Share

Part 6. Queen of Drama

"Honey..." Joshua memunculkan kepalanya setelah mengetuk pintuku.

"What do you want Josh..." Aku menurunkan dokumen yang sedang kubaca sedikit. Aku hafal gayanya akan meminta sesuatu.

"Aku membelikanmu ice cream... " aku menerimanya ice cream caramel dan coklat itu dengan cepat dan sadar dia sedang mengusahakan sesuatu dengan membuatku senang. Es krim karamel dan coklat adalah salah satunya.

"To the point Josh! Kau tak lihat tumpukan dokumen dimejaku."

"Well... Aku berharap...Aku berharap, kau bisa membantuku dalam sebuah hal... " Dia duduk didepanku sambil tersenyum lebar, dia sedang bertele-tele, aku mengerutkan keningku. Si licik ini menunggu aku menghabiskan es krim ini.

"Josh percepat bicaramu... kau punya tiga menit bicara sebelum cup eskrim ini kosong." Aku masih punya banyak pekerjaan dimejaku.

"Well, I wish ...I really wish ... you could go to Paris with me next month, 19 June, only two days for weekends..."

"What happen in 19th June ...?" Aku meneruskan menyuapkan ice krim itu.

"Sepupuku menikah, ...bisakah kau pergi bersamaku, aku tak punya teman..." Aku berhenti. Sebuah pikiran sudah melintas di benakku. Dia menyambar terlebih dahulu.

"No...no...no... I will said you only my friend. F.R.I.E.N.D. only .I know what you thinking but I know clearly my limit, ... please honey. Grant my wish**..." Dia bahkan menambahkan spellingnya dan memohon dengan sungguh-sungguh membuatku ingin tertawa.

"Aku akan membelikan gaun apapun yang kau suka, sepatu untuk pesta itu ... apapun yang kau inginkan. Kita akan tinggal di hotel dan tidak tinggal bersama keluarga. Honey please... say yes please... " Pria pengacara corporate tampan ini bisa berteriak garang diruangan sidang tapi memelas sekarang didepanku dengan puppy eyes.

"Aku tak tahu Josh. Itu masih lama dan aku tak tahu apa ada pekerjaan saat itu, kau tahu kita bahkan tidak punya jadwal yang free jika kita sedang di kasus. Jika aku bisa ... aku akan lakukan."

"Yes..yes... thank you honey ... " dia membuat gerakan heboh yang membuatku ingin melemparnya dengan sesuatu.

"Josh, jangan memanggilku Honey. Nanti semua orang menyangka kau kekasihku. Itu merusak peluangmu sendiri..." Dia tersenyum lebar sekarang.

"What... ?!" Aku heran dia hanya duduk dan tersenyum seperti orang bodoh didepanku.

"Nothing... I see you later. Thank you honey." Dia langsung menghilang di balik pintu. Meninggalkan aku dengan cup es krim ditanganku.

Josh yang manis dengan ungkapan cintanya. Dia tak pernah membahasnya lagi sejak malam itu, bahkan pagi setelahnya sebelum dia harus pergi, dia tetap berlaku seperti biasa. Bahkan menyiapkan aku sarapan untukku sebelum pergi. Aku kadangkala merasa bersalah dengan Josh, harusnya dia tak bersamaku, entahlah rasanya dia terlalu baik. Tapi tak bisa kupungkiri aku nyaman dengannya selama ini.

Memusingkan. Aku menghela napas panjang. Pekerjaanku masih menumpuk. Ponselku berbunyi dan aku melihat layarnya. Ethan Brown.

"Charlotte." Suara Ethan diujung telepon.

"Ethan... apa yang bisa kubantu." Tiga hari setelah percakapan terakhir kami dia akhirnya meneleponku.

"Apa yang sebenarnya kau lakukan? Anna bahkan tidak mau berbicara dengan anaknya soal perceraian dengan anaknya? Apa yang kau rencanakan dengan semua kepelikan ini."

"Aku sudah mengatakan padamu, Anna tidak akan merubah keputusannya lagi. Dia ingin hanya ingin bercerai dengan damai atau kita akan menempuh jalan yang sulit dan saling menghancurkan. Cuma dua pilihan yang kita punya. Kau sudah bertanya pada Tuan Alan?"

"Kau tahu betapa sulitnya mengendalikan pembicaraan jika klienmu adalah ayah temanmu... Aku tidak bisa mencari informasi apapun, dan he somekind of old school man, intolerable stubborn... Dia malah balik menekanku mencari cara lain. My God Charlotte... aku belum pernah merasa buntu begini."

