"Ada apa denganmu?"Lea terkejut. Bukan hanya soal pertanyaannya, tapi juga siapa yang menanyakannya."Apa maksud anda?" pertanyaan Vin dijawab pertanyaan Lea."Karena itu aku bertanya padamu.""Anda ngomong apa, sih? Saya benar-benar nggak ngerti." Lea terlihat frustasi sendiri. Apapun itu, bila ada hubungannya dengan Vin, rasanya jadi sesuatu yang menjengkelkan untuk Lea."Ya sudahlah, lupakan." Jalan akhir Vin agar tidak saling berargumen berkepanjangan."ih, nggak ngerti deh!" Lea raih tas kerjanya, beserta barang-barang lain menjadi satu rangkaian dijinjingan tangan kanannya. "Aku pulang dulu ya, Ma. Hari ini capek banget. Ngantuk," pamitnya.Lea kecup kening Sarah, bersamaan kalimat-kalimat doa terbaik untuk kesembuhan ibunya ini."Lho, kamu kan belum cerita soal pernikahanmu sama Pak Vin?" "Semua itu atas kendali Pak Vin, jadi Mama tanyain saja sama beliaunya. Lea pulang dulu ya." Lea lambaikan tangan hanya pada ibunya. Sikap ketusnya ini sengaja di tunjukkan pada Vin, sekali
"Aku ingin tidur sama kamu."Vin mengulang permintaannya lagi, dikiranya Lea tak terlalu jelas mendengar ucapannya tersebut."Iya, sudah tahu. Maksudmu mau tidur sama aku, itu maunya gimana? Kan kamu bilang ini asetmu, jadi ya tidur aja dimana yang kamu mau, sofa juga kosong, atau kasur dikamar mama, juga nggak masalah, kan ukurannya lebih gede daripada sini." Panjang lebarLea jelaskan."Tapi aku maunya disini."Orang ini sebenarnya maunya apa sih? batin Lea, mencoba meraba-raba tiap ucapan Vin yang terduga menuju pada satu maksud tertentu."Maksudnya tidur berdua?" tebak Lea, disambut anggukan Vin. Lea bisa rasakan, seorang searogan Vin mendadak berubah jadi kekanakan, hanya karena urusan 'mau.'Lea hela napas, diturunkan ujung selimut sebatas kaki, sehingga bagian dada sampai ke pundaknya jadi terekspos lagi."Tapi nggak segampang itu, kan?""Maksudnya?" Vin mulai beranikan diri mendekati sang singa betina. Vin berganti bersandar lebih santai, dengan kedua kaki disilangkan, dan ked
Semesta seolah berpihak pada keduanya. Dari dalam kamar berukuran tak terlalu besar ini, terdengar suara hujan, sehingga menambah sendunya suasana dimana gairah mulai membuncah.Seperti layaknya, Vin menjadikan dirinya komandan penuntun tiap gerakan untuk tujuan klimaks bersama, tapi kali ini kembali berbeda.Vin bisa rasakan, perlakuan yang dia arahkan pada dua aset kembar Lea ini, dibalas wanita pengisi hatinya ini dengan memainkan senjatanya dibawah sana.Vin tersenyum. Siapa yang nggak akan merasa tersanjung, bila partner bercintanya terlihat juga sangat menginginkannya.Vin sudah tak lagi melihat Lea sebagai gadis polos yang malu-malu ketika mulai menyentuhnya. Lea telah jadi wanita dewasa, sudah tahu apa yang dia mau.Dengan jantung berdebar dan akal sehat yang lenyap, Vinpun tenggelam dalam provokasi dari desahan Lea. Lumatannya semakin diperdalam, ketika percikan gairah itu menjadi kobaran tak terbendung.Masih dalam pagutan bersama, Vin mendorong tubuh Lea agar merebah. Sudah
"Lea...ibumu telpon."Lea buka mata malas, tapi refleks menerima ponsel yang di berikan Vin. Nama Sarah tertulis dilayar, tapi Vin tak berniat mengangkatkannya untuk Lea, meski sudah tahu status mereka."Iya, Ma?" Ditegakkan punggungnya yang kaku-kaku selepas bercinta, bersandar pada bantal yang sengaja ditata Vin berposisi berdiri. "Ada apa? Kenapa telpon pagi-pagi?" rentetan pertanyaan Lea yang seketika akan panik bila ibunya menelpon diwaktu-waktu tak lumrah."Pagi? Lea? Ini jam berapa?!" pekik Sarah diujung telpon, sampai membuat Lea harus menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya."Sejak kapan jam 10 kamu bilang pagi?!" omel Sarah. "Cuci muka dulu sana. Kalau memang baru bangun tidur, terus makan baru ke rumah sakit. Kata dokter, kalau hasil lab bagus semua, besok mama boleh pulang. Pantesan, ditungguin sampai dokternya visite, nggak nongol-nongol. Mama mau tanya soal pernikahanmu, tapi mama mau, bicaranya langsung.""Iya, siap laksakan, Bu Komandan. Saya makan dulu, baru mandi,
