Sofia bangun ketika mendengar suara ketukan pintu. Dengan cepat, wanita itu mendudukkan diri di tepi tempat tidur. Berusaha mengembalikan kesadarannya.
Semalam, setelah meninggalkan Nicholas begitu saja, Sofia langsung terlelap. Mungkin karena kelelahan, membuat ibu muda itu terlelap dengan sangat cepat.
“Mom, El boleh masuk?” tanya suara kecil dari balik pintu.
Sofia tersenyum, ketika mendengar suara anaknya. Ya, El selalu meminta izin untuk melakukan segala hal, termasuk untuk dapat masuk ke dalam kamar ibunya sendiri.
Sofia segera berdiri, bergegas membuka pintu. Dia tersenyum mendapati wajah tampan milik El, yang masih berdiri di depan pintu menunggu dirinya.
“Mom lama sekali.” El tampak kesal karena harus menunggu lama.
Sofia langsung menyejajarkan tubuhnya, dengan tubuh anaknya, lalu mencubit gemas, pipi gembul itu.
“Mom!” El menatap tajam ibunya.
“Sorry Baby.” Sofia menangkup kedua pipi El, lalu menciumnya secara bergantian.
“Uh no Mom!” El mendorong Sofia yang terus menciumnya. “Dad bilang, El tidak boleh disentuh oleh sembarang wanita.”
Sofia membulatkan matanya. Dia bisa menebak, siapa yang mengajarkan anaknya hal seperti itu. Tentu saja Nicholas, pria itu selalu mengajarkan hal-hal aneh kepada El.
“Sayang, Mom ini ibumu bukan wanita lain yang seperti dikatakan Uncle Nic.”
“Dad, Mom! Daddy bilang, bahwa dia daddy El.”
Sofia menghembuskan napasnya, sekeras apa pun dia melarang El untuk memanggil Nicholas dengan sebutan daddy, tetapi tetap saja pria itu selalu melarang dan meminta El untuk memanggilnya dengan panggilan itu.
“Mom, daddy bilang kita harus segera sarapan.” El menarik baju Sofia.
“Uncle Nic masih di sini?”
Mendengar kata uncle, membuat El mengubah sedikit raut wajahnya. Entah kenapa ibunya itu selalu melarang dia memanggil daddy kepada Nicholas, kepada pria yang sudah dia kenal sejak kecil. El tidak pernah mengerti akan hubungan kedua orang dewasa itu, yang dia mau hanya mommy dan daddy sama seperti teman-temannya di sekolah.
Melihat raut wajah anaknya yang berubah, membuat Sofia mengerti. Bukan tidak mau membuat El bahagia, hanya saja dia tidak mau membuat El terlalu bergantung kepada Nicholas.
Bagaimanapun, Nicholas bukanlah ayah kandungnya. Terlebih lagi mereka hanya orang asing yang tidak sengaja dipertemukan.
“Mom mandi sebentar. Pergilah lebih dulu!” Sofia mengacak rambut hitam legam itu, lalu masuk kembali ke dalam kamar.
Dia melangkahkan kaki menuju kamar mandi, dan mulai menanggalkan pakaian satu persatu. Mengguyur tubuh polosnya di bawah shower.
Bayangan malam panas itu kembali terlintas di benaknya. Sofia, merutuki dirinya sendiri yang sampai sekarang tidak mampu mengingat dengan jelas wajah pria asing itu.
Andai saja, malam itu tidak pernah terjadi. Pasti anaknya tidak akan mengalami nasib yang malang seperti ini. Bukan menyesal karena telah memiliki El sebagai malaikat dalam hidupnya, tetapi Sofia merasa menyesal kenapa nasib malang harus menimpa El yang masih kecil dan belum tahu apa-apa.
“Bodoh! Bodoh!” Sofia menarik rambutnya sendiri. Menjatuhkan tubuhnya di bawah guyuran air.
Satu bulir bening, lolos begitu saja dari netra cokelat itu. Air matanya yang selama ini ditahannya kembali keluar. Apakah Sofia mulai lelah menghadapi jalan hidupnya?
Ya.
Terkadang dia merasa lelah menghadapi hidup seperti ini, tetapi bukan berarti dia menyerah begitu saja.
Tidak.
Sofia tidak akan menyerah, karena dia memiliki malaikat yang membuatnya kuat selama ini.
