"Aku tahu dari...tanya.""Tanya siapa?" Vin mendekat dengan ekspresi yang masih sama."Sama orang.""Siapa? Lea? Jangan berbelit-belit, kamu tahu aku orangnya nggak sabaran," tandas Vin. Langkahnya terus maju, walaupun Lea mundur-mundur."Ehm...Mas Robbi." Sebelum ditanggapi Vin, Lea buru-buru menambahi. "Jangan salahkan dia, akulah yang pengen tahu, terus tanya ke dia. Tak banyak yang dia tahu. Hanya itu saja.""Robbi ya? Sudahlah, tak apa. Berarti dia hanya sebatas tahu." Vin berbalik dan menuju jendela, membukanya pertama kali, setelah sekian lama."Bolehkan aku banyak tanya padamu soal itu? Kan nggak enak, cuma bagian awalnya saja, kelanjutannya belum. Bukannya, kamu berhutang padaku? Setelah kita bercinta, kamu cuma ulang gimana dan asal-usul ibumu. Kamu cuma ceritakan kenangan, belum kejadian."Vin tak menggubris, Lea jadi meradang. "Ayolah, ceritakan padaku. Kamu mau minta bayaran lagi, aku sudah siap, kok," rengekan Lea."Diam disitu, jangan bicara!" "Ke kenapa?" Satu alis
"Lea. Pak Vin marah ya?"Pertanyaan Sarah ini ditanggapi Lea dengan palingkan wajah dari jendela mobil.Kendaraan yang dikemudikan sopir baru, karena Robbi sudah pulang ini, kemudian menjauhi rumah, tapi tatapan Lea sempat tak berpaling dari rumah ini, berputar ke arah ibunya dengan lesu."Lea nggak tahu, Ma. Tapi semoga saja nggak, sih," sahut Lea, hanya sebatas memberi kalimat peneduh, agar Sarah tak terlalu khawatir. "Emang gitu sifatnya Pak Vin. Tapi paling nggak, ngamuknya Pak Vin itu masih ada kemungkinan dia peduli," imbuh Lea."Mama juga mikirnya begitu. Pak Vin itu kalau sudah marah, jantung Mama ini rasanya pengen copot, tapi terus tenang, karena beliau juga cari solusi. Gimana ya jelasinnya, keras, kaku, tapi disaat bersamaan itu bisa diandalkan."Lea anggukkan kepala menyetujui, tapi kemudian lebih memilih tidur, perutnya kembali rasakan mual seperti sedang hadapi guncangan dari ombak besar lautan, padahal salah satu mobil mewah milik Vin ini, mempunyai tingkat kenyamanan
Cruel Summer ( Musim Panas Yang Kejam )Hariku indah bertabur senyum bahagia. Kukira itu akan selamanya, tapi ternyata memang tidak ada dunia sempurna bagi makhluk yang punya keterbatasan ini.Kukira aku bisa mempercayaimu, tapi ternyata kamu tidak. Kamu buat musim semi indahku, jadi kemarau kering yang panjang.Vin bintang penerangku. Kenapa kamu lakukan itu, Sayang? Apakah kamu ingin membunuh ibumu ini? Di depan dermaga kecil dengan kapal boot, inginku lari, tapi sepertinya tak bisa, karena takdir dan jiwaku akan segera terbang, pergi menghilang, dan hanya jadi kenangan.Lea baca isi curhatan Letizia pada buku diary miliknya dalam sebuah copy diatas salah satu halaman tumpukan kertas yang disebut Dani sebagai dokumen penting tersebut dengan seksama dan pelan, karena ingin benar-benar meresapi perasaan Letizia waktu itu."Tapi ini benar tulisan Nyonya Letizia, kan?" pertanyaan pertama yang spontan dalam pikiran Lea dan segera diutarakannya."Iya, tentu saja. Seorang sumber terperca
"Ya ampun, Lea!"Teriakan histeris Sarah dengan tangisan, mengiringi bed dimana Jelita terbaring dengan kedua mata tertutup."Dokter. Bagaimana ini? Kenapa anak saya bisa ketabrak?" Sarah masih tak bisa menerima keadaan dimana Lea pergi ketika dirinya tidak disampingnya."Tolong ibu tunggu diluar dulu ya. Nanti kami kabari, setelah selesai lakukan tindakan," cegah seorang perawat pria, agar Sarah tidak terus mengikuti disertai ucapan-ucapan histeria.Dengan berat hati, Sarah hanya bisa menurut, menghentikan langkah, menunggu diluar dengan perasaan risau tak tergambarkan."Bagaimana ini? Gimana-gimana, aku harus beritahu Pak Vin."Dalam memutuskan ini, Sarah sebebarnya masih diselimuti keraguan. Ponsel yang dipegangnya sudah terpampang nama Vin, tapi belum diupayakan untuk memulai panggilan."Tadi Pak Vin marah, gimana mau bilangnya?"Bersamaan dengan ini, Tejo, sang sopir berlari menghampiri dengan ekspresi tegang."Maaf, Bu. Non Lea yang jadi korban tabrak lari tadi?" tanyanya panik.
