Share

Tergoda Gadis Cantik

Adrian  melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkan pohon beringin yang terlihat bergoyang meskipun angin belum berhembus. Hari mulai gelap, sedangkan kakek misterius sudah kembali ke balik pohon dan menghilang. Suasana di sekitar tempat itu kembali sepi dan hanya beberapa kendaraan saja yang terlihat melintas.

“Gile bener tuh si Kakek, edaann....!”

“Diem lu ....!” bentak Adrian melihat situasi sekitar pohon yang terlihat seram.

Motor Honda CB milik Adrian menyusuri tepi jalan raya hingga beberapa kilometer sampai di warung yang berada di tepi jalan raya. Suasana warung yang sepi, hanya segelintir orang makan di sana. Nampak sang pemilik seorang gadis ditemani pemuda yang berusia 20 tahunan. Mereka kompak melayani pembeli yang datang dengan ramah, meskipun masih sepi warungnya.

 “Kita makan di sini aja ya? Soto tuh, tulisannya! Lumayan buat ngisi perut,” ucap Adrian turun dari sepeda motornya diikuti Wandi dari belakang.

“Selamat datang, mau pesan apa, Mas?”tanya seorang lelaki paruh baya mendekat. Melihat raut kedua pengunjungnya yang nampak panik itu dia kembali bertanya, “Baru lari maraton, ya Mas ngos-ngosan gitu,” ledeknya.

 “Kami baru pulang, habis jalan-jalan eh ... di bawah pohon beringin itu malah ketemu kakek-kakek nyeremin, soto dua, sama teh manis dua,“ kata Adrian sambil meraih tahu goreng yang ada di meja dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Demikian juga dengan Wandi, dia bahkan tidak ketinggalan menggambil dua potong sekaligus.

 “Pohon beringin yang ada kain balinya itu?” tanya mas pemilik warung terkejut.

 ”Iya Bang,” ucap Wandi, “Eh, ngomong-ngomong lu kagak takut di sana tadi? Gue kog merasa ...,” ucap Wandi tertahan.

“Apa-an? Di mana? Di bawah pohon beringin tadi? Kagak tuh, emang lu ngerasain apa? Jangan ngadi-ngadi lu Brow,” ucap Adrian sambil menerima teh manis yang baru di berikan pemilik warung.

“Ngadi-ngadi gimana? Gue hanya pernah dengar kalau setiap pohon besar itu selalu ada penunggunya, bukan bercanda.”

“Nah, emang ada kan? Tadi itu Kakek yang ngusir kita dari sana. Lu sadar nggak? Mukanya kayak hitam gitu seperti kebakar.”

Soto yang dipesan datang dan obrolan dihentikan. Seorang gadis seksi datang membawa pesanan mereka. Sorot mata nakal, keluar dari matanya. Terlihat tonjolan padat dari balik bajunya yang ketat, cukup membuat dua anak ini gerah dan saling menatap, dan menelan ludah. Gluk ... banyak sekali yang mereka telan ludahnya, sampai lupa mangkuk panas sudah ada di depannya.

Mereka menikmati makan malam dengan lahap, kelihatan sekali jika kelaparan. Pasti kenyang dengan soto dan suguhan seksi pelayan warung.  Bahkan tidak memperdulikan orang yang mulai berdatangan ke warung dan mulai ramai. Adrian dan Wandi menikmati menu soto ayam kampung yang sudah familar di telinga banyak orang. Apalagi daerah itu jauh dari tempat orang jualan makanan. Kebanyakan mereka beristirahat setelah menempuh perjalanan yang jauh.

Warung tempat Adrian dan Wandi sarapan semakin ramai, bahkan ada yang rela duduk di luar karena gak dapat tempat duduk di dalam. Mereka mengelar tikar di gubuk luar yang memang disediakan pemilik warung saat sedang full pengunjung. Gubuk yang sederhana dengan atap genting dan tiang dari bambu. Cukup luas dengan menampung lebih dari sepuluh orang untuk dapat menikmati sarapan mereka. Pelayan yang ramah dan cantik karena masih muda semuran Adrian dan Wandi.

Baru saja Adrian ingin meminum tehnya, datang gadis cantik seumuran dengannya, masuk ke dalam warung. Dia nampak kesulitan untuk memesan makan, karena jaraknya dengan pemilik warung terlalu jauh dan terhalang pengunjung yang lain. Hingga benda padat kenyal miliknya sesekali bersenggolan dengan pengunjung. Adrian yan tidak sengaja melirik ke arah gadis itu tidak jadi memimum teh yang sudah siap masuk di dekat bibirnya. Dia akhirnya berdiri dan berjalan mendekati gadis itu.

“Hai, mau pesan makan? Boleh gue bantuin?” ucap Adrian sambil menyentuh bahu gadis itu. Gadis cantik itu seketika menoleh ke arah Adrian dan melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meskipun suasana ramai mereka tidak perduli diperhatikan banyak orang.