“Mom, El mau punya daddy seperti teman-teman di sekolah.” Perkataan anaknya itu selalu saja terngiang di telinga.
Apa selama ini perannya sebagai orang tua tunggal, tidak mampu menggantikan sosok seorang ayah bagi El?
Sofia menangis, mengeluarkan semua sesak di dada. Membuang beban berat yang mengimpit raga. Bukan tidak mau memberi El orang tua yang lengkap, hanya saja kesakitan di masa lalu membuatnya tidak percaya lagi dengan kata-kata atas nama CINTA. Masih ada luka yang membekas hingga saat ini.
Tidak salah bukan, jika Sofia menangis?
Karena sejatinya, Sofia tetaplah sosok wanita yang lemah. Sekeras apa dia berusaha untuk terlihat tangguh, tetap saja jiwanya selalu menangis di setiap malam.
“Kak, aku rindu pelukan kakak.”
Entah sudah berapa lama, ibu beranak 1 itu duduk di bawah guyuran air. 2 pria yang sedari tadi menunggunya pun mulai dilanda resah.
“Boy, kau sudah pastikan mom bangun kan tadi?”
El mengangguk. “Yeah Dad. Mom bilang dia akan membersihkan tubuhnya terlebih dulu.”
Entah kenapa perasaan Nicholas menjadi tidak tenang.
‘Apa Dia masih marah karena tadi malam?’ batin Nicholas.
“Boy, habiskan sarapanmu dan jangan lupa minum susunya. Dad akan memastikan kondisi mom dulu.”
El mengangguk patuh. Sejujurnya dia juga mengkhawatirkan ibunya. Hanya saja, dia masih sedikit marah, karena ibunya selalu saja melarangnya memanggil Nicholas dengan panggilan daddy. Toh selama ini, Nicholas sendiri yang selalu memintanya untuk dipanggil seperti itu.
Nicholas mengetuk pintu kamar Sofia.
“Fia!” panggil Nicholas di depan pintu kamar wanita itu
“Fia!” panggilnya sekali lagi, tetapi nihil. “Sofia!” panggilnya dengan sedikit berteriak.
Tanpa berpikir panjang, Nicholas membuka kamar Sofia yang kebetulan tidak dikunci. Dipandangnya setiap sudut kamar, tidak ada sosok wanita itu di sana.
“Fia!” Nicholas berjalan masuk ke dalam, mencari wanita yang sempat berdebat dengannya malam tadi.
Sayup-sayup indra pendengarannya menangkap suara gemercik air di dalam kamar mandi. Pria bernetra biru itu, tampak menautkan kedua alisnya. Selama itu, Sofia belum juga selesai dengan mandinya?
“Sofia, I’m here.” Nicholas mengetuk pintu kamar mandi. Berharap wanita itu untuk segera membuka pintunya.
“Fi ....” Panggilan Nicholas terjeda, karena wanita yang membuatnya khawatir akhirnya membuka pintu.
Dengan tubuh yang hanya di balut kimono, rambut pendeknya dibiarkan basah. Mata dan hidung wanita itu tampak memerah.
“Fia are you okay?” Nicholas menyentuh pundak wanita itu. Melihat kondisi Sofia yang terlihat berantakan, membuat Nicholas yakin bahwa wanita itu sedang tidak baik-baik saja.
Sofia tersenyum samar. “I’m okay. Don’t worry Nic.” Sofia berjalan melewati Nicholas, dia tidak mau Nicholas melihat kondisinya yang sedang berantakan.
Melihat Sofia pergi, dengan sigap Nicholas mencekal tangan Sofia. Lalu menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya.
“Fia, ada apa?”
Sofia terdiam, dia tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Nicholas.
“Sofia!” Nicholas mengelus rambut berwarna cokelat tua itu. Logikanya semakin mengatakan bahwa Sofia sedang tidak baik-baik saja.
Sementara Sofia, wanita itu masih tetap terdiam. Untuk saat ini dia sedang tidak ingin apa pun. Sofia hanya butuh sebuah pelukan, untuk meredam segala gejolak yang ada di dalam dirinya.
