Share

8. MAHESSA VS WILDAN

Masa setelah Prolog...

"Tanda tangani ini sekarang!" Perintah Mahessa pada Vanessa dengan begitu to the point, saat lelaki itu baru saja sampai di dalam ruang rawat Vanessa.

"Apa ini?" tanya Vanessa bingung. Wajah pucatnya tampak semakin pucat terhitung saat dia melihat sosok Mahessa memasuki ruang rawatnya beberapa detik tadi.

Kebetulan, Isna dan Malik baru saja pulang, sementara Vanilla dan Wildan yang akan menggantikan menjaga Vanessa di rumah sakit belum datang. Jadilah, Mahessa bisa dengan leluasa melakukan aksinya terhadap Vanessa di dalam sini.

Aksinya untuk memaksa Vanessa menandatangani surat perjanjian pernikahan mereka.

"Kamu baru saja keguguran, jadi tak ada alasan bagi kita untuk menunda pernikahan, benar kan?" ucap Mahessa disertai sebuah senyuman miring khasnya.

Vanessa melirik sebuah kertas di pangkuannya. Kedua rahang wanita itu mengeras seiring dengan buliran air mata yang perlahan jatuh menetes di pipinya.

"Ini pulpennya, Nona cantik," ucap Mahessa lagi seraya menyodorkan sebuah pulpen tepat di depan wajah Vanessa. Wajah yang terus berpaling darinya.

Melihat ketidakberdayaan Vanessa, entah kenapa, Mahessa merasa senang. Karena memang, lelaki itu menginginkan Vanessa hidup dalam penderitaan setelah apa yang sudah wanita itu lakukan padanya selama ini.

"Lelaki brengsek! Kamu yang sudah meracuniku kan? Kamu yang sudah membunuh bayiku kan?" Cecar Vanessa saat itu yang langsung menepis kasar pulpen dan kertas di tangan Mahessa. Tatapannya nyalang ke arah pria berjas hitam di sisinya itu.

Tangisan Vanessa pecah saat dirinya harus menerima kenyataan bahwa kini, satu-satunya harta berharga yang dia miliki di dalam rahimnya telah meninggal. "Pembunuh!" Vanessa kembali memaki dengan perasaan muak luar biasa.

Mendengar caci maki dan tuduhan tanpa bukti yang dilayangkan Vanessa padanya, Mahessa tak sama sekali terlihat marah melainkan merasa lucu.

Lelaki itu tertawa renyah seraya menarik kursi lipat di sisi brankar Vanessa dan mengambil kembali pulpen yang sempat terjatuh terkena tepisan tangan Vanessa tadi.

"Atas dasar apa kamu bisa-bisanya menuduhku telah meracunimu, hah? Apa kamu memiliki bukti bahwa itu adalah perbuatanku?" ucap Mahessa dalam sisa tawanya.

Vanessa tak mampu menjawab karena dia yang memang tak memiliki bukti apapun atas tuduhannya tersebut. Namun, Vanessa yakin semua ini ulah Mahessa. Sebab jika tidak, mengapa kini dia tiba-tiba datang dan langsung memintanya untuk menandatangani perjanjian pernikahan?

Dasar licik!

Maki Vanessa dalam hati. Dia hendak bicara, namun Mahessa sudah lebih dulu bersuara.

"Aku tidak punya banyak waktu! Cepat tanda tangani perjanjian kontrak pernikahan ini sekarang agar aku bisa lekas mengurus pernikahan kita," tegas pria itu dengan segelintir emosi yang mulai terlihat dari kilatan tatapannya.

"Aku tidak mau! Lupakan saja semua kesepakatan kita karena aku sudah benar-benar muak padamu!" Tegasnya dengan tatapan sama tajam dan menusuk.

Salah Vanessa sejak awal sudah memulai urusan dengan pria gila macam Mahessa.

Harusnya, sejak awal Vanessa sadar bahwa apa yang dikatakan Mahessa padanya mengenai Yasa adalah sebuah kebohongan!

