“Rebes lah Om, asal jangan resek! Semua rahasia aman terkendali.” Naya hanya menggelengkan kepalanya, sedangkan Doni mendengkus kesal mendengarnya. Bagaimana tidak, bisa saja Risma ember lalu membocorkan kisah kasih mereka pada Rama atau Bella nantinya. Risma ini lebih pro pada Bella jika sudah ember ketimbang pada Naya.
“Ris jangan begitu ah.” Rajuk Naya merengut kesal pada Risma yang terkekeh geli melihat pasangan kekasih ini sedang menahan emosi masing-masing.
“Ya harusnya gimana Nay? Kalian sama-sama resek sih ya, makanya saling bela kalau salah satunya resek.” Ucap Risma yang setia duduk di belakang setelah si kembar turun, Risma juga tak membiarkan Naya ikut duduk di belakang. Risma tahu jika Naya ingin menemani Doni di depan, jadilah Risma duduk seorang diri di belakang.
“Ya orang mah jadi temen itu gak ember, ini belum apa-apa udah bikin jantungan aja. Jangan sampek Mama sama Papa tau dulu, biar kita yang ngasih tau sendiri. Paham gak sih?” Geram Naya yang diangguki dengan malas oleh Risma.
“Iya gue ngerti, asal kalian akur gak marah-marahan atau ambek-ambekan yang bikin orangtua panik, gue akan jaga rahasia kalian. Tapi kalau sampek kalian marahan terus ambek-ambekannya lama, gue langsung laporan ke Om Rama atau Mbak Bella.” Naya menelan ludahnya kasar mendengar ancaman Risma. Sedangkan Doni yang memang terkenal dengan tenangnya tak merasa terusik dengan ancaman receh Risma.
“Om Doni tenang amat Om?” Tanya Risma heran menatap Doni yang masih bisa tersenyum aneh menatap Naya, “atau jangan-jangan Om Doni gak takut sama anceman aku?” Tanya Risma yang diangguki oleh Doni.
“Ngapain takut? Saya gak pernah tuh ambekan apalagi marah-marah. Paling Naya yang kalang kabut sendiri buat ngontrol dirinya sendiri.” Ucap Doni yang dapat dimengerti oleh Risma. Naya memang selalu mengedapankan egonya daripada berpikir panjang sebelum bertindak. Terkesan ceroboh namun ingin dimengerti orang lain.
“Om gitu ya sama aku?!” Rajuk Naya.
“Kan baru juga dibilang, udah ngambek.” Batin Doni menggelengkan kepalanya.
“Apa sih sayang? Om perasaan mengungkapkan apa yang Om rasakan.” Ucap Doni seolah sedang mencari pembenaran untuk dirinya sendiri.
“Om aku ada info penting loh buat Om, dan info ini gak mungkin Naya bahas sama Om.” Ucap Risma ketika mereka akan turun dari mobil, karena mereka kini sudah sampai di depan universitas Naya dan Risma.
“Apa tuh?” Tanya Doni sambil melepas sabuk pengamannya.
“Nanti aja deh kita bahasnya, Om kayaknya gak fokus gitu.” Ucap Risma yang akan turun dari mobil Doni.
“Eh apa dulu Ris? Saya kasih saweran deh.” Doni mencoba mengiming-ngiming Risma dengan mengeluarkan dompetnya dari saku, lalu mengambil beberapa lembar uang berwarna biru yang Doni miliki di dompetnya.
“Om nyawernya kurang estetik ah, warnanya yang merah dong Om.” Risma melunjak ingin minta lebih, atau memang sedang memanfaatkan keadaan ketika Doni sedang berbaik hati ingin memberinya uang.
“Ngelunjak, sini dulu makanya.” Ucap Doni melambaikan tangannya agar Risma kembali masuk dan mengunci pintu mobilnya.
“Om punya saingan namanya Bagas, Om.” Doni terbelalak mendengar informasi yang baru saja didengarnya. Dengan cepat Risma menyambar uang yang dipegang oleh Doni.
“Udah ayo Om buka dulu pintunya, keburu telat kita.” Ucap Risma sambil menghitung uang yang diambilnya dari Doni.
“Risma!” Pekik Naya yang membuat Risma meringis cengengesan.
Doni menatap Naya dengan mata membulat utuh, hatinya bagai diiris meskipun informasi yang didapatnya belum tentu benar. Namun hatinya sudah panas lebih dulu sebelum mendengar penjelasan dari Naya. Doni menatap Naya yang menggelengkan kepalanya tanda itu tak benar, namun Doni kepalang emosi lalu memejamkan matanya untuk menetralkan itu semua.
