“Yo! Apa yang sedang kaupikirkan?” Leander menepuk bahu Hero dan membuyarkan lamunannya.
“Kau pasti tahu ada banyak hal yang membuatku bingung,” jawab Hero pelan.
Leander yang mengenakan pakaian santai itu mengambil sesuatu dari saku celananya. “Ini pakailah! Wajahmu tampak kusut dengan rambut begitu, atau kaupotong pendek saja sepertiku,” saran Leander lalu menyodorkan karet gelang untuk Hero.
Hero tersenyum mengingat ia tidak merapikan rambutnya yang tumbuh lebih panjang saat tiba di Gardraff. Selesai merapikan setengah bagian rambutnya yang menghalangi pandangan, Hero mengucapkan terima kasih. Leander tampak bersahabat dan ramah, tak butuh waktu lama mereka pun bisa akrab.
“Lean ... oh, ayolah! Kenapa kau bisa lupa kegiatan hari ini?” Seema datang dari belakang.
“Hei! Aku tidak lupa, ini baru saja mau mengajak Hero,” sanggah Leander.
“Ayo, cepat! Kita berangkat,” ajak Seema.
“Kita mau ke mana? Kenapa harus berlari seperti ini?” tanya Hero namun tetap mengikuti ajakan Seema.
“Guru Farrabi mengutus kami untuk mengajakmu keliling kota. Kebetulan sebentar lagi anak-anak latihan memanah, kau bisa ikut belajar juga sebelum keliling kota.” Meski sedang memberi penjelasan pada Hero, Seema tak menurunkan kecepatan berlarinya.
Gadis itu mengenakan boots cokelat dan seragam latihan memanah. Rambut lurus sebahunya dibiarkan tergerai rapi, namun Seema mengenakan pengikat kepala kecil berwarna merah. Ia memang cukup sering memakai pengikat kepala, saat ada pertemuan seperti kemarin maka ia akan menggantinya dengan rangkain bunga-bunga kecil yang berwarna senada dengan gaun. Seema memiliki warna bola mata hitam pekat dengan tatapan mata yang tajam, ketika ia memperhatikan seseorang, hawa keberadaannya seperti elang yang mengintai mangsa.
“H-Hero, pelan-pelan saja ... kita tidak akan bisa menandingi kecepatan Seema, dia mengajari anak-anak memanah, nanti kita cukup melihat saja,” saran Leander dengan napas terengah-engah.
“B-Baiklah ... aku juga kelelahan.” Hero dan Leander berhenti sejenak sebelum menyusul Seema.
***
Tiba di tempat latihan, Seema bergegas membantu belasan anak-anak berlatih memanah. Sesekali ia memang diminta untuk datang sebab Seema adalah pemanah terbaik kedua di Gardraff.
“Lantas siapa pemanah terbaik nomor satu di kota ini?” tanya Hero menyela cerita.
“Ayahnya, dan Seema sudah latihan memanah sejak usianya lima tahun,” jelas Leander.
“Hm, kau tahu banyak tentang Seema,” gumam Hero.
“Tentu, ayahku dan ibunya adalah saudara kandung. Jadi aku dan Eireena adalah sepupu Seema dan Genio. Kami tumbuh besar di Gardraff, sepuluh bulan setelah Kota Gardraff berdiri, aku dan Eireena lahir, satu bulan kemudian Seema pun lahir.”
“Apa karena kalian keluarga jadi tinggal di istana yang berdekatan? Dan sejak kapan Kota Gardraff berdiri?”
“Sejarahnya panjang, namun Kota Gardraff masih remaja seperti kita, kemarin tepat berusia 16 tahun. Dan di sini ada tiga keluarga bangsawan petinggi kota, Gladiolus, Wisteria, dan Lupine. Sejak aku lahir, tempat tinggal kami sudah berdekatan seperti itu,” ujar Lean panjang lebar.
“Itu berarti usiaku sama dengan kota ini,” lirih Hero.
“Biasanya setiap tahun memang ada manusia yang dipanggil ke sini, merekalah yang memberi ide supaya Kota Gardraff bisa maju, seperti di dunia manusia. Kau adalah manusia keenam belas, dan karena kau bukan orang dewasa seperti manusia sebelumnya, jadi diangkat anak oleh paman Atalla,” kata Seema menengahi percakapan Lean dan Hero.
“Apa maksudmu dengan manusia? Bukankah kalian juga manusia?” selidik Hero.
“Ayahku, paman Atalla, dan bibi Xalma ibunya Lean berasal dari bangsa peri. Sementara ibuku, bibi Mana, dan paman Argana adalah manusia. Semuanya bermula sejak 16 tahun lalu, semua peri di sini berubah wujudnya seperti manusia dan manusia yang berada di sini pun mendapat kelebihan seperti peri,” jawab Seema dengan lugas.
