Latihan tadi siang menguras cukup banyak tenaga, Hero merasakan otot-otot tubuhnya menegang. Kakinya bahkan terasa nyeri dan berat sekali jika tetap memaksakan pergi ke perpustakaan malam ini. Sepertinya ia memang harus menunda untuk melihat cincin ruby merah.
Namun ia tak bisa hanya terus uring-uringan di atas tempat tidur, meski Mana sudah menyarankan agar Hero istirahat saja, justru dua kakinya yang nyeri itu seolah ingin mengajak berjalan-jalan.
Hero menapakkan kaki pelan-pelan, ia beranjak menghadapi cermin di kamar dan merapikan rambutnya. Karet gelang dari Lean sepertinya akan terus ia gunakan. Karena kamarnya berada di lantai dua, ia pun menuruni anak tangga dengan hati-hati, Hero tak bisa cepat seperti biasa karena kondisi kakinya sekarang.
Mana sedang mengunjungi laboratorium untuk melihat obat-obatan yang berhasil dibuat Xalma. Sementara Atalla, Hero tak melihatnya sejak ia pulang dari latihan. Hero baru menyadari ia masih belum banyak tahu tentang aktivitas ayahnya.
Di luar, bola-bola api ungu pucat kembali menyala. Barisan bunga gladiol di sepanjang jalan seolah menuntun langkah Hero kembali ke tempat itu, gerbang suci Kota Gardraff. Ia merasa nyaman saat berada di sana.
Gerbang itu berdiri kokoh, di bawah atapnya dapat menampung banyak orang untuk berteduh. Keseluruhan gerbang adalah susunan bata merah tua yang tebal dan kuat dengan tinggi belasan meter. Di sisi kiri dan kanan gerbang terdapat dua menara dilengkapi empat jendela dan atap yang mengerucut.
Pintunya yang berbentuk setengah lingkaran hanya satu tepat berada di tengah, terbuat dari deretan baja sebesar pergelangan tangan remaja dengan ujung bagian bawahnya yang runcing, dan tersusun vertikal berjarak, persis seperti tombak peninggalan bangsa peri di ruang khusus dalam perpustakaan. Susunan baja pada pintu gerbang kota ini ajaibnya tak mengeluarkan suara ketika terbuka dan tertutup secara vertikal. Baja-baja kuat dengan ujungnya yang menyerupai tombak itu naik dan turun dengan sendirinya.
Hero memang tidak sedang berada di dunia modern seperti sebelum ia tertabrak dan jatuh ke jurang, namun gerbang ini amat peka, bisa terbuka dengan sendirinya saat ada orang yang mendekat. Seperti pintu-pintu gedung pencakar langit yang pernah dimasuki Hero untuk mencari pekerjaan dulu.
Di bagian dalam gerbang berjejer rapi pohon bunga wisteria, dan sekarang Hero berjalan menuju pohon raksasa yang berada di bagian luar gerbang, pohon ini masih berdiri kokoh sama seperti ketika kedatangannya pertama kali di Kota Gardraff. “Kau hebat bisa sekuat ini,” kata Hero menepuk-nepuk batang pohon. “Aku masih saja lemah seperti dulu, latihan hari pertama saja kondisiku sudah begini,” ujarnya lagi.
Sebenarnya Hero masih ingin ke perpustakaan, namun kata-kata Arion terus terngiang di benaknya. Ia berjalan-jalan pelan mengitari danau kecil di antara gerbang dan pohon raksasa. Saat nyeri di kakinya mulai terasa membaik, Hero pun melakukan pemanasan. Ia berlari-lari kecil, melakukan push up, sit up, back up, squat jump, dan melakukan gerakan lain untuk meregangkan otot.
Saat di panti asuhan, Hero cukup sering olahraga, hanya saja saat ia melakukan push up maka teman-teman yang lain akan duduk di atas punggungnya, lengannya kesakitan tapi lagi-lagi ia tak pernah mengeluh.