"Bagian perutnya, tapi alangkah lebih baik menunggu kesimpulan dari dokter. Saya permisi dulu.""Perut?" gumam Sarah setelah kepergian sang perawat pria kembali ke dalam ruangan. Kekhawatiran Sarah menjadi dua kali lipat. Ketidakjelasan dan ketidaklengkapan berita keadaan Lea ini jadi buatnya frustasi sendiri. "Kenapa dengan perutnya? Apa karena dia tadi bilangnya lapar? Lalu apa bisa pengaruh ke organ lain?" Sarah menebak-nebak sendiri.Sampai beberapa menit, Sarah masih tenggelam dalam perkiraan serta mengkat-kaitkannya dengan tiap kejadian yang dia tahu, sampai tanpa sadar telah terlelap. Sarah bangun, karena adanya panggilan dari seseorang."Ibu. Ini Vin."Sarah paksakan diri untuk membuka kedua mata, ketika nama itu tersebut."Pak Vin?" "Iya, saya. Bagaimana keadaan Lea?" hal pertama yang langsung ditanyakan oleh Vin."Lea. Katanya kesadaran bagus, untuk hasil lain tunggu laboratorium sama visite dokter," jawab Sarah setengah sadar, setengah lagi masih dalam angan mimpi berada d
Dani duduk disamping Sarah. Kakinya diluruskan, karena jalan dari kamarnya ke tempat Lea dirawat ini saja, sudah buatnya ngos-ngosan, gara-gara beberapa tulangnya ada yang bermasalah."Ada info lagi dari sumber terpercaya," ucap Dani setelah berhasil atur napas, dan temukan posisi nyaman."Apa, Nak? Cepet bilang ke ibu." Tak sabarannya Sarah, sudah kepalang tanggung mengetahui beberapa hal tentang Vin beserta kisah keluarganya."Kata sumber itu, Pak Vin sedang dalam masalah pelik, baik itu masalah pribadi, maupun urusan perusahaan.""Beneran, Nak? Ya ampun. Orang kaya itu ternyata juga kaya masalah, ya?" ujar Sarah polos. "Memang apa masalahnya? Yang kasih info ceritain juga, nggak?" selidik Sarah yang sudah terlanjur ingin tahu."Tidak secara detail, cuma katanya sudah beresiko.""Maksudmu beresiko?" Ketegangan tampak diraut wajah Sarah saat ini."Masalahnya itu sampai mengancam nyawa. Bukan saja buat Pak Vin sendiri, tapi juga merembet ke orang-orang terdekatnya, tentunya itu termas
Danipun mengutarakan rencananya, dan Sarah mendengarkan sambil sesekali manggut-manggut memberi tanda telah mengerti.Setelah beberapa menit berbicara dengan Dani, dan membantunya kembali ke kamar perawatan yang baru didapatkannya, Sarah kembali ke tempat duduk semula, untuk memikirkan semua."Keluarga pasien," panggilan dari salah satu oerawat dari arah dalam ruang perawatan untuk Lea. "Dokternya sudah didalam, silahkan."Sarah berdiri hampir berjingkat, antara lega pada akhirnya dokter yang ingin segera ia temui, beberapa menit lagi akan bertatapan muka langsung dengannya, sekaligus berdebar akan kabar dari yang bersangkutan."Selamat pagi, ibu. Keluarganya...panggilnya apa ini? Mbak atau apa?"Sarah kerutkan dahi, belum sepenuhnya mengerti maksud sang dokter yang duduk dihadapannya, siap dengan beberapa hasil lab milik Lea."Ya mbak...mbak atau Nona Lea. Panggilan anak saya," sahut Sarah polos.Dokter tersebut menyerahkan sebuah kertas ke hadapan Sarah dengab tulisan juga angka-ang
Semburat rona bahagia Lea disambut Sarah dengan senyuman kecut. Disibakkan rambut bagian depan putrinya ini ke belakang, lalu dikaitkan ke belakang telinganya."Apa kamu bahagia dengannya?" Entah berapa kali Sarah menanyakan hal ini pada Lea, karena Sarah berharap akan sesuatu. "Iya, Ma. Pak Vin dan aku memang seperti dua mata koin. Kami berbeda karakter dan bertolak belakang, tapi kami satu keping koin yang bernilai.""Ngomong apa itu kamu, Nak.""Hah?" Lea jadi ikutan bingung, baru kali ini ibunya menganggap opininya hanya seperti omong kosong. "Kan Mama tadi nanya, apa aku bahagia sama Pak Vin, ya aku jawab seperti perumpamaan gambar di uang koin, biar lebih jelas maksudku.""Bahagiamu karena kamu sudah silau, Sayang, sehingga kamu rela tinggalkan orang yang sebenarnya mencintaimu lebih tulus."Lea terkejap beberapa kali, tentu ini bukan hanya sebuah kesimpulan, tapi juga mengarah pada satu nama."Maksud Mama... Dani?" dugaan Lea."Iya, Sayang. Mama semakin kasihan sama anak itu.