Alvandra duduk di ruang tunggu sebuah klinik 24 jam. Ia sedang menunggu wanita yang ditolongnya siuman. Beruntung tidak ada luka serius, jadi Alvandra cukup membawanya ke klinik terdekat.Dengan dibantu dua orang polisi, Alvandra mengamankan barang-barang berharga milik wanita tersebut. Mobil yang sudah ringsek di bagian depannya pun kini telah dibawa ke kantor polisi menggunakan mobil derek, untuk menyelidiki penyebab kecelakaan.Alvandra tidak tahu siapa yang harus dihubungi untuk mengabarkan kejadian ini karena ponsel wanita tersebut mati. Akhirnya polisi memeriksa tas wanita tersebut dan menemukan kartu identitasnya. Berbekal kartu itu, polisi akan mendatangi rumahnya untuk memberi kabar kepada pihak keluarga. Kini Alvandra tahu nama wanita itu adalah Aluna Khanza."Maaf, Pak. Pasien sudah sadar." Teguran dari seorang pria berbalutkan snelli mengejutkan Alvandra dari kebisuannya."Hah? Oh iya, sebentar saya ke sana, Dok,"sambut Alvandra sedikit tergagap.Alvandra mengambil tas dan
Keesokan harinya Alvandra terbangun dengan penuh semangat, sangat berbanding terbalik dengan hari kemarin. Pagi ini senyum tipis selalu mewarnai raut wajah tampannya. Andai ada bidadari yang lewat, sudah pasti terpeleset karena terpana akan pesona ketampanannya.Alvandra sudah menyiapkan semua persyaratan untuk keperluan melamar pekerjaan. Bahkan surat keterangan pengalaman kerja saat di Malaysia pun ia sertakan, berharap itu akan menjadi bahan pertimbangan HRD untuk menerimanya.Bisa dibilang Alvandra sudah mendapat kartu sakti untuk langsung bekerja di perusahaan Abrisam yang bergerak di bidang konstruksi. Namun ia tak mau memanfaatkan kesempatan itu, ia ingin melalui jalur yang semestinya seperti layaknya pelamar kerja lain.Berbekal alamat yang diberikan Aluna tadi malam, Alvandra segera menaiki angkutan yang searah dengan tujuannya. Tidak butuh waktu lama, ia pun sampai di tempat tujuan. Sebuah gedung pencakar langit dengan jumlah lantai dua puluh."Mas Alvandra!" tegur sebuah su
Merasa apa yang diceritakan Aluna sangat mirip dengan apa yang ia alami, Alvandra pun bertanya tentang satu hal yang lebih spesifik. Sebab ia ingin lebih memastikan lagi akan dugaannya."Apa orang yang nolong Nona itu kena luka benda tajam di perut?""Iya. Kok tahu?" Aluna menatap heran Alvandra."Karena saya dukun. Hehehe ...," canda Alvandra, tetapi ia segera meralat ucapannya."Maaf, bukan kok. Karena saya juga mengalami kejadian seperti yang tadi Nona ceritakan. Bahkan luka bekas operasinya pun masih ada."Aluna membolakan mata. "Benarkah? Di rumah sakit mana dulu Mas Alvan di rawat?"Aluna menjadi penasaran. Jika benar Alvandra orang yang ia cari, maka sudah pasti dia merasa lega. Sebab Aluna sempat khawatir terjadi sesuatu dengan penolongnya, dan jika itu sampai terjadi, kemungkinan ia akan terus dihantui rasa bersalah.Karena tiga hari setelah kejadian itu, Aluna kembali lagi ke rumah sakit karena dokter mengatakan jika pasien yang ia cari harus kontrol ulang untuk memastikan l
Alvandra duduk gelisah di meja kerjanya sambil sesekali melirik jam tangan. Ponsel yang tadi digunakan untuk menerima panggilan kini ia putar-putar di atas meja. Kabar yang baru saja ia terima membuat hatinya menjadi tak karuan. Pihak Lembaga Pemasyarakatan mengabarkan kalau Almira mengalami kejang-kejang akibat demam tinggi. "Bunda sakit apa?" gumam Alvandra dengan netra sudah mengembun.Lelaki tampan itu sangat mengkhawatirkan kondisi Almira yang saat ini sudah dibawa pihak Lapas ke rumah sakit. Sudah terbayang di benaknya, bagaimana sang bunda terbaring sendirian di rumah sakit tanpa ada yang menemani. Ingin meminta izin pulang lebih dulu namun ia hanyalah pegawai baru, di mana hari ini adalah hari pertama bekerja bagi Alvandra. Kurang ajar sekali kalau ia sampai melakukan itu, pikirnya.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dari luar membuyarkan lamunan Alvandra. Ia menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka dan menampakkan sesosok cantik sudah berdiri di sana dengan senyuman tersunggi
