Share

ANAK-ANAK MENGENALNYA?

"Jadi, aku lagi lihat suamimu, Ni. Dia lagi sama wanita. Sorry ya aku bukannya pengen fitnah, tapi …." Dia menghentikan kalimatnya.

Aku yakin saat ini pun dia pasti sama bingungnya dengan aku.  

"Aku kirim videonya ke kamu aja ya? Coba kamu lihat sendiri. Aku takut kamu nyangka aku macem-macem," lanjutnya. 

Rani kemudian mengirimiku sebuah video usai memutuskan sambungan telepon kami.  

Awalnya, aku sama sekali tak punya bayangan video apa yang dikirimkannya itu. Tapi, saat aku melihatnya dengan seksama, rasanya aku tak percaya bahwa yang sedang ada di dalamnya adalah Mas Dewo dengan seorang wanita. Mereka terlihat mesra, bahkan perempuan itu sempat terlihat mencium pipi Mas Dewo.

 

"Hah? Dia siapa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. 

"Aku juga nggak tau, Ni. Tapi sepertinya dia  pemilik warung makan yang aku datangi sekarang," ucapnya masih dengan berbisik.  

Tak lama , Rani pun mengirimiku sebuah foto nomor meja bertuliskan "Rumah Makan Mbak Sri". 

"Terima kasih, Ran. Nanti, aku kabari lagi, ya." Ucapanku akhirnya mengakhiri percakapan kami. 

Aku langsung terpaku menatap gambar itu.  

Sri? Apakah itu Sri Andari, yang tadi pagi namanya sempat muncul di ponsel Mas Dewo? 

**** 

Ba'da dzuhur, aku sudah bersiap untuk pergi. Kelas Aqilla selesai tepat pukul setengah 1, sementara Naya setengah jam setelahnya. Biasanya, Aqilla akan menunggu kakaknya itu sampai selesai kelas dengan bermain di area taman sekolah sambil menunggu Mas Dewo atau aku menjemput mereka. Kali ini aku memutuskan untuk menemaninya menunggu Naya. Ada satu hal yang sudah kurencanakan usai menjemput mereka dari sekolah. 

"Ibuuu …!" Anak dengan rambut hanya dijepit pinggir itu menghampiriku dengan senyum sumringah dan langsung memeluk pinggangku erat. Biasanya setiap hari aku menguncir rambut panjangnya agar tak mengganggu aktivitasnya selama di sekolah. Pagi tadi Mas Dewo pasti kesulitan menguncirnya karena lelaki itu memang tak pernah melakukan hal itu selama ini.  

"Rambutnya kok gak dikuncir, Sayang?" tanyaku basa-basi, padahal aku sudah tahu apa alasannya. 

"Ayah tadi nggak bisa ngiket, Bu," jawabnya dengan muka cemberut. Aku pun tersenyum sembari mengeluarkan sebuah tali rambut dari dalam tas selempang. Beruntung aku masih menyimpan satu di sana. Jadi segera saja kurapikan rambut Aqilla, lalu mengajaknya duduk di sebuah bangku taman sekolah yang lumayan teduh.  

"Kita tunggu Kak Naya di sini ya?" ajakku. Aqilla pun mengangguk senang.  

"Kok ibu yang jemput? Memangnya ayah kemana?" 

"Ayah lagi ada kerjaan," jawabku menahan kelu mengucap nama 'Ayah', seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara kami. 

"Kalau ayah nggak ada kerjaan, apa ibu masih tetap dikurung di gudang?" 

Aku begitu kaget mendengar kalimat Aqilla. Sontak aku pun menoleh ke kanan dan kiri, takut kalau kalau ada yang mendengar ucapan anakku itu barusan. Beruntunglah keadaan di sekolah sudah lumayan sepi. Hanya ada beberapa anak saja yang terlihat masih menunggu jemputan di dekat pintu gerbang.  

Demi membuatnya lupa akan peristiwa menyedihkan itu, kucium lembut kening Aqilla lalu kulepas tas di punggungnya.   

"Qilla main dulu ya. Kakak masih agak lama di kelas. Habis ini nanti ibu mau ajak kalian makan," ucapku dengan senyum termanis. 

"Makan di luar, Bu?" tanyanya antusias. Aku mengangguk mengiyakan. 

"Asiiik. Sama ayah juga kan?" tanyanya lagi. 

"Kan ayah masih kerja, Sayang," jawabku. 

"Oh iya, ya? Ya sudah deh! Kalau gitu, Qilla main perosotan dulu ya, Bu." Lalu anak itu pun segera berlari meninggalkanku menuju arena bermain.  

Anak-anakku rupanya sudah semakin besar. Mereka sudah tahu apa yang sedang terjadi dengan orangtua mereka. Lain kali, tak akan mungkin kubiarkan mereka melihat hal-hal buruk seperti itu lagi di depan mata.

"Maafkan ibu, Nak," batinku perih. 

*** 

Saat Naya keluar kelas dan melihatku, wajahnya tak terlihat senang seperti adiknya tadi. Raut mukanya malah terkesan jutek, seolah marah padaku. Bahkan, dia hanya diam saja saat kupakaikan jaket dan helm, lalu mulai mengajaknya meninggalkan sekolah. Aku sadar putri sulungku itu telah kecewa padaku.

"Kok kita ke arah sini, Bu?" Aqilla malah yang bertanya karena motor maticku bergerak tak menuju ke arah rumah kami.  

"Kan tadi ibu bilang kita mau makan dulu. Ibu belum masak, Sayang. Jadi kita makan siang di luar dulu. Oke?" tegasku. 

"Oke deh." Gadis kecil itu pun kembali fokus ke jalanan di depan kami. 

Saat menunggui Aqilla bermain tadi, aku sudah menghafal jalanan menuju Rumah Makan Mbak Sri. Rani sudah memberi petunjuk arah yang jelas, jadi sepertinya aku akan sangat mudah menemukan tempat itu.  

Rumah makan itu letaknya tepat di pinggir jalan dan halamannya sangat luas. Kata Rani, biasanya rumah makan ini jadi tempat favorit pegawai-pegawai kantor di sekitar situ untuk makan siang. 

"Horeee! Kita makan di tempat Tante Sri! Yeayy!"  

Kagetku tak terkira karena tiba-tiba Naya berteriak senang saat motorku berbelok di rumah makan berbentuk joglo dengan halaman luas itu. Aku sampai tercengang melihat reaksi anak sulungku itu. Dia seolah lupa dengan kemarahannya. 

"Tante Sri? Siapa, Sayang?" Aku bertanya dengan hati-hati usai memarkirkan motor dan mulai melepaskan helm dari kepala anak-anakku. 

Apa-apaan ini? Mengapa anakku terlihat akrab dengan "Sri" ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status