Sekarang ia cukup berkeringat hingga napasnya terengah-engah. “Mulai sekarang aku harus melatih fisikku,” ujarnya pada diri sendiri. Hero membulatkan tekad akan latihan di tempat ini setiap malam, sengaja tidak di area latihan atau di tempat lain di dalam kota, Hero tak ingin menjadi pusat perhatian terlebih dirinya yang saat ini masih belum cukup kuat.
Setelah ingin membuat seluruh penduduk kota dapat memandangi langit biru di siang hari dan menatap bintang-bintang bertaburan di langit malam, Hero juga ingin melindungi Kota Gardraff seperti Arion. Ia ingin melindungi senyum penduduk kota. Saat ia bersama Seema dan Leander berkeliling kota, para penduduk yang beraktivitas menyapa dengan ramah, Hero ingin melindungi mereka semua.
***
“Latihan sendiri di malam berikutnya jangan lupa membawa ini,” Atalla tiba-tiba muncul dan melemparkan sebilah pedang kayu pada Hero. Beruntung Hero refleks menangkapnya. “Kalau terus berlatih kau pasti bisa menjadi kuat, Hero,” ujar Atalla.
“Terima kasih, Ayah.” Hero tersenyum.
“Senang bisa mendengarmu memanggilku ayah tanpa ragu.” Ucapan Atalla justru membuat Hero tersipu. Seumur hidupnya baru kali ini ada orang yang bisa ia panggil ayah.
“Bagaimana Ayah tahu aku ada di sini?” Ia memberanikan diri untuk bertanya dan tak terdengar kaku. Atalla tak menjawab, namun kedua bola mata hitam kecokelatan miliknya hanya melirik danau di dekat mereka. Ia lalu tersenyum.
Berpikir sejenak, Hero kemudian paham bahwa Atalla mampu mengendalikan air. Kenyataan bahwa ia bisa menjadi putra lelaki bertubuh tinggi dan berwibawa ini sungguh menakjubkan bagi Hero. Di bahu lebar Atalla pastilah ada banyak beban yang dipikul, Hero ingin meringankannya.
“Hero, menurutmu bagaimana Kota Gardraff ini?” tanya Atalla.
Mendapat pertanyaan ambigu seperti itu, Hero terdiam sesaat. Ia sedang mengira-ngira, apa boleh jika ia menjawab dan berpendapat lebih jauh? Apakah pertanyaan Atalla ini adalah tanda izinnya agar Hero dapat leluasa bercerita? Entahlah, namun Hero ingin mencoba.
“Aku tidak pernah tinggal di lingkungan sebaik ini, Ayah,” jawab Hero dengan suara pelan namun penuh ketegasan. “Aku menyukai Gardraff dan penduduknya,” lanjut Hero lagi, “Aku yakin ada banyak orang yang ingin tinggal di tempat seperti Kota Gardraff, namun aku merasa memang ada yang kurang.” Hero menghentikan kalimatnya meski terkesan menggantung.
“Sesuatu yang kurang?” timpal Atalla.
“Benar, Ayah. Matahari, langit biru, bulan dan bintang, lalu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin,” papar Hero. Di sebelahnya, Atalla hanya menarik napas berat, dan sorot mata itu seperti menyimpan rahasia ribuan halaman. Hero ingin mengoreknya satu per satu, ia sungguh ingin membantu Atalla melindungi Kota Gardraff.
“Ayah senang kau nyaman di sini, Hero,” ujar Atalla lalu berdiri, ia membelakangi Hero dan hendak beranjak pergi.
“Ayah!” panggilan dari Hero menghentikan langkah Atalla. “Sekarang aku memang lemah, tapi aku akan menjadi kuat demi melindungi kota dan semua orang di dalamnya, karena itu, Ayah ... beritahu apa yang bisa kulakukan?” Kata-kata yang selama ini tercekat di tenggorokan akhirnya bisa Hero katakan.
