"Cepat!"
Mendengar teriakannya, aku pun susah payah bangkit dengan berpegangan pada tembok. Rasa sakit di sekujur tubuh tak lebih sakit dari menyadari bahwa nyatanya dia hanya berdiri mematung saja melihat kesusahanku berusaha berdiri. Tak sedikitpun terbersit keinginan di wajahnya untuk membantu. Sepertinya, kehidupan kami memang sudah benar-benar berakhir sekarang.
Dengan terseok, kuikuti langkahnya menuju ke kamar. Suasana rumah sudah sangat sepi saat kami melewati dapur dan ruang makan. Tak kutemukan suara anak-anak di mana-mana. Sejenak kusempatkan mata untuk melirik jam dinding di ruang tengah sebelum kami masuk ke kamar. Waktu sudah menunjuk pukul 7:20 pagi. "Jemput anak-anak nanti siang! Aku ada rapat penting hari ini," ujarnya cepat-kembali memerintahku seperti budak. Kali ini, dia bahkan tidak menoleh padaku sama sekali. Tangan Mas Dewo juga segera menyambar tas kerjanya di atas nakas, lalu melangkah cepat meninggalkan kamar.Dari dulu semenjak kami menikah, aku memang tak pernah bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Seperti juga saat ini.Dia tiba-tiba mengeluarkanku dari gudang dan menyuruhku untuk menjemput anak-anak sepulang sekolah. Apakah itu artinya dia sudah memaafkanku? Tapi, kenapa dia tak menatap ke arahku sedikitpun saat bicara? Aku benar-benar tidak memahaminya.
Aku terduduk di tepi ranjang menghadap ke cermin. Pantulan diriku di sana ternyata begitu menyedihkan. Rambut kotor acak-acakan, mata bengkak, dan debu menempel di sana-sini. Tak terbayangkan betapa jijiknya Mas Dewo tadi saat melihatku dengan kondisi seperti ini. Terlebih, dia selalu suka segala sesuatu yang bersih, rapi, dan wangi. Aku baru berencana untuk bangkit dari tempat dudukku usai mendengar deru mobil Mas Dewo menjauhi rumah saat tiba-tiba bunyi sebuah ponsel terdengar dari atas nakas. Di sana, ponsel Mas Dewo tergeletak dan meraung-raung menunggu untuk diangkat. Apa mungkin dia sangat buru-buru tadi sampai teledor seperti ini? Setahuku, dia tak pernah meninggalkan ponsel di rumah selama ini. Karena penasaran, aku pun berjalan mendekat, bermaksud untuk melihat siapa yang menelponnya. [ Sri Andari ] Dahiku mengernyit memandangi nama di layar. Perlahan kugerakkan tangan untuk meraih benda pipih yang masih bergerak-gerak di atas nakas itu. Hanya beberapa senti sebelum aku berhasil menggapainya, tiba-tiba terdengar suara deru mesin mobil berhenti di jalanan depan rumah. Itu pasti Mas Dewo! Dengan panik, aku segera berlari menuju kamar mandi yang memang berada di dalam kamar kami. Tentu saja, aku tak ingin Mas Dewo tahu bahwa aku mengetahui ponselnya tertinggal di kamar. Kututup pintu kamar mandi tak begitu rapat usai kunyalakan kran air agar dia mengira aku sedang mandi saat dia tiba di kamar nanti. Dari celah pintu yang tak terlalu rapat tertutup itu, aku berusaha mengintip. Ternyata dugaanku tak meleset!Hanya beberapa saat setelah aku masuk ke kamar mandi, terlihat Mas Dewo memasuki kamar dengan langkah tergesa. Dia tampak mengamati situasi kamar sejenak sebelum akhirnya menghampiri nakas untuk mengambil benda pipih miliknya itu.
