Aricia kembali pada rutinitasnya di kediaman Ashkings. Hari ini Aricia tengah membaca buku mengenai ramuan obat dari koleksi buku-buku di perpustakaan kediaman ini. Ia sudah berhasil mengembalikan Zumra terbangun dari mimpi panjangnya sekaligus memurnikan luka dari Iblis yang ada pada Zumra. Nerius dan Zumra sudah kembali hidup bersama meski beberapa hari kemudian, Aricia menerima kabar kematian Nerius karena Pria itu sudah dimakan oleh usia. Aricia menatap sendu karena teringat dengan sepasang kekasih itu. Ia melamun sejenak dengan buku yang terbuka di hadapannya. Aricia mengingat salam perpisahan Zumra usai menabur abu dari suaminya di Sungai Oru yang suci dan jernih. Zumra akan berkelana sembari terus membasmi para Iblis yang ia temui. "Bagaimana jika Zumra tidak pernah terkena penyakit itu dan mereka hidup bersama?" "Itu tidak akan bisa terjadi karena manusia memiliki umur yang lebih pendek daripada Elf." Aricia menoleh mendapati Duke Victor yang ada diambang pintu sehabis m
Aricia kini memandangi Pangeran dengan raut merasa bersalahnya. "Asvaldr kenapa kau tidak mengatakannya dari awal?" celetuk Aricia berbicara sendiri. "Karena aku baru bisa melakukan telepati padamu, Dasar Bodoh." "Satu hal lagi, bukankah tadi Pangeran itu bilang jika dia baru bertemu Ratu dari Plumeria itu? bukankah Duke juga sedang pergi menuju perbatasan Plumeria dan Helian?" "Apa yang tengah kau coba katakan?" "Pikirkan lagi, apakah kebetulan ini terlalu aneh?"Aricia tidak lagi menanggapi ucapan Asvaldr yang menggema dibenaknya itu. Aricia beranjak meski ia dicegah oleh Pangeran Alphonse. Ia menatap Pangeran itu dengan tatapan datarnya. "Aku harus kembali," ucap Aricia dingin. "Baiklah, kita bisa tunda makan malamnya, di lain waktu," ucap Pangeran dengan senyuman tenangnya. Aricia memberi hormat pada Sang Pangeran kemudian pergi tanpa sepatah kata apa pun. Pikirannya berkecamuk karena memikirkan Ratu Clara yang memang memiliki kebencian padanya, meski Aricia tahu tipuan dari
Aricia menerjabkan kedua matanya. Pandangan yang ia lihat pertama kali adalah bintang-bintang kerlip pada langit yang gelap. Aricia terbangun saat malam hari, ia masih berada disebuah kapal pengangkut batu bara yang akan menuju kerajaan Plumeria. Ia keluar menuju geladak, suasana kapal yang sepi kecuali awak kapal yang masih terjaga dianjungan. "Nona, ini sudah malam, kapal tiba di Plumeria saat subuh nanti," ucap Awak Kapal yang kebetulan berjalan melintasi Aricia. "Aku hanya ingin bersantai," sahut Aricia. "Kalau begitu ambillah, meski kain selimut ini berasal dari bahan domba yang tak berkualitas sehingga tipis," ucap Awak Kapal itu. Aricia mengangguk sembari meraih kain itu. "Terima kasih." Aricia berucap sembari berjalan lebih jauh sembari menyelimuti dirinya dengan kain tipis yang didapatkan dari awak kapal. Angin malam menerpa membuat rambut panjang bergelombangnya ikut bertiup. Aricia memandangi lautan luas tanpa ujung. Ia menghela napas, untuk merasakan perasaannya yan
"Nak, minumlah," ucap Tabib Gilovich sembari meneteskan air pada bibir Aricia yang mengering."Aku ... aku di mana?" tanya Aricia dengan suara paraunya. Pria itu menyentu dahi Aricia kemudian kembali duduk di bangku yang ada didekat ranjang kasu itu. Pria berjubah putih menatap Aricia tajam dan tak bersahabat meski sikapnya baik hati padanya. "Kau cukup bodoh mendatangi Negara yang paling membenci keberadaanmu, seharusnya kau sudah mati,"desak Pria Tua itu.Aricia tertegun, kedua matanya merjab terkejut tak kala ketika Pria Tua itu tampak mengenalnya dengan baik. Kala Aricia masih terkejut panel menampilkan dekripsi pemberitahuan mengenai Pria Tua itu. [Pemimpin Markas Penyembuhan, Tabib Agung Gilovich, Sang Healer tertinggi]. Aricia menghela napas cukup panjang karena orang yang paling ia temui sejak dulu ada dihadapannya. Beruntung selama ini Aricia sering membaca mengenai dirinya dari Afokrifa. Aricia tak mengelak karena keputusannya mendatangi Plumeria memang karena hendak menem
