7
"Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan!" perintah Alex setelah Vallery keluar ruangan. Lelaki berwajah sedingin es itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya. "Maaf, Tuan. Apa maksud Anda mengatakan kalau saya calon ibu sambung Tuan muda Alister?" tanya Aira tidak sabar. Ia bahkan masih berdiri di tempatnya tadi. Aira tidak nyaman dengan ucapan Alexander yang satu itu. Terlebih wanita cantik tadi jadi menebarkan kebencian karenanya. Alexander yang sudah duduk lebih dulu, mendongak. Menatap wajah Aira yang masih berdiri kaku. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum berucap lagi. "Duduklah dulu, biar kujelaskan ….""Tidak, sebelum Anda menjelaskan apa maksudnya. Saya ….""Memangnya apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir ucapanku itu serius?" potong Alex dengan kesal. Lelaki itu sampai bangkit dari duduknya. "Kau pikir aku serius mengatakan itu?" ulang Alex menatap tajam Aira yang terhenyak. "Percaya dirimu terlalu tinggi, Perempuan. Aku sarankan jangan terlalu banyak nonton film dan baca novel roman. Mana ada laki-laki yang langsung memutuskan menjadikan seorang wanita ibu sambung anaknya, di hari pertama pertemuan mereka! Mana ada laki-laki langsung menjatuhkan pilihan tanpa menyelidiki siapa wanita itu. Mana ada cinta pada pandangan pertama. Mana ada seseorang langsung mengambil keputusan secepat itu, tanpa belajar dari kegagalan sebelumnya. Realistis Aira, mana ada semua itu? Seharusnya kau bisa berpikir kalau semua itu hanya ada di film dan novel!"Alex bicara panjang dan berapi-api. Wajah dinginnya semakin menakutkan di mata Aira. Wanita itu berkedip berkali-kali setelah sebelumnya terperangah hebat. Ya, Alex benar. Semua cerita seperti itu tidak ada di dunia nyata. Cerita Cinderella dan sejenisnya hanya ada di film dan dongeng. Sungguh sangat tidak tahu diri dan memalukan. Terlalu percaya diri. Mana mungkin Tuan besar seperti Alexander memperistrinya walaupun hanya untuk dijadikan ibu sambung anaknya. Lihatlah siapa dirinya, dan siapa Alexander. Bahkan bila dibandingkan dengan wanita bernama Vallery, tidak ada seujung kuku pun. Bagai bumi dan langit. Jadi, kalaupun Alexander mau beristri lagi, pasti mencari wanita yang lebih dari Vallery, atau minimal sepadan, bukan upik abu seperti dirinya. Buka wanita berstatus tidak jelas dan baru pertama kali bertemu. Bukan wanita yang memiliki bayi juga. Ah, sungguh memalukan kamu, Aira! Terlalu percaya diri! Aira terus merutuki dirinya, bahkan tak sadar sampai menoyor kepalanya sendiri. Hingga suara Alexander terdengar lagi, dan membuyarkan semuanya. "Duduklah! Aku harus menjelaskan tugas dan tanggung jawabmu di sini. Agar semua jelas, dan kamu fokus mengurus Alister. Ini kontrak kerja yang harus kau tanda tangani!" Alex kembali duduk dan mempersilahkan Aira duduk juga di hadapannya. Kemudian lelaki itu menggeser beberapa lembar kertas di atas meja. "Duduklah Aira, apa kau tidak pernah belajar sopan santun?" ujar Alex lagi saat melihat Aira masih mematung sambil menoyor kepalanya sendiri berkali-kali. "I-iya Tuan." Gegas Aira duduk dengan gugup. Rasa malu karena terlalu percaya diri membuat wajahnya panas, dan salah tingkah. Ia bahkan duduk dengan tegang. "Seperti janjiku yang tertulis di iklan itu, aku akan menggaji siapa pun yang bersedia menyusui anakku sebesar sepuluh juta rupiah. Tapi sebelumnya, kau baca dulu kontrak kerja ini. Tanyakan apa yang tidak jelas. Lalu tandatangani setelah kau menyetujui semuanya. Aku tidak menerima keberatan, dan aku tidak akan merevisi isi kontrak itu. Jadi kalau kau tidak setuju dengan poin-poin kontrak itu, kau boleh membatalkan niatmu menjadi ibu susu untuk anakku agar aku bisa segera mencari pengganti!" papar Alex panjang dengan sikap dingin seperti biasa. Aira melirik sebentar ke arah wajah dingin itu, sebelum meraih kertas-kertas di atas meja dengan tangan sedikit gemetar. Wanita itu segera membaca kertas kontrak itu dengan tegang. Halaman demi