Bahkan kematian Yasa terjadi di depan mata kepala Vanessa sendiri, lantas bagaimana mungkin kini Yasa masih hidup?

Dan lagi, belum apa-apa, Mahessa sudah berani melakukan cara keji dengan meracuninya agar dia keguguran, hal itu Mahessa lakukan karena pria itu yang memang tak mau menunggu sampai Vanessa melahirkan untuk bisa menikahi Vanessa, jadilah dia melakukan cara terkutuk dengan membunuh janin di dalam rahim Vanessa.

"Brengsek kamu Mahess! Jangan pernah bermimpi bisa menikah denganku! Lupakan obsesi gilamu itu terhadap Vanilla karena sekarang Vanilla sudah bahagia dengan Wildan!"

Mendengar ucapan Vanessa kali ini, emosi Mahessa sukses terpancing ke permukaan.

"Bitch!" Maki Mahessa seraya berdiri. Tubuh lelaki itu membungkuk dengan sebelah tangannya yang menekan rahang Vanessa kuat-kuat. "Sejak awal aku tidak pernah berbohong saat aku mengatakan bahwa Yasa masih hidup dan aku akan menceritakan yang sebenarnya terjadi dengan Yasa nanti, di malam pertama pernikahan kita, bagaimana Nona? Apa kamu tertarik?"

Wajah Vanessa yang begitu dekat dengannya membuat Mahessa merasakan sesuatu yang aneh hingga lelaki itu pun memutuskan untuk menjauh.

Degup jantung lelaki itu berpacu lebih cepat dengan desiran aneh yang seketika menyerang tanpa ampun. Membangkitkan sisi liarnya sebagai seorang lelaki normal.

Mahessa masih mengatur napas. Berusaha menetralkan perasaannya.

Ini pasti terjadi akibat kemiripan wajah Vanessa dengan Vanilla.

Ya, sudah pasti karena itu.

Pikir Mahessa dalam hati.

Saat itu, Mahessa sempat mendapat telepon dari salah satu anak buahnya yang berjaga di parkiran rumah sakit yang mengatakan bahwa ada keluarga Vanessa yang baru saja tiba di rumah sakit.

"Siapa?" Tanya Mahessa saat itu.

"Nona Vanilla dan suaminya, Tuan."

"Ulur waktu, jangan biarkan mereka masuk sampai aku memberi perintah!"

Setelah berhasil menguasai dirinya dan merasa lebih tenang, Mahessa pun kembali mendekati Vanessa dan kembali menyodorkan kertas yang dibawanya tadi beserta pulpennya pada wanita itu.

"Cepat tandatangani ini Vanessa! Jangan membuatku marah!" Desaknya tidak sabar karena tahu bahwa sebentar lagi, akan ada orang lain yang menjenguk Vanessa di ruangan ini. Terlebih orang itu adalah Vanilla, saudara kembar Vanessa. Wanita yang menjadi incarannya saat ini dan wanita yang menjadi alasan Mahessa kini menjebak Vanessa dalam pernikahan.

Bagi seorang Mahessa, hal apapun akan dia lakukan demi mendapatkan Vi-nya kembali. Tak perduli benar atau salah, Mahessa hanya menginginkan Vi, itu saja.

"Sebelum kamu membuktikan bahwa Yasa memang benar-benar masih hidup, aku tidak akan pernah mau menikah denganmu!" ucap Vanessa mengancam balik. Mungkin sebelumnya Vanessa bisa saja bodoh karena dia yang masih terlalu berharap bahwa apa yang dikatakan Mahessa tentang Yasa adalah benar, tapi sekarang, saat semuanya terkesan mustahil bagi Vanessa, Vanessa tidak ingin tertipu lagi.

"Shit!" Mahessa membanting pulpen di tangannya ke dinding hingga hancur. Lelaki itu terlihat menghubungi seseorang.

Hingga akhirnya, sebuah video call tersambung di ponselnya.

Mahessa memperlihatkan sesuatu di dalam ponselnya pada Vanessa yang membuat kedua bola mata Vanessa terbelalak kaget.

