Sejak nekat pergi ke hutan larangan di hari itu, mereka bertiga tidak mengulanginya lagi. Keseharian dihabiskan dengan latihan bersama teman-teman yang lain, sementara di malam hari Hero latihan sendiri di dekat gerbang kota. Ia berlatih keras sekali sampai membuat Mana khawatir dan meminta Atalla menghentikan Hero. Mana tak ingin putranya itu terluka.
Tidak menuruti permintaan Mana, Atalla justru tertawa. Ia ingat bagaimana seriusnya perkataan Hero malam itu. Atalla tak akan menghentikan Hero meski waktu tidur putranya sangat berkurang bahkan tak pernah lebih lama dari dua jam.
Berhari-hari Hero mungkin terlihat menyiksa diri sendiri, namun ia hanya tidak ingin menjadi lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak memiliki kekuatan seperti Seema dengan api ungu di tangannya, juga tak punya kemampuan mengendalikan pohon-pohon seperti Lean, karena itu Hero harus berlatih keras.
Saat ini kemampuan berpedangnya sudah membaik. Ia memang masih tak sepandai Arion, na
“Xalma, jangan bilang ini ulah iblis itu,” lirih Arma di sela-sela sibuknya membantu Xalma.“Aku juga berpikir begitu, jangan sampai kekacauan seperti 16 tahun lalu terjadi lagi,” timpal Mana sambil memperhatikan pasien yang disembunyikan mereka.Xalma terdiam, guratan kekhawatiran jelas sekali terlukis di wajahnya. Mana dan Arma yang semula adalah manusia mungkin tak terlalu paham. Mereka hanya menyaksikan banyak korban berjatuhan dengan sekujur tubuh menghitam 16 tahun lalu. Sementara bagi Xalma itu bukan kejadian yang pertama kali. Ia sangat paham ini sudah seperti tanda bahaya di depan mata.Tentu Xalma bisa menyembuhkan pasien ini. Ia sangat kompeten menguasai cara membuat banyak obat, namun ia hanya khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi menimpa mereka lagi.Dan karena pikiran yang tengah kacau, tiga orang ibu yang sedang khawatir itu sama sekali tak menyadari bahwa ketiga anak mereka sedang menguping. Wajah polos Her
Orang dewasa di Kota Gardraff cukup sibuk, apalagi tiga keluarga bangsawan yang terus memantau keamanan dan kesejahteraan penduduk kota. Namun, karena anak keluarga bangsawan belum ada yang menginjak usia dewasa sesuai aturan di kota, 17 tahun, mereka semua dibebaskan dari mengemban tugas berat.“Kak, aku penasaran kenapa paman Atalla dan bibi Mana tidak punya anak kandung?” tanya Genio dengan polos, seketika mata Seema terbelalak kaget mendengar pertanyaan itu.“Genio, kau masih terlalu kecil untuk mencampuri urusan orang dewasa. Lebih baik sekarang diam saja, kalau Hero mendengarmu dia mungkin akan memarahimu,” gertak Seema.“Kak Hero tidak bisa marah, aku pernah memukul kepalanya dan dia justru memuji, untuk anak seusiaku katanya aku cukup kuat,” balas Genio.“Genio! Kenapa kau kasar seperti itu pada anak paman Atalla?”“Tapi kan ... kak Hero bukan anak kandung paman Atalla dan bibi Mana.&rdq
“Hero, pendengaranmu sekarang rupanya lebih peka, tapi bagaimana kau tahu itu guru Farrabi hanya dari suara langkahnya? Apa sebelumnya kau melihat guru Farrabi memang ada di sana?” selidik Lean. Ia penasaran.Sekarang mereka berlima duduk melingkar di bawah pohon bunga wisteria dekat gerbang kota. Ditemani minuman segar dan tumpukan buku, mereka berusaha untuk tidak bertingkah mencurigakan.“Baru-baru ini sepertinya insting dan pendengaranku memang lebih tajam,” ujar Hero seraya tertawa pelan. Ia pun tak tahu penyebabnya, mungkin saja karena tekad kuat di hati Hero, atau bisa saja karena gigihnya latihan siang dan malam sampai sel-sel di otaknya turut bekerja keras.“Kami senang jika kau punya banyak kemajuan, Hero. Gerakanmu saat latihan berpedang juga sudah jauh lebih baik,” jelas Arion yang selalu mengamati Hero di area latihan.“Terima kasih, Arion,” ucap Hero tulus. Salah satu yang membuatnya menguatkan
“Arion, apa kau sedang bercanda?” wajah Lean tampak kesal. “Buku ini kosong, tidak ada tulisan apa pun.” Sorot mata Lean menyimpan kekecewaan, namun ia tak menyalahkan Arion. “Astaga, ayahku pastilah melindungi buku berharga ini, aku masih belum bisa mengelabuinya,” gumam Arion. “Maaf, teman-teman, aku tidak bermaksud-” “Tidak, kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Arion, tidak ada yang perlu dimaafkan!” tegas Seema, raut wajahnya sangat serius. “Seema benar, Arion, kita hanya melakukan semampu kita saja, kau tidak salah.” Eireena pun setuju pada Seema. “Tapi, sebelumnya bagaimana kau yakin di buku ini tertulis tentang iblis dan penyakit aneh itu?” tanya Hero, “Kau pasti sudah membaca isinya sekilas, kan?” kata Hero memastikan Arion setidaknya mengingat sesuatu. “Jalan yang kupilih ini mungkin akan menjadi medan pertempuran yang panjang, tapi daripada hidup dengan rasa takut pada iblis itu dan kehilangan lebih banyak teman, aku menerima t