halaman ia baca dengan seksama takut ada poin yang dinilai merugikan dirinya. Semua poin terasa wajar untuk pekerjaan seorang pengasuh, atau lebih tepatnya ibu susu, sampai pada poin ia dan Raka akan memiliki kamar terpisah. Terasa janggal untuk Aira, karena selama tiga bulan ini belum pernah semalam pun mereka terpisah. Bagaimana mungkin mereka harus tidur terpisah? "Ma-af Tuan, saya keberatan poin ini." Aira menunjuk sebuah halaman. "Kenapa saya dan Raka harus punya kamar terpisah? Kenapa kami tidak tidur di kamar yang sama? Bagaimana kalau Raka lapar tengah malam?" Aira bertanya dengan penuh keheranan. Wajah Alexander merengut. Lelaki es itu menyandarkan punggungnya dengan kasar ke sandaran kursi. Kemudian menarik napas panjang. "Begini, aku jelaskan dulu." Alexander mulai menjelaskan. "Alister punya alergi dengan susu formula. Aku sudah berusaha mencari susu paling bagus yang cocok dengannya, bahkan sampai mengimpor dari luar negeri. Tapi selalu ada efek samping yang mengikutinya, hingga aku tidak mau ambil resiko yang takutnya serius di kemudian hari. Aku juga sudah berkonsultasi dengan dokter anak, dokter gizi, dan entah dokter-dokter apalagi, tetapi mereka semua sepakat kalau susu yang paling cocok dan aman adalah ASI. Aku bisa saja membeli ASI dari donor ASI yang tidak diketahui siapa orangnya. Tapi lagi-lagi aku tidak mau mengambil resiko dengan membeli ASI dari pendonor berbeda. Sementara anakku butuh itu selama dua tahun. Aku ingin memberi makanan sehat untuk anakku dari orang yang jelas. Hanya satu orang. Terlebih, Alister juga tidak mau menyusu dari botol selain terpaksa. Ia hanya ingin menyusu langsung dengan seorang ibu, mungkin merasa lebih nyaman, entahlah. Karena itu aku berani membayar mahal siapa pun yang bersedia menyusui langsung anakku selama dua puluh empat jam. Pasti kau sudah membaca syarat itu sebelum datang ke sini, bukan?" Diakhiri pertanyaan, Alexander menjelaskan walaupun tetap dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Aira diam. Ya, itu memang salah satu syarat untuk pelamar yang tertera di selebaran itu. Namun, ia tidak pernah menyangka akan seperti ini. Aira tidak menyangka kalau harus memisahkan anaknya sendiri demi pekerjaan ini. "Tapi Tuan, anak saya juga butuh ibunya, bukan? Bagaimana kalau Raka tengah malam terbangun ingin menyusu? Apa saya harus berlari ke kamarnya?" tanya Aira lemah dengan tetap tertunduk menatap kertas-kertas kontrak itu. "Anakmu tidak ada alergi dengan susu formula, bukan? Anakmu juga bisa minum dari botol. Kamu bisa memerah ASI-mu untuk anakmu saat sedang sibuk dengan Alister. Untuk anakmu bisa dibantu susu botol juga. Sementara untuk Alister, aku ingin kau standby setiap saat. Kau akan mendapatkan fasilitas kamar pribadi bersebelahan dengan kamar Alister. Tapi kau harus tidur di kamar anakku saat malam, agar mudahkanlah kalau Alister lapar. Sementara anakmu akan ada pengasuh khusus yang mengurusi."Aira memejamkan matanya mendengar semua yang dikatakan Alexander. Tak tega rasanya harus menomorduakan Raka untuk anak orang lain. Ibu macam apa dirinya kalau sampai melakukan itu. Namun, ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Pekerjaan ini sangat penting untuk dirinya dan Raka. Entah harus ke mana mereka seandainya harus pergi dari sana. "Semua terserah kamu, Aira. Sekarang bawa saja berkas kontrak itu dan pelajari dulu. Pikirkan dengan matang. Kalau kau setuju, besok pagi aku tunggu kertas itu di sini, sebelum sarapan. Tapi kalau kau tidak mau, berikan saja pada Hasna. Lalu segera tinggalkan rumah ini. Minta antar siapa saja, agar kau tidak tersesat lagi. Tidak perlu menemuiku dulu." Alexander berdiri setelah mengatakan semua itu. Tak peduli Aira yang sejak tadi diam dalam kegamangan. Bahkan, hingga meninggalkan ruangan itu, Aira tak bersuara lagi. Wanita itu terus diam tertunduk memikirkan bagaimana nasib dirinya dan Raka kelak.8Aira memasuki kamar Raka dengan gontai. Wanita itu mulai mengenali seluk beluk rumah