3
Aira menatap bayangan dirinya di depan cermin. Ia bahkan tak mengenali dirinya sendiri. Seorang wanita muda cantik dengan tatanan rambut rapi, wajah dipoles make up, dan dress khusus menyusui dengan motif bunga-bunga, sedikit di bawah lutut. Hanya tubuhnya yang terlalu kurus yang membuat dress cantik itu kurang pas di tubuhnya. Sebenarnya, dirinya diterima bekerja sebagai apa di rumah itu? Kenapa hanya jadi seorang ibu susu harus didandani bak Cinderella yang berangkat pesta? Bahkan tadi seorang dokter sudah mengecek kesehatannya dengan detail. Pikiran Aira bertanya-tanya sejak tadi. "Jo, suruh dia membersihkan diri. Aku tidak mau anakku disusui wanita berdebu dan bau keringat!"Kalimat pria berwajah dingin saat menyuruh orang kepercayaannya, sangat jelas. Ia memang tidak suka ibu susu anaknya dekil dan kotor. "Beri juga baju-baju yang layak. Jangan biarkan dia berkeliaran di dalam rumahku dengan baju lusuh seperti pengemis!"Aira menarik napas panjang. Ya, boss yang menerimanya bekerja di sana, tidak suka dirinya yang dekil dan lusuh. Maka, beberapa pegawai mendandani dirinya hingga seperti sekarang. "Aira!" Seorang wanita paruh baya berseragam menghampiri wanita itu. Semua pekerja di rumah ini memang berseragam, kecuali pria yang dipanggil dengan nama Jo. "Namamu Aira, kan?" lanjut wanita paruh baya. Aira hanya mengangguk. Pasti semua orang di rumah ini sudah tahu namanya. Tadi pria bernama Jo, meminta KTP-nya. "Ayo, tuan muda Alister sudah menunggu untuk disusui," ujar wanita itu setelah meneliti penampilan Aira yang sudah didandani pegawai khusus. Mata Aira terbelalak, kemudian menyilangkan kedua tangan di dada. Wajahnya memucat. "Jangan berpikiran kotor, Alister itu nama bayi Tuan Alexander. Usianya baru satu bulan." Wanita paruh baya itu seolah mengerti kekhawatiran Aira. "Oh, aku kira siapa tuan muda Alister itu. Lagian mau menyusui bayi saja, kenapa aku harus didandani seperti ini?" tanya Aira heran. Meminta penjelasan. "Sudahlah, tuan muda Al sudah sangat kelaparan, dari tadi terus menangis. Jangan membuat tuan Alex marah!" Bibir Aira mengerucut. Wanita paruh baya itu tidak mau menjelaskan apa-apa. Ia hanya bisa berjalan mengikuti langkah wanita di depannya. "Kamu harus belajar mengingat setiap sudut rumah ini, karena nanti tidak akan terus kutemani!" ujar wanita itu lagi sambil menyusuri lorong rumah yang berlekuk dan berbelok-belok. Bahkan rasanya, Aira tidak akan hafal hanya dalam satu kali. "Nama Anda siapa, Bu?" tanya Aira sambil menyamai langkah wanita berseragam dengan rambut sebagian memutih. "Panggil saja aku Hasna.""Oh, baik Bu Hasna. Sebenarnya bayi Alister itu ibunya ke mana? Kenapa tidak menyusui….""Sssttt!" Wanita bernama Hasna meletakkan telunjuk di bibirnya seraya menghentikan langkah. "Jangan pernah membahas hal itu di rumah ini, atau akan kena murka Tuan Alex!"Aira spontan menutup mulut dengan kelima jarinya. "Jadi Tuan Alex itu bos di sini, Bu?" Aira mulai mengulik informasi. "Kau pikir siapa?" Kening Hasna berkerut. "Aku pikir ia hanya anak pemilik rumah ini. Aku pikir bos besar di sini seorang….""Hasna! Apa yang kau lakukan di sana? Kau tahu anakku sudah kelaparan, tapi malah mengajak dia bergosip di lorong rumahku?" Tiba-tiba suara bariton dari depan pintu sebuah ruangan, mengagetkan keduanya. Refleks Aira dan Hasna menoleh ke arah sosok berwajah