"Well, bicaralah pada anaknya, temanmu itu ... bahwa aku mengancammu dan suruh di bicara dengan ayah."

"Kau tahu, temanku itu sampai sekarang terus menyalahkan Lionel sebagai sumber bencana ini. Dan jika aku bicara ancamanku 100% dia akan berpikir kau adalah sumber bencananya. Dan dia akan mendatangimu dengan ancamannya sendiri, Bapak dan anak itu sama-sama punya mulut besar, dan keras kepala, mereka punya banyak uang, dan sebagian besar mereka berpikir uang akan menyelesaikan segalanya buat mereka."

"Baiklah, katakan padanya jika aku akan mencuri uangnya jika dia tidak melakukan apa yang harus dilakukannya, buat ayahnya menandatangani surat perceraian itu. Dan aku tidak akan membual, dalam 7 hari kedepan aku akan membuat berita buruk melalui media, dan memberinya mimpi buruk yang belum pernah dia hadapi sebelumnya."

"You really sure about this Charlotte,..."

"Definitely. Aku hanya punya dua pilihan untukmu dan tinggal 7 hari sebelum aku melanjutkan langkahku."

"Sebenarnya apa yang kau rencanakan. Kau ingin berhadapan dengan anaknya face to face? Jika kau ingin didengar kenapa kau tidak minta bertemu dengan anak-anaknya. Aku bisa mengatur pertemuannya."

"Ethan, I know what I'm doing. I do have my reason." Diam disana.

"Kau punya alasanmu. Rupanya segala jenis drama ini lebih memusingkan dari hukum korporat. Setelah ini aku tak akan pernah lagi mengambil bagian dalam drama keluarga. Once is enough, I swear to God...I would never! Ever! Doing this shit again!" Aku tertawa terbahak-bahak mendengar Ethan menyumpah.

"Darling, I have told you I'm good in drama scene..."

"Fine... aku akan beritahu William Bowen. Kau lebih baik bersiap jika dia datang padamu. Dia akan membawa keributan tepat didepan matamu."

"I'm ready."

"Charlotte, mau makan malam denganku?"

"What!?"

"Hanya makan malam, di restoran manapun yang kau inginkan."

"Kenapa kau mengajakku makan malam."

"Kau perlu alasan, kita tidak akan membicarakan pekerjaan. Hanya sesi obrolan pribadi. Just like in Monaco..." Aku tertawa. Sesi pribadi yang terjadi atas dasar kecelakaan tak terelakkan itu nampaknya menjadi tak terlupakan.

"Kita sedang berhadapan dalam kasus Ethan. Ini akan terlihat sedikit tidak profesional. Dan tambahan kau tahu bagaimana pandanganku terhadap sebuah ...hubungan... lebih baik kau tak membuang waktu bersamaku." Sebuah benteng kupasang untuknya. Seharusnya kami tak bertemu lagi seusai sesi curahan hati yang panjang itu. Tapi ternyata kami bertemu lagi.

"Kau sangat defensif... "

"Aku melakukan kebaikan hingga kau tak membuang waktumu..."

"Aku tak merasa membuang waktu Charlotte. Dan kurasa makan malam bersama teman tidak akan mengakibatkan kita merugi waktu. Lagipula aku juga pernah menceritakan padamu bahwa aku juga ... pemilih dan punya masalah mempercayai wanita."

"Please Ethan, kita lakukan setelah kasus ini selesai."

"Bagaimana jika kasus ini panjang hingga bertahun-tahun kemudian. Dan aku dan kau terlibat perebutan kekayaan pernikahan bertahun-tahun kemudian."

"Itu tak akan terjadi." Aku tertawa.

"Kau sangat yakin. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu."

"Nanti kau akan tahu, setelah kau bisa membawa temanmu padaku."

"You're definetely Queen of Drama." Aku tertawa atas klaim yang dikatakan banyak orang padaku.

============

"Charlotte, ada keributan di depan. Seseorang mencarimu dengan marah-marah." Jam kantor hampir berakhir ketika deringan telepon membuat aku mengerutkan alis. Aku langsung keluar dari kantor pribadiku.

"Saya ingin bertemu Charlotte, katakan pada wanita itu aku perlu bicara dengannya sekarang! Where the hell is she!" Aku mendengar, sebuah nada tinggi terlontar di kantor depanku tempat para paralegal bekerja.

"William kau tak perlu marah-marah begitu!" Kalau aku tak salah itu suara Ethan. Aku berjalan ke lorong yang menghubungkan front office ku dengan kantor pribadi, Lily mengekor dibelakangku.