Dari celah pintu kamar mandi pula, aku bisa menyaksikan bagaimana dia menekuri layar ponsel di tangannya, lalu beralih pandang dengan cepat ke arahku. Aku sangat terkejut dan buru-buru beringsut dari tempatku berdiri. Walau tahu dia sepertinya tak melihatku, tetap saja jantung ini berdebar tak karuan melihat matanya menatap tajam ke arah tempatku bersembunyi.
Aku tak tahu apa selanjutnya yang dilakukan Mas Dewo setelah itu, tapi kudengar mobilnya kembali menderu meninggalkan rumah. Mas Dewo sudah pergi lagi. Kutarik nafas lega, walau sebenarnya rasa penasaranku masih belum terjawab. "Sri Andari, siapa kamu?" gumamku. Nama itu terus berputar-putar di kepala, bahkan hingga aku selesai membersihkan diri. **** "Hah...." Kuhela nafas panjang saat kudapati tumpukan peralatan makan kotor di bak cuci.Setelah membersihkan diri, aku berniat untuk makan. Namun, yang kutemukan adalah beberapa bungkus bekas makanan di tempat sampah. Sepertinya, semalam Mas Dewo dan anak-anak tidak memakan masakan yang sempat kusiapkan sebelum aku berangkat menemui Narendra.
Kubuka panci berisi opor ayam yang ada di atas kompor. Bau basi langsung menyeruak ke dalam hidungku. "Hahaha." Aku tertawa sumbang. Mas Dewo dan anak-anak bahkan tak menyentuh lauk buatanku sama sekali. Opor ayam itu masih utuh seperti saat kutinggalkan, begitupun nasi di tempat penghangat yang kulihat tak sedikit pun berkurang."Pasti Mas Dewo tiba-tiba sangat jijik dengan segala hal yang berhubungan denganku," lirihku pelan.
Dengan cekatan, kubersihkan seisi dapur. Kubuang makanan-makanan yang sudah basi dan kucuci semua peralatan makan di bak cuci.
Mas Dewo adalah tipe suami yang menganggap dirinya raja dan selalu harus dilayani oleh istrinya. Seingatku selama kami menikah, belum pernah sekali pun dia berada di dapur untuk sekedar menyalakan kompor. Apalagi mencuci piring kotor bekas makan kami. Mungkin menurutnya, tugas seorang suami hanya mencari uang untuk istri dan anak-anaknya. Bahkan untuk membetulkan segala sesuatu yang rusak di rumah ini pun dia tak mungkin melakukannya dengan tangannya sendiri. Selama ini, dia lebih suka membayar orang untuk melakukan semua pekerjaan itu. Misalnya, untuk membenahi genteng yang bocor atau memperbaiki pipa saluran air yang rusak. "Dia sangat berbeda sekali dengan Bapak yang selalu siaga membantu Ibu, bahkan untuk urusan dapur." Tanpa sadar, aku membandingkan Mas Dewo dan Bapakku. Mungkin, itu salah satu hal yang membuatku merasa ada yang kurang dengan pernikahan kami selama ini. Tak ada empati yang ditunjukkan Mas dewo padaku sebagai istrinya. Narendra sangat lain. Saat pertama kali dia mengajakku ke apartemennya. Dia tak sungkan memasakkanku makanan eropa di dapur mininya yang mewah. Padahal, yang kutahu dia adalah seorang direktur perusahaan yang kurasa penghasilannya berkali lipat lebih besar daripada suamiku yang hanya Pegawai Negeri Sipil. Narendra begitu pandai memanjakanku dalam banyak hal. Bahkan, semua yang tak pernah bisa kudapat dari suamiku sendiri. Dan, itulah yang menyihirku selama beberapa bulan ini. Narendra seperti sosok suami impian yang selama ini kubayangkan. "Sial," lirihku. Kenapa nama pria brengsek itu terlintas lagi di ingatanku? Sedang apa dia ?Hatiku kembali teriris mengingat pria itu. Entah apa yang sedang dilakukannya? Apakah dia juga sedang menderita sepertiku? Atau, justru malah menertawakan kebodohanku yang telah berhasil dikelabuhinya.
