Aku tengah asyik menonton DVD bersama Ruri saat salah satu pelayan berkata bahwa ibu mertuaku telah tiba. Hal yang paling tidak aku sukai di dunia ini adalah saat harus berurusan dengannya. Jangankan bertemu secara langsung dengannya, mendengar namanya saja sudah membuatku begitu muak. Ternyata tidak semua orang kaya itu memiliki attitude yang baik. Tidak semua orang yang berpendidikan itu tahu bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain.“Bawa santai saja, kalau dikatain gak usah dimasukin ke hati.” Ruri berkata seolah ia bisa membaca pikiranku.Aku hanya berdehem kecil, bangkit berdiri dan meminta lelaki itu untuk mematikan DVD.Wanita dengan pakaian serba branded itu telah duduk di sofa saat aku turun dari kamar. Wajah angkuhnya langsung menyambut kedatanganku. Kipas putih dengan bulu-bulu angsa itu tidak pernah lepas dari tangannya. Ia mengibas-ngibaskan kipas saat menatapku dari atas hingga bawah. Menatap secara saksama, seolah tengah menilai penampilan menantunya.Aku tidak in
“Sya, ada paket.” Ruri berkata seraya menyerahkan sebuah paket yang dibungkus dengan kotak berukuran sedang. Tidak terlalu kecil, juga tidak terlalu besar.“Dari siapa?” Aku mengerutkan kening menerima kotak yang ia sodorkan.“Dari Tuan Dewa kayaknya.” Lelaki gemulai itu mengambil posisi tepat di sisi kananku saat aku mulai membuka kotak yang dibungkus dengan plastik dan bubble wrap.Sekarang aku baru ingat dengan ucapannya waktu itu. Tertarik dengan kostum cosplay dan membelinya untuk kukenakan saat ia pulang nanti. Malam nanti ia akan tiba, otomatis barang yang baru kupegang ini harus kukenakan.“Minta dibawa ke loundry, pilih yang kilat. Soalnya Dewa minta aku make ini pas dia pulang nanti.” Aku memberikan perintah pada Ruri.“Apa ini?” Lelaki itu membentangkan gaun mini kostum kucing dengan warna putih hitam. Tanpa lengan, juga panjang hanya sejengkal di bawah pangkal paha. Ada bendo menyerupai telinga kucing, juga ekor yang cukup panjang. Gaun, bendo, dan ekor semuanya senada, ta
Aku tidak pernah tahu jika Ruri memiliki tenaga sebesar itu. Sering memang ia menunjukkan sisi kelakian saat di hadapan para pekerja lainnya. Namun, jarang sekali ia menunjukkan kekuatan yang ia punya. Aku speechless dibuatnya.“Gimana?” Aku masih menunggu jawaban dari Ruri.“Aman, orang cuma dipukul pelan kok.” Ia mulai lebih santai dari sebelumnya setelah ia tahu kondisi wanita itu.Syukurlah, aku membatin. Sebab takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan.Ruri membawa Viona ke dalam gendongan, kemudian melangkah menuju keluar ruangan. Aku mengekor di belakang. Para pekerja lain yang melihat, bertanya-tanya tentang apa yang tengah terjadi.Viona dibaringkan di atas sofa. Kami duduk menunggu di sofa yang lain. Menanti sambil mengamati, barangkali ia hanya pura-pura pingsan. Sebab, aku yakin fisiknya tidak selemah itu. Meskipun bekas hantaman Ruri masih meninggalkan jejak di wajahnya.Terdengar suara ponsel dari atas meja. Aku meraih, berpikir jika itu adalah ponselku. Barangkali De
Aku merasakan ciuman di kening, juga elusan lembut di ubun-ubun. Dengan malas kubuka mata yang terasa berat. Ada Dewangga yang tengah duduk di tepian ranjang. Ia tersenyum saat aku menatap. Ternyata ia telah pulang, pertanda jika hari telah malam. Aku tidak sadar ketika terjatuh dalam dunia mimpi saat menangis tadi siang. Bahkan aku telah melewatkan dua kali jadwal makan.“Kau menangis karena masalah tadi siang? Matamu terlihat bengkak, kau bahkan tidak mengganti pakaianmu.” Lelaki itu memberikan komentar.Aku hanya diam dengan wajah datar, masih kesal padanya karena ia menolak untuk percaya. Aku berbalik setelah menyingkirkan tangannya dari kepala.“Maafkan aku.” Ia naik ke atas ranjang, ikut rebahan dengan posisi tanpa jarak. Tangan kanannya melingkar di atas perutku.Lagi, aku menjauh dengan melepaskan pelukannya. Ia kembali melakukan hal yang sama. Aku kembali menjauh, hal itu berulang hingga beberapa kali.“Jangan buat aku marah, Sya.” Ia memberikan peringatan. Aku tidak ingin me