Di belahan bumi lain. Pria berkulit eksotis itu tampak mendesah berkali-kali. Bukan desah kenikmatan seperti yang dia rasakan dulu, melainkan karena keputusasaan. “Harus ke mana lagi aku mencarimu?” Tatapannya kembali menerawang ke masa lalu. Sementara tangannya menggenggam erat, sebuah kalung bertuliskan nama gadis itu ‘Sofia’. Gadis yang berhasil mengubah hidupnya 180 derajat. Arnold masih ingat benar, netra cokelat yang berhasil membiusnya malam itu. Wajah bulat serta bibir tebal yang masih terus menari dalam ingatannya. “Kenapa? Kenapa Sofia?” Lagi-lagi Arnold mendesah berat. Hingga suara ketukan pintu membuatnya tersadar. Arnold kembali menyimpan kalung itu di laci meja kerjanya, lantas netra abu itu memastikan siapa yang masuk ke dalam ruangannya. “Honey!” seru wanita cantik dari balik pintu. Wanita dengan tinggi tubuh 175 cm itu, jalan berlenggak-lenggok menghampiri Arnold. Mini dress berwarna merah hati tampak menonjolk
Sofia merapikan kembali pakaian kerjanya. Lalu mengambil mantel tebal yang menggantung, dan mengenakannya. Jam pulang telah tiba. Setelah berpamitan kepada teman-teman kerjanya, Sofia segera keluar dari dalam toko pakaian tempat dia bekerja. Wanita itu sedikit berlari ketika mendapati Nicholas melambai dengan tersenyum hangat kepadanya. Pria berkulit putih itu ternyat sudah menunggu di parkiran toko. “Sudah pulang?” Sofia mengangguk. Dia segera mengambil sarung tangan dari dalam tas, lalu mengenakannya. Sebenarnya Sofia alergi udara dingin seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi, tuntutan hidup membuatnya harus terus bertahan. “Cepat masuk! Di luar sangat dingin.” Nicholas segera membuka pintu mobil sport berwarna silver itu. Setelah memastikan Sofia masuk, Nicholas segera menyusul. . . . . . “Apa kau ingin segelas hot cokelat, atau hot cappucino?” tanya Nicholas di dalam perjalanan. “Boleh.” Sofi
Sofia menatap putranya yang sedang menikmati segelas susu hangat di pagi hari. Setelah kejadian malam tadi, Nicholas memutuskan untuk kembali ke apartemen pribadi miliknya. Merasa tidak enak karena sudah melakukan tindakan di luar batas. Sofia menggeleng pelan, kala mengingat kegilaan yang terjadi bersama Nicholas. Sungguh memalukan. Sofia merasa tidak memiliki wajah lagi, walau hanya sekadar untuk bertemu dengan pria itu. “Mom!” panggil El. “Ya.” Sofia menoleh. Lalu mengusap rambut hitam legam miliki putranya itu. “Mom tidak bekerja?” tanya El, sebab dia melihat ibunya masih mengenakan pakaian rumahan. Sofia menggeleng. “Toko ditutup untuk sementara. Badai salju yang terjadi tadi malam, masih menyisakan tumpukan salju di jalanan.” Setelah kepulangan Nicholas dan Kenzo, badai salju kembali menerpa kota Milan. Kali ini lebih besar. Hal itu mengakibatkan banyak tumpukan salju yang memenuhi jalanan. Pemerintah sudah mengerahkan seluruh pe
Jakarta, 23 Februari 2013 Di ruang tamu sebuah rumah mewah tampak seorang pemuda berusia 26 tahun sedang duduk dengan koran di tangannya. Bersantai di hari libur adalah hal langka dalam hidupnya. Ditemani secangkir kopi panas, pemuda itu tampak serius memperhatikan setiap berita yang tercetak di kertas koran. “Kakak!” teriak seorang gadis kecil yang hampir memecahkan gendang telinganya. “Fia kecilkan suaramu yang sangat mengganggu itu!” teriaknya. Sofia terkekeh. Gadis kecil itu adalah Sofia. Di usianya yang sudah menginjak 21 tahun tak membuat Sofia menghilangkan sifat kekanakannya. Dia semakin manja terlebih kepada kakak laki-laki kesayangannya. Ettan Askara pemuda 26 tahun itu adalah kakak Sofia satu-satunya. Putra sulung di keluarga Askara. Mendengar suara merdu sang adik sudah menjadi rutinitas di hari libur seperti ini. “Kakakku yang sangat tampan.” Sofia duduk tepat di sebelah Ettan. Senyum manis tersunggi