“Nah itu dia, Om yang namanya Bagas.” Tunjuk Risma pada seorang lelaki yang baru saja datang dengan mengendarai motor matic berwarna hitam.
“Itu tadi namanya siapa Ris?” Tanya Doni yang lupa dengan nama Bagas.
“Bagas, Om. B-A-G-A-S.” Ucap Risma mengeja huruf untuk melafalkan nama Bagas.
“Oh iya Bagas, tapi kalian gak sekelas kan?” Tanya Doni lagi.
“Sayangnya kita sekelas Om.” Jawab Risma yang membuat Doni makin menatap tajam Naya.
“Tapi Naya gak deket-deket dia kan pas di kelas?” Tanya Doni lagi.
“Stop! Om udah nanya dua kali, setiap pertanyaan bernilai seratus ribu, dan Om udah nanya dua kali sesuai dengan uang yang aku pegang saat ini.” Ucap Risma lalu memasukkan uang tersebut ke dalam sakunya.
“Ya ampun bocil itungan banget sama duit. Nanti saya kasih lagi, ayo kasih tau infonya.” Bujuk Doni yang akan kembali mengambil dompetnya dari saku.
“Om nanti kita telat masuknya, kalau mau detail nanti jemput kita lagi aja. Terus siapin uang seratus ribu setiap kali mau nanya. Oke Om?” Naya menatap Risma tak percaya, apa-apaan ini temannya seolah sedang menjual informasi tentang dirinya kepada kekasihnya. Apa yang bisa dijadikan uang dia libas semua. Tapi Naya membiarkannya ketika masih dalam hal wajar, jika sudah melenceng maka Naya akan angkat bicara.
“Iya Om, nanti aja lagi ngobrol sama Rismanya. Sekarang kita udah telat banget, udah tinggal 5 menit lagi dosennya masuk kelas Om.” Doni akhirnya membuka kunci pada pintu mobilnya, Naya dan Risma mencium tangan Doni dengan takzim lalu mereka memasuki gedung universitas.
“Aduh baru juga pacaran seminggu, udah dibikin kalang kabut aja denger si kecil punya pengagum. Eh tapi dia gak akan menang lawan gue, gue yang jadi pemenangnya, itu pasti. Karena Naya udah jadi miliki gue sekarang, apa yang gue takutin sih? Ayolah Don, Naya juga tergila-gila sama lu.” Monolog Doni sambil melajukan kembali mobilnya menuju kantor.
Pagi ini dia dan Rama disibukkan dengan beberapa agenda, namun dia akan menyempatkan diri untuk bisa menjemput pujaan hatinya nanti siang. Demi apa? Demi untuk mendapatkan informasi penting dari Risma, meskipun harus menyiapkan uang yang tidak sedikit. Doni akan lakukan itu, Doni tidak keberatan sama sekali dengan syarat dari Risma. Namun baru Doni sadari jika Risma sangat pintar memanfaatkan kesempatan ini untuk menguntungkan dirinya.
Doni tahu jika Risma adalah anak dari Diki yang menjadi tangan kanan Dimas, maka Doni tak sayang memberi uang yang disebutkan oleh Risma, hitung-hitung sedang memberi uang jajan yang terselubung bisnis antar keduanya. Simbiosis mutualisme.
