Ruangan VVIP East Medical Centre, York Ave, New York.,
“Kak Samuel, apa dia wanita yang kau ceritakan saat kita lagi di Berlin kemarin? Pas acara malam amal itu?” tanya seorang wanita dengan jas snelli putih ciri khas seorang dokter dengan bordiran nama Audrey Marseille Levanchois di bagian dadanya.
Pria yang dipanggil Samuel ini mengangguk dengan bibir tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi saat menyadari Tuhan dan alam semesta selalu ada di pihaknya. Bagaimana tidak, jika kesempatan selalu saja datang padanya. Tepat seperti sekarang, saat ia merasa sangat penasaran dengan sosok wanita unik yang dilihatnya di Berlin malah wanita inilah yang menariknya mendekat dengan cara tak terduga.
“Marsh, apa kau yakin dia akan segera siuman?” tanya Samuel pada adik sepupunya yang biasa dipanggil Marsha Levanchois.
“Kak Sam gak sedang meremehkan pengalamanku menangani pasien, ‘kan? Sudah berapa kali Kakak menanyaka
“Kenapa kau gak istirahat dan malah sembunyi di sini? Harus ya, minta semuanya siap sebelum tengah malam? Memangnya belum puas tidur di bangsal rumah sakit?” cecar Franz yang muncul tanpa permisi. Kenapa juga dia butuh izin untuk mengganggu Phoebe saat sedang bekerja, jika Franz bisa bebas keluar masuk semua tempat rahasia milik Phoebe termasuk griya tawang ini? Dia bahkan sudah tahu seluk beluk tempat ini karena bisa muncul tiba-tiba dari tangga geser rahasia yang menghubungkan studio berperangkat editing di lantai satu dengan area baca sekaligus ruang kerja di lantai dua.Phoebe beranjak dari kursinya sambil melipat kedua tangan di dadanya, “Memang ya, gak ada yang namanya privasi kalau udah berhubungan sama Tuan Franz Hanssen. Ngapain pakai acara ke sini sore-sore, sih? Sekarang baru juga jam tujuh. Kalau dilihat orang ‘kan aku yang rugi! Terus apa gunanya benda persegi super canggihmu itu?! Kalau kau ke sini cuma untuk menceramahiku mendin
Mereka segera sampai di rumah sakit tempat Phoebe di rawat tadi pagi. Sudah ada Marsheille yang baru saja sampai di East Medical Centre tempatnya bekerja selama ini.“Kalian tunggulah di sini dulu. Percayakan dia pada kami, Calon Kakak Ipar,” tutur Marsha sambil tersenyum ke arah Phoebe lalu mengangguk singkat pada Samuel. Setelahnya ia segera pergi untuk membantu menangani Juan.“Aku akan mengurus administrasinya, kau duduklah di sini dulu,” ajak Samuel sambil merangkul Phoebe yang terlihat masih syok.Saat Samuel kembali, ia mendapati seorang pria sedang mengelus kepala Phoebe sambil mendengarnya menceritakan kronologis singkat tentang kejadian yang menimpa Juan, “Aku takut Hwan, kenapa selalu seperti ini? Kenapa mereka?” lirih Phoebe sedikit terbata, tersedak dalam tangisnya.“Tenangkan dirimu, ada Marsha yang akan membantu tim medis khusus di sini. Kau percaya pada kami, ‘kan?” ujar Hwan dengan sua
Samuel segera menyita ponsel Phoebe dan meletakkannya bersisian dengan miliknya di atas meja yang terdekat dengan mereka, lalu membopong gadisnya tanpa berniat menjawab pertanyaan Phoebe. Tentu saja Phoebe menjadi kesal karena merasa diacuhkan, “Apa susahnya sih menjawab? Semua pria memang sama aja, sangat menyebalkan!” gerutu Phoebe dengan penuh penekanan yang sengaja tak ia tutupi.“Aku lelah sekali, Honey. Jika mereka membutuhkan kita, pasti mereka akan segera menghubungiku.”Benar juga batin Phoebe menyetujui perkataan Samuel, tapi mulutnya masih gatal untuk mendebat pria yang selalu muncul di saat tepat tiap kali ia butuhkan. Persis seperti sebuah kebetulan, “Kalau gitu jangan selalu menggendongku, nanti kalau tanganmu patah kau malah menyalahkanku,” sindir Phoebe sambil memutar bola matanya.“Tentu aja kau yang harus bertanggung jawab karena aku tak mengasuransikan tubuhku, Honey,” balas Samuel enteng.
