepon Bi Miah untuk diam-diam melihat perkembangan istrinya dalam video call.
“Bu Ala sudah bisa makan pak.” Kata Bi Miah setelah kini hampir dua bulan Sarala ada di Rumah Sakit.
“Bu Ala belum tahu kalau dia sedang mengandung pak, kata dokter harus pelan-pelan kasih penjelasannya.” Bi Miah berkata di ujung telepon.
Semakin hari, info yang diberikan semakin membuat hati Kelam tak karuan. Wanita itu terus menerus bertanya kapan suaminya akan datang, mempertanyakan kenapa suaminya tidak menjenguknya sama sekali.
Suami yang dia maksud adalah, Gandaria.
Dia tidak peduli kondisinya yang tidak bisa berjalan karena kakinya patah dan butuh terapi, yang dia hanya pikirkan hanyalah pria itu. Pria yang dulu pernah begitu dia cintai dan juga dia benci di kemudian hari.
Hari ini, Sarala sudah dinyatakan pulih meskipun dia masih harus di kursi roda selama satu bulan ke depan dan melakukan terapi di Rumah Sakit dua kali dalam seminggu. Dokter meminta Kelam datang, menjelaskan bagaimana perkembangan fisik Sarala namun masih tidak bisa memberikan kepastian kapan ingatan wanita itu kembali.
“Kami tidak bisa memastikan, ingatan akan pulih seiring berjalannya waktu. Pak Kelam hanya harus bersabar.”
“Sampai kapan? Dia terus bertanya tentang mantan suaminya pada orang-orang di sekitarnya padahal sekarang saya adalah suaminya.” Ujar Kelam, menahan rasa marahnya yang seharusnya tidak dia lempar pada dokter yang sudah berusaha sebisa mungkin memulihkan keadaan istrinya.
Bukankah seharusnya dia sudah harus merasa bersyukur karena istrinya masih bisa selamat dari masa-masa kritis dan hampir mati?
Iya.
Tapi tidak jika Sarala harus melupakannya.
Kelam mencengkram bajunya kuat-kuat. Dia kesal, dia benci, tapi di lain sisi dia juga merasa bersyukur karena Tuhan memberikan kesempatan sekali lagi padanya untuk bersama Sarala.
“Saya harap pak Kelam harus berhati-hati untuk menjelaskan, terutama mengenai kehamilan bu Sarala.” Dokter mengatakan hal terakhir yang ingin mereka katakan.
Kelam menutup pintu dan berjalan menjauh dari ruangan dokter, lorong terasa sangat begitu panjang ketika pikiran berkecamuk penuh di kepalanya. Ada banyak skenario yang tengah dia susun disana, apakah dia harus secara terang-terangan mengatakan pada Sarala kalau dia adalah suaminya, ataukah dia harus mengingatkan kembali apa yang terjadi pada pernikahan Sarala bersama Gandaria?
Ada banyak pilihan tapi dia begitu takut untuk memilih satu.
Dia tidak ingin Sarala shock.
Dia berjalan mendekat kearah pintu kamar, Kelam bisa mendengar tawa Sarala dari balik pintu. Wanita itu tengah bercengkrama dengan Bi Miah, entah mengobrol apa tapi sesekali Sarala tertawa geli dan demi apapun dia merindukan tawa itu.
“Saya mau jadi penulis mbak, tapi suami saya ngelarang saya kerja dan cuma jadi ibu rumah tangga aja.” Kata Sarala sambil menatap Bi Miah yang mengangguk mendengarkan omongannya.
Dia menoleh ketika pintu kamar terbuka dan mendapati Kelam disana, berdiri canggung memegang handle pintu.
“Oh, anda….” Dia berkata, menunjuk ke arah Kelam.
“Kelam, Kelam Baja.” Jawab Kelam kemudian, berjalan mendekat kearah Sarala.
“Oh iya, pak Kelam!” Katanya ceria memanggil nama suaminya, “Saya dengar saya bakalan tinggal dulu di rumah pak Kelam sebelum suami saya jemput?”
Kelam menoleh kearah Bi Miah, dia tidak pernah mendengar hal ini….