"Yasa?" Pekik Vanessa tertahan yang sontak menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Vanessa mengambil alih ponsel Mahessa untuk melihat lebih jelas wajah Yasa di dalam sambungan video call tersebut.

"Yasa? Apa kamu benar-benar Yasa?" Tanya Vanessa yang kembali menangis.

Wajah seorang lelaki yang tampak babak belur di dalam video call itu memang sangat mirip dengan Yasa. Tak salah lagi, lelaki itu memang Yasa.

"Nessa... Maaf..." ucap lelaki di dalam video itu. Suaranya lirih dan tak berdaya.

Saat itu, Vanessa hendak bicara namun ponselnya sudah kembali diambil alih oleh Mahessa yang langsung memutus sambungan video call itu. Dia mengambil pulpen baru dari salah satu anak buahnya yang berjaga di luar pintu ruang rawat Vanessa dan kembali memberikan kertas perjanjian kontrak pernikahan itu pada Vanessa berserta pulpennya.

"Aku beri waktu satu menit untuk berpikir, tandatangani ini sekarang, atau kematian Yasa akan benar-benar terjadi di menit berikutnya!" ancam Mahessa pada akhirnya.

Tak memiliki pilihan lain, Vanessa pun akhirnya menyanggupi permintaan Mahessa meski dalam hati, dia terus bertanya-tanya sendiri.

Bagaimana mungkin Yasa masih hidup?

Apa yang sebenarnya terjadi?

Vanessa benar-benar bingung.

*****

Malam ini adalah jadwal Vanilla menginap di rumah sakit menemani Vanessa.

Karena besok weekend dan Wildan tidak bekerja, jadilah Wildan akan ikut menemani Vanilla menginap di rumah sakit malam ini.

"Kamu nggak pakai jaket? Nanti dingin loh," ucap Vanilla saat melihat sang suami tak membawa pakaian luar selain kaus yang melekat di tubuh Wildan.

Wildan merangkul Vanilla, melirik mesum. "Kan ada kamu, dingin tinggal minta peluk,"

"Ihh, ini tempat umum tau!" Vanilla mengelak dan melepas tangan Wildan dari bahunya.

"Pelit!" Umpat Wildan sambil cemberut.

Keduanya terus berjalan berdampingan menuju ruang rawat Vanessa di lantai tiga, ketika tiba-tiba ada seorang lelaki berpakaian hitam yang menahan langkah Vanilla dan Wildan tepat saat mereka hendak memasuki lift.

Jadilah, Lift pun kembali tertutup.

"Maaf Mas, Mba, saya cuma mau tanya, toilet di sini, di mana ya?" Tanya lelaki berpakaian hitam tadi dengan wajah meringis yang sangat kentara bahwa dia memang sedang kebelet.

Vanilla celingukan, dan menunjuk ke arah dalam sebuah lorong di sisi kiri mereka. "Coba Mas jalan lurus ke sana deh, biasanya toilet umum ada di belakang," ucapnya menjelaskan.

"Oh, baik Mba, terima kasih," balas si lelaki yang langsung berlalu dari hadapan sepasang suami istri itu.

Jemari Wildan menggenggam jemari Vanilla saat mereka mulai memasuki lift. Bergandengan tangan mereka berjalan menuju kamar di mana Vanessa kini dirawat dan mendapati dua orang lelaki berseragam hitam yang sama dengan lelaki yang bertanya letak toilet di lantai bawah pada mereka tadi, dua lelaki itu kini berdiri tepat di depan pintu ruang rawat Vanessa.

Tanpa berbasa-basi, kedua lelaki berseragam hitam itu memberikan hormat pada Vanilla dan Wildan begitu sepasang suami istri itu sudah berdiri di depan pintu hendak masuk.

"Maaf, Nona dan Tuan, kami diperintahkan untuk tidak membiarkan siapapun masuk ke dalam tanpa izin dari Nona Vanessa," ucap salah satu lelaki tersebut seraya menghalangi pintu yang diikuti oleh rekannya, agar Vanilla dan Wildan tidak bisa masuk.