“Terima kasih, Hero ... Ayah harap kau bisa menjadi ksatria hebat. Teruslah tumbuh lebih kuat,” jawab Atalla. Namun rupanya jawaban itu tak bisa diterima Hero.
“Suatu hari nanti, aku pasti akan menjadi lebih kuat dari Ayah!” pekik Hero dengan suara bergetar, “Jadi, Ayah ... bagi bebanmu padaku, jika benar Ayah menganggapku sebagai anak,” tegas Hero. Ia masih berdiri di belakang Atalla, mendongak melihat kepala sang Ayah. Saat Atalla berbalik, mereka pun bertemu pandang. Empat bola mata yang memiliki warna serupa itu terbakar oleh problema yang berbeda.
“Melihat tatapanmu seyakin dan sekeras ini, entah kenapa Ayah merasa sedih,” ujar Atalla pelan. Sorot matanya iba namun bukan pada Hero. Tindakan berani yang baru saja Hero lakukan mengingatkan Atalla saat ia seusia Hero. Namun terlintas lagi detik-detik kematian ayahnya yang tak pernah Atalla lupakan.
“Baiklah, Hero! Ayah akan membagi beban besar padamu, dengan syarat kau harus lebih kuat. Jika nanti kau bisa mengalahkan Ayah, apa pun pertanyaan dan permintaanmu akan Ayah jawab dan Ayah wujudkan.” Setelah mengatakan itu dengan nada suara bak seorang pemimpin perang, Atalla pun beranjak pergi.
Kali ini, Hero tak menghentikan langkah Ayahnya. Sekarang Hero tahu bahwa ia harus menjadi pantas terlebih dulu sebelum memikul beban berat. Sekarang Hero paham jika ia ingin tahu lebih banyak lagi berarti Hero harus menjadi kuat untuk menampung kenyataan yang mungkin jauh lebih menyulitkan dari yang Hero bayangkan.
Dan andai nanti keadaan memaksa Hero menyerah, ia harus lebih gigih lagi sehingga keadaan sendirilah yang akan menyerah pada akhirnya. Bukan Hero. Terlebih sekarang ia yakin, nama yang diberikan Atalla bukan tanpa alasan. Hero yakin ada harapan besar yang diselipkan Atalla di dalam nama putranya.
“Tunggu saja, ayah! Aku pasti akan menyelami segala rahasia dalam sorot matamu,” lirihnya pelan.
Aktivitas penduduk kota berjalan seperti biasa, mereka saling sapa, saling berbagi hasil panen, dan bertukar cerita. Tak jauh dari pusat kota mengarah ke sebelah Selatan terdapat pusat perbelanjaan, kios-kios kecil yang terbuat dari kayu berderet rapi, ada yang menjual hasil kreatifitasnya, hasil panen, pakaian, perabotan rumah, berbagai olahan makanan, hingga alat-alat yang biasa digunakan saat berada di medan perang.Di Kota Gardraff alat tukar yang digunakan adalah koin perak dan koin emas. Tidak ada raja yang memimpin kota ini. Tiga keluarga bangsawanlah yang mengambil peran penting menyatukan kekuatan penduduk kota demi menjaga keamanan dan kesejahteraan.Ini membuat Hero makin penasaran lagi, menurutnya akan masuk akal jika yang berdiri adalah sebuah negara atau kerajaan, tak hanya kota. Sayangnya tak ada yang pernah menceritakan hal itu pada Hero. Ia benar-benar harus bergerak mencari tahu sendiri.“Kenapa kau mengajak kami ke sini, Seema?” ta