“Apa benar guru Farrabi yang bilang begitu?” Hero dicerca pertanyaan yang sama oleh teman-temannya. “Sulit dipercaya guru punya sisi lain begitu,” komentar Leander, yang ia tahu selama ini sosok Farrabi selalu terlihat diam dan tenang. “Dia guru yang mengagumkan,” kata Eireena dengan senyum di bibir tipisnya. “Kita memang tak bisa tahu sifat seseorang dari penampilan luarnya, kupikir guru Farrabi orang yang dingin,” ujar Arion. Ia memang ditekankan lebih disiplin oleh Farrabi, karena Arion menjadi contoh bagi anak-anak di bawah mereka. Tidak ada Seema di sana, gadis itu sedang melatih anak-anak di area latihan memanah. Saat selesai, ia pasti menyusul secepat kilat. “Tidakkah menurut kalian guru Farrabi sedikit kesepian?” Eireena melirik temannya satu per satu. “Bayangkan saja, dia tak sengaja ke sini, terlebih lagi dia satu-satunya manusia di Kota Gardraff yang tidak terikat dengan peri,” papar Eireena dengan gerakan tangannya. “Hero j
“Hero!” “Hero!” Samar-samar Hero masih mendengar ada banyak orang di sekitar. Tangannya yang mulai dingin digenggam erat oleh Mana, sementara Atalla bergegas memanggil Xalma, putranya harus sembuh, ia sungguh tak ingin kehilangan Hero. Suasana di lokasi festival berubah mencekam, Argana sigap menenangkan penduduk dan meminta mereka pulang ke rumah masing-masing. Keadaan yang sempat kacau perlahan menjadi sunyi, sepi, dan benar-benar tak ada lagi suara yang dapat didengar Hero. Ia pingsan nyaris kehabisan darah. Tombak yang melukai Hero hilang dengan sendirinya, jelas senjata itu tidak berasal dari Kota Gardraff. Hero dibawa ke pusat kesehatan kota untuk dirawat langsung oleh Xalma. Sahabat-sahabatnya, Seema, Leander, Arion, dan Eireena tak beranjak sedikit pun dari ruangan Hero dirawat. Mereka gelisah dan takut terjadi sesuatu yang buruk pada Hero. Bahkan Genio saja berkali-kali menanyakan keadaan Hero. “Maafkan, aku. Ini adalah-”
Leander menyelinap diam-diam mengikuti beberapa orang menuju aula di pusat kota. Ia sudah meminta Lyonell pulang sebab dengan ukuran sebesar itu, justru akan membuatnya mudah terlihat oleh orang lain. “Lean, ayo ke arah sini!” ajak Seema yang tiba-tiba muncul di belakang Lean. Mereka berdua mengendap-endap dan memperhatikan derap langkah agar tak diketahui. Farrabi dan Hector di dalam aula terlihat meminta pasukan bubar dan menekankan untuk terus meningkatkan penjagaan kota. Mereka kemudian memasuki sebuah ruangan, Atalla, Dryas, dan Argana sudah menunggu di sana. “Seema, kita tidak bisa terus di sini, ada jalan lain di belakang, ayo ikuti aku!” Leander dan Seema yang semula bersembunyi di balik pilar-pilar besar dalam aula pun bergegas pergi. “Mereka ada di ruangan ini, tapi ventilasi itu terlalu tinggi.” Lean kemudian mengedarkan pandangan dan melihat beberapa pohon tak jauh dari mereka. “Buat tangga, kita harus naik,” pinta Seema sambil men
“Apa benar dia ibuku?” Hero bertanya-tanya, tiga hari berlalu sejak festival berdarah yang membuat setiap orang siaga hingga saat ini. Hero berjalan menuju istana dari latihan malamnya, otot-otot di tubuhnya sekarang lebih terbentuk. Kecepatan dan ketangkasannya juga membaik, namun ia masih saja belum dapat mengalahkan Arion saat latihan di siang hari. “Walau dalam mimpi, semoga nanti aku bisa bertemu dengannya lagi,” lirihnya pelan dan tersenyum. Dulu Hero memang tak penasaran tentang orangtuanya, ia tak pernah mencari tahu, karena menurut Hero jika ia berada di panti asuhan itu berarti orangtuanya tak membutuhkan Hero. Namun sekarang berbeda, ia sangat ingin tahu, “Mungkin saja terlempar ke kota ini menjadi jalanku untuk menemukan kedua orangtua kandungku,” kata Hero penuh harapan. Ia sudah sangat bersyukur diangkat menjadi anak oleh Atalla dan Mana, tetapi Hero penasaran apa alasan orangtuanya menitipkan Hero di panti asuhan. “Aduh!”