“Ram masih lama enggak?” Bisik Doni ketika mereka sedang menghadiri rapat bersama dengan divisi pemasaran. Duduk Doni sudah tidak setenang tadi, kini dia mulai memperhatikan jam yang ada di tangan kanannya. Rama yang melihat kegelisahan Doni hanya menatapnya heran tanpa berkomentar apapun.“Ram, gue cabut duluan ya? Boleh kan?” Tanya Doni lagi ketika pertanyaannya tadi tak mendapat respon sama sekali. Duduknya mulai gelisah dan tidak fokus mendengar penjelasan yang dipaparkan oleh peserta rapat.“Mau kemana sih kok gelisah begini?” Tanya Rama namun tatapannya tetap terfokus pada seorang peserta yang sedang mempresentasikan materi.“Mau jemput Naya, tadi udah janji. Nanti ngamuk Ram.” Ucap Doni jujur namun mendapat gelengan kepala dari Rama.“Biar dijemput sama Pak Man, biar gue chat Pak Man-nya.” Ucap Rama lalu mengambil ponselnya yang ada di saku jas.“Jangan!” Pekiknya yang membuat seorang peserta yang sedang presentasi langsung diam, bukan hanya dia seorang melainkan seluruh pesert
“Jadi mau nanya apa Om?” Tanya Risma yang sudah mengembalikan uang Doni pada Naya untuk dipegang, dia sudah berjaga untuk mengambil satu lembar uang berwarna merah itu dari tangan Naya.“Jelasin aja dulu.” Pinta Doni yang mendapat gelengan kepala dari Risma.“Dih ogah banget, rugilah akunya, Om. Om yang menang banyak kalau begitu, Om denger penjelasan tanpa nanya apapun ke aku.” Pekik Risma yang membuat Doni makin salut dengan otak dagang teman kekasihnya ini.“Jelasin aja gak apa-apa Ris, nanti setiap berhenti ambil seratus ribu. Ngerti?” Risma mengangguk setuju lalu mengambil napas dalam untuk memulai bercerita dengan Doni.“Jadi gini Om.” Risma berhenti lalu mengambil satu lembar uang seratus ribuan itu. “Bagas itu udah lama naksir Naya.” Risma kembali mengambil satu lembar, “Bagas naksir dari pertama masuk ospek, Om.” Risma lagi-lagi mengambil uang yang dipegang oleh Naya. Naya menepuk pelan tangan Risma yang akan kembali mengambil uang.“Kebiasaan gragas, terlalu memanfaatkan pel
“Kita udah dapet ijin dari Bos besar, mau makan kemana sayang?” Tanya Doni setelah panggilannya dengan Rama usai. “Ke resto Om aja yang ada disekitar sini.” Ajak Naya yang membuat Risma mengangguk antusias. “Kenapa ngangguk-ngangguk begitu?” Tanya Doni yang membuat Risma cengengesan. “Hehe seneng aja Om, di sana pas sama lidahya aku rasanya. Aku seneng kalo di sana, bisa makan sepuasnya tanpa khawatir bayar mahal.” Ucap Risma sambil nyengir. “Emang pernah bayar sendiri kalo makan sama Om Doni?” Ketus Naya yang terdengar kesal. “Weits sabar bestie, ngapa jadi ngegas? Ya enggak pernahlah, lawong Om Doni orang pengertian kok sama kantong-kantong bocil. Pasti Om Donilah yang bayar. Iya kan Om?” Doni hanya mengangguk agar pertengkaran mereka segera selesai. “Udah ah jangan pada berantem, bentar lagi sampek loh.” Lerai Doni yang membuat keduanya diam. --- “Alhamdulillah kenyang banget.” Ucap Risma sambil mengelus perutnya yang kini terasa penuh. “Iyalah kenyang, orang semua menu di
Mereka pulang dengan senyum merekah karena mendapat kehbahagiaannya sendiri-sendiri. Naya yang sedari tadi mengulum senyumnya menatap gelang yang dibelikan oleh Doni, Risma yang bahagia karena mendapat kalung dan gelang untuk diberikannya pada Yuni diulang tahunnya nanti. Doni yang menatap bahagia kekasih kecilnya yang sedari tadi tersenyum dan mengelus lembut gelang yang dipakainya. “Assalamu’alaikum….” Salam mereka ketika sampai di rumah Rama. “Wa’alaikumsalam, sore banget Kak.” Jawab Bella sekaligus menggerutu karena putrinya pulang sangat sore. “Iya maaf Ma, keasikan soalnya.” Ucap Naya lalu mencium tangan Bella. “Maaf Bel, anak-anak pada heboh abis makan minta ke Mall.” Ucap Doni yang akhirnya dimengerti oleh Bella. “Wih ada yang seneng nih, nenteng apa tuh?” Tanya Bella ketika melihat Risma senyum semringah menatapnya. “Ini tadi dibeliin Om Doni, Mbak. Mau buat kado si Mamah yang ulang tahun bulan depan.” Jelas Risma yang membuat Bella ikut senang. “Ya udah masuk dulu ayo