“Perih, Yank.” Aku berkomentar ketika Dewangga menggigit dan menarik bagian puting buah dadaku. Kurasakan ia telah membuat lecet di area itu. Namun, lelaki berstatus suamiku itu seolah tidak ingin mendengar keluhan sama sekali. Ia tetap saja melakukan itu. Bahkan mulai memompa dengan kecepatan penuh seraya giginya terus menancap di dadaku.Kuremas kuat-kuat rambut Dewangga, bahkan menjambak dengan sadar. Berharap jambakan itu akan sedikit mengurangi kebrutalannya di saat bercinta. Ternyata salah, semakin aku membalas dengan kasar, semakin ia terlihat begitu menikmati.Aku tidak bisa merasakan apa-apa. Bahkan tubuhku mulai mati rasa. Hal yang kini menjadi hal lumrah ketika kami tengah mengadu kasih di atas peraduan. Dewangga melepas gigitan di dada, ia menatap dengan sorot penuh nafsu ketika kami saling membalas pandang. Sementara pinggangnya terus bergerak. Sesekali maju-mundur, sesekali ia berikan gerakan menggoyang.Segurat senyum terukir di bibir manisnya, detik berikutnya ia memej
Aku beranjak menuju lemari untuk memilih baju dengan asal, yang terpenting bisa menutupi seluruh badan. Sementara Dewangga masih terbaring dengan lelah di lantai. Kedua matanya tengah terpejam, mungkin ia telah tertidur karena kelelahan.Sesaat setelah aku berpakaian, terdengar ketukan di pintu kamar dengan suara Ruri yang memanggil dengan pelan. Aku segera beranjak untuk membukakan.“Ada apa?” Ia bertanya dengan mata yang masih tampak mengantuk. Suaranya juga terdengar serak, seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya.“Bawa aku ke rumah sakit sekarang, cari dokter obgyn terbaik.” Aku memberikan perintah.“Loh, kamu hamil?” Suaranya terdengar setengah berbisik seraya melongok menatap ke dalam. Menatap Dewangga yang tengah terbaring lelah di lantai kamar dengan tubuh polos tanpa pakaian.Aku menggeleng dengan pelan.“Dia semakin brutal dan aneh, aku takut.” Aku berucap dengan suara sedikit bergetar. Sebab aku benar-benar merasa takut sekarang.“Aku gak bisa bawa kamu keluar kalau
“Sya.” Dewangga memanggil dengan suara parau. Kami baru saja kembali dari luar. Ia mengajak untuk keliling kota Jakarta sehabis kami pulang dari rumah sakit tadi pagi. Aku merasa lelah dan tidak semangat untuk melakukan apa pun.“Nasya!” Ia kembali memanggil, sebab aku hanya diam setelah panggilan pertama.Aku berbalik, menatap lelaki yang tengah menatapku dengan tajam. Sepasang mata itu tampak nyalang, seolah aku adalah mangsa yang siap untuk ia terkam.“Kenapa?” Aku bertanya dengan kening berkerut, sebab ia hanya diam setelah aku menatap untuk waktu yang lama.Tidak ada jawaban, Dewangga naik ke atas ranjang. Ia merangkak agar mampu menggapaiku yang tengah duduk di tepian ranjang sisi kanan.“Kau mau apa?” Aku langsung menatap dengan tajam saat kedua tangannya memegang bahuku, sementara napasnya mulai terdengar memburu. Naik turun dengan ritme yang tidak teratur.Aku menolak, menyingkirkan tangannya dari kedua bahuku. Lalu bangkit berdiri seraya beranjak menjauh dari ranjang. Sebab,
Setelah Ruri keluar dari kamar, Dewangga kembali ke ranjang. Ia duduk di tepian, perlahan membuka borgol yang mengunci kaki kananku. Ia memilah anak-anak kunci yang berada dalam genggamannya. Mencoba beberapa kali hingga kaki kananku terlepas.Aku bisa menarik napas sedikit lebih lega dari sebelumnya, sebab salah satu kuncian telah terbuka. Dewangga tampak santai beralih pada sisi ranjang yang lain. Melakukan hal yang sama pada kaki kiriku, melepas borgolan. Ia tidak terlihat panik ataupun khawatir sama sekali melihat bekas merah karena sabetan cambuk yang ia lakukan puluhan kali.Di mana letak cinta yang selalu ia kumandangkan? Lelaki mana yang tega menyiksa wanita yang ia cintai seperti yang Dewangga sampaikan?Akhirnya aku terlepas dari semua borgol yang mengunci pergerakan. Kedua borgol di tangan juga ikut ia lepas. Aku menatap sekitar dengan penuh hati-hati, membaca setiap pergerakan yang dilakukan olehnya. Barangkali ia akan melakukan hal yang lebih sadis dari ini.“Kau pasti la