dingin yang menatap tajam mereka. Tubuh keduanya berkerut, sebelum kemudian Hasna menarik tangan Aira untuk memasuki sebuah ruangan. ***Aira duduk menyusui bayi satu bulan itu, entah sudah berapa lama. Bahkan pinggangnya sampai pegal. Bayi itu menyusu dengan sangat rakus, seolah tidak disusui dalam waktu yang sangat lama. Awalnya Aira merasa canggung untuk menyusui bayi yang bukan anaknya. Apalagi di dalam ruangan itu bukan hanya ada ia dan bayi Alister. Namun, ada bos berwajah dingin, wanita bernama Hasna, juga seorang babysitter. "Apa saya akan menyusui di bawah pengawasan Anda, Tuan?" tanya Aira ragu dan sedikit takut, melirik pria dingin yang akhirnya membuang muka. "Tentu saja tidak! Aku hanya ingin memastikan anakku mendapatkan makanannya dengan baik," ujarnya seraya menatap ke arah lain. "Setelah ini kau harus meningkatkan kualitas air susumu. Kau hanya boleh makan makanan yang sudah disiapkan ahli gizi di rumah ini," ucapnya lagi sebelum meninggalkan kamar bayi Alister yang luasnya bahkan dua kali lipat dari rumah Randi. Tempat tinggal Aira dulu. Mata Aira menatap lekat bayi dalam gendongannya. Bayi yang garis wajahnya sangat mirip dengan pria dingin yang belakangan ia tahu bernama Alexander. Kasihan bayi itu, ia menyusu begitu lahap. Bahkan setelah sebelah payudara terasa kosong, dan Aira mengganti dengan yang satunya, bayi itu masih menyusu dengan lahap. Kasihan memang. Namun, pikiran Aira tertuju Raka pada akhirnya. Jika air susunya habis untuk menyusui anak boss, lalu apa Raka masih bisa mendapatkan sisanya? Bahkan, sejak tadi Aira tidak melihat anaknya. Sejak seorang babysitter mengambil alih Raka yang tertidur pulas. Akhirnya setelah sekian lama, bayi Alister tertidur juga setelah puas menyusu. Aira bahkan merasakan tubuhnya mati rasa di beberapa bagian, saking lama ia terduduk dalam satu posisi. Satu pelajaran untuknya. Selanjutnya untuk menyusui bayi itu, ia lebih baik sambil berbaring. Seperti yang dilakukan saat menyusui Raka. Aira teringat kembali dengan sang anak yang pasti juga sudah lapar dan butuh susu. Wanita itu segera keluar ruang kamar, setelah membaringkan bayi Alister di box bayinya yang indah dan nyaman, dibantu seorang babysitter. "Mau ke mana?" Sebuah teguran membuat Aira menoleh ke asal suara. Hasna berdiri di depan pintu kamar itu. "Anak saya di mana, Bu? Ia pasti juga lapar," jawab Aira dengan menoleh ke sembarang arah. Mencari keberadaan Raka. "Anak kamu ada di kamarnya bersama babysitternya."Kening Aira berkerut heran. "Babysitternya?""Iya. Tuan Alex memberikan kamar dan pengasuh khusus untuk anakmu. Karena kamu harus fokus mengurus tuan muda Alister. Sekarang ikut aku! Kamu harus segera makan agar kualitas ASI-mu terjaga.""Tidak! Saya harus menemui dulu anak saya. Ia pasti juga sudah lapar. Saya harus menyusui dia dulu.""Tidak perlu Aira. Anakmu sudah diberi susu formula yang semula dibeli untuk tuan muda Alister….""Apa? Anakku diberi susu formula?" Mata Aira terbelalak. "Iya. Atas perintah tuan Alex."Aira semakin terperangah. Bagaimana bisa ini terjadi? Hati Aira tentu saja menolak keras. "Gila! Ini gila! Aku harus menyusui anak orang lain. Sementara anakku sendiri menyusu di botol?" Aira menatap tajam Hasna dengan dada bergemuruh. Ia rela menjual air susunya demi kelangsungan hidup Raka. Sementara Raka sendiri terabaikan? Aira