Share

Bab 4

“Keluarga kecilmu bisa dipersatukan satukan kembali, Naz. Saya akan melepaskan Rafi. Kalian bisa menikah kembali. Dan anak-anak tidak akan kehilangan ayah dan bundanya,” Ucap Renata berusaha meyakinkan.

Nazwa terdiam sejenak. Kemudian bertanya, “Ta, Rafi-kah yang memberitahu rencana pernikahan saya?”

Renata hanya memandang Nazwa dalam.

“Tolong, jujur pada saya, Ta!” ujar Nazwa lagi karena Renata tak menjawab.

Renata menghembuskan nafasnya sebelum berbicara. “Ya. Rafi yang memberitahuku. Dan dia juga bilang, bahwa ia tak pernah benar-benar ingin  melepaskanmu. Kalau ada yang bisa ia lakukan untuk mendapatkanmu kembali, dia akan melakukan apa saja, walaupun mempertaruhkan nyawanya. Asalkan kalian bisa bersatu lagi,” Jawab Renata pada akhirnya.

“Aku sudah curiga. Karena saat dia tahu rencana ini, dia menyatakan keberatannya. Tapi ya, alasannya adalah anak-anak,” adu Nazwa berkeluh kesah.

“Rafi malu, Naz. Makanya ia tak jujur dengan perasaannya padamu,” Urai Renata.

“Renata, maaf. Tolong beritahu Rafi. Keputusan saya sudah bulat. Kafka, laki-laki yang hendak menikahi saya ini, telah berhasil menyembuhkan luka  akibat perceraian dengan Rafi. Jujur, Ta. Tadinya saya sempat kecewa dan benci dengan kaum laki-laki. Tapi, Kafka, berhasil meyakinkan saya bahwa kehidupan memang tak selalu berjalan mulus. Dia mampu membuat batin saya merasa tenang, nyaman dan damai. Perasaan seperti itu yang sempat terenggut dari hati dan kehidupan saya. Tapi Kafka berhasil menghadirkannya kembali.” Nazwa tersenyum. Mengingat seorang Kafka, selalu membuatnya merasakan kedamaian dan ketenangan.

“Nazwa, tolong, bisakah kamu pertimbangkan lagi?” pinta Renata.

“Ta, aku heran. Mengapa kamu dan Rafi begitu ingin membatalkan rencana pernikahan saya? Tidakkah kalian mengerti, bahwa ini kehidupan saya?!  Memang, saya tidak boleh egois karena adanya anak-anak. Tapi, sejujurnya, demi mereka juga saya mau kembali menikah,” tandas Nazwa.

“Naz ...,” sela Renata.

“Dan lagi, saya tidak pernah mengusik kehidupan kalian bukan? Bahkan saya tidak ditanyakan pendapat saat Rafi ingin menikahi kamu. Padahal, saya punya hak untuk itu! Karena saya akan menyerahkan anak-anak kepada orang lain. Dan kalian tidak melakukannya kan? Kenapa, karena takut saya marah? Atau kamu dan Rafi mengira bahwa saya tidak akan lagi mendapatkan seorang laki-laki yang hendak menikahi saya, begitu?!” sarkas Nazwa.

“Bukan Naz. Bukan begitu. Jangan dulu marah. Maksud kami tidak seperti itu. Sungguh, Naz. Bukan itu. Aku hanya ingin Rafi kembali bahagia.” Renata berusaha menjelaskan.

“Rafi, Rafi dan Rafi! Kenapa hanya Rafi yang kamu pertimbangkan, Renata?! Bagaimana dengan saya? Kamu sudah pernah tahu bagaimana sakitnya rasa kecewa saat ditinggalkan. Apa kamu pikir, hati saya terbuat dari baja, sehingga tak merasakan sakit, saat Rafi menceraikan saya tanpa memberitahu apa kesalahan saya? Tak sedetik pun ia memberikan penjelasan dan kesempatan kepada saya untuk membela diri. Ia bahkan menutup komunikasi di antara kami. Anak-anak selalu bertanya, “Mengapa Bunda dan Ayah harus berpisah? Tidak sayangkah kalian pada kami?” Nazwa menghela nafasnya sejenak.

Renata hanya terpaku mendengar ucapan Nazwa.

“Tolong, sekarang kamu yang mencoba untuk memposisikan diri di tempat saya. Bagaimana hancurnya saya saat itu. Di satu pihak menghadapi gugatan cerai dari Rafi yang tak masuk akal, sementara di pihak lain, harus memberikan pengertian kepada kedua anak saya, bahwa ini adalah jalan yang terbaik bagi kami semua. Mereka tak pernah mengerti, Renata. Karena mereka pun tahu, bahwa saya sendiri juga tidak mengerti, mengapa perceraian itu harus terjadi!” ucap Nazwa penuh emosi.

Renata tak lagi bisa bicara. Nazwa benar, tindakannya ini sangat egois. Ia betul-betul tak membayangkan sampai ke sana. Yang ada di kepalanya adalah hanya rasa bersalahnya dan kebahagiaan laki-laki yang dicintainya saja. Tak sedikitpun ia memikirkan bagaimana hati Nazwa yang retak. Mendadak ia menjadi gugup dan gelisah.