Hero masih berdiri tak jauh dari posisi air terjun yang menghilang. Sebelumnya saat Leander meminta mereka bergegas, ada sesuatu yang mencuri perhatian. Hero merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari jauh, namun ketika menoleh untuk memastikan, sosok itu tak ada. Hero juga sudah tak melihat Leander dan Seema.Kali ini Hero tak terkejut lagi. Ia berjalan pelan dan melihat air terjun itu sekali lagi dan lebih lama. Lalu benar saja, ada seseorang di sana. Gadis berambut pirang keemasan itu sekilas mengingatkan Hero pada Eireena, tapi jelaslah mereka berdua adalah orang yang berbeda. Gadis ini memiliki rambut bergelombang yang lebih panjang.Hero melompati batu-batu besar di sekitar air terjun. Gadis itu sama sekali tak beranjak menghindar. Bisa Hero lihat dari dekat, pemilik sepasang mata hijau emerald itu tersenyum tipis, lengkung senyumnya menawan seperti bulan sabit terakhir yang dulu Hero lihat.“Apa kau melihat kami bertiga sejak tad
Sejak nekat pergi ke hutan larangan di hari itu, mereka bertiga tidak mengulanginya lagi. Keseharian dihabiskan dengan latihan bersama teman-teman yang lain, sementara di malam hari Hero latihan sendiri di dekat gerbang kota. Ia berlatih keras sekali sampai membuat Mana khawatir dan meminta Atalla menghentikan Hero. Mana tak ingin putranya itu terluka.Tidak menuruti permintaan Mana, Atalla justru tertawa. Ia ingat bagaimana seriusnya perkataan Hero malam itu. Atalla tak akan menghentikan Hero meski waktu tidur putranya sangat berkurang bahkan tak pernah lebih lama dari dua jam.Berhari-hari Hero mungkin terlihat menyiksa diri sendiri, namun ia hanya tidak ingin menjadi lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak memiliki kekuatan seperti Seema dengan api ungu di tangannya, juga tak punya kemampuan mengendalikan pohon-pohon seperti Lean, karena itu Hero harus berlatih keras.Saat ini kemampuan berpedangnya sudah membaik. Ia memang masih tak sepandai Arion, na
“Xalma, jangan bilang ini ulah iblis itu,” lirih Arma di sela-sela sibuknya membantu Xalma.“Aku juga berpikir begitu, jangan sampai kekacauan seperti 16 tahun lalu terjadi lagi,” timpal Mana sambil memperhatikan pasien yang disembunyikan mereka.Xalma terdiam, guratan kekhawatiran jelas sekali terlukis di wajahnya. Mana dan Arma yang semula adalah manusia mungkin tak terlalu paham. Mereka hanya menyaksikan banyak korban berjatuhan dengan sekujur tubuh menghitam 16 tahun lalu. Sementara bagi Xalma itu bukan kejadian yang pertama kali. Ia sangat paham ini sudah seperti tanda bahaya di depan mata.Tentu Xalma bisa menyembuhkan pasien ini. Ia sangat kompeten menguasai cara membuat banyak obat, namun ia hanya khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi menimpa mereka lagi.Dan karena pikiran yang tengah kacau, tiga orang ibu yang sedang khawatir itu sama sekali tak menyadari bahwa ketiga anak mereka sedang menguping. Wajah polos Her
Orang dewasa di Kota Gardraff cukup sibuk, apalagi tiga keluarga bangsawan yang terus memantau keamanan dan kesejahteraan penduduk kota. Namun, karena anak keluarga bangsawan belum ada yang menginjak usia dewasa sesuai aturan di kota, 17 tahun, mereka semua dibebaskan dari mengemban tugas berat.“Kak, aku penasaran kenapa paman Atalla dan bibi Mana tidak punya anak kandung?” tanya Genio dengan polos, seketika mata Seema terbelalak kaget mendengar pertanyaan itu.“Genio, kau masih terlalu kecil untuk mencampuri urusan orang dewasa. Lebih baik sekarang diam saja, kalau Hero mendengarmu dia mungkin akan memarahimu,” gertak Seema.“Kak Hero tidak bisa marah, aku pernah memukul kepalanya dan dia justru memuji, untuk anak seusiaku katanya aku cukup kuat,” balas Genio.“Genio! Kenapa kau kasar seperti itu pada anak paman Atalla?”“Tapi kan ... kak Hero bukan anak kandung paman Atalla dan bibi Mana.&rdq