“Ini terlalu berat,” pikir Hero. Ia berusaha pelan-pelan mencerna penjelasan Seema. “Kelebihan seperti apa yang dimiliki peri?” Hero kembali melontarkan tanya.
“Seperti ini ....” Seema lalu mengeluarkan api berwarna ungu pucat di tangannya. Hero berdiri dari tempat duduknya karena terkejut.
“Ajaib sekali,” komentar Hero. Matanya terbelalak namun telunjuknya ingin menyentuh api itu.
“Hero, itu adalah api yang hanya dimiliki keturunan Wisteria, kau bisa terbakar sampai ke tulang-tulangmu kalau menyentuhnya,” gertak Lean dan berhasil membuat Hero menarik tangannya dengan ekspresi wajah ketakutan.
“Bangsa peri juga dianugerahi umur panjang sampai ratusan tahun, kecuali terkena suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan lalu meninggal atau terbunuh dan dibunuh, karena itu seluruh penduduk di sini belajar berpedang dan melindungi diri.” Lean menambah penjelasan dari Seema.
“16 tahun lalu, apa yang terjadi antara bangsa peri dan manusia?” tanya Hero sambil melihat Seema memainkan api ungu di tangannya.
“Tidak tahu detailnya, ada buku sejarah khusus dan kita bisa membacanya setelah berusia 17 tahun. Kau bisa tanya saja pada orang dewasa, yang jelas bangsa peri sudah ada sejak seribu tahun lalu dan dulu pernah terjadi perang antara bangsa peri dan manusia. Tapi orang dewasa di sini sangat pandai menjaga rahasia. Aku dan Seema sudah berkali-kali mencoba mencari tahu lebih banyak dan tidak berhasil.” Lean mengingat lagi ia dan Seema pernah berusaha mencuri buku sejarah di ruang rahasia dan sudah sering meminta kedua orangtua mereka, guru Farrabi, dan penduduk kota untuk bercerita, namun gagal.
Sejauh ini Hero cukup paham, barangkali ada cerita kelam yang belum pantas diketahui oleh remaja seusia mereka.
“Lean, hanya karena kau mengenakan celana longgar selutut dan kaos lengan pendek biasa, bukan berarti ini waktunya kita bersantai! Aku sudah selesai mengajari anak-anak dan membereskan peralatan, sekarang kita harus menuju kota sebelah Timur.” Seema mengingatkan Leander bahwa kegiatan hari ini adalah mengajak Hero berkeliling kota.
“Sebaiknya kita berjalan saja, aku sedang memakai sepatu hadiah dari guru Farrabi, bisa rusak kalau dibawa berlari,” kata Lean sambil membersihkan sepatu putihnya. Kedua bola mata cokelat terangnya pun berbinar saat mengingat momen itu, dulu guru Farrabi belajar membuat sepatu dari manusia yang dipanggil Atalla, manusia itu bahkan juga menyebarkan tren berpakaian. Dan Leander menjadi juara lomba memodifikasi gaya hingga mendapatkan hadiah khusus.
“Kau kan bisa menyuruh akar pohon-pohon di sini buat ngasih tahu singa peliharaanmu biar mengambil sepatu ganti,” timpal Seema dengan wajah sinis.
“Wah, Lean! Kau memelihara singa?” Hero terkejut.
“Kau bisa melihatnya kapan saja, tapi jelas tidak sekarang,” ujar Lean pada Hero. “Dan Seema, namanya Lyonell, bukan hanya singa biasa! Dia sudah seperti saudaraku sendiri, sekarang Lyonell sedang istirahat.”
“Eireena pasti benar-benar kesulitan punya saudara kembar sepertimu,” tandas Seema. “Eireena alergi bulu singa, kau justru temannya singa. Eireena suka makan daging, kau malah vegetarian,” debatnya lagi, “Pokoknya kalian kembar tapi berbeda.” Seema puas dan lelah berdebat dengan Lean. Ia akhirnya berjalan lebih dulu, lagi-lagi Lean dan Hero tertinggal di belakang Seema.
“Aku tidak tahu kalian semangat sekali berdebat,” sindir Hero sambil tertawa mengomentari perdebatan singkat tadi. “Oh iya, kalau Seema punya kekuatan mengendalikan api ungu, bagaimana denganmu, Lean?” rasa ingin tahu Hero semakin memuncak.
“Seperti kata Seema, keluarga Lupine bisa mengendalikan pohon sampai ke akarnya, kami juga bisa meminta pohon memindahkan posisinya sendiri, seperti ini ....” Lean menyentuh sebatang pohon, tak lama kemudian pohon itu sungguh bergerak dengan sendirinya.