"That Bitch! Dia adalah setan yang mengubah Ibuku! Kenapa aku harus tenang Ethan!" Aku akhirnya melihat siapa yang bicara. Seorang pria seumur dengan Ethan. Memakai jas dan datang dengan berkacak pinggang. Ini pasti anak pertama Ny. Anna, William Bowen. Disampingnya ada seorang pria lagi, tampaknya dia adalah adiknya karena mereka memiliki garis wajah yang sama. Itu pasti adiknya Edward Bowen.

"Apa yang terjadi disini..." Joshua tiba-tiba muncul di tengah keributan.

"Aku ingin bertemu Charlotte Blaine, katakan padaku dimana dia."

"Saya Charlotte... Apa yang bisa saya bantu." Aku tiba didepan pria itu.

"Witch or Bitch!Hell, here you're... We need serious talk right now woman**." Dia maju ke depanku dan menunjuk mukaku. Ethan menariknya. Dan Joshua maju menengahi.

"Jangan melewati batas Tuan!" Joshua menghalangi William dariku. Satu lagi dorongan perkataan dan akan ada adu jotos disini tampaknya.

"Lily, meeting room one..." Lily segera keluar dan menyiapkan ruangan meeting private. Aku tidak perlu saling tunjuk dan kelakuan primitif emosional para pria disini, dan ini dia yang dikatakan Ethan sebagai intolerable stubborn disaster.

"Tuan-tuan kita perlu duduk. Bantu dirimu sendiri Tuan William, tenangkan dirimu atau kita tidak kemana-mana. Follow me." Aku berjalan keluar dari ruangan dan menuju ke ruang meeting private disamping ruangan clusterku.

Pria-pria itu mengikutiku dan Joshua ikut masuk. Aku membiarkannya setidaknya aku punya back-up jika keadaan menjadi buruk. Kami semua akhirnya duduk, walaupun William tampak berusaha keras menenangkan dirinya.

"Minumlah William. Kita harus bicara dengan kepala dingin... " Aku berusaha masuk dengan nada rendah dan menenangkan situasi saat tiga orang itu sudah duduk berhadapan dengan aku, Lily dan Joshua.

"Aku tak perlu mendinginkan kepalaku Nona Charlotte. Kau yang harus mendinginkan kepalamu, apa yang kau suntikkan di pikiran Ibuku sehingga dia bisa bertindak seperti itu. Kau ingin menghancurkan keluarga kami!? Atau kau hanya tertarik dengan persentase yang kau dapatkan dari perebutan harta kami. Aku tak tahu kalian pengacara perceraian punya manner tercela. Apa perkerjaanmu hanya tertawa diatas penderitaan orang dan memunguti kekayaan dari kehancuran orang lain!" Dia bicara dengan nada tinggi dan kali ini sambil berdiri dari kursinya, dan tetap menunjukkan jarinya padaku.

"William!" Ethan menariknya duduk.

"Lepaskan aku Ethan... " Dia mengibaskan tangan Ethan tapi akhirnya duduk. Sekarang letusan emosinya sudah dilepaskan. Dia akhirnya duduk sementara aku tak bicara apapun. Aku menghela napas panjang.

Joshua tampaknya sudah gatal ingin membalas perkataannya. Tapi aku menaruh tanganku dibawah memberi tanda padanya untuk tenang.

"Baiklah William, aku sudah mendengarkanmu... Tentu kau boleh mengatakan apa saja padaku. Tapi seharusnya kau belajar mendengarkan Ibumu...." Aku belum selesai bicara ketika William menyelaku.

"Aku mencintai Ibuku, kau yang membuatnya punya pikiran aneh seperti itu. Kau membuatnya menjauh dari keluarga kami dan membuatnya kehilangan dirinya. Apa kau bisa membela dirimu dari kelakuan tercelamu... Bitch!"

"Mind your word man!" Joshua tidak bisa bertahan untuk tidak bersuara.

"Baiklah William, kau yakin kau sudah berusaha mendengarkan Ibumu? Setidaknya memperhatikan keadaannya. Sekarang aku ingin kau dengarkan ini...." Aku mengambil handphoneku. Dan menaruhnya didepannya. Itu adalah rekaman percakapanku dengan Anna. Dan aku memang sudah menyiapkan ini dengan persetujuan Anna sendiri.

"Selama ini aku selalu diam Charlotte. Bertahun-tahun dari ulang tahun ke 15 pernikahan kami, pertama aku mengetahui yang salah. Seorang wanita datang ke rumahku dan mencari Alan. Dia membawa seorang anak berumur lima tahun... Wanita itu bilang itu Anak Alan, dia memperkenalkan diri dan mengatakam padaku, Alan belum mengirimkan jumlah yang dia minta untuk child supportnya. Kau tahu Charlotte, duniaku runtuh saat mendengarnya ..."