"Saya ini saudara kembarnya Vanessa, dan sudah biasa bulak-balik ke sini sejak kemarin," beritahu Vanilla dengan nada marah. "Kalian ini siapa?"

Kedua lelaki berseragam hitam itu saling melempar pandang. Bingung juga untuk menjawab pertanyaan itu.

"Lebih baik kalian minggir sekarang atau saya panggil security!" Ancam Wildan turun tangan. Sayangnya, kedua lelaki itu tetap bergeming. Membuat Wildan jadi ikutan emosi hingga bermaksud untuk memukul salah satu dari lelaki itu namun aksinya sudah lebih dulu ditahan oleh Vanilla.

"Sabar, Wil." Ucap Vanilla yang menarik tubuh Wildan ke belakang. Vanilla mengajak Wildan beranjak dari depan pintu dan duduk di bangku tunggu lantas mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Vanessa.

Tak lama panggilan itu pun dijawab juga oleh Vanessa.

"Halo, Nes, kamu baik-baik ajakan? Aku di depan ruang rawat kamu sama Wildan tapi kita nggak boleh masuk sama dua orang lelaki yang nggak tau itu siapa. Sebenernya kamu lagi sama siapa sih di dalem?" Cecar Vanilla dengan sedikit luapan emosi.

"A-aku lagi sama Mahessa, La," sahut suara Vanessa di telepon. "Sebentar ya,"

Dan Klik!

Panggilan itu diputus begitu saja oleh Vanessa. Bahkan tanpa memberi kesempatan Vanilla untuk kembali bicara.

Alhasil, Vanilla dan Wildan pun harus rela menunggu di luar sampai urusan Vanessa dengan Mahessa selesai.

Meski saat itu, Vanilla terus saja bersungut-sungut.

"Memangnya siapa sih dia? Bisa ngatur hidup Vanessa begini? Udah kayak Presiden aja! Masa cuma gara-gara dia ada di ruangan Nessa terus kita yang jelas-jelas keluarga terdekatnya nggak bisa masuk! Awas aja dia kalau sampai menyakiti Vanessa!" Tutur Vanilla panjang lebar.

Sementara dari sisi lelaki, Wildan malah berpikir lain. "Yank, jangan begitu. Bisa jadi, mereka memang membutuhkan privasi untuk berduaan. Jadi, yaudahlah biarin aja,"

Kedua bola mata Vanilla terbelalak lalu mendelik sinis ke arah Wildan. "Apa? Berduaan kata kamu? Yang bener aja, setahuku Vanessa itu nggak suka sama si Mahessa-Mahessa itu! Ini pasti ada apa-apanya! Aku harus cari tau!" Vanilla yang sudah tak bisa menahan emosi lantas kembali mendekati pintu masuk hendak memaksa dua lelaki di sana untuk memberinya izin masuk ke dalam.

"Pokoknya saya harus masuk dan memastikan Vanessa baik-baik saja! Minggir kalian!" Tegas Vanilla galak. Tapi nyatanya, hal itu tak lantas membuat kedua lelaki berjas hitam itu bergerak. Mereka tetap berjaga di depan pintu masuk dan menghalangi siapapun untuk masuk ke dalam sebelum mendapat perintah dari Mahessa.

Alhasil, Vanilla pun terpaksa menerobos masuk meski tubuhnya langsung ditahan oleh dua lelaki itu, Vanilla tidak perduli.

Wildan yang menyaksikan hal itu hanya bisa geleng-geleng kepala dan lekas menarik Vanilla menjauh, melepas kasar dua tangan lelaki yang mencengkram bahu Vanilla.

Vanilla masih emosi dan hendak memaki Wildan yang bukannya membantu malah menariknya menjauhi pintu, ketika pintu ruang rawat Vanessa terbuka.

Seorang lelaki tampan dengan jas hitamnya yang mewah keluar dari sana, memberikan selembar kertas pada salah satu anak buahnya yang berjaga di depan pintu lalu melayangkan sebuah senyuman termanisnya pada Vanilla dan Wildan.

