"Kalian akan segera menikah karena Latri sedang mengandung cucu Ayah. Benar begitu, Nak?"
Wirya langsung menganggukkan kepala, membenarkan apa yang ingin dikonfirmasi oleh sang ayah tentang rencana pernikahannya bersama Latri. Tak ada keraguan dalam diri Wirya ketika mengambil keputusan tersebut. Ia telah merasa yakin. Walau, harus sedikit dibumbui dengan kebohongan di dalamnya.
Terkhusus mengenai kehamilan Latri yang hanya sandiwara belaka. Wirya bahkan belum pernah menyentuh wanita itu melebihi ciuman di bibir. Namun, ia tidak mempunyai cara lain untuk dapat digunakan dalam rangka mempertahankan Latri agar selalu berada di sisinya. Meskipun, sangat terkesan memaksa dan egois.
"Ayah tidak mempermasalahkan hal ini. Akan tetapi, sebelum upacara pernikahan kalian berdua resmi digelar. Kehamilan Latri harus kita sembunyikan demi menjaga nama baik keluarga agar tidak tercoreng."
Wirya terlihat mengangguk sekali lagi, menyetujui permintaan dari sang ayah. Pria itu kemudian menolehkan kepala ke samping kanan guna ingin mengetahui reaksi Latri yang sejak tadi hanya diam, tidak mengeluarkan suara atau tanggapan.
Dan saat mata mereka saling beradu pandang, Wirya tak dapat menampik jika terpancar kesedihan dan juga keputusasaan dalam manik cokelat milik Latri. Semua pasti memang ada kaitannya dengan pernikahan mereka. Namun, Wirya memilih tidak peduli.
"Ayah sangat mengimpikan jika calon cucu pertama Ayah adalah laki-laki. Ayah akan menjadikan anak kalian berdua sebagai pewaris utama perusahaan keluarga."
Sebentuk seringaian puas dibentuk kedua bibir Wirya pasca mendengar harapan yang besar dari ayahnya. Ia pun turut menginginkan. "Saham saya dan Latri sudah cukup mampu mendukung anak kami supaya dapat menduduki posisi utama dan tertinggi di perusahaan nantinya. Ayah tidak perlu khawatir."
"Latri, tolong jaga calon cucu kami sebaik-baiknya. Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi padanya."
Lengkungan senyuman harus dengan terpaksa Latri perlihatkan di hadapan Pak Indra. Wanita itu tak mempunyai kekuatan untuk tidak melakukan akting di tengah-tengah kebohongan tentang kehamilannya. Ia sedikit pun tak ingin mengikuti permainan Wirya, tapi di sisi lain dirinya juga tidak bisa berkelid.
"Saya akan berusaha menjaga calon anak kami dengan baik, Paman," ujar Latri tanpa menciptakan keraguan dalam suaranya.
"Berikan kami cucu laki-laki, Nak. Bukan perempuan. Yang kami berdua butuhkan adalah penerus perusahaan."
......................................................
Hampir lebih dari satu bulan, Latri telah menyandang status sebagai istri seorang Wirya. Dan menetap secara permanen di rumah mewah berlantai tiga suaminya itu. Kediaman yang mereka diami bisa dikatakan megah dengan fasilitas lengkap.
Wirya memang sengaja menyiapkan semua untuk kenyamanan Latri, tapi wanita itu tidak dapat merasakan hal demikian. Nyatanya Latri cukup tertekan hidup dan menghabiskan waktu sepanjang hari di rumah. Ia tak dapat pergi ke luar secara leluasa dikarenakan Wirya selalu mengawasi.
Dan paling tidak untuk hari ini, Latri tak akan larut dalam kesendirian serta rasa sepi, mengingat ibu mertuanya memiliki jadwal berkunjung ke rumah mereka. Kehadiran Ibu Ratna belum sepenuhnya dapat membuat Latri nyaman. Ia sedikit diselimuti rasa canggung. Permasalahan di masa lalu hingga berlanjut hingga kini jadi salah satu faktor penyebab.
"Bagaimana kabarmu, Nak?"
Lati mengulas senyuman lumayan lebar guna menyambut pertanyaan yang beberapa detik lalu dilontarkan oleh ibu mertuanya. "Saya sehat, Bi."
"Kenapa masih saja memanggil saya Bibi, Nak Latri? Saya sudah menjadi Ibu kamu."
Ukiran senyum Latri belum memudar, tetapi juga tak bertambah. "Maaf, Bi."
Wanit itu menjeda tidak kurang dari tiga detik sebelum menjawab, "Ibu. Ya maksud saya Ibu." Latri berupaya meralat cepat.
"Jangan canggung begitu, Nak. Tidak apa-apa. Ibu tahu kamu butuh proses dan waktu," balas Ibu Ratna dalam nada yang terdengar santai. Beliau coba untuk membangun keakraban sebagai keluarga lebih kuat dengan menantunya.