Suara isakan pertama Anna membuat semua orang didepanku diam. Dan William yang dari tadi bermuka garang, duduk diam di kursinya dengan muka tertegun.

"It's ok Anna... Here..." itu suaraku saat menawarkan tissue ke Anna.

"Aku tahu wanita itu tidak bohong. Aku seperti hampir melihat Edward kedua berdiri didepanku... Semua yang ada di Alan ada di anak itu. Tapi Alan menyangkalnya didepanku dan tidak mengakuinya. Dia berkata wanita itu berbohong dan dia akan mengurusnya. Wanita itu adalah mantan kekasihnya. Entah sejak kapan mereka membohongiku, aku tak tahu... Tapi dia terus berbohong padaku, dia terus menemui wanita itu dibelakangku dan memberikan semua tunjangan padanya. Anak itu hanya tiga tahun lebih muda dari Edward, ...”

“Saat itu kami bertengkar hebat dan aku pergi dari London lebih dari dua minggu saat itu. Anak-anak menyangka aku pergi ke rumah neneknya yang sakit. Dia terus mengancamku untuk tidak bercerai ... dia bilang aku mengorbankan perasaan anak-anak kami.....Dan dia tidak akan membiarkan kami bercerai. Saat itu aku hanya seorang wanita yang merawat anak-anak dan keluargaku sepenuh hati. Aku tak bisa melawannya dan pikiranku buntu. Tapi saat itu semuanya hancur berkeping-keping tanpa bisa dipulihkan lagi ..." Dua anak Nyonya Anna tampak shock. Cerita panjang itu bercampur antara kata-kata yang terputus dan isakan pilu Anna.

"Maafkan aku Charlotte, ....aku tidak bisa mengatakan ini sendiri didepan anak-anakku. Aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa memulai bercerita. Ayah mereka bagi mereka adalah seperti pahlawan mereka, dan kadang aku merasa, entahlah seperti ...seorang Ibu yang hanya punya tugas membesarkan anak-anaknya...." suara isakan mengisi jeda pembicaraan, aku ingat saat itu Anna berusaha keras berhenti menangis dan tak berhasil, dia malah terisak dengan hebat di sepanjang pembicaraan selanjutnya. Sementara aku hanya bisa menepuk bahunya dan merangkulnya.

"Semuanya jadi abu saat itu, ... Alan tak pernah mencoba minta maaf, dia hanya mengancamku untuk tidak bercerai dan terus memberiku uang, mengatakan betapa anak-anak kami akan terguncang jika aku tidak bertahan... Dan dia mulai menjauhi hubungan pribadi denganku pada saat yang sama. Aku telah menurutinya kupikir dia akan minta maaf dan membuatku percaya lagi padanya. Aku menurunkan harapanku, tak apa dia mensupport wanita itu, itu anaknya. Aku mencoba berdamai dengan kenyataan itu."

"Aku punya harapan kami akan membaik setelah kami berkompromi , tapi semua itu tak pernah terjadi. Dia terus bersikap manis tapi berbohong dibelakangku, dia mulai mempunyai banyak affair , aku mempunyai banyak uang sehingga aku menyewa detektif untuk mengikutinya sekian lama, mengetahui dengan siapa saja dia berhubungan.” Isakan terpurus terus berlajut.

“Saat bertahun-tahun aku sudah lelah bertengkar aku menyerah, aku diam. Aku seperti tak punya pilihan, aku bukan wanita muda, saat itu aku sudah berusia 40 tahun dan tak lagi muda... beberapa saat aku menyalahkan diriku, kurasa beberapa tahun setelahnya adalah titik terendahku, sampai temanku mendorongku untuk ke psikolog karena kadang aku hampir tak bisa tidur karena semua masalahku dan aku kecanduan pill tidur... aku hanya bisa bercerita pada sahabatku, kadangkala aku hanya ingin pergi dari rumah, tapi ada anak-anak membutuhkanku, William sedang remaja dan sangat takut anakku terpukul dan meninggalkan rumah, aku takut dia mencoba drug untuk mengobati kekecewaannya pada kami."

"It's oke Anna...You will be ok." Saat itu aku ikut menangis mendengar semua ceritanya, Ibuku cukup beruntung bisa keluar dari pernikahannya yang buruk walau dia tidak pernah percaya pada pria lagi, dan berhasil berdikari untukku. Tapi wanita ini memutuskan bertahan berpuluh-puluh tahun demi dunia sempurna anak-anaknya. I feel sorry for her.