“Ah iya, itu pak, ‘kan suami ibu Sarala sedang dinas keluar negeri.” Kata Bi Miah gelagapan, merasa sudah mendahului tuannya untuk berbohong kepada si nyonya.
Kelam menelan ludahnya, apakah ini pilihan yang akan dia pakai? Berbohong pada Sarala?
“Pak Kelam?” Panggil Sarala.
Kelam menoleh, menatap wajah istrinya yang begitu dia rindukan.
“Ya, bu Sarala tinggal di rumah saya sampai bu Sarala pulih dengan sempurna.”
Sarala tersenyum lebar dan mengangguk kecil, “Saya gak tahu kalau suami saya bisa dinas keluar negeri padahal dia cuma kerja di kantor kecil bagian perpajakan.” Ujarnya.
Isi kepala dan memori yang begitu segar di dalam diri Sarala hanyalah mengenai Gandaria. Tidak ada jejak Kelam disana.
Sarala kemudian dibawa oleh Kelam untuk pulang ke rumah, dokter bilang ada kemungkinan jika hal-hal yang sebelumnya pernah dia lakukan akan membangkitkan memorinya yang hilang. Seperti keadaan rumah, kamar yang familiar, dan juga orang-orang yang mungkin bisa membantunya kembali mengingat hal-hal baru.
Sepanjang perjalanan Kelam resah.
Dia belum memberitahu Soga mengenai keadaan Sarala. Bukannya dia tidak mau, dia hanya bingung harus menjelaskan apa pada anak usia empat tahun yang juga mengalami kejadian hampir mirip dengan sang bunda.
Mobil hitam itu masuk ketika pintu gerbang terbuka lebar, dari dalam mobil Sarala memandang kagum perjalanan yang dia lewati.
“Rumah siapa ini? Besar banget…” Katanya, memandang takjub perjalanan dari gerbang depan menuju gerbang utama yang terbuka menuju ke rumah dengan gaya minimalis, tidak berlantai dua, hanya rumah kecil pada umumnya yang nampak begitu sederhana.
Sarala begitu terkagum-kagum melihat sekeliling, rumah yang terlihat minimalis itu di kelilingi kebun dan juga rumah-rumah lain yang nampak cantik serta rapi.
“Rumah ini seperti rumah impian saya…” Ujarnya sambil terkekeh.
Ya, Kelam membangun istana ini karena ini adalah impian Sarala.
Sarala turun di bantu oleh Bi Miah, dia duduk di atas kursi roda, matanya masih dia edarkan kesana kemari menganggumi semua pemandangan yang dia lihat. Bi Miah mendorong kursi roda itu masuk ketika Soga dari dalam rumah berlari, merentangkan tangannya lebar-lebar sambil berteriak, “Bunda!!!!”
Kelam dan Bi Miah terkejut, di belakang Soga Bi Isah berlari mengejarnya.
Sarala menatap anak itu yang berlari menghampirinya dan memanggilnya bunda, dia menoleh kearah Bi Miah dan Kelam, “Dia siapa? Kenapa panggil saya bunda?”
