Setelah merasakan kekuatan yang tiba-tiba merasuk ke hatinya setelah kepasrahan dan permohonan yang ia panjatkan. Nazwa membuka matanya dan menatap dalam kedua mata Kafka. Mata teduh dan kelam itu begitu menentramkan hatinya acapkali dipandang. Jujur, pesona itu merebut hatinya untuk mau melabuhkan hatinya. Kafka memberikannya kedamaian, ketenangan juga perlindungan saat berada di dekatnya. Laki-laki sejati yang ia cari. Laki-laki tegar yang ia perlukan. Dan ia telah tahu ketegaran seorang Kafka saat ia ditinggalkan kekasih hatinya. tapi, Nazwa juga harus jujur pada dirinya sendiri saat ini.
“Kafka, tolong. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri saat ini. Setelah semuanya, aku betul-betul butuh berbicara dengan hati dan pikiranku. Kamu tahu kan, kita sudah pernah mengalami hal yang sangat menyakitkan dalam kehidupan kita masing-masing. Dan aku tidak in
Belum lagi Salsa menjawab, hp Nazwa kembali berdering kencang. Rafi calling. Nazwa hanya meliriknya sebentar dan mengacuhkan panggilan itu.Kembali Nazwa mengulangi pertanyaannya. “Hanif kemana, Sa? Masih di kamar?”“Tadi pamit main sepeda sama Rio ke lapangan.”“Kok ngga pamit Mama?”“Tadi Mama sedang di kamar mandi, jadi pamitnya ke aku,” terang Salsa.“Oh begitu.” Nazwa menganggukan kepalanya. Tak lama ia membawa sebuah baki yang berisikan dua buah piring macaroni schotel dan dua buah gelas yang satu berisi coklat hangat untuk Salsa dan lemon tea hangat untuk dirinya sendiri.“Mmh . . . It’s look yummy,” Salsa menggesekkan kedua telapak tangannya sambil bergumam melihat makanan dan minuman yang dipindahkan oleh Nazwa dari baki ke atas meja.Nazwa tersenyum melihat reaksi Salsa. Inilah alasannya mengapa ia se
“Haruskah sejelas itu?” tanya Kafka masih dengan suara yang terdengar lirih. Nazwa balik menatap Kafka lekat. Ia pun tak mengerti. Hatinya dan pikirannya saat ini betul-betul tak seirama. Yang satu tak terima dengan perbuatan mereka, yang satunya bisa memakluminya. Tapi, ia tak ingin terlihat lemah. “Kamu tahu siapa aku kan, Kaf,” jawabnya pelan. “Naz, cobalah memandang masalah ini dari sudut pandang lain,” Kafka menyarankan. “Sudut pandang yang bagaimana? Sudut pandang siapa? Kamu atau Rafi?” sinis Nazwa berkata. “Jika aku harus memandang masalah ini dari sudut pandang kalian, mengapa kalian tidak melakukan hal yang sama? Memandang dari sudut pandang seorang Nazwa Rengganis! Perempuan yang baru saja berhasil menyembuhkan lukanya karena cinta, dan di saat ia memberanikan dirinya untuk kembali mencintai, kalian melecehkannya!” tandas Nazwa dingin. Kafka menghelakan nafasnya mendengar ucapan Nazwa. ‘Ya Tuhan, hati perempuan ini benar-benar terluka
“Naz!” Rafi dan Kafka berseru berbarengan. Mereka kembali saling memandang. Dan Kafka menganggukkan kepalanya sebagai kode kepada Rafi. Entah bagaimana, pikiran mereka sekarang seperti searah dan bisa saling memahami. “Tolong, dengarkan dulu penjelasan kami berdua.” Desak Kafka. “ Oke, kami janji. Kami akan memberikanmu waktu dan tidak mengganggumu. Asalkan kamu mau mendengarkan kami sekarang,” Kafka memberikan penawaran. Nazwa menghentikan langkahnya. Hatinya sudah sedemikian kesal kepada dua laki-laki yang tanpa diundang ini datang ke rumahnya. Apakah ucapannya kemarin tidak bermakna? Seenaknya saja mereka datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. Ia menimbang sebentar ucapan Kafka, sebelum membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya ke Pojok Hati.&
“Kalau kamu berada di posisi Nazwa sekarang. Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Rafi tiba-tiba.Pertanyaan Rafi cukup mengejutkan Renata. Apa yang akan aku lakukan? Tanyanya mengulang pertanyaan Rafi pada hatinya. “Kamu yakin mengajukan pertanyaan itu padaku, Raf?” tanya Renata balik.“Tentu saja. Memangnya kenapa?” taut Rafi tak mengerti.“Kamu kan tahu, selama hidupku, aku hanya mencintai satu orang laki-laki. Ya, kamu,” jawab Renata lirih namun masih terdengar oleh Rafi.Rafi menatap Renita. Tertegun mendengar ucapannya barusan. Tetapi tatapan Rafi disalahartikan oleh Renita. Ia merasa Rafi masih menantikan jawaban atas pertanyaannya tadi.“Entahlah, Raf. Aku bukan Nazwa yang dicintai oleh seorang Rafi dan Kafka,” gelengnya. “Aku belum pernah merasakan hal seperti itu. Aku hanya bisa membayangkan.” Renata terdiam sejenak. “Ya mungkin berat bagi seorang perempuan khusus