Hero terperangah, ia kagum hingga terheran-heran. Seema dan Leander memiliki keunikannya masing-masing, meski begitu mereka berdua adalah sahabat yang baik. Hanya saja jika Seema dan Leander bisa sehebat itu, “Bagaimana denganku?” batin Hero.
“Oh iya, Lean ... apa manusia yang dipanggil ke sini memiliki kriteria tertentu?” Hero tak henti meluncurkan pertanyaan di sepanjang jalan.“Kami tidak tahu terlalu banyak tentang masalah orang dewasa, Hero. Namun dari penyelidikanku selama ini ada dua hal penting yang harus ada di diri manusia itu, suka menolong dan kebaikan hatinya murni,” jelas Leander seraya tersenyum dan mengangkat sebelah alisnya. Ia kembali menepuk bahu Hero seolah menegaskan bahwa Hero memang pantas berada di Gardraff.“Saat Kota Gardraff resmi berdiri, paman Atalla melakukan pemanggilan. Setiap tahun begitu, dan mereka para manusia itu sudah mengajari kami banyak hal,” lanjut Lean.Mereka kemudian berhenti sejenak, sebelah Timur Kota Gardraff sangatlah indah. Di sini semua penduduk memiliki ladang, daerah Timurlah yang menopang kebutuhan makanan pokok semua penduduk kota. Sayur, buah, hingga berbagai macam bunga tumbuh subur. Daerah Timur Kota Gardraf
Mereka bertiga berjalan pelan menuju istana. Hero mendongak melihat langit Kota Gardraff tak berubah sama sekali, masih tampak sendu seperti kemarin. Tak bisa membedakan siang dan malam di sini, para penduduk hanya dapat melihat jam seperti yang diajarkan oleh manusia yang pernah datang.“Menjelang jam malam, apa ada tanda khusus di kota ini?” tanya Hero, mengingat sejak kedatangannya ke sini Hero belum pernah tidur. Otaknya terlalu sibuk memikirkan banyak hal sehingga ia selalu terjaga di kamarnya.“Sebentar lagi kau akan melihat ada cahaya yang menyala,” jawab Leander. Dan benar saja, di depan rumah setiap penduduk menyala bola-bola api kecil berwarna ungu pucat.“Itu ide adikku, dan ayah yang mewujudkannya,” ujar Seema dengan wajah bangga. Ia terlihat bahagia karena Genio bisa memikirkan ide cemerlang. Ini dimulai sejak Seema membakar habis tanaman Leander empat tahun lalu. Genio memang masih anak-anak, tapi menurutnya jika
“Hero, ada apa?” tanya Mana ketika melihat Hero terdiam mematung.“O-oh ti-tidak ada apa-apa, Ibu,” jawab Hero tergagap.Mana tahu Hero masih belum bisa bercerita lepas padanya, namun ia mengerti dan berharap nanti bisa dekat dengan Hero. “Ibu, boleh aku menanyakan satu hal?” Hero mengumpulkan suaranya yang tercekat di tenggorokan.“Tentu boleh, Anakku.” Mana tersenyum menatap Hero yang berusaha memberanikan diri. “Selama Ibu bisa menjawabnya pasti akan Ibu jawab,” kata Mana.“Apa dulunya Ibu adalah manusia sepertiku? Dan sebelum menikah dengan Ibu apa ayah punya sayap seperti cerita peri dalam dongeng? Terus yang paling penting, apa yang terjadi 16 tahun lalu?” pertanyaan-pertanyaan itu mengalir bebas seperti arus sungai.“Katanya mau bertanya satu hal, tapi ternyata ada tiga pertanyaan,” ujar Mana lalu tertawa pelan, dilihatnya Hero juga tersipu malu
Latihan tadi siang menguras cukup banyak tenaga, Hero merasakan otot-otot tubuhnya menegang. Kakinya bahkan terasa nyeri dan berat sekali jika tetap memaksakan pergi ke perpustakaan malam ini. Sepertinya ia memang harus menunda untuk melihat cincin ruby merah.Namun ia tak bisa hanya terus uring-uringan di atas tempat tidur, meski Mana sudah menyarankan agar Hero istirahat saja, justru dua kakinya yang nyeri itu seolah ingin mengajak berjalan-jalan.Hero menapakkan kaki pelan-pelan, ia beranjak menghadapi cermin di kamar dan merapikan rambutnya. Karet gelang dari Lean sepertinya akan terus ia gunakan. Karena kamarnya berada di lantai dua, ia pun menuruni anak tangga dengan hati-hati, Hero tak bisa cepat seperti biasa karena kondisi kakinya sekarang.Mana sedang mengunjungi laboratorium untuk melihat obat-obatan yang berhasil dibuat Xalma. Sementara Atalla, Hero tak melihatnya sejak ia pulang dari latihan. Hero baru menyadari ia masih belum banyak tahu tentang ak