Memiliki seorang anak adalah impian Sarala.Sejak dulu, dia begitu menyukai anak-anak. Impiannya dari menjadi guru taman kanak-kanak sampai menjadi seorang ibu. Impian yang bagi orang lain terdengar sepele namun baginya itu adalah impian yang paling luar biasa.Sarala hanyalah seorang biasa yang dibesarkan oleh keluarga baik-baik, dimana dia tumbuh dengan penuh kasih sayang sebagai seorang anak tunggal hingga akhirnya kecelakaan merenggut kedua orangtuanya. Impiannya menjadi seorang ibu adalah untuk membangkitkan lagi perasaaan rindu kepada ibunya yang tidak pernah dia alami selama bertahun-tahun setelah kepergian mereka.“Bunda!” Pekik bocah berusia empat tahun itu, berlari memeluk kaki Sarala. Anak laki-laki dengan wajah yang tampan, pipi yang gembul, kulitnya begitu putih bersih, matanya bulat dan rambutnya hitam pekat.Tampan.“Dia siapa? Kenapa panggil saya bunda?” Tanyanya kemudian, menatap kearah Kelam serta ART mereka. Semua yang berada disana terkesiap.Mereka sudah mendengar
Sarala.Dia terisak, tangisnya masih terdengar, airmatanya terus mengalir. Dia menangis tersedu ketika tanpa sengaja mendengar percakapan kedua orang itu, Bi Isah dan Kelam. Dia mendengar percakapan mengenai dirinya dan Gandaria, mengenai perpisahan dan trauma. Mungkin karena kecelakaan yang menimpanya, sedikitnya dia tidak mengerti arah obrolan itu kemana.Dia hanya takut.Takut terjadi sesuatu pada Gandaria.Dia menatap kakinya yang masih tidak berdaya, masih tidak mampu menopang tubuhnya sendiri. Kemungkinan dia pulih seperti sedia kala begitu jauh dari kata ‘secepatnya’ seperti yang didengungkan oleh dokter sebelum kepulangannya.Sarala masih harus mengikuti banyak terapi sebelum akhirnya berjalan seperti sedia kala.Sedangkan sekarang dia tidak tahu harus bagaimana menghubungi Gandaria yang seperti orang-orang ini bilang kalau pria itu tengah melakukan perjalanan bisnis penting keluar negeri.Tempat yang asing dengan orang-orang asing yang tidak mampu Sarala ingat.Dia terisak la
Kelam.Semalaman Kelam memikirkan ucapan bi Isah, mengenai dia harus mendekati Sarala seperti dulu. Kelam tidak yakin dengan hal itu, mengingat bagaimana istrinya bersikap pada lawan jenis Kelam tidak yakin apakah dia bisa mendekati dan membantu wanita itu mengingat lagi siapa dirinya.Tapi, dia juga tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu.Sarala terus menerus menanyakan dimana Gandaria, suaminya. Melihatnya cukup menyakitkan, pria yang begitu dulu dia benci kini dia tanyakan lagi karena dalam ingatannya Gandaria dan dia masih saling mencintai.Melirik kearah jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 2 siang, Kelam berencana untuk makan siang diluar saja ketimbang memesan di aplikasi. Hari ini dia tidak memiliki jadwal rapat lagi sampai sore, biasanya dia akan janjian bertemu dengan Sarala beserta anak mereka Soga dan makan bersama-sama.Kini tidak bisa.Perubahan yang benar-benar membuat dirinya tidak nyaman, dia bahkan tidak tahu harus bersikap bagaimana pada istrinya sendir
Sarala.Dia merasakannya sejak awal, sejak matanya terbuka pertama kali setelah kecelakaan, dia merasakan sesuatu di dalam tubuhnya. Ada gerakan-gerakan samar yang semula dia pikir hanya ada di dalam pikirannya semakin lama semakin nyata.Setelah kepulangannya dari rumah sakit, gerakan itu semakin hari semakin terasa nyata. Dia yang tahu porsi makannya yang kecil, setiap hari selalu merasa lapar lebih cepat, selalu menginginkan makan-makanan manis padahal Sarala tidak menyukai minuman atau makanan yang terlalu manis.Melihat tubuhnya di kaca ketika dia duduk diatas kasur ataupun ketika dia sedang berada diatas kursi roda, dia bisa melihat dengan jelas perbedaannya.Bagaimanapun, dia seorang wanita.Ingatannya mungkin belum pulih sepenuhnya seperti yang dokter katakan karena dia tidak mengingat bagaimana kecelakaan terjadi, tapi dia tahu tubuhnya. Dia mengingat semuanya, mengenai tubuhnya, mengenai pernikahannya dengan Gandaria yang baru terjadi beberapa bulan lalu.Hari ini ketika dia