memejamkan mata dengan perih sebelum berucap, "antar aku ke kamar Raka!"Dengan perasaan tidak enak, Hasna mengantar Aira ke sebuah ruangan agak jauh dari kamar bayi Alister. Aira langsung masuk begitu Hasna membuka pintunya. Wanita itu langsung mencari keberadaan sang anak. Setengah berlari ia menuju box bayi yang sangat mirip dengan milik Alister di kamarnya. Mata wanita itu terbelalak saat melihat seorang babysitter sedang menyusui Raka dengan botol besar di tangannya. Aira segera meraih tubuh Raka, dan membawa dalam dekapannya sambil menangis. Raka yang kaget ikut menangis. Pedih rasanya harus melihat sang anak menyusu dari dot, sedangkan air susunya ia berikan langsung kepada anak orang lain dengan penuh kasih sayang. "Di mana aku bisa menemui tuan besarmu?" tanya Aira menatap tajam Hasna yang merasa tak enak hati. "Maaf, Aira. Kami hanya menjalankan tugas sesuai perintah tuan….""Ya, aku tahu, makanya aku ingin bicara dengan tuanmu. Tunjukkan aku jalannya!" Aira memotong. Hasna menatap Aira beberapa saat sebelum menunduk sebentar, menarik napas panjang, lalu memberi kode agar Aira mengikuti langkahnya. Dengan Raka dalam gendongan dan mulai tenang, Aira mengikuti langkah Hasna menuju lantai bawah. Tempat baru yang semakin membuat kepala Aira pusing harus menghafal setiap lekuk rumah ini, hingga mereka sampai di depan sebuah pintu tinggi bercat putih. Hasna mengetuk pintu, hingga suara bariton dari dalam mempersilahkan masuk. Aira mengekori Hasna memasuki ruangan di mana pria berwajah dingin duduk gagah menekuri layar komputer di meja kebesarannya. "Maaf, Tuan. Aira mau bicara." Hasna langsung menyampaikan tujuannya setelah sebelumnya mengangguk hormat. Alexander menoleh, menatap Hasna dan Aira bergantian dengan ekspresi dingin seperti biasa. "Ada apa?" tanyanya datar. "Saya tidak jadi bekerja di sini, Tuan besar. Saat ini juga, saya mengundurkan diri!" ucap Aira lantang dengan dada terasa turun naik cepat.4Wajah dingin Alexander semakin merengut. Sepasang alis tebalnya saling bertaut. Rahang kokohnya mengeras, bahkan urat-urat halus di pelipisnya terlihat berkedut. Lelaki itu marah mendengar ucapan Aira. Aira sendiri tidak peduli, ia langsung meninggalkan ruangan yang disinyalir ruang kerja boss dengan urat-urat wajah kaku itu. "Apa yang kau inginkan, Aira Andriani? Apa kau ingin gajimu aku naikkan?"Langkah Aira terhenti di depan pintu. Ia urung membukanya karena mendengar pertanyaan Alexander bernada tinggi. Aira berbalik. Terlihat lelaki berwajah sedingin es itu berdiri di belakang mejanya. "Tidak Tuan, terima kasih," jawab Aira datar seraya meraih handle pintu. "Lalu kau mau apa, Perempuan?" Lagi, suara lelaki itu menahan langkahnya. Kembali Aira berbalik. "Sudah saya katakan, saya tidak mau apa-apa, Tuan. Saya hanya ingin mengundurkan diri dan pergi dari sini," ujar Aira sedikit kesal. "Kau pikir semudah itu pergi dari rumahku?" Alexander keluar dari belakang mejanya, kemu