Sementara itu, Latri semakin tidak memperoleh kenyamanan walaupun sang ibu mertua menyuguhkan senyum serta sikap yang hangat. Ia pun dapat melihat pula sorot kepura-puraan di mata Ibu Ratna. Latri belum bisa merasakan ketulusan ibu mertuanya.
"Wirya pulang kantor jam berapa nanti, Nak?"
"Mungkin agak malam, Bu. Akhir-akhir ini dia sering lembur," jawab Latri sesopan mungkin demi menjaga rasa hormatnya.
"Wirya harus mementingkan urusan pekerjaan dan perusahaan. Meski, dia tidak bisa memberikan perhatian penuh padamu. Ibu harap kamu bisa menjaga calon cucu kami dengan baik," pesan Ibu Ratna dalam nada bicara yang serius.
Wanita paruh baya itu juga menatap lekat menantunya. "Ibu tidak ingin hal yang buruk terjadi pada penerus utama keluarga kami, Latri. Calon anak pertama kamu dan Wirya adalah aset berharga bagi kami."
"Iya, Bu. Baik." Ketegasan Latri saat menjawab sangat mampu berpesan menutupi kebohongan Wirya yang ia ikuti sejak awal. Latri tak memiliki pilihan lain.
"Ibu juga sudah menemukan dokter spesialis kandungan yang menurut Ibu terbaik dan akan bertugas untuk melakukan pengecekan serta kontrol pada kandunganmu sampai waktu bersalin tiba."
Selepas mendengar pemberitahuan dari ibu mertuanya. Mau tidak mau, Latri pun mengeratkan pegangan dua tangannya di masing-masing lengan kursi roda yang sedang didudukinya. Raut keterkejutan tak mampu untuk disembunyikannya.
"Do... dokter kandungan, Bu?" Latri memastikan. Tadi, mungkin ia salah dengar.
Ibu Ratna mengangguk dengan gaya anggun beliau. "Dokter kandungan pribadi. Kamu dan Wirya tidak perlu pergi ke rumah sakit untuk periksa. Di klinik dokter itu sudah ada alat-alat yang lengkap."
"Baik, Bu." Lagi-lagi Latri tak punya pilihan, selain terus mempertahankan akting dan kebohongan. Sungguh, ia tidak suka dengan jalan seperti ini.
"Ibu akan segera memperkenalkan dokter itu padamu. Sekitaran satu atau dua minggu lagi. Ibu sudah tidak sabar melihat hasil USG calon cucu pertama kami. Kamu setuju, Nak?"
Ketegangan melanda Latri. Tubuhnya ikut kaku. Bahkan, wanita itu tak bisa menghirup oksigen secara maksimal karena rasa kaget yang semakin besar. Semua terasa begitu sangat mendadak. "I...iya, Bu."
..................................
Wirya baru saja keluar dari kamar mandi dan tak melepas sedetik pun waktunya dalam memusatkan atensi pada sosok Latri yang tengah duduk di atas kasur. Punggung wanita itu menyandar santai di kepala tempat tidur dengan kedua kaki lurus ke depan. Walaupun, Latri tampak serius manakala sedang melakukan aktivitas membaca, tapi menurut Wirya istrinya tetap terlihat cantik. Dan saat mata mereka berdua saling bersirobok, tatapan pria itu segera menajam, terlebih ketika dihadapkan dengan sepasang manik cokelat milik Latri yang tak memancarkan cinta untuknya. Ia memilih memerlihatkan sikap dingin kemudian. "Ibu tadi datang ke sini." "Aku sudah tahu." Wirya menyahuti pemberitahuan dari istrinya dengan nada datar dan memutuskan sepihak kontak mata di antara mereka. Pria itu lantas berjalan menuju lemari pakaian yang letaknya di seberang tempat tidur. Wirya tahu bahwa Latri masih memerhatikan dir
"Latri tidak hamil, Bu. Aku sengaja berbohong supaya bisa menikahinya segera. Aku minta maaf, Bu." Wirya mengakui kesalahannya di hadapan sang ibu. Sorot penyesalan terpancar jelas pada mata pria itu, walaupun di wajahnya tercetak ekspresi datar. "Ibu sudah menduga kamu hanya berbohong, Nak." tanggap Ibu Ratna dengan peringai yang tenang. Tidak terlihat marah selepas mendengar kejujuran yang diutarakan oleh putra sulung beliau. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Bu. Tolong Ibu jangan marah pada Latri. Dia hanya mengikuti alur dari permainanku saja." Wirya meminta secara halus. Bukan tak mungkin jika nanti sang ibu akan melampiaskan amarah ke istrinya. Ia tentu tidak menginginkan semua sampai terjadi. Wirya mengetahui benar bahwa rasa tidak suka hadir dalam diri ibunya untuk Latri dari dulu, sejak mereka bertunangan. Bahkan, restu dari sang ibu belum sepenuhnya bisa diperoleh. Tapi, Wirya tetap pada pendirian dan tak menyerah mempertahankan Latri. "Apa I