Pertemuan pertamanya dengan Sarala adalah ketika dia diminta untuk melanjutkan kelas bahasa Inggrisnya karena bisnisnya sudah begitu berkembang. Kelam tidak keberatan untuk melanjutkan kelas bahasa Inggris dan mengejar nilai toefl untuk mendapatkan sertifikat dan melancarkan bahasa Inggrisnya.Saat itu, usianya 29 tahun. Usia dimana sebagian teman-temannya sudah menikah, memiliki dua sampai tiga orang anak bahkan banyak juga yang sudah bercerai. Tapi Kelam masih menikmat kesendiriannya. Bukannya tidak mau memiliki seseorang di hidupnya, tapi dia sedang sibuk mempersiapkan masa depannya sendiri.Kelam bekerja lebih keras agar tidak melulu dikait-kaitkan dengan keluarganya yang sudah turun temurun memiliki kekayaan dan koneksi. Dia berusaha membangun segalanya sendirian meskipun tidak sedikit yang mencemoohnya karena dia lahir dari keluarga kaya.Ya, tidak bisa dipungkiri kalau dia memiliki koneksi.Tapi mempertahankan bisnis dan memiliki koneksi adalah dua hal berbeda maka dari itu dia
Sarala.“Minggu ketiga ya..” Gumaman itu terlontar pelan ketika akhirnya Sarala menyelesaikan sesi terapinya, perlahan dia bisa menopang berat tubuhnya menggunakan dua kakinya. Dia juga sudah bisa berjalan meskipun harus dengan bantuan, dia memberikan banyak sekali kemajuan.“Semoga di minggu selanjutnya bisa jauh lebih baik ya..” Kata si terapis sebelum akhirnya pamit undur diri pada Sarala yang diantar bi Miah, dia masih duduk diatas roda. Bi Miah selalu mengantarnya kemanapun, dan dia bersyukur ada orang yang mau melakukan hal itu semua padanya.Akhir-akhir ini semenjak dia sadar kalau dirinya tengah mengandung, ada rasa bahagia yang tidak bisa dia utarakan. Dia selalu menikmati gerakan-gerakan dari si kecil di dalam perutnya, ini kali pertama dia hamil tapi entah kenapa dia merasa hal-hal seperti ini begitu familiar. Dia seperti pernah merasakan sebelumnya.Sarala juga menghabiskan waktunya bersama dengan orang-orang di tempat baru, di tempat yang sekarang dia tinggali. Orang-oran
Kelam.Ada banyak hal yang Kelam benci di dunia ini, jika bisa diurutkan mungkin hanya beberapa yang termasuk membenci sesuatu karena alasan pribadi seperti membenci seseorang bernama Gandaria.Dia membenci Gandaria karena sikapnya pada Sarala ketika mereka bersama. Awalnya ketika Sarala jujur pada Kelam mengapa pernikahannya berakhir dia hanya mengatakan “Kita sudah gak cocok aja.”Setiap kali Kelam tanyakan jawabannya hanya berakhir disana, seperti sedang menutup kotak pandora Sarala tidak pernah ingin membukanya lagi sampai akhirnya dia bertemu dengan Gandaria. Pria itu tinggi, berwajah tampan dan juga arogan. Kelam mengenalnya karena urusan bisnis, saat itu Gandaria memegang dua bisnisnya untuk pengurusan pajak.“Pak Kelam sudah menikah?” Adalah pertanyaan yang pertama kali pria itu lontarkan kepada Kelam ketika mereka sedang makan siang bersama.“Belum, tapi sedang mempersiapkan.” Jawab Kelam kala itu.“Saya sudah pernah menikah tapi beberapa tahun lalu bercerai.” Ujar Gandaria,
Sarala“Gandaria akan pulang dua minggu lagi.”Kata-kata itu terus terngiang di benak Sarala, dia mulai tidak sabar. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Gandaria, dia ingin bertanya mengapa pria itu tidak meluangkan waktunya untuk sekedar menghubunginya padahal pria itu tahu dia mengalami kecelakaan yang membuatnya hampir lumpuh.Dia mulai bertanya pada bi Miah mengenai pakaian-pakaiannya yang dulu, melihat pakaian yang ada di lemari, dia tahu itu seleranya tapi bukan selera Gandaria. Selama ini dia memakai baju yang menjadi selera Ganda bukan dirinya.Dia sudah meninggalkan apa yang dia sukai sejak lama.“Ini semua baju-baju ibu, ibu yang beli dan pilih sendiri.” Jawab bi Miah.Ada jeda sebelum Sarala kemudian mengerenyitkan dahinya. Dia tidak pernah memilih dan membelinya bajunya sendiri, semua yang di lemarinya dibelikan oleh Gandaria, pria itu yang memilih dan membelinya tanpa bertanya apakah Sarala menyukai modelnya, warnanya, atau hal-hal lainnya.“Saya gak pernah beli baju sen