Share

Kabur

Kedua anak itu saling berpandangan. Dilema dengan benda yang mereka temukan saat ini. Bagaimana tidak, kain yang berwarna krem dengan noda darah yang terlihat masih baru. Mungkinkan itu miliknya Hesta? Hal itu yang ada dipikiran Adrian. Mengingat hanya dia dan Hesta yang ada di tempat itu. Mungkikah sudah terjadi sesuatu dengan gadis itu? Panik hati  Adrian melihat kain yang ada di depannya. Rasa takut kehilangan gadis yang baru saja di kenalnya.

“K-kain ini, ada darahnya? Takut Yan, buang jauh  jauh sonoohh...!”

“Helehh ... ini apa an sih! Masih serem rambut kriting elu, dari kain ini,” ucap Adrian sambil mendorong tubuh Wandi yang sejak tadi menempel dan memegang bajunya.

Bruk ....

“Asem, tega ama temen.”

“Lu bau, kagak nyadar apa? Ambil gih! Kunci motornya, biar gue yang urus kain ini. Nggak usah deket-deket kalo takut. Pergi sonoo ....!”

Wandi mengambil kunci motor yang ada di tangan Adrian. Dia langsung pergi dari tempat itu, dan duduk di atas sepeda motor . Rambutnya yang keriting kembali diusap dengan tangan gemetar, kemudian diciumnya. Matanya seketika melotot, bibir mencebik dan tangan menutup kembali hidungnya. Ternyata kotoran burung jatuh di rambutnya. Sementara Adrian yang lagi sibuk memegang kain berdarah, sambil melihat ke sekeliling pohon beringin. Melangkah lebih dekat ke arah pohon. Di matanya, pohon itu tidak nampak seram sama sekali. Bahkan sejuk dan tenang untuk dipakai beristirahat. Apalagi ada batu besar yang cocok di pakai duduk, saat bersama dengan Hesta tadi pagi. Langkah Adrian terhenti, ketika melihat bayangan seseorang datang menghampirinya.

”Lu lagi? Udah gue bilang PULANG! Ngeyel banget, nggak sadar udah ganggu ketentraman pohon ini?”

“Kakek? Hesta mana Kek?”

Adrian melupakan kain yang ada di tangan dan menghampiri sosok yang mengaku kakek Hesta tadi pagi. Nampak dari sorot matanya, kakek tidak menyukai Adrian. Tatapan tajam tak berkedip, mengarah pada anak muda itu. Adrian tidak sadar, jika kakek sudah berganti baju. Hanya mengenakan sarung dan kaos oblong yang sudah sobek bagian bagian punggungnya. Dilihat dari pakaian saja sudah aneh, jika tinggal sekitar pohon. Apalagi tidak ada rumah di sekitar pohon beringin itu.

“Kenapa cariin Hesta? Dia udah pulang sama emaknya. Kalian cepet pulang! Jangan sampai pohon ini marah dan keluar taringnya.”

“Maksud Kakek?”

Bukan Adrian jika tidak bisa mendekati kakek misterius yang sekarang ada di hadapannya. Bahkan dia mengajak kakek untuk ikut duduk bersamanya di atas batu, di bawah pohon beringin. Tapi, tangan kakek tiba-tiba menepiskan tangan Adrian yang baru memegangnya. Tentu ini membuat kaget dan Adrian seketika menatap kakek dengan heran.

“Pergii ... gue bilang! Dengar nggak ...?”

“O-ke, oke Kek ... gue pergiii ...!”

Seketika Adrian lari dari tempat itu menuju ke arah Wandi yang masih sibuk dengan bau rambutnya.  

 “Eh-eh ... ini kenapa?”

Adrian merebut kunci motor di tangan Wandi,“ Astaga ... kasar bener?” tukas Wandi dengan mengelus dada.

“Mo ikut pulang nggak lu? Atau gue tinggalin di sini?”

Terdengar suara kakek sangat keras berteriak di telinga mereka,” Awass kalian! Jangan ke sini lagi!”

Jantung kedua anak itu berpacu dengan kencang. Seperti roda sepeda motor yang mereka jalankan. Sepanjang jalan Adrian terdiam, demikian juga dengan Wandi. Pikiran mereka masih terbayang kakek yang berteriak dan kelihatan marahnya. Sampai di depan rumah Adrian, mereka tidak berbincang. Turun dari sepeda motor CB keduanya masih diam di samping sepeda motor.