5"Makan semua makanan itu agar tubuhmu sehat dan air susumu melimpah!" Perintah Alexander menunjuk berbagai makanan yang terhidang di atas meja. Aira kini duduk menghadap meja makan ukuran besar, dengan banyak makanan lezat menggugah selera. Semua makanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Semua makanan yang ia tidak tahu apa namanya. "Apa semua ini halal?" tanya Aira menunjuk semua makanan itu. Kemudian menatap bos berwajah dingin yang duduk sangat jauh darinya. Alexander duduk di kursi paling ujung dari meja makan berbentuk oval itu, sedangkan dirinya duduk di ujung lainnya dalam satu garis lurus. Jarak mereka sekitar tiga meter dengan makanan lebih banyak berada di hadapannya daripada di depan lelaki itu. "Maksudmu apa?" Wajah Alexander merengut, alis tebalnya bahkan saling bertaut. "Apa aku harus menunjukkan KTP-ku agar kau tahu agama yang kuanut?"Aira membuang muka. Sepertinya lelaki es ini menganut agama yang sama dengan dirinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nam
6"Apa?" Mata wanita semampai terbelalak lebar, mulutnya menganga. "Ibu sambung Alister?""Ya, kenapa?" Alexander bertanya dengan santainya. Tak menghiraukan dua wanita hampir loncat bola mata dan jantungnya. Kembali wanita itu mendekati Alexander yang masih duduk di tempatnya. "Apa kau masih waras, Alex? Bagaimana bisa kau mencari ibu sambung untuk Alister? Sementara aku ini masih istrimu!""Tidak lagi semenjak kau keluar dari rumahku, Vallery! Aku sudah menceraikanmu!" Alexander menjawab sambil memukulkan kedua tangannya ke meja. Kedua bola mata wanita bernama Vallery semakin melebar. Wajahnya memucat. Ia meraih lengan Alexander. "Tidak! Kau tidak pernah menceraikanku, Alexander! Kau masih suamiku. Kita tidak akan pernah bercerai. Aku hanya minta waktu dua tahun saja untuk mewujudkan mimpi yang tertunda, lalu kita melanjutkan pernikahan ini. Aku akan mengurus Alister nanti!" Vallery memekik seraya mengguncang lengan Alexander. Namun, lelaki itu mendengkus sebelum menepis tangan
7"Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan!" perintah Alex setelah Vallery keluar ruangan. Lelaki berwajah sedingin es itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya. "Maaf, Tuan. Apa maksud Anda mengatakan kalau saya calon ibu sambung Tuan muda Alister?" tanya Aira tidak sabar. Ia bahkan masih berdiri di tempatnya tadi. Aira tidak nyaman dengan ucapan Alexander yang satu itu. Terlebih wanita cantik tadi jadi menebarkan kebencian karenanya. Alexander yang sudah duduk lebih dulu, mendongak. Menatap wajah Aira yang masih berdiri kaku. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum berucap lagi. "Duduklah dulu, biar kujelaskan ….""Tidak, sebelum Anda menjelaskan apa maksudnya. Saya ….""Memangnya apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir ucapanku itu serius?" potong Alex dengan kesal. Lelaki itu sampai bangkit dari duduknya. "Kau pikir aku serius mengatakan itu?" ulang Alex menatap tajam Aira yang terhenyak. "Percaya dirimu terlalu tinggi, Perempuan. Aku sarankan jangan terlalu banyak
8Aira memasuki kamar Raka dengan gontai. Wanita itu mulai mengenali seluk beluk rumah besar itu, hingga tak perlu ditemani untuk sekadar mencari kamar anaknya. Dengan lemah ia mendudukkan dirinya di kursi samping box Raka. Bayi tiga bulan yang sedang ia perjuangkan masa depannya itu terlihat sudah pulas. Raka memang anak yang tidak menyusahkan sejak lahir. Tidak pernah nangis rewel yang membuat kedua orang tuanya kerepotan kecuali sedang sakit. Aira yang sejak melahirkan, harus mengurus bayinya sendiri karena sudah tak memiliki orang tua dan jauh dari mertua, tak pernah merasa kerepotan walaupun Randi tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah. Anehnya, walaupun Raka begitu anteng untuk ukuran bayi, tak pernah membuat Randi –sang ayah bahagia dan bangga atas kelahiran bayi itu. Randi malah lebih sering menyalahkan Aira yang terlalu terburu-buru hamil, dan tidak lagi fokus mengurus suami gara-gara kehadiran Raka di antara mereka. Ayah yang aneh bagi Aira. Namun, itulah Randi. Sejak