Semenjak pembicaraan dengan Abrisam beberapa hari lalu, Aluna mendadak jadi pendiam. Dia yang biasanya ekspresif, kini lebih banyak memendam perasaannya. Ternyata sesulit ini ingin meraih kebahagiaan, pikir Aluna.Persyaratan yang diajukan Abrisam menjadi tanda jika ayahnya tidak menyetujui hubungan dirinya dengan Alvandra. Level Alvandra yang berada di bawah Aluna menjadi alasan Abrisam menentang hubungan mereka dan Aluna tidak pernah bisa mengerti akan hal itu."Mengapa persoalan kasta selalu menjadi alasan utama para kaum pengumpul harta untuk menyelamatkan atau menambah kekayaan mereka. Seakan-akan kasta-kasta level rendah itu adalah kaum pencuri dan kasta yang selevel dengan mereka adalah mesin pencetak uang," ucap Aluna lirih.Gadis cantik itu duduk termenung di teras samping rumah sembari memandangi taman kecil yang ditumbuhi bunga-bunga cantik."Aduduuh ... pagi-pagi perawan Mommy udah ngelamun aja. Udah ngebet pengen kawin, ya?" celetuk seorang wanita paruh baya yang menghamp
Hari ini Alvandra meminta izin cuti satu hari demi menemani pengacara yang ia kenal dengan nama Henry menemui Almira. Sebenarnya bisa saja Henry langsung menemui Almira tanpa harus ditemani dirinya, tetapi pasti ibunya itu akan bertanya-tanya. Keduanya memiliki janji temu di depan Lapas.Tepat pukul sembilan pagi, Henry tiba di Lapas menggunakan mobil mewahnya, seperti biasa. Lelaki perlente itu segera menghampiri Alvandra yang sudah menunggunya di depan pintu masuk diiringi asistennya.Namun, ada yang satu pemandangan yang membuat alis Alvandra terangkat sebelah. Di belakang Henry bermunculan beberapa reporter dan wartawan yang berlomba mengabadikan kegiatan pengacara tenar tersebut. Apa-apaan ini? Hati Alvandra bertanya-tanya."Waduh, maaf Pak Alvandra kalau kenyamanannya terganggu. Tapi, mau bagaimana lagi, mereka seperti buntut yang selalu mengikuti kemanapun saya pergi." Henry merasa tak enak hati saat mengatakannya."Tidak apa-apa, Pak Henry. Tapi saya minta tolong, wajah saya
Aluna menatap nanar pria yang sedang berdiskusi dengan klien di depannya. Ia tidak begitu memperhatikan apa yang mereka bicarakan karena pikirannya tengah berkelana, mencari obat penyembuh luka di hati. Namun tak kunjung ia temukan karena penyembuh sesungguhnya adalah pria itu."Bu Aluna, maaf. Sepertinya saya harus duluan," ucap seorang pria berpamitan kepada Aluna yang sedang termenung.Aluna menggerak-gerakkan kelopak matanya, sedikit terkejut. Lantas ia tersenyum kemudian mengangguk kepada pria tersebut."Silahkan, Pak. Maaf saya tidak ikut menjelaskan apa yang ingin Bapak ketahui tadi," sambut Aluna dengan wajah menyesal, merasa tak enak hati."Tidak apa-apa, Bu. Semuanya sudah dibahas dengan Pak Alvandra dan itu sudah cukup," kata pria tersebut seraya beranjak dari kursi.Pria berseragam warna coklat keemasan itu lantas menyalami Alvandra dan Aluna bergantian. Kemudian ia berjalan menjauhi keduanya setelah berpamitan kembali. Dan tinggallah kini dua anak manusia berlainan jenis
Alvandra membawa Almira ke rumah kontrakan setelah semua permasalahan administrasi terselesaikan, dengan diantar oleh Henry. Seperti biasa, para pemburu berita mengekor di belakang pengacara kawakan tersebut. Dan ... akhirnya para tetangga pun tahu kisah tentang Almira yang ternyata ibu dari tetangga mereka.Ibu dan anak itu memulai hidup baru mereka di sebuah kontrakan kecil. Ternyata apa yang dikhawatirkan Alvandra tidak terjadi. Para tetangga malah mensupport Almira supaya bangkit dari keterpurukannya."Pak RT, ibu saya mau minta izin untuk tinggal di kampung sini," ucap Alvandra dengan hati-hati. Ia khawatir mendapat penolakan.Alvandra mendatangi rumah RT setempat setelah Almira tinggal satu hari di kontrakannya. Sebagai pendatang, ia paham akan aturan yang berlaku di kawasan tersebut."Tentu saja, Nak Alvan. Tidak ada yang melarang ibu Nak Alvan untuk tinggal di sini. Kami justru bersimpati akan perjuangan Bu Almira supaya bebas, di mana ia sebenarnya adalah korban," sambut Dam