"Dibanding aku memikirkan pria itu, lebih baik aku makan saja," gumamku. *** Sepiring nasi dan telur dadar cukup membuat rasa laparku hilang pagi ini. Saat aku bangkit dan hendak berjalan menuju bak cuci untuk menaruh piring kotor bekas makan, tiba-tiba sayup kudengar sebuah suara di dalam rumah. Itu adalah nada dering ponselku yang kemarin sempat dirampas oleh Mas Dewo sebelum mengurungku di gudang! Aku bergegas mencari sumber suara dan pada akhirnya kutemukan juga benda pipih itu di ruang tengah. Mas Dewo ternyata meletakkannya di atas bufet berdampingan dengan tas selempang yang kukenakan waktu itu. Saat kuhampiri, benda itu masih tampak bergerak-gerak dan menampilkan nama 'Rani' di layarnya.Rani adalah sahabatku yang secara tak langsung menjembatani pertemuanku dengan Narendra, teman sekelas kami saat SMP. Ada apa? Apakah Narendra menyuruhnya untuk menghubungiku? Tentu saja, Rani adalah satu-satunya orang yang mengetahui hubunganku dengan pria dari masa lalu itu. "Ya Ran?" sapaku setelah kuputuskan untuk menerima panggilan itu. "Agni, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan suara seperti sedang berbisik. "Aku di rumah dan aku baik. Ada apa?" tanyaku. "Eng-gak. Aku hanya khawatir aja soalnya semalam aku chat kamu, tapi gak ada balasan." "Aku … aku gak pegang HP, Ran. Ada apa?" Aku masih penasaran dengan yang ingin dikatakan Rani. "Apa kamu dan Mas Dewo baik-baik saja?"Pertanyaannya membuatku tersentak. Kenapa tiba-tiba Rani bertanya seperti itu? Dengan gugup, aku membalasnya, "Ka-mi baik. Memangnya kenapa, Ran?"
"Gini, aku lagi nyari sarapan sama teman-teman kantor. Tapi … kamu jangan kaget ya? Janji ya jangan kaget?" Suaranya bernada khawatir dan praktis membuatku mengerutkan dahi.
"Ada apa sih, Ran?"
"Jadi, aku lagi lihat suamimu, Ni. Dia lagi sama wanita. Sorry ya aku bukannya pengen fitnah, tapi …." Dia menghentikan kalimatnya.
"Jadi, aku lagi lihat suamimu, Ni. Dia lagi sama wanita. Sorry ya aku bukannya pengen fitnah, tapi …." Dia menghentikan kalimatnya. Aku yakin saat ini pun dia pasti sama bingungnya dengan aku. "Aku kirim videonya ke kamu aja ya? Coba kamu lihat sendiri. Aku takut kamu nyangka aku macem-macem," lanjutnya. Rani kemudian mengirimiku sebuah video usai memutuskan sambungan telepon kami. Awalnya, aku sama sekali tak punya bayangan video apa yang dikirimkannya itu. Tapi, saat aku melihatnya dengan seksama, rasanya aku tak percaya bahwa yang sedang ada di dalamnya adalah Mas Dewo dengan seorang wanita. Mereka terlihat mesra, bahkan perempuan itu sempat terlihat mencium pipi Mas Dewo."Hah? Dia siapa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. "Aku juga nggak tau, Ni. Tapi sepertinya dia pemilik warung makan yang aku datangi sekarang," ucapnya masih dengan berbisik. Tak lama , Rani pun mengirimiku sebuah foto nomor meja bertuliskan "Rumah Makan Mbak Sri". "Terima kasih, Ran. Nanti
