Kepalanya sangat berat dengan mata yang susah sekali dibuka, Faqih pun memutuskan untuk pergi istirahat ke paviliun. Meninggalkan sang papa yang demikian setia menunggu istrinya di bangku tunggu ruang opname. Sang papa juga sungguh-sungguh menyuruh anak lelaki untuk menyusul tidur istrinya di paviliun.Hawa dingin malam di luaran ternyata lebih menggigit kulit begitu membuka pintu paviliun dan Faqih masuk ke dalamnya. Mendekati sofa dan mendapati Jeta yang meringkuk dan melipat kakinya hingga di perutnya yang mengganjal. Selimut yang tadi ditutupkan, telah berserakan di belakang tubuhnya. Wajah indah itu memejam rapat meski dengan dahi yang sedikit berkernyit. Terlihat gelisah dan kedinginan dengan tarikan nafas yang cepat.Faqih merasa iba dan trenyuh. Mengakui jika Jeta adalah gadis yang tabah dan tangguh. Telah banyak kali diuji oleh masalah bertubi dan berat, tetapi tidak menunjuk reaksi berlebihan yang di luar batas. Menyikapi dengan tenang dan bijak. Meski caranya yang sering k
Tiga bulan menuju empat bulan pun berlalu demikian cepat. Kehamilan yang melewati lima bulan itu sudah sangat terlihat dan jelas. Kaki yang beberapa minggu lalu masih tertatih, kini berjalan lurus sempurna meskipun dengan langkah yang pelan. Orang melihat akan menyangka sebab perut membuncit itu yang membuatnya berjalan santai, bukan sebab dari kakinya yang lamban.Jeta yang baru kembali dari menginap di rumah Fani, sedang berdiri di almari pendingin dengan pintu yang terbuka. Bibirnya cemberut dengan ekspresi yang kecewa."Mak Min, apa Faqih tidak membelikanku salad buah?" Jeta menegur pada wanita yang sedang berbenah di dapur, tetapi dengan perasaan kecewa pada Faqih. "Belum, Nyah. Kemarin sudah aku ingatkan. Bilangnya, iya. Jika Nyah Jeta sudah datang akan dibelikan …," ucap Mak Min sambil mencuci perkakas di wastafel.Bukan hanya kecewa jika ini berhubungan dengan salad buah, terapi juga kesal. Sudah beberapa kali lelaki itu lupa tidak membelikannya salad buah. Hingga stok dalam
Mukena yang sudah dilipat rapi dan diselip di tengah sajadah, telah diletak kembali di atas bangku kamar. Maghrib berlalu cepat hingga akan datang adzan Isya. Jeta baru selesai makan malam dan menghadap piring kosong bersama mamanya. Ardi masih belum kembali dari urusan jual beli mega properti dan proyek miliknya di Kota Sekupang."Pukul berapa Om Ardi pulang, Ma?" Jeta masih betah duduk di meja makan dan merasa enggan beranjak. Ada satu yang kurang dan rasanya tidak mungkin ada dalam waktu dekat ini. Ya, salad buah lah yang sedang sangat Jeta inginkan. Hingga liurnya seperti terus saja merembes."Papamu bisa jadi pulang tengah malam nanti, Jeta. Beberapa rekan dan custumer dari luar negara paling suka mengambil penerbangan malam. Ya demi kelancaran, papamu ikut juga ke bandara," ucap Fani sambil menghela napas kencang."Mama harus segera pulih lagi sehatnya. Seneng kan bisa ikut suami ke mana-mana. Kalo kayak gini, Mama akan sering sendirian di rumah," ucap Jeta sedih."Iya … Mama s
Begitu sulit bernapas. Antara mengambil dan menghempas, teramat sama susahnya. Sungguh sesak rasa di dadanya. Meski Faqih tidak lagi menahan, tangan Jeta kian lekat sendiri di dada dan perut suaminya. Kulit yang mula-mula terasa dingin sehabis mandi, kini berubah sangat hangat di telapak tangannya. Jeta bahkan kehilangan kata-kata saat tangan kekar itu mengalung di pinggang dan punggungnya. Menarik mendekat dan akhirnya membawa kedua tubuh merapat. Terasa kian kesulitan saja Jeta bernapas."Pandang aku, Jeta," tegur Faqih. Jeta telah berpaling dari menatapnya. Melurus wajah dengan pandangan yang berlabuh di dada suaminya."Ada … apa?" respon Jeta gugup sambil mendongak. "Aku hanya ingin kamu pandang dengan lama," ucap Faqih beralasan. Jeta pun terdiam, merasa tidak salahnya menatap dalam wajah itu. Yang tidak akan dilihatnya lagi dalam waktu sangat lama. Atau justru mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Jeta menatap wajah berkulit cerah itu sepuas dan sedetail inginnya.Alis hitam
