Share

EMPAT

Pernikahannya dengan Sarala bukanlah yang pertama untuk perempuan itu, jauh sebelum bertemu dengannya dia pernah menjalin sebuah pernikahan selama lima tahun bersama kekasih masa sekolahnya. Gandaria Wijaya. Kecelakaan itu membuat Sarala kembali disaat dia dan Gandaria masih baru saja menikah, dia tidak mengingat Kelam bahkan buah hatinya, Soga.

Dokter menyarankan agar Kelam tidak menemui Sarala terlebih dahulu, melihat bagaimana terkejutnya Sarala melihat Kelam yang tidak dia kenali membuat dokter membuat keputusan seperti itu. Dia tidak ingin kondisi pasiennya semakin memburuk.

Jadi, Kelam menitipkan Sarala kepada bi Miah. Dia hanya akan menunggu hasil.

Nyatanya menunggu tidak mudah. Ada banyak hari dimana Kelam ingin melangkah masuk ke dalam Rumah Sakit tapi dia mengurungkan niatnya dan hanya diam didalam mobil, menelepon Bi Miah untuk diam-diam melihat perkembangan istrinya dalam video call.

“Bu Ala sudah bisa makan pak.” Kata Bi Miah setelah kini hampir dua bulan Sarala ada di Rumah Sakit.

“Bu Ala belum tahu kalau dia sedang mengandung pak, kata dokter harus pelan-pelan kasih penjelasannya.” Bi Miah berkata di ujung telepon.

Semakin hari, info yang diberikan semakin membuat hati Kelam tak karuan. Wanita itu terus menerus bertanya kapan suaminya akan datang, mempertanyakan kenapa suaminya tidak menjenguknya sama sekali.

Suami yang dia maksud adalah, Gandaria.

Dia tidak peduli kondisinya yang tidak bisa berjalan karena kakinya patah dan butuh terapi, yang dia hanya pikirkan hanyalah pria itu. Pria yang dulu pernah begitu dia cintai dan juga dia benci di kemudian hari.

Hari ini, Sarala sudah dinyatakan pulih meskipun dia masih harus di kursi roda selama satu bulan ke depan dan melakukan terapi di Rumah Sakit dua kali dalam seminggu. Dokter meminta Kelam datang, menjelaskan bagaimana perkembangan fisik Sarala namun masih tidak bisa memberikan kepastian kapan ingatan wanita itu kembali.

“Kami tidak bisa memastikan, ingatan akan pulih seiring berjalannya waktu. Pak Kelam hanya harus bersabar.”

“Sampai kapan? Dia terus bertanya tentang mantan suaminya pada orang-orang di sekitarnya padahal sekarang saya adalah suaminya.” Ujar Kelam, menahan rasa marahnya yang seharusnya tidak dia lempar pada dokter yang sudah berusaha sebisa mungkin memulihkan keadaan istrinya.

Bukankah seharusnya dia sudah harus merasa bersyukur karena istrinya masih bisa selamat dari masa-masa kritis dan hampir mati?

Iya.

Tapi tidak jika Sarala harus melupakannya.

Kelam mencengkram bajunya kuat-kuat. Dia kesal, dia benci, tapi di lain sisi dia juga merasa bersyukur karena Tuhan memberikan kesempatan sekali lagi padanya untuk bersama Sarala.

“Saya harap pak Kelam harus berhati-hati untuk menjelaskan, terutama mengenai kehamilan bu Sarala.” Dokter mengatakan hal terakhir yang ingin mereka katakan.

Kelam menutup pintu dan berjalan menjauh dari ruangan dokter, lorong terasa sangat begitu panjang ketika pikiran berkecamuk penuh di kepalanya. Ada banyak skenario yang tengah dia susun disana, apakah dia harus secara terang-terangan mengatakan pada Sarala kalau dia adalah suaminya, ataukah dia harus mengingatkan kembali apa yang terjadi pada pernikahan Sarala bersama Gandaria?

Ada banyak pilihan tapi dia begitu takut untuk memilih satu.

Dia tidak ingin Sarala shock.