"Ayah sering ajak kami makan di sini," jawab Naya.Aku terkejut mendengar pernyataan itu. Belum sempat aku mengendalikan ekspresi, seorang wanita berjalan pelan menghampiri kami. Langkahnya tegap, sangat sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi dengan tubuh padat berisi. Aku menduga tingginya tak terpaut jauh dengan Mas Dewo. Gaunnya yang melekat pas di badan itu makin menegaskan lekuk-lekuk tubuhnya yang bisa dibilang subur. Dibanding aku yang bertubuh kurus dan sedikit lebih pendek darinya, sepertinya wanita ini lebih cocok jika disandingkan dengan Mas Dewo. Tinggi mereka hampir sama, besar badannya juga tak jauh beda, dan menurutku usia mereka pun sepertinya sepantaran."Halo Naya dan Aqilla kesayangan tante. Apa kabar kalian? Kok, udah lama nggak ke sini?" Wanita itu langsung berjongkok saat berhasil mencapai tempat kami berdiri. Aqilla yang pertama menerima kecupan di pipi, baru kemudian Naya.Apa-apaan ini? Apakah selalu seperti itu cara wanita ini menyapa anak-anak dari para
Tiga jam setelah pulang dari rumah makan Sri, aku sudah ada di depan laptop. Rumah sudah dalam keadaan rapi seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan Mas Dewo. Naya dan Aqilla pun sudah selesai mandi dan kini sedang bersantai di ruang tengah. Hanya beberapa menit setelah aku online, sebuah pesan messenger masuk ke akun media sosial favoritku. [Sore, Agni. Apa kabarmu?] tulis sebuah akun dengan nama 'Alfa' di akun messengernya. Aku meliriknya sekilas. Saat ini, aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku dan memeriksa email-email yang masuk. Setelah selesai, barulah aku menanggapi pesan itu. Alfa Wiradharma adalah seorang pria yang kukenal dari sebuah grup f******k beberapa tahun yang lalu. Dia adalah salah satu admin di grup yang membahas tentang parenting. Dia juga yang pertama kali menawariku untuk menjadi salah satu kontributor tetap di salah satu website miliknya. [Aku baik, Al. Kamu gimana?] balasku. [Beneran baik atau pura-pura baik saja? Semalam aku
"Lepasin, Mas!" Refleks, aku berteriak. Walau suaraku sedikit tertahan karena leher yang tengah ditarik ke atas, tapi aku berharap entah Naya atau Aqilla akan mendengarnya. "Sampai kapanpun, aku tidak akan melepaskanmu. Jadi, jangan harap kamu bisa bebas dari aku. Ngerti kamu?!" Tangannya makin erat mencengkeram daguku. "Ayah …." Kami beruda kaget mendengar suara tiba-tiba itu. Tanpa dikomando, kami pun serempak menoleh ke arah pintu. Aqilla sedang berdiri di sana dan menatap kami dengan pandangan takut takut. Tubuhnya yang mungil terlihat merapat ke daun pintu yang terbuka.Berbeda denganku yang merasa terselamatkan, wajah Mas Dewo justru merah padam. Setelah mendengar helaan nafas panjangnya, kulihat dia berjalan pelan mendekati Aqilla. "Sayang, ngapain di sini?" tanyanya.Pria itu berjongkok saat di depan anak bungsu kami. Mungkin, Aqilla takut akibat perlakuannya padaku barusan, karena kemudian kulihat anak itu makin merapat ke tembok. "Jangan kurung ibu lagi, Yah," ucapnya l
Aku baru akan menjawab pertanyaan ibu saat Mas Dewo tiba-tiba menggamit lenganku untuk diajaknya ke dalam. Ibu mertuaku pun sepertinya tak menaruh curiga karena putra sulungnya itu melakukannya dengan begitu sempurna. Siapa yang menyangka bahwa dekapannya di bahuku bukan karena kasih sayangnya pada sang istri, tapi karena dia hanya ingin kami terlihat baik-baik saja. Kami segera berbaur dengan keluarga adik-adiknya setibanya di ruang tengah, ibu membawakan makanan. Seperti biasa jika melihatnya kerepotan, aku selalu sigap untuk bangkit dan membantunya. "Sudah, kamu duduk saja," sergah wanita itu. Ibu mertuaku memang selalu begitu memperlakukan para menantunya. Sangat lembut dan perhatian, apalagi pada cucu-cucunya. Sayang, sifat itu berbanding terbalik dengan suamiku."Nggak apa-apa Bu, biar Agni saja. Ibu di depan saja nemenin bapak," ujarku."Sudahlah, Bu. Ibu duduk saja. Sudah ada pegawai katering juga kan?" celetuk adik ipar bungsuku, Rida. "Nggak apa-apa. Kalian kan jarang kum