“Hero, pendengaranmu sekarang rupanya lebih peka, tapi bagaimana kau tahu itu guru Farrabi hanya dari suara langkahnya? Apa sebelumnya kau melihat guru Farrabi memang ada di sana?” selidik Lean. Ia penasaran.Sekarang mereka berlima duduk melingkar di bawah pohon bunga wisteria dekat gerbang kota. Ditemani minuman segar dan tumpukan buku, mereka berusaha untuk tidak bertingkah mencurigakan.“Baru-baru ini sepertinya insting dan pendengaranku memang lebih tajam,” ujar Hero seraya tertawa pelan. Ia pun tak tahu penyebabnya, mungkin saja karena tekad kuat di hati Hero, atau bisa saja karena gigihnya latihan siang dan malam sampai sel-sel di otaknya turut bekerja keras.“Kami senang jika kau punya banyak kemajuan, Hero. Gerakanmu saat latihan berpedang juga sudah jauh lebih baik,” jelas Arion yang selalu mengamati Hero di area latihan.“Terima kasih, Arion,” ucap Hero tulus. Salah satu yang membuatnya menguatkan
“Arion, apa kau sedang bercanda?” wajah Lean tampak kesal. “Buku ini kosong, tidak ada tulisan apa pun.” Sorot mata Lean menyimpan kekecewaan, namun ia tak menyalahkan Arion. “Astaga, ayahku pastilah melindungi buku berharga ini, aku masih belum bisa mengelabuinya,” gumam Arion. “Maaf, teman-teman, aku tidak bermaksud-” “Tidak, kau tidak melakukan kesalahan apa pun, Arion, tidak ada yang perlu dimaafkan!” tegas Seema, raut wajahnya sangat serius. “Seema benar, Arion, kita hanya melakukan semampu kita saja, kau tidak salah.” Eireena pun setuju pada Seema. “Tapi, sebelumnya bagaimana kau yakin di buku ini tertulis tentang iblis dan penyakit aneh itu?” tanya Hero, “Kau pasti sudah membaca isinya sekilas, kan?” kata Hero memastikan Arion setidaknya mengingat sesuatu. “Jalan yang kupilih ini mungkin akan menjadi medan pertempuran yang panjang, tapi daripada hidup dengan rasa takut pada iblis itu dan kehilangan lebih banyak teman, aku menerima t
“Apa benar guru Farrabi yang bilang begitu?” Hero dicerca pertanyaan yang sama oleh teman-temannya. “Sulit dipercaya guru punya sisi lain begitu,” komentar Leander, yang ia tahu selama ini sosok Farrabi selalu terlihat diam dan tenang. “Dia guru yang mengagumkan,” kata Eireena dengan senyum di bibir tipisnya. “Kita memang tak bisa tahu sifat seseorang dari penampilan luarnya, kupikir guru Farrabi orang yang dingin,” ujar Arion. Ia memang ditekankan lebih disiplin oleh Farrabi, karena Arion menjadi contoh bagi anak-anak di bawah mereka. Tidak ada Seema di sana, gadis itu sedang melatih anak-anak di area latihan memanah. Saat selesai, ia pasti menyusul secepat kilat. “Tidakkah menurut kalian guru Farrabi sedikit kesepian?” Eireena melirik temannya satu per satu. “Bayangkan saja, dia tak sengaja ke sini, terlebih lagi dia satu-satunya manusia di Kota Gardraff yang tidak terikat dengan peri,” papar Eireena dengan gerakan tangannya. “Hero j