Share

02. Pelukan Bunda Menghangatkan

Ternyata, inilah alasan kenapa Hanum selalu mencari masalah dengan suami. Hadirnya lelaki lain menjadi pemicu sikap Hanum berubah 180 derajat.

"Kamu sudah gila, Dek? Tega kamu berkhianat di belakang, Mas! Dan, lo bajingan, tidakkah malu dengan seragam yang lo kenakan itu?" bentak Alvandra menatap bengis kepada lelaki yang kini sudah berdiri tegak dengan rudal yang masih mengacung. Terlihat juga sisa cairan yang meleleh di selangkangan lelaki laknat itu, membuat Alvandra merasa mual dan jijik melihat itu.

"Hahaha ... kasihan lo! Bini lo sendiri yang membuka paha untuk gue. Gue laki normal, Bung! Lihat barang mulus dan ditinggal pemiliknya, wajar dong kalau gue pake?" racaunya tanpa merasa berdosa dan ia malah terbahak seakan merasa bangga atas perbuatan dosanya.

Bugh!

"Pergi lo dari sini!" bentak Alvan lagi, setelah kembali memberikan bogem mentah di wajah lelaki tak bermoral itu.

"Ini rumah aku. Yang seharusnya pergi itu kamu, Mas!" pekik Hanum.

Sontak hal itu membuat Alvandra bagaikan baru tersadar dari pingsannya. Ia pikir, kenapa dia masih mau berdiam diri di rumah itu? Istri sendiri saja sudah mau di obok-obok lelaki lain. Harga diri lelaki itu sudah semakin terinjak-injak. Untuk apa lagi ia bertahan bersama wanita murahan?

Jika saja penyatuan itu atas dasar paksaan atau tekanan dari si lelakinya, mungkin masih ada kata maaf untuk sang istri tercinta. Tetapi ini ... jelas sudah Hanum pun mau bahkan Alvandra melihat sendiri betapa Hanum menikmati setiap hentakan yang dilakukan selungkuhan-nya.

"Baiklah kalau itu maumu, Dek!" Alvandra berbalik meninggalkan kamar yang menjadi saksi bisu akan kebejatan moral istrinya.

Sebelum keluar dari rumah, Alvandra menyempatkan diri untuk memindai seluruh ruangan yang ada. Banyak kenangan yang tercipta di sana. Dan, yang paling membekas lara adalah bagaimana terhinanya dia sebagai seorang suami atas pengkhianatan Hanum.

Alvandra melangkah gontai menuju jalan raya sambil menyeret koper yang belum sempat dibuka. Dia mencari angkutan yang akan membawanya ke rumah ternyaman di dunia, yiatu rumah orangtuanya.

Senyum terukir di bibir Alvandra kala atap rumah orangtuanya sudah terlihat. Sebahagia inikah rasanya jika akan bertemu dengan surga - ku? bisik Alvandra dalam hati. Sejenak kesedihan dan kesakitan yang dia rasakan sedikit terlupakan.

"Assalamualaikum." Alvandra mengetuk pintu sekaligus mengucapkan salam.

"Waalaikum salam," sambut seseorang dengan suara lembut dari dalam. Pintu terbuka lebar, wajah teduh itu menjadi hal pertama yang Alvandra lihat.

"Bunda!" Alvandra menghambur dalam pelukan wanita paruh baya di depannya. Cukup lama keduanya saling berpelukan, melepaskan rindu yang sudah menggunung.

"Bunda sehat?" Alvandra memandang wajah renta ibunya tanpa melepaskan rangkulan di pinggang.

"Alhamdulillah selalu sehat," jawab sang Bunda dengan senyuman yang terus terukir di sisa wajah ayunya.

Almira - ibu Alvandra, melepaskan rangkulan mereka. Kemudian dia membawa anaknya duduk di ruang tamu. Wajah lelah Alvandra terlihat jelas oleh mata tuanya.

"Kamu enggak pulang dulu ke rumah istrimu, Nak?" Tanya Almira.

"Pulang, Bun, tapi balik lagi. Hanum sama keluarganya lagi nggak ada di rumah," jawab Alvandra dengan perasaan bersalah karena sudah berbohong kepada bundanya. Dia tidak sanggup jika harus menceritakan apa yang baru saja dialami kepada sang bunda. Alvandra tak ingin ibunya ikut kecewa dan terluka mendengar bertapa rendahnya sang menantu yang selama ini ia banggakan.

"Kemana mereka? Apa kamu tidak memberi kabar mau pulang?" Almira menatap Alvandra heran.

"Enggak, Bun. Tadinya aku mau kasih kejutan ke Hanum, eh ... malah aku yang dikasih kejutan, dianya nggak ada." Alvandra tersenyum tipis. Nggak ada diluar tapi ada di kamar sama laki-laki lain, sambung Alvandra dalam hati.

"Udah kamu telepon?"

Alvandra merogoh sakunya lalu mengambil ponsel yang ternyata padam karena kehabisan baterai.

"Lupa nge-charge, Bun." Alvandra terkekeh geli.

Almira menggeleng menyadari kebiasaan anaknya yang belum berubah. "Kamu ini, kebiasaan banget. Ponsel itu penting untuk komunikasi. Jadi, usahakan jangan sampai mati," pesan sang bunda terkadap putra kebanggannya.