Jakarta, 25 Februari 2013 Sinar sang surya kembali menyapa para makhluk di bumi. Memberikan kehangatan serta semangat di pagi hari, tetapi berbeda dengan gadis yang masih bermalas-malasan, bergelung di bawah selimut tebalnya. Hawa dingin masih menyelimuti tubuhnya. Tak ayal hal itu semakin membuat jiwa malas yang ada di dalam dirinya semakin menjadi-jadi. Mendengar suara ketukan pintu. Ah tidak, lebih tepatnya suara gedoran yang mungkin bisa membuat pintu kamarnya jebol saat itu juga. Dengan enggan Sofia melangkahkan kakinya, turun dari tempat ternyamannya dan menuju pintu. “Hei tuan putri!” seru Ettan dari balik pintu dengan seringai khasnya. Sofia menatap jengah sang kakak. Kesal bukan main karena mimpi indahnya terganggu begitu saja karena kehadiran sang kakak. “Tumben Kakak ada di rumah,” gerutu Sofia dari balik pintu. Bukan tanpa alasan Sofia mengatakan hal demikian. Ini adalah hari Senin dan Sofia tahu bahwa kakaknya itu p
Milan, 02 Maret 2018 Detik demi detik berlalu begitu cepat. Tak terasa waktu keberangkatan Nicholas ke Indonesia semakin dekat. Sebelumnya Nicholas sempat menunda keberangkatannya sampai beberapa minggu. Musim dingin telah berganti. Suasana hangat mulai menyelimuti kota Milan. Dedaunan dan bunga-bunga mulai bersemi lagi. Aroma khas ini kembali menyapa para makhluk bumi di Milan Sofia membantu El untuk membereskan tas sekolahnya. Hari ini setelah libur musim dingin, putranya itu akan kembali masuk sekolah. Sofia tidak perlu merasa khawatir lagi meninggalkan El, sebab di sekolah akan lebih aman. “Nanti Mom jemput … ingat jika ada orang yang tidak dikenal menjemput, jangan pergi bersamanya!” pesan Sofia. El mengangguki perkataan ibunya. “Jangan menerima apa pun dari orang asing ….” Sofia mengusap lembut kepala El. “Jangan ….” Ucapan Sofia terhenti ketika El memotongnya. “Jangan berbicara dengan orang asing. El ingat
Milan, 04 Maret 2018 Pada dasarnya setiap pertemuan pasti akan menimbulkan perpisahan. Terima atau tidak hal itu pasti akan terjadi. Dipisahkan oleh jarak dan waktu, bagi mereka yang sudah biasa hidup bersama tentu meninggalkan rasa kehilangan yang cukup mendalam Mau bagaimana lagi? Memaksa Sofia untuk tetap ikut juga tidak mungkin dilakukan Nicholas. Berusaha untuk tetap tinggal juga tidak mungkin, karena ada orang tua yang sudah sepuh menunggu kepulangannya. Meski sang putra, El menangis meminta dirinya untuk tetap tinggal tetapi Nicholas tidak dapat melakukan itu. “Dad jangan pergi. El tidak akan memiliki daddy lagi,” ucap anak berusia 4 tahun itu dengan berderai air mata. Nicholas berjongkok, memeluk erat tubuh putranya. Meski El bukan darah dagingnya, tetapi El tetap putranya sampai kapan pun. Sofia mendongakkan wajahnya, mencoba menahan air mata yang sedari tadi memaksa untuk keluar. Menggigit kuat bibir bawahnya agar tang
Rintik hujan kembali membasahi permukaan bumi. Aroma khas dari dinginnya air hujan, membuat hati siapa pun terasa nyaman. Tak terkecuali Sofia. Wanita itu tampak berjalan di balik payung, di bawah rintik hujan. Ingin rasanya dia berada lebih lama di bawah air hujan, yang memberikan kenyamanan di dalam diri. “Aroma ini, aku sangat menyukainya.” Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman yang terlihat sangat manis. Langkah kecilnya terus melangkah menuju sekolah putranya. Dia sengaja berjalan kaki guna bisa menikmati cuaca sore ini. “Mom!” seru anak kecil di depan gerbang sekolah. Sofia tersenyum. Kakinya segera melangkah menghampiri sang putra. “Bagaimana dengan harimu, Sayang?” tanya Sofia. Tangannya mengusap rambut hitam legam itu, lalu berjongkok menyamakan tinggi tubuh mereka. “Sangat baik Mom,” jawab El antusias. “Kalau begitu mari kita pulang!” ajak Sofia dengan nada bersemangat ***