besar itu, hingga tak perlu ditemani untuk sekadar mencari kamar anaknya. Dengan lemah ia mendudukkan dirinya di kursi samping box Raka. Bayi tiga bulan yang sedang ia perjuangkan masa depannya itu terlihat sudah pulas. Raka memang anak yang tidak menyusahkan sejak lahir. Tidak pernah nangis rewel yang membuat kedua orang tuanya kerepotan kecuali sedang sakit. Aira yang sejak melahirkan, harus mengurus bayinya sendiri karena sudah tak memiliki orang tua dan jauh dari mertua, tak pernah merasa kerepotan walaupun Randi tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah. Anehnya, walaupun Raka begitu anteng untuk ukuran bayi, tak pernah membuat Randi –sang ayah bahagia dan bangga atas kelahiran bayi itu. Randi malah lebih sering menyalahkan Aira yang terlalu terburu-buru hamil, dan tidak lagi fokus mengurus suami gara-gara kehadiran Raka di antara mereka. Ayah yang aneh bagi Aira. Namun, itulah Randi. Sejak
9Pagi-pagi sekali Aira sudah bersiap. Selepas salat Subuh, dan menyusui Alister, wanita itu menyempatkan diri ke kamar Raka, yang juga tengah disusui dengan ASI yang ia perah semalam. Miris memang, bayi orang lain disusui langsung dengan dipeluk penuh kasih sayang, sedangkan bayi sendiri harus disusui dengan cara diperah. Bahkan bila masih kurang, terpaksa dibuatkan susu formula. Namun, lagi-lagi Aira meyakinkan dirinya kalau semua demi kebaikan Raka juga. "Mbak. Biar saya susui langsung Raka, sebentar. Mumpung Alister sudah kenyang dan tidur lagi." Aira meraih tubuh mungil Raka yang berbaring di box-nya, kemudian disusui sambil duduk. "Raka, Sayang. Anak ganteng Mama. Gimana tidurmu, Nak? Raka nggak rewel, kan?" Aira mengajak ngobrol Raka yang juga menatap dirinya sambil menyusu. Melihat sepasang bola mata bening milik sang anak, rasa bersalah kembali menyeruak. Apalagi membayangkan tadi malam Raka tidur tanpa pelukan dirinya seperti biasa. Dada yang tiba-tiba sesak mendorong a
10Alexander membuang pandangan setelah keduanya terlibat saling tatap nyalang. Lelaki itu memutuskan kontak mata lebih dulu. "Hanya saja sayang, kalau pegawai salon tidak ada kerjanya. Padahal aku juga sudah membayar mereka," ujarnya dengan suara tidak setinggi tadi. Pandangannya tertuju keluar jendela. Ya, ia memang memiliki salon pribadi di rumah. Pekerja salon yang dulu ia pekerjakan atas permintaan Vallery. Aira tidak menjawab. Ia sudah terlanjur kesal dengan pria dingin dan menyebalkan itu. Tangannya terulur hendak meraih kertas kontrak yang tadi diletakkan di atas meja. Niatnya membatalkan saja pekerjaan itu sekalian, daripada terus berada dalam tekanan lelaki aneh seperti Alexander. Namun, sedetik saja tangannya berhasil meraih kertas-kertas itu, tangan lain dengan cepat mendahului. Tangan kekar mengambil kertas kontrak dan menggenggamnya erat, hingga Aira tak dapat meraihnya. Tangan Alexander. "Mulai hari ini kau resmi jadi ibu susu Alister. Masa kerjamu selama dua tahun
11"Ai," panggil Randi dengan bibir bergetar, setelah beberapa saat lalu terpaku melihat Aira dan penampilannya. "Mas Randi?" Kening Aira berkerut. Ia sedikit mundur saat tangan lelaki itu nyaris menyentuhnya. Wanita itu berdiri agak jauh. Sempat menarik napas panjang setelah memperhatikan dengan seksama sosok lelaki yang masih berstatus suaminya. Heran melanda, melihat Randi yang sekarang jauh berbeda dengan Randi yang ia tinggal sebulan lalu. Tubuh kurus, rambut sedikit gondrong, wajah layu, pipi tirus, dan lingkar mata yang menghitam. Lelaki itu terlihat lebih tua dari usianya. Padahal usia Randi baru dua puluh enam tahun. Selisih empat tahun saja dengannya yang baru dua puluh dua tahun. Apa yang terjadi dengan lelaki itu sepeninggal dirinya? Bukankah dia sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya? "Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya Aira pada akhirnya setelah mereka hanya saling memperhatikan penampilan masing-masing. "Kamu cantik sekali, Ai," ucap Randi dengan tatapan ka