Aku masih terpikir dengan ucapan Mirna dan Rida, bahkan saat kami telah sampai kembali di rumah. Jadi ternyata Mas Dewo dan Sri itu teman lama. Dan Sri, rupanya telah menyukai suamiku itu sejak dulu. Mas Dewo kulihat langsung mengganti pakaian dengan kaos ketat dan celana cargo pendeknya, sementara aku sibuk di meja makan menata makanan yang tadi sempat disiapkan ibu untuk kami bawa pulang. "Bu, Ayah mau ajak ke taman bermain alun-alun." Aqilla muncul untuk memberitaku bahwa mereka betiga akan pergi. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Lalu terlihat anak itu kembali berlari riang meninggalkanku. Baiklah, jadi dia sudah mulai tak betah lagi di rumah, sampai sampai baru datang langsung ingin pergi.Usai menata makanan yang banyak itu di meja, aku bermaksud beristirahat sebentar di kamar saat tiba-tiba Rani menelpon. "Agni, gimana? Kok nggak cerita-cerita sih? Suamimu lagi di rumah nggak?" Dia langsung menodongku dengan banyak pertanyaan saat panggilannya kuangkat. Wajar saja, sejak d
Aku begitu terkejut mendengar Rani menyebutkan nama Narendra. Pria itu datang ke rumah Rani? Ada apa?Walau sudah tak ingin peduli lagi dengan segala hal tentangnya, tapi rasa penasaranku menggelitik untuk kemudian menajamkan pendengaran. Sayangnya, beberapa saat kemudiam aku sudah tak mendengar apapun lagi. Sunyi. [Sebentar ya, Ni. Narendra datang ke sini. Nanti aku kabari lagi.] Menyusul sebuah pesan yang masuk ke ponselku. Rupanya Rani tak ingin aku mendengarkan pembicaraan mereka.Kembali ke kamar, aku jadi teringat ponsel yang kusembunyikan di bagian paling bawah lemari baju. Memang di sana lah tempat persembunyian benda pipih itu beberapa bulan ini setelah menjadi milikku. Sejak Narendra memberikannya padaku, aku tak pernah berani menampakkannya saat sedang berada di rumah, kecuali jika Mas Dewo dan anak-anakku sedang ada di luar. Memang jadi sejahat dan sepengecut itulah aku saking tergila-gilanya pada pria itu.Terkadang rasa bersalah juga sering membuatku sulit memejamkan m
Malam itu saat Agnia Prameswari dikurung di gudang rumahnya yang kotor, seorang pria tampan dengan balutan handuk putih di pinggang keluar dari kamar mandi privat di rumahnya yang mewah."Sayang, kamu kapan datang?" Dia begitu kaget melihat istrinya telah ada di dalam kamar dan sedang memegang ponsel miliknya. Seingatnya, Celine masih akan pulang beberapa hari lagi dari Bali dalam rangka menengok anak-anak dan cucu-cucunya."Ini apa, Narendra?" Mata wanita berusia 50 tahun itu nyalang menatap suaminya. Celine sebenarnya sudah tak heran dengan kelakuan sang suami. Pria tampan yang saat dinikahinya masih berstatus lajang beberapa tahun lalu itu memang dikenalnya sedikit player. Wanita itu memutuskan untuk menikah dengannya karena rasa nyaman dan kepuasan yang dia dapat dari pria itu. Menjadi janda selama bertahun-tahun setelah suami pengusahanya yang kaya raya meninggal dunia, membuatnya begitu kesepian.Kehadiran Narendra sebagai teman kencan saja ternyata tak bisa membuatnya puas, hi