9Pagi-pagi sekali Aira sudah bersiap. Selepas salat Subuh, dan menyusui Alister, wanita itu menyempatkan diri ke kamar Raka, yang juga tengah disusui dengan ASI yang ia perah semalam. Miris memang, bayi orang lain disusui langsung dengan dipeluk penuh kasih sayang, sedangkan bayi sendiri harus disusui dengan cara diperah. Bahkan bila masih kurang, terpaksa dibuatkan susu formula. Namun, lagi-lagi Aira meyakinkan dirinya kalau semua demi kebaikan Raka juga. "Mbak. Biar saya susui langsung Raka, sebentar. Mumpung Alister sudah kenyang dan tidur lagi." Aira meraih tubuh mungil Raka yang berbaring di box-nya, kemudian disusui sambil duduk. "Raka, Sayang. Anak ganteng Mama. Gimana tidurmu, Nak? Raka nggak rewel, kan?" Aira mengajak ngobrol Raka yang juga menatap dirinya sambil menyusu. Melihat sepasang bola mata bening milik sang anak, rasa bersalah kembali menyeruak. Apalagi membayangkan tadi malam Raka tidur tanpa pelukan dirinya seperti biasa. Dada yang tiba-tiba sesak mendorong a
10Alexander membuang pandangan setelah keduanya terlibat saling tatap nyalang. Lelaki itu memutuskan kontak mata lebih dulu. "Hanya saja sayang, kalau pegawai salon tidak ada kerjanya. Padahal aku juga sudah membayar mereka," ujarnya dengan suara tidak setinggi tadi. Pandangannya tertuju keluar jendela. Ya, ia memang memiliki salon pribadi di rumah. Pekerja salon yang dulu ia pekerjakan atas permintaan Vallery. Aira tidak menjawab. Ia sudah terlanjur kesal dengan pria dingin dan menyebalkan itu. Tangannya terulur hendak meraih kertas kontrak yang tadi diletakkan di atas meja. Niatnya membatalkan saja pekerjaan itu sekalian, daripada terus berada dalam tekanan lelaki aneh seperti Alexander. Namun, sedetik saja tangannya berhasil meraih kertas-kertas itu, tangan lain dengan cepat mendahului. Tangan kekar mengambil kertas kontrak dan menggenggamnya erat, hingga Aira tak dapat meraihnya. Tangan Alexander. "Mulai hari ini kau resmi jadi ibu susu Alister. Masa kerjamu selama dua tahun
11"Ai," panggil Randi dengan bibir bergetar, setelah beberapa saat lalu terpaku melihat Aira dan penampilannya. "Mas Randi?" Kening Aira berkerut. Ia sedikit mundur saat tangan lelaki itu nyaris menyentuhnya. Wanita itu berdiri agak jauh. Sempat menarik napas panjang setelah memperhatikan dengan seksama sosok lelaki yang masih berstatus suaminya. Heran melanda, melihat Randi yang sekarang jauh berbeda dengan Randi yang ia tinggal sebulan lalu. Tubuh kurus, rambut sedikit gondrong, wajah layu, pipi tirus, dan lingkar mata yang menghitam. Lelaki itu terlihat lebih tua dari usianya. Padahal usia Randi baru dua puluh enam tahun. Selisih empat tahun saja dengannya yang baru dua puluh dua tahun. Apa yang terjadi dengan lelaki itu sepeninggal dirinya? Bukankah dia sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya? "Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya Aira pada akhirnya setelah mereka hanya saling memperhatikan penampilan masing-masing. "Kamu cantik sekali, Ai," ucap Randi dengan tatapan ka