Tidak biasa hingga lewat waktu isya, Jeta belum juga tampak batang hidungnya. Yang sebelum ini selalu datang saat siang atau sebelum maghrib dari menginap di rumah Fani. Bahkan kini makanan beragam di atas meja yang sudah disiapkan Mak Min untuk makan malam, telah benar-benar menjadi dingin. “Mau ke mana, Tuan?!” seru Mak Min saat Faqih keluar dari kamar, kemudian menyambar kunci mobil.“Menyusul Jeta ke Batam Centre, Mak Min. Panggilanku selalu dia alihkan. Assalamu'alaikum!” Faqih melesat melewati pintu besi.“Wa'alaikumsalam!” Mak Min menjawab dengan rasa ikut bertanya. Khawatir akan kelambatan kedatangan Jeta ke apartemen. Memahami perasaan sang tuan yang waswas. Mak Min bergegas mengambil tudung saji lebar dan besar. Menutup segala hidangan di meja makan dengan sedih. Makanan banyak menu yang dia masak sebagaimana yang diinginkan Faqih, terancam bernasib sia-sia dan mubadzir. Sebab wanita yang ditunggu untuk diharap makan malam berdua dengan sang tuan tidak datang.Tidak memerl
Lelaki mencurigakan itu tidak merespon tanya Jeta. Tetap sibuk dengan hidangan lezat di mangkuk stainless yang dipegang. Dia tidak menggunakan sendok. Namun, menggunakan sumpit untuk menjepit ulat sagu dengan sangat lihai. Bahkan hanya tersisa beberapa ekor di mangkuk yang dalam hitungan detik telah berpindah aman ke dalam mulut. "Siapa kamu ...?" Jeta bertanya kembali dengan lemah.Lelaki itu menoleh, menatap sambil mengelap mulut dengan telapak tangan. Pandangan mereka bertemu, dan baru kali ini Jeta benar-benar menatapnya. Seluruh penutup kepala dan wajah telah ditanggal.Di antara rasa lemah raga, mengakui jika wajah itu sangat tampan dengan dagu yang berjanggut tipis. Berwajah cerah, bersih dan terawat. Rambutnya lurus, tebal dan rapi. Seperti tidak serasi jika profesi yang dia geluti adalah seorang anggota tim penyelamat. "Aku hanya mengingatkan padamu. Bersikaplah yang baik dan manis selama dalam perjalanan turun. Tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, niatku adalah membawa
Jalan terjal dan curam serta lembah ngarai pun sudah dilintasi. Namun, Jeta merasa perjalanan turun yang biasanya lebih cepat, kini terasa sangat jauh dan lambat. Selisih jarak beda jauh dengan jalur saat naik. Bahkan, tidak dijumpai satu orang pun pendaki di sepanjang jalan turun. Lewat mana mereka semua? Apakah lelaki itu telah sengaja membawanya tersesat? Waswas sekali rasanya."Apa kamu juga ingin mandi?" Lelaki itu berjalan sedikit cepat meninggalkannya. Seperti teguran agar Jeta tidak lagi mengikuti.Lalu berhenti dan menurunkan carrier dari punggung. Melepas sweater hangat dengan cepat di bawah sana. Menampakkan punggung cerahnya yang sempurna terpahat. Jeta tercekat, tergesa memalingkan wajah dan pandangan agar tidak melihat.Rupanya ada sumber air di sana. Jadi lelaki itu sudah sangat hapal medan di Kinabalu. Kini terdengar riuh kecipukan, mungkin dia sedang berenang di kolam sumber air. Meski ingin tahu, Jeta sama sekali tidak berani mendekat. Memilih terus duduk dan menikm
Jeta dibawa menjelajah dan melintasi sepanjang Taman Nasional Kinabalu yang menakjubkan. Tidak terhitung lagi ragam hayati dan hewani yang mereka jumpai di sepanjang petualangan.Terbaca board petunjuk bahwa jalan turun yang sedang mereka lalui adalah jalur daki Kiau View yang indah. Rasanya tidak ingin pergi hanya untuk terus mengagumi isi taman yang sungguh fantastis dan beragam."Apa kita tidak akan tersesat?" Jeta mulai khawatir lagi saat dibawa pada jalan yang acak. Sangat banyak jalan setapak yang bercabang dari jalur Kiau View dan lelaki itu memilih salah satu."Tidak akan. Semua jalan kecil ini akan terhubung pada jalan aspal di luar Taman Kinabalu. Kamu akan disambut rambu-rambu saat menghabiskan jalan setapak. Semua jalan aspal juga akan menuju di satu pos jaga saja," terang lelaki itu dengan gamblang.Jeta melirik. Kian penasaran dengan lelaki tenang dan sudah memberi ancaman serius. Yang sebenarnya, lelaki banyak wawasan dan pengalaman di alam itu cukup menakjubkan."Istir