Setelah sampai dirumah sakit, Lea beralih jadi yang terinterogasi. Namun berbeda dengan Vin yang akan dengan tanggap menjawab tiap pertanyaan darinya, Lea justru tak banyak berikan jawaban yang panjang."Pak Vin bilang, kalian sudah menikah sejak di Italia itu? Kenapa nggak bilang Mama?!"Lea tundukkan wajah, ketika nada suara Sarah geregetan rasanya pengen menerkam kapan saja."Nggak tahu tuh, Pak Vin. Maunya dia," jawab Lea dengan kalimat berkesan 'aman' untuk dirinya. "Memangnya Pak Vin cerita kayak gimana soal itu?" selidik Lea."Katanya, dia memang sudah sering perhatiin kamu, tapi kamunya sok jual mahal, kayak nggak butuh, padahal sekalinya dia lamar, kamunya langsung mau. Menurut Pak Vin, kamu sebenarnya juga suka sama beliau, sampai beberapa kali kepergok memandang Pak Vin, makanya terus beliau berani lamar pas ajak kamu temui klien di Italia."Kedua bola mata Lea serentak mendelik, tak terima akan cerita ulang Vin dari ibunya ini."Dia ngomong begitu ke Mama?!" tanyanya lanta
Seketika, makanan yang ada diatas piring jadi tidak senikmat sebelumnya. Hanya Sarah saja yang tersenyum, karena jadi satu-satunya orang yang tidak tahu siapa dan bagaimana seorang Helena."Silahkan Nyonya. Anda bisa makan sekarang." Sarah berdiri, lalu membantu menyiapkan peralatan makan, dan menu yang ada di atas meja, selayaknya kebiasaan orang kelas menengah ke bawah seperti dirinya, ketika ada tamu datang ke rumah disaat jam makan."Terima kasih," ucap Helena dengan ekspresi dingin, tanpa sedikitpun bergerak menyambut keramahan yang ditunjukkan Sarah. Bagi Helena, ibu dari Lea tersebut, tak ubahnya bertingkah seperti dan akan jadu asisten rumah tangga rumah saja.Lea sendiri, hanya membantu mengambilkan sesuatu kalau ibunya memerintahnya saja. Hal itupun dilakukan Lea, hanya karena merasa kasihan dengan Sarah."Silahkan, Nyonya. Anda keluarga Pak Vin, kan?" tanya Sarah masih ramah, tak menyadari kalau niatan baik untuk lebih dekat dengan sang tuan rumah, sebenarnya ditanggapi Vi
"Aku tahu dari...tanya.""Tanya siapa?" Vin mendekat dengan ekspresi yang masih sama."Sama orang.""Siapa? Lea? Jangan berbelit-belit, kamu tahu aku orangnya nggak sabaran," tandas Vin. Langkahnya terus maju, walaupun Lea mundur-mundur."Ehm...Mas Robbi." Sebelum ditanggapi Vin, Lea buru-buru menambahi. "Jangan salahkan dia, akulah yang pengen tahu, terus tanya ke dia. Tak banyak yang dia tahu. Hanya itu saja.""Robbi ya? Sudahlah, tak apa. Berarti dia hanya sebatas tahu." Vin berbalik dan menuju jendela, membukanya pertama kali, setelah sekian lama."Bolehkan aku banyak tanya padamu soal itu? Kan nggak enak, cuma bagian awalnya saja, kelanjutannya belum. Bukannya, kamu berhutang padaku? Setelah kita bercinta, kamu cuma ulang gimana dan asal-usul ibumu. Kamu cuma ceritakan kenangan, belum kejadian."Vin tak menggubris, Lea jadi meradang. "Ayolah, ceritakan padaku. Kamu mau minta bayaran lagi, aku sudah siap, kok," rengekan Lea."Diam disitu, jangan bicara!" "Ke kenapa?" Satu alis
"Lea. Pak Vin marah ya?"Pertanyaan Sarah ini ditanggapi Lea dengan palingkan wajah dari jendela mobil.Kendaraan yang dikemudikan sopir baru, karena Robbi sudah pulang ini, kemudian menjauhi rumah, tapi tatapan Lea sempat tak berpaling dari rumah ini, berputar ke arah ibunya dengan lesu."Lea nggak tahu, Ma. Tapi semoga saja nggak, sih," sahut Lea, hanya sebatas memberi kalimat peneduh, agar Sarah tak terlalu khawatir. "Emang gitu sifatnya Pak Vin. Tapi paling nggak, ngamuknya Pak Vin itu masih ada kemungkinan dia peduli," imbuh Lea."Mama juga mikirnya begitu. Pak Vin itu kalau sudah marah, jantung Mama ini rasanya pengen copot, tapi terus tenang, karena beliau juga cari solusi. Gimana ya jelasinnya, keras, kaku, tapi disaat bersamaan itu bisa diandalkan."Lea anggukkan kepala menyetujui, tapi kemudian lebih memilih tidur, perutnya kembali rasakan mual seperti sedang hadapi guncangan dari ombak besar lautan, padahal salah satu mobil mewah milik Vin ini, mempunyai tingkat kenyamanan