Samuel merasa ada yang aneh dengan cengkeraman yang ia rasakan di bagian punggungnya. Tangan Phoebe terasa bergetar, membuat senyum jahilnya lenyap seketika. Wajah pucat Phoebe yang ia lihat saat Samuel membalikkan badan membuatnya semakin panik, “Phoebe, ada apa denganmu? Phoebe!” teriak Samuel, dengan sigap ia menangkap tubuh Phoebe yang sudah limbung dan hampir terjerembab ke atas lantai pualam. Samuel membopong tubuh lemas Phoebe kembali ke kamar. Sudah tentu nama Marsha pasti langsung terlintas di benaknya saat menghadapi situasi seperti ini.Marsha sampai dalam sekejap setelah mendapatkan kabar dari kakak sepupunya, “Infeksinya kambuh lagi, Kak. Sepertinya dia sedang stres berat dan terlalu lelah, aku udah bilang, ‘kan?” jelas Marsha. Tatapan dengan sorot mata menyelidik membuat Samuel menatap balik pada adik sepupunya.“Aku sudah memesan sarapan bergizi, kau bisa lihat sendiri di meja makan. Kenapa aku merasa sepertinya kau ma
Awas! Jebakan konten-konten dewasa. "Pesona apa yang kau miliki hingga membuat banyak pria mencoba berebut ingin menjadi malaikat pelindungmu, Phoebe Amaya Breslin?" "Jangan terlalu berlebihan begitu, Tuan Levanchois. Well, karena sekarang aku telah mendapatkan apa yang kuinginkan, dan juga sudah berhasil membantumu. Jadi, kupikir kesepakatan di antara kita telah selesai," Phoebe tersenyum simpul, memahami bahwa kata-kata pria ini hanyalah sindiran belaka. Dia bangkit dari tempat duduknya dan hendak melangkahkan kaki, tetapi dia segera berbalik dan berkata, "Aku juga sangat penasaran, pesona apa yang kamu miliki sampai membuat semua orang selalu mematuhimu, Tuan Levanchois?" Pria itu hanya memberinya sebuah senyuman misterius.Saat pintu terbuka dan dia he
"Aku udah nyiapin sesuatu yang spesial untuk perjalanan kita. Lusa pagi aku jemput, ya?"Terdengar rentetan kalimat dari seorang pria di seberang telepon,"Besok kamu gak bakalan lembur lagi, ‘kan?” “Sesuatu yang spesial? Memangnya kita ada rencana ke mana?” Phoebe meencoba mengingat pembicaraan mereka tentang rencana berlibur. "Dua bulan lalu kita udah bahas mau pergi liburan, ‘kan? Jangan bilang kamu lupa lagi, Baby,”dengus si pria menyiratkan rasa tidak suka. “Ah, sorry. Akhir-akhir ini tim kami ada project besar, aku aja sampai punya mata panda sekarang. Berubah jadicutepanda deh aku,” rajuk Phoebe mencoba menjelaskan keadaannyaagar pria itu mengerti. “Gini melulu, sepertinya rencana kita bakalan terancam gagal lagi,”sungut pria yang akhir-akhir ini menyita perhatian Phoebe. Mereka saat ini sedang menjalin sebuah hubungan dan dia selalu ingin menjadi prioritas uta
Tanpa melepaskan ciuman bergairah dan saling mendominasi di antara mereka, Key perlahan mendorong tubuh Phoebe agar berbaring di atas ranjang. Saat ini bibirnya sedang sibuk dengan leher mulus Phoebe sedangkan tangannya mulai menarik kaki jenjang milik Phoebe bergantian dan membuat tubuhnya berada tepat di antara kedua paha Phoebe. Pertama dia menarik kaki kirinya lalu kaki kanannya, setelah itu tangannya mulai bergerak seduktif di atas kulit kaki Phoebe yang semakin terbuka karena ujung midi dress-nya sedikit terangkat, membuat Phoebe mulai merasakan desiran panas hingga mengeluarkan suara desisan perlahan. Sekujur tubuh Phoebe meremang, kedua tangannya mencari pelampiasan untuk digenggam hingga tangan kanannya tidak sengaja menyentuh ponsel milik Key yang tadi sempat ia lemparkan asal ke atas ranjang. Tangannya tidak sengaja menggeser tombol hijau lalu mengaktifkan mode pengeras suara saat ponsel Key tiba-tiba saja kembali berdering. “
“KA-KAMU!” Phoebe tergagap seolah kehabisan kata-kata. “Yes, My Bee. Ini aku, priamu yang paling tampan?” Pria tampan itu mengedipkan matanya ke arah Phoebe. “Menggelikan!” “Kamulah alasannya.” “Oh my, pergilah!” “Kemana, kamar bulan madu kita?” “Apa?! Pergilah ke neraka!” “Pilihan buruk, ayo kita pergi ke surga setiap malam, atau setiap saat yang kita inginkan? Gimana kalau mulai malam ini?” “Kamu gila!” “Karena dirimu.” “MOOOOMMYY!!” Ibu dan adik Phoebe sontak menutup telinga mereka bersamaan, tetapi tidak dengan pria tampan di depannya yang sedang tertawa kencang. Dia masih memeluk Phoebe dengan erat membuat tubuh mereka semakin dekat dan menempel satu sama lain. “Not bad. Aku yakin kamu akan meneriakkan namaku seperti ini, atau mungkin lebih bergairah dari ini? Aku udah gak sabar pengen dengar, My Bee.” “Cium saja dia kalau sampai berani berteriak kencang-ke