Dia berjalan mendekat kearah pintu kamar, Kelam bisa mendengar tawa Sarala dari balik pintu. Wanita itu tengah bercengkrama dengan Bi Miah, entah mengobrol apa tapi sesekali Sarala tertawa geli dan demi apapun dia merindukan tawa itu.

“Saya mau jadi penulis mbak, tapi suami saya ngelarang saya kerja dan cuma jadi ibu rumah tangga aja.” Kata Sarala sambil menatap Bi Miah yang mengangguk mendengarkan omongannya.

Dia menoleh ketika pintu kamar terbuka dan mendapati Kelam disana, berdiri canggung memegang handle pintu.

“Oh, anda….” Dia berkata, menunjuk ke arah Kelam.

“Kelam, Kelam Baja.” Jawab Kelam kemudian, berjalan mendekat kearah Sarala.

“Oh iya, pak Kelam!” Katanya ceria memanggil nama suaminya, “Saya dengar saya bakalan tinggal dulu di rumah pak Kelam sebelum suami saya jemput?”

Kelam menoleh kearah Bi Miah, dia tidak pernah mendengar hal ini….

“Ah iya, itu pak, ‘kan suami ibu Sarala sedang dinas keluar negeri.” Kata Bi Miah gelagapan, merasa sudah mendahului tuannya untuk berbohong kepada si nyonya.

Kelam menelan ludahnya, apakah ini pilihan yang akan dia pakai? Berbohong pada Sarala?

“Pak Kelam?” Panggil Sarala.

Kelam menoleh, menatap wajah istrinya yang begitu dia rindukan.

“Ya, bu Sarala tinggal di rumah saya sampai bu Sarala pulih dengan sempurna.”

Sarala tersenyum lebar dan mengangguk kecil, “Saya gak tahu kalau suami saya bisa dinas keluar negeri padahal dia cuma kerja di kantor kecil bagian perpajakan.” Ujarnya.

Isi kepala dan memori yang begitu segar di dalam diri Sarala hanyalah mengenai Gandaria. Tidak ada jejak Kelam disana.

Sarala kemudian dibawa oleh Kelam untuk pulang ke rumah, dokter bilang ada kemungkinan jika hal-hal yang sebelumnya pernah dia lakukan akan membangkitkan memorinya yang hilang. Seperti keadaan rumah, kamar yang familiar, dan juga orang-orang yang mungkin bisa membantunya kembali mengingat hal-hal baru.

Sepanjang perjalanan Kelam resah.

Dia belum memberitahu Soga mengenai keadaan Sarala. Bukannya dia tidak mau, dia hanya bingung harus menjelaskan apa pada anak usia empat tahun yang juga mengalami kejadian hampir mirip dengan sang bunda.

Mobil hitam itu masuk ketika pintu gerbang terbuka lebar, dari dalam mobil Sarala memandang kagum perjalanan yang dia lewati.

“Rumah siapa ini? Besar banget…” Katanya, memandang takjub perjalanan dari gerbang depan menuju gerbang utama yang terbuka menuju ke rumah dengan gaya minimalis, tidak berlantai dua, hanya rumah kecil pada umumnya yang nampak begitu sederhana.

Sarala begitu terkagum-kagum melihat sekeliling, rumah yang terlihat minimalis itu di kelilingi kebun dan juga rumah-rumah lain yang nampak cantik serta rapi.

“Rumah ini seperti rumah impian saya…” Ujarnya sambil terkekeh.

Ya, Kelam membangun istana ini karena ini adalah impian Sarala.

Sarala turun di bantu oleh Bi Miah, dia duduk di atas kursi roda, matanya masih dia edarkan kesana kemari menganggumi semua pemandangan yang dia lihat. Bi Miah mendorong kursi roda itu masuk ketika Soga dari dalam rumah berlari, merentangkan tangannya lebar-lebar sambil berteriak, “Bunda!!!!”

Kelam dan Bi Miah terkejut, di belakang Soga Bi Isah berlari mengejarnya.

Sarala menatap anak itu yang berlari menghampirinya dan memanggilnya bunda, dia menoleh kearah Bi Miah dan Kelam, “Dia siapa? Kenapa panggil saya bunda?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status