12Alexander berdiri kaku di tempatnya. Menatap wanita yang berjalan menuju jendela dengan terus berusaha menenangkan bayi Alister yang nangis kejer, akibat kaget, juga karena tidurnya terganggu. Alexander masih berdiri kaku di sana tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Sekilas ia melihat kilat kemarahan di mata Aira. Namun, sepertinya bagi wanita itu menenangkan Alister lebih penting daripada mengurus kemarahannya. Alexander sendiri kaget bukan kepalang. Ia tidak tahu kalau Aira sedang berpenampilan seperti itu di dalam. Gara-gara tak sengaja melihat foto-foto Vallery, sakit hatinya kembali menyeruak. Tak percaya rasanya wanita yang begitu ia cintai tega meninggalkan dirinya, juga buah cinta mereka yang masih bayi hanya demi mengejar cita-cita masa mudanya menjadi model internasional. Untuk mengusir rasa sakit hati dari luka yang menganga akibat kepergian sang mantan istri, Alexander berniat menemui Alister yang ia kira sudah tidur. Ia ingin memeluk dan mencium bayinya itu sebelum
13"Tidak, Tuan! Tetap harus dimasukkan ke dalam kontrak, untuk melindungi hakku sebagai wanita!" Aira menyambar dengan cepat, lalu bicara tegas penuh penekanan seraya melemparkan tatapan tajam ke arah wajah dingin yang juga menatapnya. Alexander memutuskan kontak mata lebih dulu, dengan kembali menatap lurus ke depan. Membuang napas kasar berkali-kali. "Baik, besok tanda tangani lagi suratnya di ruang kerjaku!" jawabnya dengan sedikit getar kesal dalam suaranya. Hening. Tak ada yang bicara lagi setelah itu. Baik Alex ataupun Aira hanya diam memperhatikan hamparan kerlap-kerlip di kejauhan sana. Aira merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sementara Alex tidak tahu harus berkata apa. Hanya desau angin malam yang semakin dingin menerpa tubuh keduanya. "Hampir setiap malam kau berdiri di sini menatap bintang. Kau suka sekali berdiri di sini malam-malam, ya? " tanya Alex pada akhirnya. Membuat Aira menoleh heran. Keningnya berkerut dalam. Dari mana Alexander tahu kalau ia serin
14Hampir saja Aira membanting ponsel yang sejak tadi diremasnya kuat. Marah? Tentu saja. Bagaimana ada manusia seperti Randi? Setelah apa yang dilakukan kepada dirinya, dengan tidak tahu malu laki-laki itu datang lagi menceritakan semua kesusahannya. Memohon bantuan. Memaksa lebih tepatnya. Sungguh laki-laki tidak tahu diri. Apa ia lupa bagaimana perlakuannya? Apa Randi pikir, dirinya manusia tanpa hati, yang walaupun sudah disakiti masih bisa dimanfaatkan? Sayangnya, Aira sudah tak peduli lagi apa yang terjadi dengan laki-laki itu. Ingin Aira mematikan ponsel agar Randi tak bisa menghubunginya lagi. Namun, ia ingat masih ada urusan yang belum selesai dengan laki-laki itu. Mereka belum bercerai resmi. Aira takut Randi menyerangnya dengan alasan itu. Ia takut Randi nekat dan berbuat ulah. Aira menarik napas panjang. Sepertinya ia harus bersabar untuk saat ini. Jangan terpancing emosi. Jangan gegabah. Ikuti dulu arusnya. Sampai mereka benar-benar bercerai. Ia harus mulai menyusu
"Jangan merengut! Tidak baik pagi-pagi memasang wajah masam di ruang makan!" tutur Alexander saat mereka sudah berada di ruang makan dan siap sarapan. Aira memutar bola mata malas. Tentu sambil menunduk agar sang boss tidak melihat. 'Tidak baik pagi-pagi memasang wajah masam.' Aira menirukan kalimat Alexander. Tentu hanya dalam hati juga. Dia bilang apa? Tidak baik? Helow, dia sendiri selalu memasang wajah dingin. Bukan hanya pagi-pagi, tetapi setiap saat. Bukan hanya di ruang makan, tetapi di semua tempat dan situasi. "Habiskan makananmu, lalu siapkan perlengkapan Alister!" lanjut lelaki itu lagi, setelah meneguk segelas air dan mengelap mulutnya dengan tisu. Kemudian berdiri dan meninggalkan ruang makan dibuntuti pria bernama Jo. Aira hanya menatap punggung yang selalu terbalut kemeja hitam itu dengan kesal sambil memiringkan salah satu ujung bibirnya. Wanita itu kesal. Masa pergi keluar sebentar saja harus membawa dua bayi. Bagaimana bisa ia leluasa menyelesaikan masalahnya?