“Hei, anak muda! Kalau mau pacaran jangan di sini, ganggu saja! Sono keluar,” ucap salah satu pengunjung warung yang merasa terhalangi oleh kedua bocah itu.

“Bukan gitu Pak, tadi lihat dia kesulitan mau pesan soto?” terang Adrian menunjuk ke arah gadis yang menggoda tadi.

Dengan sedikit perdebatan dengan pengunjung yang lain, akhirnya Adrian memesan makan untuk gadis itu. Senyum merekah terpapar dari wajahnya yang manis rambut panjang terkepang dua. Hidungnya yang mancung merekah mekar saat dia tersenyum ke arah Adrian. Bibirnya yang tipis basah membuat mata Adrian tidak berkedip melihatnya. Hingga membuat sang pemilik menutup rapat bibir yang basah kemerahan itu.

Pletakk ....

“Anjir ... lu ngapain timpuk gue? Awas lu! Gangguin aja nih anak,” ucap Adrian sambil meraba kepala yang tadi kena tampol sendok oleh Wandi. Ternyata Wandi sejak tadi memperhatikan Adrian yang mendekati gadis cantik itu. Yang dirasakan Wandi ada yang berbeda dengan gadis itu. Tidak seperti gadis kampung yang lain dan juga teman-teman sebayanya.

“Elu napa? Kog beda gue liatnya. Lu kenal sama dia? Hati-hati Brow, gue ngerasa ada yang beda dengan dia,” ucap Wandi sambil menarik tangan Adrian untuk diajaknya duduk kembali. Tapi ternyata Adrian berontak dan mengibaskan tangan kawannya itu dengan kencangnya. Wandi terkejut tidak biasanya temannya berlaku kasar padanya, apalagi situasi warung yang ramai seperti ini. Selama ini Adrian selalu membelanya dan tidak pernah kasar. Dia selalu menghargai apa yang dilakukan Wandi.

“Yan, Adrian! Dengerin gue dulu! Lu kenapa Brow? Kenal sama cewek itu?” Wandi tidak menyerah, dia tetap memegang tangan Adrian meski sudah ditepisnya. Gak ada perasaan sakit hati sedikitpun, dia hanya merasa ada yang aneh dengan temannya itu.

“Udah lu tenang saja, tuh bayar dulu makanan kita!” ucap Adrian tanpa menghiraukan ucapan Wandi. Sedangkan Wandi merasa kebingungan, karena dia sama sekali tidak bawa uang buat bayar makanan.

Pemilik warung melihat Wandi bicara sendiri menghampirinya. Bingung yang sekarang mendera Wandi. Bagaimanapun juga, dia cuma numpang makan sama Adrian. Sekarang temannya meninggalkan dia entah ke mana perginya. Tubuhnya digeser lebih merapat ke meja     agar tidak terjatuh karena syok disuruh bayar pemilik warung. Bibirnya bergetar mengaga tapi tak bersuara.

“Mas, jangan diem! Cepetan bayar! Jangan bilang kagak ada duit buat bayar makanan ini?”

Terkejut Wandi pura-pura tersenyum menampakkan sederet giginya yang kusam dan sisa cabe di sana. Rambutnya yang keriting pendek ikut bergerak karena usapan tangannya yang menggaruk kepala tapi tidak merasa gatal. Kasihan Wandi harus menanggung pembayaran uang makan mereka berdua.

“I-ya Bang, bentar ya! Berapa jumlah semuanya?” tanyanya sambil membekap mulutnya yang mengaga sejak tadi.

“Tiga puluh ribu rupiah semuanya.”

What? Kagak salah Bang? Kita cuma berdua masa sebanyak itu?”

Pemilik Warung mendekati Wandi dan memberikan tulisan yang sudah dia siapkan sejak tadi. Mata Wandi melotot bulat menatap coretan kertas yang disodorkan. Berkali- kali kepalanya naik turun melihat ke arah pemilik warung. Matanya mulai berair dan tubuhnya bergetar menahan sesuatu.

“Aduh Bang, g-gimana ya? Gue ... gue kagak punya duit. Teman gue yang harusnya bayar.”

“Gue kagak mau tahu! Yang penting lu bayar sekarang! Eh ... tapi temen lu tadi ke mana? Ninggalin lu di sini buat apa an? Kagak mau gue, apa mo kabur? Busyet dah, anak jaman sekarang kagak tahu cari duit susah pada main kabur aja kagak mo bayar.”

“Aduh ... gimana dong Bang? Maafin gue ya?”

“Kagak bisa!”

Pemilik warung tetap ngotot dengan ucapannya supaya Wandi segera membayar makanannya.  Sedangkan Wandi gelisah, sambil memegang kedua tangannya yang diremas bersama dengan ujung baju yang sudah lusuh sejak tadi.

“Ya Tuhan gue harus bagaimana ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status