“Katakan, Fi! Bagaimana jika Nazwa menerimamu kembali, dan ia tak ingin menjadi istri keduamu. Sementara ibuku masih ada. Apa yang akan kamu lakukan?” kali ini Renata memberikan pertanyaan yang tak pernah terpikirkan oleh Rafi bisa terjadi. Ya, bukankah selalu ada kemungkinan dalam setiap hal di dunia ini? Sesungguhnya kemustahilan itu adalah kemungkinan itu sendiri. Kita bukanlah Tuhan yang bisa mengatur alam semesta, yang bisa membolak-balikkan hati manusia, yang tahu apa yang akan terjadi. Kita hanya manusia yang berharap dan berencana, tanpa tahu semua akan terjadi. Rafi tertegun. Benar-benar tertegun. Satu sisi, ada Nazwa yang diingininya dan di sisi lain, ada ibu yang membesarkannya dengan kasih sayang. “A-a …ku,” terbata Rafi berkata. Renata tersenyum smirk. ‘Kamu yang menceburkan dirimu sendiri, Fi.’ Ucap Renata dalam hatinya. Rafi meraup wajahnya sebelum mengacak rambutnya dengan kesal sekaligus bingung. “Astaga, Re! Kenapa sih kamu malah men
“Alhamdulillah,” ucap Bapak setelah meminum air putih mengakhiri makan siangnya. “Makin enak saja masakanmu, Nduk. Apa karena baru makan lagi ini ya,” sambungnya lagi dengan senyum sumringah. “Apa iya, Pak?” sambut Nazwa seolah tak percaya. Ia tahu bapak tersayangnya ini tengah menyindirnya dengan halus. Ia memang sudah cukup lama tidak mengunjungi kedua orang tuanya ini. Kesibukannya mengurus Kafe, mengurus kedua anaknya dan masalah yang timbul belakangan ini membuatnya seperti kekurangan waktu bahkan untuk dirinya sendiri. Kali terakhir ia mengunjungi mereka saat mengantar Kafka untuk meminta dirinya secara resmi. “Kode itu loh, Naz,” Ibu mengerling Nazwa. Nazwa mengangguk paham dengan maksud Ibu. “Bapak mau dibikinkan apa sama Nazwa?” tanya Nazwa membujuk. “Opo ya?” Bapak mengernyitkan keningnya seolah tengah berpikir keras. Hanif mengamati reaksi wajah kakeknya ini dengan bingung. Padahal tinggal sebut saja nama makanan yang enak-ena
Dan disinilah Nazwa. Sebuah desa kecil yang terletak di pedalaman Kota Garut. Tempat ia menjalani Kuliah Kerja Nyata-nya beberapa puluh tahun yang lalu. Desa yang mampu menarik hatinya. Membuatnya jatuh cinta dengan suasana alamnya yang asri, penduduknya yang ramah dan menemukan ibu kedua setelah Bu Eli, ibu kandungnya. Ya, di tempat inilah Nazwa bertemu dengan Ambu Tinah, seorang perempuan yang kala itu baru saja ditinggal oleh orang-orang terkasihnya. Ambu Tinah bersuamikan Abah Asep, seorang aparat desa yang mengurusi masalah perairan di desanya itu. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang berumur selisih 2 tahun dengan Nazwa. Nazwa baru dua minggu menjalani masa KKN-nya ketika peristiwa itu terjadi. Hujan yang turun dengan lebatnya di sepanjang hari di minggu kedua bulan September itu membuat meluapnya air sungai yang berada di belakang rumah Abah Asep dan Ambu Tinah. Hujan kala itu disertai dengan angin kencang yang membuat warga memilih untuk
“Kalau sama aku, kangen ngga?” Nazwa memalingkan wajahnya ke arah si empunya suara. Dan ia terkejut mendapati sosok itu. “Razky?” pekiknya. Lelaki gagah itu tersenyum manis. “Hai Angel,” sapanya. Angel. Nama yang disampirkan oleh lelaki teman KKN-nya itu. Ya, hanya Razky yang memanggilnya Angel. Karena wajahnya yang lembut tetapi tegas dan hatinya yang hangat. Begitu alasan yang diucapkan Razky kala itu, saat ia ditanya oleh teman-temannya mengapa memanggil Nazwa dengan Angel. Nazwa hanya tersenyum miring mendengarnya, sementara teman-temannya sudah heboh sendiri. Ada yang bersiul, berdeham-ehm, colek-colek dan sebagainya. Sejak itu Nazwa lebih sering dipanggil Angel-nya Razky. Yang membuat Nazwa kemudian mengambil jarak dengan Razky. Ia sebal bukan main, seenaknya saja membuat dirinya menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Sementara Razky terlihat santai saja menanggapi candaan teman-temannya itu. Nazwa sedikit bersyukur karena ia dan Razky