"Ya sudah, kamu istirahat dulu sana. Bunda mau masak buat kita makan," lanjut Almira.

Alvandra memasuki kamar sembari menarik koper yang sepertinya sudah lelah karena ditarik kesana kemari. Ia membaringkan tubuh di ranjang. Rasa penat karena perjalanan jauh dan masalah yang baru menimpanya, membuat dia cepat memejamkan mata.

***

Alvandra sedang duduk termenung di rumah ibunya. Lelaki berparas tampan nan mempesona itu seolah sedang memikirkan banyak hal yang terjadi dalam hidupnya.

Karena terlalu asyik dalam lamunan, Alvandra sampai tak menyadari kehadiran sang Bunda yang sudah berdiri di sampinganya.

"Kamu kenapa, Van?" tanya Almira.

"Eh, Bunda. Maaf, tadi aku ... "

"Hmm ... anak Bunda pasti sedang memikirkan istri cantiknya," potong Almira tersenyum menggoda.

Alvandra tersenyum tipis menanggapi perkataan sang bunda. Istri yang sudah mengkhianati pernikahan kami, batin Alvandra miris.

"Kamu baru pulang dari perantauan, tapi kenapa malah berlama-lama di rumah Bunda, Van?" tanya Almira heran. Sebagai seorang ibu, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan putranya.

Mendengar pertanyaan sang Bunda, Alvandra lantas menatap wajah renta itu. Apakah dia tega membebani bundanya dengan permasalahan yang sedang dihadapi, pikir Alvandra.

"Ada apa, Nak? Apa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranmu?" Almira berkata dengan lembut.

"Banyak, Bun," jawab Alvandra singkat.

"Kamu bisa bercerita ke Bunda. Kalau kamu enggak bisa mengatasi itu sendirian, kita atasi sama-sama."

Alvandra terdiam. Ia sedang menimbang baik buruknya jika bercerita kepada sang Ibu. Selang beberapa menit kemudian, Alvandra menghela napas panjang, lantas ia menceritakan apa yang sudah terjadi saat kepulangannya dari perantauan.

Almira mendengarkan apa yang anaknya ceritakan. Ia tidak merasa kaget karena sedikit banyak dia sudah menduga jika kebungkaman Alvandra ada hubungannya dengan kelakuan Hanum. Lelaki itu sama sekali belum tahu jika sang bunda sudah lebih dulu tahu soal gosip-gosip yang beredar tentang hubungan menantu dengan salah satu aparat negara.

Almira sejatinya sudah mendengar gosip tentang Hanum saat masih gadis. Keluarga Hanum sangat mendambakan memiliki menantu yang menjadi seorang pejabat. Jadi, dengan beredarnya kabar Hanum ada kedekatan dengan lelaki yang punya pangkat, tentu tak heran bagi Almira.

Bukan maksud Alvandra membuka aib rumah tangga, tetapi ia sama sekali tak tahu harus bagaimana lagi menyelesaikan masalah dengan sang istri.

Berbagi masalah dengan sang bunda, Alvandra berharap dapat menemukan jalan keluarnya. Jika pun harus berpisah, bagaimana caranya agar nama baik Alvandra tetap terjaga, begitu juga nama keluarga Hanum. Alvandra tak ingin ada yang tersakiti, baik dirinya maupun Hanum - istrinya.

"Bunda tak mau ikut campur masalahmu, Van. Bunda hanya mendukung langkah apa yang akan kamu ambil," ucap Almira setelah Alvandra menceritakan semuanya.

"Iya, Bun. Aku juga tak mau melibatkan Bunda. Sudah cukup hidup aku menjadi beban Bunda," jawab Alvandra menatap nanar wajah ibunda.

Wanita itu merasa iba atas apa yang menimpa putranya. Tetapi Almira tidak mau ikut campur terlalu dalam. Almira percaya jika Alvandra bisa mengatasi masalahnya seorang diri. Sebagai ibu, sesekali saja ia menasehati jika menurut Almira putranya memang salah, tanpa mau membela siapa dan yang mana. Bagi Almira, jika memang salah ya salah tanpa harus mencari pembenaran.

Merengkuh pundak putranya yang sedang kalut, Almira memeluk Alvandra begitu erat. Berulang kali Almira mengecup kening Alvandra. tanda kasih sayang sang bunda kepada sang putra.

"Van, Bunda percaya kamu kuat, tegar dan sabar. Buktikan kamu bisa seperti almarhum Ayah. Dulu, Ayahmu tak mudah ngeluh, tak mudah putus asa. Hadapai masalah dengan kepala dingin." Almira memberi nasehat dengan penuh kelembutan membuat Alvandra semakin nyaman berada dalam pelukan wanita yang sudah melahirkanya.

Tak terasa, netra Alvandra menghangat seketika. Sekuat apa pun Alvandra sebagai lelaki, ia hanyalah manusia biasa terkadang bisa rapuh juga tentunya.

"Terima kasih ya, Bun. Bunda selalu ada untuk aku," ucap Alvandra. Ia bersyukur memilki Ibu yang penuh kasih dan selalu bernasehat baik kepadanya.

Alvandra sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya terhadap Hanum.

"Bismillah, semoga keputusan aku ini yang terbaik."

Bersambung ...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yunz seira
Ibu yang bijaksana
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status