Rama mencari Naya kesegala penjuru kamar, sampai berhenti tepat di depan pintu kamar mandi Naya. Rama mengetuknya berkala namun tak mendapat sahutan sama sekali. “Kemana ini anak.” Gumam Rama ketika tak mendengar sahutan maupun gemericik air dari kamar mandi Naya. Rama turun untuk mencari Naya barangkali ada di ruang makan atau di dapur bersama Bella, namun matanya memicing ketika melihat pintu kamar Doni yang terbuka sedikit. Rama mengetuk pintu kamar Doni untuk memastikan jika pikirannya tidak benar. “Don, Naya ada di dalem?” Tanya Rama sambil mengetuk pintu. “Gak ada Ram, masuk aja.” Jawab Doni sambil mengeraskan suaranya. Setelah mendapat izin dari Doni, Rama langsung masuk lalu mengedarkan pandangannya mencari Naya. Matanya terfokus pada kamar mandi Doni, Rama menuju ke kamar mandi untuk memastikannya. Dibukanya dengan tergesa dan ternyata tak ada siapapun di sana. “Nyari apa sih Ram?” Tanya Doni heran dengan sikap Rama. “Naya enggak ada di kamarnya Don.” Keluh Rama lalu dud
Doni semakin rutin mengantar dan menjemput Naya akhir-akhir ini. Bisa dikatakan Doni terserang virus pubertas kembali dan rasa bahagianya berkali-kali lipat bertambah jika sedang bersama Naya, terlebih jika melihat senyum dan tawa lepas Naya. Rama dan Bella tak menyadari kedekatan mereka karena memang mereka selalu dekat meskipun belum menjadi sepasang kekasih. Doni menutup diri dari hingar bingar wanita semenjak merasakan sakit karena pengkhianatan enggan membuka hatinya kembali. Fokusnya hanya ingin berkarir dan tiba-tiba saja berpikir jika jodohnya adalah Naya, Doni yang melihat binar mata Naya—bayi kecil yang dibawanya pulang dari rumah sakit bersama Rama itu seolah langsung tersihir. Doni fokus pada perkembangan Naya kecil, remaja hingga kini akan menginjak dewasa. Semua momen tak pernah Doni lewatkan, tingkah maupun gaya rajukan Naya dihapalnya diluar kepala. Semua terekam jelas di kepalanya kini, jika Rama enggan mewujudkan keinginan Naya maka Naya langsung mengadu pada Doni.
Doni sengaja pagi-pagi sudah tiba di rumah Rama untuk meminta penjelasan perihal acara rapat dengan Pak Robert. Sedari semalam Doni tak bisa tidur karena sudah berjanji dengan Naya untuk ikut serta merayakan ulang tahun Yuni. Doni memang menuruti keinginan Naya, namun dia juga memperhitungkan banyak hal, yang ada di kepala Doni adalah mereka bisa datang kesana, memantau keadaan dari kejauhan dan jika keadaan memang bisa dimasuki oleh Naya dan Doni maka Doni akan ikut serta didalamnya. “Pagi…..” Sapa Doni riang ketika memasuki rumah Rama. “Pagi Om, kesayangan aku dateng. Pagi banget Om?” Tanya Reina langsung menghambur memeluk Doni. “Iya Om ke sini pagi-pagi karena ada perlu sama Papa.” Ucap Doni lalu menatap tajam Rama yang kini tertunduk lesu di tempatnya. “Gendong Om.” Rengek Reina dengan merentangkan tangannya untuk segera disambut oleh Doni. “Adek, Om ada perlu sama Papa.” Tegur Reino yang tidak suka jika Reina selalu bermanja dengan Doni. “Bilang aja iri. Iri bilang bos.” C
“Naya udah berangkat kayaknya Kak Risma.” Jawab Bella meredupkan senyum ceria Risma.“Kok udah berangkat Mbak? Naya marah sama aku ya?” Tanya Risma menatap sendu Bella.“Mungkin pagi ini jadwalnya si Kakak piket Kak Risma.” Ucap Bella menenangkan Risma.“Perasaan gak ada kelas pagi banget deh Mbak.” Ucap Risma yang memang mengikuti aturan rumah Rama dengan memanggil mereka dengan bahasa yang sudah terpaten. Bella sebelumnya sudah berpesan pada Risma dan Naya untuk berbahasa yang baik dan sopan ketika ada adiknya. Tidak dengan bahasa keseharian mereka yang ‘gue lu’ dan memanggil langsung nama jika sedang berada di rumah. Risma selalu memanggil Naya dengan embel-embel ‘kak’, sama halnya dengan Naya yang juga memanggil Risma dengan embel-embel ‘kak’ didepan nama Risma.“Iya kah? Maaf Mbak juga gak tau soalnya.” Bohong, Bella bohong. Karena sebenarnya Bella sangat mengetahui semua aktifitas Naya.Bella berjalan ke arah Risma untuk memberi penjelasan, agar Risma nantinya tidak berselisih