Tidak ada yang keluar dari bibir mereka, hingga seorang tetangga lewat dan memukul bahu Adrian. Pemuda itu tersentak, senyum mulai merekah di bibirnya. Sedangkan Wandi ikut tersadar dari lamunan. Dua anak saling berpandangan, kemudian tertawa keras. Bagaimana tidak? Cewek yang baru saja datang berwajah manis dengan gaya melambai seperti banci.

“Hahaha ... iyee ada ada apa Mbak?”

“Kalian ini, gue perhatikan dari dalam rumah dari tadi, bengong aja. Ada apa? Baru kesambet apa?”

Gadis dengan kucir tinggi dengan postur tubuh kecil dan kurus  berusaha memegang tangan Adrian yang kekar. Namun sayang Adrian berhasil menghindar. Dia mundur hingga sepeda motornya hampir saja terdorong jatuh.

“Upsst ....”

Wandi yang berada di dekat sepeda motor dengan grak cepat menangkap sepeda yang sudah berposisi miring tersenggol badan Adrian. Untung dia sadar dengan Adrian yang menghindar dari sentuhan gadis itu. Gadis yang merupakan tetangga Adrian dan terkenal agak kurang waras perangainya.

“Hehh ... ati-ati dong! Jangan sembarangan sentuh gue! Tetep aja sikap Mbak. Jijik tahu!”

“Aduuu Dik, tetep aja gak ngurangin gantengnya. Gemes deh ... pengen nyubit loh gue, boleh hehehe?”

“Gilee lu Mbak, udah sonohh!! Pergi nggakk ...!! Atau ... mau gue lempar sendal? Mauuu ...?”

Adrian menatap tajam  gadis yang hendak menyentuhnya lagi, sambil mengangkat sandal sebelah kiri yang dia kenakan. Belum juga pergi gadis yang bernama Kunti dari hadapan Adrian. Dia semakin tertawa renyah, melihat tetangganya marah. Bukan Adrian namanya jika tidak bisa membuat orang kesal. Rambut Kunti dia tarik, hingga gadis itu terjungkal ke tanah. Kunti bukannya marah, tapi semakin tertawa terbahak-bahak hingga Adrian semakin marah.

“Wahh ... ditarik anak ganteng, gue rela. Bener loh, tarik juga hati gue Dik, ikhlass ... suerr gak pake koma.”

“Gilaa ... udah gila lu Mbak? Pergii!! Pergii gue bilang!!”

Dengan garang kedua anak yang berbeda gender terlihat adu mulut dengan sengit. Bahkan Adrian berkali-kali memukulnya dengan menggunakan sandalnya. Suasana malam semakin bertambah dingin membuat gadis itu tertawa keras dan pergi dari halaman rumah Adrian.

“Atuttt ... wwwkkk!!”

Kunti lari dari tempat itu dengan tertawa keras, hingga orang-orang yang ada di sekelilingnya menoleh. Membuat Adrian merah padam mukanya menahan malu. Bari kali ini, Adrian dikerjain seorang gadis. Biasanya dia yang bikin ulah sampai gadis itu nangis minta ampun. Entah apa yang terjadi dengan Adrian saat ini. Pikirannya masih terbayang dengan Hesta, gadis yang ada di pohon beringin yang dia temui tadi pagi. Wajahnya yang imut menggemaskan, dalam pandangan mata Adrian. Dan sekarang masih dalam pikirannya, kemana gadis iru pergi. Peringatan dari Wandi, jika Hesta beda alam, tidak ia perdulikan. Bahkan teman masa kecilnya itu, dimusuhi jika sudah menyangkut nama Hesta.

“Udah ... udah, kita masuk rumah saja. Liat! Banyak orang yang perhatikan kita sejak tadi. Elu ini napa sih brow, gak biasanya kayak gini. Sumpeh gue kagak kenal ama lu.”

“Diem lu!! Jangan banyak omong! Cepat ambil kunci motornya, gue masuk dulu.”

“Astaga brow ... lu kesambet setan apa an sih. Mosok ada hantu di pohon itu? Gilee ... gue gak mikir ampe sonoh.”

 “I-itu ... itu ada yang ber- bergerak, huaaa ....”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
IM Lebelan
Aku mampir, Kak ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status