"Kau tahu ... mungkin aku tak berani bertindak atau aku bodoh, aku mencintai anak-anakku, dan aku berpikir wanita-wanita itu tak berhak merampas kebahagian anak-anakku, aku mengorbankan diriku demi dunia anak-anakku. Kami sudah hancur dan aku tak perduli lagi, aku terbiasa mencari pelampiasan yang lain... Perasaanku sudah kebas dan dengan terbiasa berpura-pura kami adalah keluarga yang berbahagia... aku akhirnya bangkit dengan bersikap masa bodoh,... saat aku kesal, aku terbiasa menangis sendiri, pergi entah kemana menyenangkan diriku. Aku mencari pengobatanku sendiri. Saat aku bicara padamu sekarang , kukira aku tak akan menangis lagi, aku tak tahu aku masih bisa menangis seperti ini..." Diam sesaat, saat itu Anna sudah tak menangis lagi.

"Aku tak tahu kenapa di akhir hidupku aku bertemu dengan Lionel, teman lama yang sudah lama aku tak temui. Saat ini kupikir aku berhak mencoba bahagia dengan pilihanku sendiri. Punya seseorang yang akan mengenggam tanganku lagi. Dan disini aku bicara denganmu ..." aku menghentikan rekaman itu dan ketiga pria didepanku diam. Aku hanya diam menunggu dan tidak bicara apapun. Mereka perlu waktu untuk menerima kebenaran ini.

Kami cuma diam cukup lama sehingga kupikir aku perlu membuka pembicaraan. Tapi tiba-tiba William berdiri dan berjalan pergi ke pintu. Tanpa satu katapun.

"Will... " Edward saudaranya berdiri dan menyusul kakaknya. Sementara Ethan terdiam dan memandangku.

"Kenapa kau tak mengatakan ini padaku sebelumnya..." Aku menghela napas.

"Dari pertama kau benar tentang satu hal Ethan... Kau tak bisa masuk secara personal. Maka aku perlu orang yang bisa masuk secara personal... Aku tak akan membuat drama besar soal kasus ini, ancamanku kemarin hanya gertakan untuk membawa mereka kesini, kupikir anak-anaknya akan muncul dan menyalahkanku karena Anna tidak punya keberanian berbicara langsung dengan mereka, dan saat itu mereka akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku memang suka spotlights, hanya jika kasusku dipenuhi dengan orang yang menyukai drama, dan mereka meminta aku melakukan drama itu. Tapi kali ini aku hanya ingin menolong klienku mendapatkan kebahagiaan, dan kurasa sebentar lagi kita akan mendapatkan jawabannya..." Ethan mengangguk sambil menangkupkan tangannya.

"Well, aku sebenarnya masih terkejut. Aku tak punya sesuatu yang bisa kukatakan sekarang. Tapi terima kasih kau telah memikirkan cara ini. Setidaknya mereka tahu alasan kenapa Ny. Anna mengambil langkah ini. Maaf tadi kau harus menerima kata-kata William, dia harusnya minta maaf padamu..."

"Dan kau ... bukankah kau Joshua Menard, aku ingat kita pernah bertemu sekali sebelumnya di pengadilan..."

"Benar, senang bisa bertemu denganmu lagi Ethan." Joshua menjabat tangannya dan Ethan melirikku. Aku menyeringai kecil. Dia masih mengingat nama yang kusebutkan.

"Aku harus pergi Charlotte, klienku menunggu."

"Thanks Josh." Joshua segera berlalu meninggalkan aku dan Ethan.

"Kau mau ke kantorku untuk mengobrol karena kau sudah disini."

"Sure, tapi ini sudah hampir jam makan malam. Kau belum lapar, bagaimana kalau kita keluar dan makan malam bersama. Drama keluarga ini membuatku cepat merasa lapar." Aku meringis sekarang.

"Apa kau selalu pintar mencari alasan seperti ini?"

"Ayolah Charlotte ini cuma makan malam. Tidak akan membahayakan kehidupanmu atau bayaranmu. My treat? Deal? Kenapa ada sesuatu yang lain yang membuatmu takut makan malam denganku? Kau takut aku menjadikanmu makan malamku?" Dia menaikkan setengah alisnya dengan ekspresi dibuat-buat sekarang. Aku tertawa dan meringis lebar.

"Fine you win, kita makan di Itsu dibawah..." Aku menyebutkan satu restoran Jepang yang terletak dalam satu komplek kantorku di One Bishop Square.

"Japanese? Well, anything you like Charlotte... "

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status