"Maaf atas ketidaknyamanan ini, cuma..." Mahessa mengelap bibirnya seolah-olah memberi isyarat tentang apa yang baru saja dia lakukan bersama Vanessa di dalam sana.

Dan bagi Vanilla, hal itu sangat menjijikan!

Dengan wajah sinis, Vanilla pun berlalu dari hadapan Mahessa untuk lebih dulu masuk ke dalam ruang rawat Vanessa sementara Wildan yang cukup mengerti situasi hanya bisa tersenyum tipis.

Dia menepuk bahu Mahessa. "Ya, sebagai sesama lelaki, aku paham kalau kalian memang butuh privasi! Tapi lain kali, tolong tahu tempat jika memang ingin berduaan! Jangan di rumah sakit! Ya, setidaknya tunggu sampai Vanessa sembuh," sindirnya.

Mahessa tertawa sumbang. "Sepertinya pikiran anda terlalu jauh Tuan Wildan. Tadi itu, aku hanya membantu Vanessa untuk berganti pakaian dan mengelap tubuhnya. Itulah sebabnya, aku menyuruh dua anak buahku agar melarang siapapun masuk ke dalam. Jangan berpikir yang bukan-bukan,"

Wildan berdecih. "Ya, apapun itu, lain kali jangan diulangi ya, karena kami keluarga Vanessa, menjadi orang yang paling berhak masuk ke dalam ruang rawat ini,"

Sebuah senyuman sinis terukir di wajah tampan Mahessa.

"Perlu anda tau, Tuan Wildan, Vanessa sudah menerima lamaranku. Dan dalam waktu dekat selepas kesehatan Vanessa membaik, kami akan segera menikah. Dan itu artinya, aku pun memiliki hak yang sama terhadap Vanessa bukan?" beritahu Mahessa dengan penuh rasa bangga.

Wildan tampak sedikit kaget. "Oh ya?"

"Ya betul. Itulah sebabnya, Vanessa bersedia melepas pakaiannya di hadapanku hari ini," bisik Mahessa dengan seringai mesum khas lelakinya. Dia berbicara sambil mendekatkan wajahnya ke arah Wildan.

Wildan melengos sambil berdecih.

Nyatanya, apa yang dikatakan Vanilla tentang sosok Mahessa ini benar.

Sepertinya, lelaki ini memang brengsek!

"Dengarkan aku Tuan Mahessa yang terhormat," ungkap Wildan yang seketika terpancing emosi atas sikap kurang ajar Mahessa tadi. "Vanessa itu Kakak Iparku, jadi tolong jaga sikap anda!" Dengan jari telunjuknya Wildan menunjuk ke arah dada Mahessa dan menekannya sedikit hingga tubuh lelaki di hadapannya itu terdorong ke belakang, sebelum akhirnya Wildan pun hengkang dari hadapan Mahessa untuk masuk ke ruang rawat Vanessa.

Sementara itu di luar, Mahessa dengan senyuman smirknya hanya bisa menghapus jejak ujung jari Wildan di pakaiannya. Seolah-olah itu sebuah kotoran.

Oke, ini baru permulaan Tuan Wildan. Karena permainan yang sesungguhnya, baru akan dimulai.

Gumam lelaki itu membatin.

*****

Jangan lupa Vote dan Komen ya...

Salam Herofah...

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Arwen Paramitha
baiklah ...
goodnovel comment avatar
Herofah
wildan ama Vanilla memang hanya pemeran pendukung, tp keberadaan mereka sgt penting dlm kisah ini, jd mgkin nanti yg akan sering muncul y mereka berempat itu hehehe
goodnovel comment avatar
Arwen Paramitha
Kak...nanti banyakin interaksi mahes ma nesa ja ya, yang figuran jgn kebanyakan..palagi mpe 1 bab. Semangat Kak Author...masih mantau kapan nesa terjerat pesonanya si tampan mahessa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status