Aktivitas penduduk kota berjalan seperti biasa, mereka saling sapa, saling berbagi hasil panen, dan bertukar cerita. Tak jauh dari pusat kota mengarah ke sebelah Selatan terdapat pusat perbelanjaan, kios-kios kecil yang terbuat dari kayu berderet rapi, ada yang menjual hasil kreatifitasnya, hasil panen, pakaian, perabotan rumah, berbagai olahan makanan, hingga alat-alat yang biasa digunakan saat berada di medan perang.Di Kota Gardraff alat tukar yang digunakan adalah koin perak dan koin emas. Tidak ada raja yang memimpin kota ini. Tiga keluarga bangsawanlah yang mengambil peran penting menyatukan kekuatan penduduk kota demi menjaga keamanan dan kesejahteraan.Ini membuat Hero makin penasaran lagi, menurutnya akan masuk akal jika yang berdiri adalah sebuah negara atau kerajaan, tak hanya kota. Sayangnya tak ada yang pernah menceritakan hal itu pada Hero. Ia benar-benar harus bergerak mencari tahu sendiri.“Kenapa kau mengajak kami ke sini, Seema?” ta
Hero masih berdiri tak jauh dari posisi air terjun yang menghilang. Sebelumnya saat Leander meminta mereka bergegas, ada sesuatu yang mencuri perhatian. Hero merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jauh, namun ketika menoleh untuk memastikan, sosok itu tak ada. Hero juga sudah tak melihat Leander dan Seema.Kali ini Hero tak terkejut lagi. Ia berjalan pelan dan melihat air terjun itu sekali lagi dan lebih lama. Lalu benar saja, ada seseorang di sana. Gadis berambut pirang keemasan itu sekilas mengingatkan Hero pada Eireena, tapi jelaslah mereka berdua adalah orang yang berbeda. Gadis ini memiliki rambut bergelombang yang lebih panjang.Hero melompati batu-batu besar di sekitar air terjun. Gadis itu sama sekali tak beranjak menghindar. Bisa Hero lihat dari dekat, pemilik sepasang mata hijau emerald itu tersenyum tipis, lengkung senyumnya menawan seperti bulan sabit terakhir yang dulu Hero lihat.“Apa kau melihat kami bertiga sejak tad
Sejak nekat pergi ke hutan larangan di hari itu, mereka bertiga tidak mengulanginya lagi. Keseharian dihabiskan dengan latihan bersama teman-teman yang lain, sementara di malam hari Hero latihan sendiri di dekat gerbang kota. Ia berlatih keras sekali sampai membuat Mana khawatir dan meminta Atalla menghentikan Hero. Mana tak ingin putranya itu terluka.Tidak menuruti permintaan Mana, Atalla justru tertawa. Ia ingat bagaimana seriusnya perkataan Hero malam itu. Atalla tak akan menghentikan Hero meski waktu tidur putranya sangat berkurang bahkan tak pernah lebih lama dari dua jam.Berhari-hari Hero mungkin terlihat menyiksa diri sendiri, namun ia hanya tidak ingin menjadi lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak memiliki kekuatan seperti Seema dengan api ungu di tangannya, juga tak punya kemampuan mengendalikan pohon-pohon seperti Lean, karena itu Hero harus berlatih keras.Saat ini kemampuan berpedangnya sudah membaik. Ia memang masih tak sepandai Arion, na
“Xalma, jangan bilang ini ulah iblis itu,” lirih Arma di sela-sela sibuknya membantu Xalma.“Aku juga berpikir begitu, jangan sampai kekacauan seperti 16 tahun lalu terjadi lagi,” timpal Mana sambil memperhatikan pasien yang disembunyikan mereka.Xalma terdiam, guratan kekhawatiran jelas sekali terlukis di wajahnya. Mana dan Arma yang semula adalah manusia mungkin tak terlalu paham. Mereka hanya menyaksikan banyak korban berjatuhan dengan sekujur tubuh menghitam 16 tahun lalu. Sementara bagi Xalma itu bukan kejadian yang pertama kali. Ia sangat paham ini sudah seperti tanda bahaya di depan mata.Tentu Xalma bisa menyembuhkan pasien ini. Ia sangat kompeten menguasai cara membuat banyak obat, namun ia hanya khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi menimpa mereka lagi.Dan karena pikiran yang tengah kacau, tiga orang ibu yang sedang khawatir itu sama sekali tak menyadari bahwa ketiga anak mereka sedang menguping. Wajah polos Her