"Apa maksud dari semua ini?" tanyanya heran."Itu adalah upacara pengukur energi seorang Healer, setiap lukisan sudah dimanterai untuk mengetahui potensimu dan sebenarnya kau punya Energi yang hampir menyeimbangi seorang Dewa." Tabib Gilovich menjawab sembari duduk disalah satu bangku. "Tapi tampaknya kau lupa menggunakan kekuatanmu, maka aku akan melatihmu lagi," ucapnya. "Aku ingin menanyakan satu hal juga," ucap Aricia."Katakan, aku tak suka berbasa basi.""Apa kau tahu mengenai kematianku?" tanya Aricia dengan pandangan mata yang serius, ia tau jika Tabib Agung Gilovich mengetahui kebenaran dari semua ini. Setidaknya itulah dugaan Aricia karena menganggap Tabib Gilovich sebagai salah satu yang berpengaruh. Tabib Agung Gilovich menatap Aricia. "Kau memang kembali tapi seolah jadi orang lain." Pria Tua itu berucap sembari beranjak berdiri dan mengibas ujung lengan jubahnya yang lebar itu. "Bergegaslah, latihan akan dimulai," ucap Pria itu sembari beranjak pergi.Sepeninggalan Tabi
"Nak, Gracewill terakhir terlihat lima tahun lalu, itupun karena Kepala Keluarga Gracewill dipanggil Yang Mulia Clara untuk melaporkan kematian dari Putri Termuda mereka yang berbakat itu," jawab Sang Nenek."Mengapa semua orang membenci Gracewill?" tanya Aricia."Itu karena ... Putri Termuda mereka jadi Healer paling berbakat disepanjang sejarah, ia dibenci karena kemampuannya yang luar biasa hebat bukan karena kesalahannya." Nenek itu tersenyum. "Satu kesalahan saja akan diingat oleh manusia meski kau membuat seribu kebaikan sekalipun, itulah yang membuat Iblis mudah menyerang kita." Nenek itu melambaikan tangannya kala Aricia memulai perjalanannya. Aricia menggunakan petunjuk Sang Nenek untuk pergi menuju kediaman Gracewill. Kala itu hari nyaris menjelang petang, Aricia tiba di tengah hutan belantara. Pepohonan wisteria tumbuh subur di sekitar hutan ini. warna kelopak magenta yang gugur memenuhi sepanjang jalanan setapak menuju ke sebuah kediaman.Aricia mendadak gugup karena temp
"Jangan mencoba lebih mahir dariku atau Emily," cibir Gadis itu. "Akulah yang akan lolos jadi lulusan terbaik Healer," ucap Gadis itu dengan tatapan sinisnya. Kemudian meninggalkan Aricia yang mematung di ruang tamu."Apa ... yang baru saja terjadi?" gumam Aricia masih memengangi pipinya sendiri. Demi menyelesaikan Quest agar bisa kembali ke alur dunia ini, Aricia menghela napas dan membiarkan rasa berdenyut di pipi usai diberi tamparan oleh Karina. Aricia menatap kediaman mewah ini kemudian berjalan keluar dari ruang tamu. Ia mendapati para pelayan sibuk mengurusi seisi mansion, ada yang sedang membukakan pintu untuknya, ada yang berjalan membawa hidangan makanan dan ada yang sedang mengelap vas-vas kaca yang mahal itu. Aricia menghela napas. Ia sadar jika Aricia di dunia ini benar-benar anak seorang bangsawan yang hidupnya tragis. "Aku ... benar-benar tak menyangka, sebenarnya apa yang Babushka itu hendak perlihatkan padaku?" tanya Aricia seorang diri. Aricia pu mendatangi ruang
Di tengah terik matahari dengan perut yang keroncongan. Seorang gadis memakan roti yang dibeli dari Toko Serba dengan bibir manyunnya. Sesekali menyeka keringat yang mengucur di dahinya. Ini kali kesekiannya dia luntang lantung di jalan untuk mencari pekerjaan, meskipun tidak mudah dia tak mau menyerah. "Mau Rumah Sakit mana lagi ya yang harus aku kunjungi? kenapa susah sekali mencari pekerjaan," keluh Gadis muda ini. Seharian menghampiri setiap Rumah Sakit untuk melamar pekerjaan yang sesuai kualifikasi dirinya sebagai Perawat. Tidak hanya di rumah sakit bahkan klinik-klinik kecil pun sudah dihampiri demi kabar baik untuk pekerjaan tapi semuanya nihil. "Uang hasil kerja freelancer sudah semakin menipis, gajian juga kecil tidak akan cukup untuk bayar kos yang nunggak tiga bulan ini," ucap Gadis muda itu sembari duduk bersandar di salah satu kursi kayu di depan sebuah toserba. Perut keroncongan sudah biasa asalkan jangan diusir dari tempat tinggal karena belum membayar uang sewa tem