Wirya hanya menggunakan Senin hingga Sabtu mengurus pekerjaan kantornya. Dan setiap hari Minggu, ia akan menghabiskan waktunya di rumah bersama Latri. Wirya sudah terbiasa untuk menemani istrinya melakukan serangkaian latihan fisik dalam proses fisioterapi yang tengah dijalani. Wirya memang sengaja memanggil beberapa terapis terbaik sejak dua bulan lalu ke rumah guna membantu Latri. Ia juga membeli sejumlah alat-alat terapi dan gym yang dapat membantu wanita itu selama masa penyembuhan. Wirya mendukung secara penuh keinginan sang istri untuk sembuh dan bisa berjalan lagi tanpa operasi. "Aku bisa, Wi," ucap Latri disertai senyuman cukup lebar disaat melihat sorot kekhawatiran di sepasang mata sang suami yang berdiri di depannya. Wanita itu sendiri sedang berada di tengah-tengah paralel bar, melatih kakinya berjalan. "Tidak, aku tetap mengawasi di sini. Hati-hati melangkahnya su—" Wirya belum sempat menyelesaikan kata-kat
Pak Indra menikmati secangkir kopi hitam hangat yang beberapa menit lalu baru disajikan oleh asisten rumah tangga di kediaman putra sulung beliau. Raut ketenangan terlihat nyata di wajah Pak Indra, meski tidak ada senyuman terbentuk di sana. Hari ini, beliau memang sengaja mempersiapkan waktu khusus untuk bertandang, selepas tiba dari Jepang kemarin malam. Pak Indra ingin tahu mengenai kondisi calon cucu pertama beliau yang sedang dikandung sang menantu. "Bagaimana kabar kalian berdua dan calon cucu Ayah? Kalian sudah tahu jenis kelaminnya?" tanya Pak Indra dengan menyelipkan keantusiasan cukup tinggi dalam suara beliau. Latri dan Wirya yang sedang duduk berdampingan pun lantas sama-sama menampakkan ekspesi ketegangan di wajah, selepas mendengar pertanyaan dari Pak Indra. Terutamanya Wirya yang mulai dilanda sekelumit rasa bersalah akibat kebohongannya sendiri. Dan pria itu telah bertekad akan mengatakan kejujuran.
Ketidakpercayaan masih sangat Latri rasakan, ia bahkan ingin menyangkal hasil dari pemeriksaan dokter yang menyebutkan jika dirinya sedang hamil empat bulan. Latri pun jarang memerhatikan siklus menstruasi yang kerap tak menentu. Ia enggan memusingkan. Dan seingatnya, terakhir datang bulan memang sudah lama. Sungguh semua ini diluar prediksi yang pernah Latri pikirkan. Andai tadi ia tidak pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, mungkin keberadaan calon anak mereka tak akan diketahui secara cepat. Latri tentu bersyukur dan merasa bahagia akan menjadi ibu lagi setelah keguguran yang sempat ia dialami beberapa tahun lalu. Latri juga ingin segera memberi tahu Wirya perihal kehamilannya, namun hampir lima hari belakangan pria itu tak menghubunginya. Latri mengira suaminya sedang cukup sibuk dengan sejumlah agenda dalam perjalanan bisnis di luar negeri. Sudah selama dua bulan lima hari lamanya Wirya tidak pulang, menyisakan 25 hari hingga akhirnya pria itu bisa kemba
Wirya belum pernah menginginkan sesuatu sampai harus mengorbankan harga dirinya yang tinggi. Akan tetapi, ia bahkan sangat rela untuk berlutut di hadapan ibunya semata-mata demi mengetahui keberadaan Latri yang tak kunjung ditemukannya. Wirya sudah berupaya melakukan pencarian, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Kefrustrasian kian menggeroti diri pria itu. "Tolong, Bu. Tolong katakan kemana Latri pergi sebenarnya. Aku mohon, Bu," pinta Wirya sungguh-sungguh. Ia telah kehabisan cara mendapatkan informasi dimana istrinya berada kini. Dan Wirya sangat yakin jika sang ibu tahu tentang semua ini tanpa sedikit pun menaruh curiga bahwa ibunyalah yang ternyata merencanakan secara matang perpisahan mereka. Wirya tak berpikir sejauh itu. Kepercayaan pada ibunya masih begitu ada. Ia tidak berburuk sangka. "Bangun, Nak." Wirya bergeming saja saat sang ibu membantu dirinya berdiri, kemudian dibimbing duduk di atas sofa ruang tamu. Pria itu tak berda
Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab. Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda. Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan. Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung. "Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?" W
================================ Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama. Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya. Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya. Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal. "Aku minta maaf, Latri