Nazwa memejamkan matanya. Berusaha menghalau emosi yang menyergapnya saat ini. Setelah ia merasa hatinya lebih tenang, baru ia membuka matanya kembali. Dipandangnya Renata yang terdiam terpaku. Wanita ayu di hadapannya ini memainkan ujung bajunya. Kelihatannya, ucapan dirinya tadi membuat Renata menjadi gugup seperti ini.

“Ta, Renata,” Panggil Nazwa menyadarkan Renata.

“Eh, ya?” Renata menjawab dengan gugup.

“Maaf ya, jika ucapan saya membuat kamu tidak nyaman seperti ini,” sesal Nazwa. “Tapi, saya juga ingin kamu bisa mengerti tentang perasaan saya tentang perceraian ini. Saya sudah sangat berjuang untuk bisa melanjutkan hidup saya setelah berpisah dari Rafi. Dan saya ingin kalian menghargai perjuangan saya,” Tegas Nazwa.

“Naz, bukan kamu yang seharusnya meminta maaf. Tapi justru saya dan Rafi. Kamu benar,  selama ini kami tak memikirkan bagaimana perasaanmu. Kami memang egois sekali. Maaf ya, Naz,” Pinta Renata sungguh-sungguh.

Nazwa tersenyum. “Sudahlah, Ta. Kita saling melupakan dan memaafkan saja. Karena semua itu toh sudah berlalu. Saya tak ingin kembali ke masa menyedihkan itu. Saya hanya akan memandang ke masa depan yang akan saya rajut bersama Kafka. Dan saya ingin kamu dan Rafi juga begitu,” Harap Nazwa.

Renata tersenyum kecil mendengarnya. “Kamu yakin, Rafi akan bisa mencintai saya? Kamu kenal siapa Rafi kan, bagaimana ia bersikap untuk memperjuangkan keinginannya?” ujar Renata terdengar skeptis.

“Itu tugas kamu untuk bisa membuat Rafi jatuh cinta padamu,” Tekan Nazwa.

“Kamu pikir apa yang saya lakukan selama dua puluh tiga tahun ini, hah?” Renata mencoba terlihat kesal.

“Apa memang?” tanya Nazwa.

“Mencoba membuat mantan suami kamu itu jatuh cinta! Yang sayangnya belum berhasil!” sungut Renata. “Sudah habis waktu, tenaga dan masa muda saya!” keluh Renata lagi.

“Mau saya kasih tahu rahasianya?” pancing Nazwa.

“Mmh . . . Boleh juga. Apa rahasianya?” taut Renata.

“Rahas . . .,”

“Tunggu . . . tunggu!” Renata menghentikan ucapan Nazwa. “Kita ini aneh ya,” selorohnya.

“Aneh? Kenapa?” tanya Nazwa tak mengerti.

“Status kita berdua adalah mantan istri dan istri dari seorang laki-laki. Biasanya akan terjadi saling mencemohi, tapi kita malah mau saling berbagi rahasia, bagaimana mendapatkan hati laki-laki itu. Aneh kan?” Renata tertawa kecil.

Nazwa tertegun menyimak perkataan Renata sebelum akhirnya ikut tertawa. “Hahaha . . . Iya. Kamu benar, kita berdua perempuan yang aneh!” Nazwa menyetujui pikiran Renata.

“Senang berbicara denganmu, Naz,” Ucap Renata setelah letih tertawa.

“Senang juga berbicara denganmu, Renata,” Balas Nazwa.

“Aku sangat mengerti sekarang, apa yang membuat Rafi, Kafka atau mungkin laki-laki yang lain tergila-gila denganmu,” lontar Renata.

“Hm . . . Apa?” tanya Nazwa.

“Ketulusan hatimu,” Ucap Renata sambil tersenyum.

Alis Nazwa terangkat tanda tak mengerti.

“Hatimu terlalu tulus, Naz. Sehingga apapun yang melukai hatimu, membuatmu marah dan kecewa, tetapi kamu akan tetap bisa memaafkan. Tetap yang kamu lihat pada seseorang yang kamu lihat adalah tindakannya, bukan orangnya. Dan tidak semua orang memiliki hal tersebut, Naz,” Puji Renata.

“Mmh,” Nazwa tersenyum mendengar ucapan Renata. “Aku hanya orang yang tidak ingin menyimpan dendam, Renata. Terlalu meletihkan untuk memelihara sebuah amarah di dalam dada.” Nazwa mengutarakan pendapatnya.

“Aku benar-benar ingin hal yang terbaik untukmu dan Rafi, Naz.” Renata memandang Nazwa dengan penuh harap.

Nazwa mengambil tangan Renata dan menggenggamnya. “Begitupun aku, Ta. Aku ingin yang terbaik untuk kalian berdua.” Nazwa tersenyum meyakinkan.

*******

Bersambung

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status