Ketidakpercayaan masih sangat Latri rasakan, ia bahkan ingin menyangkal hasil dari pemeriksaan dokter yang menyebutkan jika dirinya sedang hamil empat bulan. Latri pun jarang memerhatikan siklus menstruasi yang kerap tak menentu. Ia enggan memusingkan. Dan seingatnya, terakhir datang bulan memang sudah lama.
Sungguh semua ini diluar prediksi yang pernah Latri pikirkan. Andai tadi ia tidak pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, mungkin keberadaan calon anak mereka tak akan diketahui secara cepat. Latri tentu bersyukur dan merasa bahagia akan menjadi ibu lagi setelah keguguran yang sempat ia dialami beberapa tahun lalu.
Latri juga ingin segera memberi tahu Wirya perihal kehamilannya, namun hampir lima hari belakangan pria itu tak menghubunginya. Latri mengira suaminya sedang cukup sibuk dengan sejumlah agenda dalam perjalanan bisnis di luar negeri.
Sudah selama dua bulan lima hari lamanya Wirya tidak pulang, menyisakan 25 hari hingga akhirnya pria itu bisa kembali ke rumah untuk berkumpul bersama dirinya lagi. Kerinduan yang Latri akan kehadiran sosok Wirya cukup besar, terlebih sekarang ini ia tengah mengandung.
Dan kemudian, segala bentuk pikiran yang berputar indah di kepala Latri langsung buyar tatkala menyaksikan ibu mertuanya masuk ke dalam kamar dengan sorot mata tajam dan tanpa membingkai senyum di wajah sedikit pun. Seketika Latri dilanda kecemasan sekaligus ketakutan.
"Saya senang mengetahui jika kamu ternyata bisa hamil juga. Tapi, saya tidak suka dengan bayi di rahimmu, Nak Latri. Kami menginginkan cucu laki-laki, bukan perempuan." Suara Ibu Ratna begitu dingin dan menusuk.
Sementara itu, Latri masih memilih bungkam guna mendengarkan lebih lanjut kata-kata yang akan sang ibu mertua lontarkan. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Latri tidak tahu persis apa yang terjadi nanti.
"Saya ingin memberikan jalan paling baik sebagai solusi atas permasalahan ini. Kamu pasti akan menyetujui jika masih memikirkan kebahagiaan anak saya."
"Apa yang Ibu maksud?" tanya Latri hati-hati. Karena, ia belum terlalu paham dengan arti dari perkataan ibu mertuanya.
"Kami tidak ingin memiliki cucu perempuan. Saya juga tidak pernah menyukaimu sebagai menantu. Lebih baik kamu berpisah dengan anak saya. Wirya pantas mendapatkan istri yang lebih sempurna."
"Tidak mungkin, Bu. Saya sudah berjanji pada Wirya untuk tidak akan meninggalkannya." Latri segera menyahut. Dan hal tersebut membuat sang ibu mertua bertambah geram.
"Jika kamu tetap menjadi istri anak saya. Kamu hanya bisa merepotkan dia saja, Latri! Sadar dirilah."
Sorot tajam tak hentinya Ibu Ratna tunjukkan pada menantunya. "Baik, jika kamu tidak mau berpisah dengan anak saya. Silakan gugurkan janin yang ada di dalam rahimmu. Kamu harus memilih antara Wirya atau anak kamu."
Tetesan demi tetesan air mata yang coba Latri tahan agar tidak jatuh pun kini tumpah karena hebatnya rasa sakit menghantam dadan. "Apa salah anak kami, Bu? Kenapa saya harus menggugurkannya?"
"Karena anak yang kamu kandung adalah perempuan. Sedangkan, saya dan Ayah Wirya menginginkan cucu laki-laki. Kami tidak akan menerima anakmu di keluarga kami."
Latri semakin mengisak. "Sa... saya tidak bisa melakukannya, Bu."
"Jika kamu tidak bisa menggugurkan anakmu. Berpisahlah dengan Wirya. Tinggal di Jepang sampai anak kamu lahir. Saya akan mengurus semua."
Tak rasa iba pada diri Ibu Ratna saat melihat menantunya yang menangis. Beliau bahkan telah menyiapkan sederetan kata-kata menusuk. "Saya akan menyiapkan operasi untuk kesembuhanmu. Bagaimana pun juga kamu harus kembali bisa berjalan agar dapat mengurus anakmu kelak tanpa melibatkan Wirya."
Latri tak menjawab. Ia hanya mampu bungkam. Bukan karena takut atau tidak berani. Tetapi, Latri sadar jika ia tak bisa melawan keputusan yang telah ditetapkan oleh ibu mertuanya. Berpasrah diri adalah hal terbaik yang Latri dapat lakukan.
"Saya tidak menerima bantahan dalam bentuk apa pun. Kamu cukup melaksanakan perintah saya supaya semuanya berjalan dengan benar."
Setelah puas membuat sang menantu tak berkutik, Ibu Ratna lantas pergi dari kamar tanpa menaruh sekelumit belas kasihan. Sementara itu, Latri kian dilanda kesesakan yang kuat di dada. Tapi, ia sudah bertekad untuk tegar serta tetap kuat demi anaknya dan Wirya.
"Suatu hari nanti aku pasti akan bisa membalas semua penghinaaan, juga rasa sakit ini," gumam Latri pelan disela-sela tangisannya yang belum berhenti.
Wirya belum pernah menginginkan sesuatu sampai harus mengorbankan harga dirinya yang tinggi. Akan tetapi, ia bahkan sangat rela untuk berlutut di hadapan ibunya semata-mata demi mengetahui keberadaan Latri yang tak kunjung ditemukannya. Wirya sudah berupaya melakukan pencarian, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Kefrustrasian kian menggeroti diri pria itu. "Tolong, Bu. Tolong katakan kemana Latri pergi sebenarnya. Aku mohon, Bu," pinta Wirya sungguh-sungguh. Ia telah kehabisan cara mendapatkan informasi dimana istrinya berada kini. Dan Wirya sangat yakin jika sang ibu tahu tentang semua ini tanpa sedikit pun menaruh curiga bahwa ibunyalah yang ternyata merencanakan secara matang perpisahan mereka. Wirya tak berpikir sejauh itu. Kepercayaan pada ibunya masih begitu ada. Ia tidak berburuk sangka. "Bangun, Nak." Wirya bergeming saja saat sang ibu membantu dirinya berdiri, kemudian dibimbing duduk di atas sofa ruang tamu. Pria itu tak berda
Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab. Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda. Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan. Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung. "Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?" W
================================ Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama. Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya. Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya. Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal. "Aku minta maaf, Latri
Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya. Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang. "Belum mengantuk, Nak?" Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah mem
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.
Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu. Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat. Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini. "Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah. "Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu. "Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor." Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata gu
"Mama...Mama...," Laksmi antusias memanggil-manggil sembari terus memandangi wajah cantik ibunya yang masih tertidur, sudah dimulai batita perempuan itu sejak beberapa menit lalu.Dan, kala tak mendapat tanggapan sama sekali. Laksmi lantas memanyun-manyunkan bibir, menjadi tanda jika batita itu tengah sedikit merasa sebal.Laksmi ingin melanjutkan aksi agar ibunya segera bangun dan menjawab panggilannya. Batita itu lalu menaruh tangan kanannya yang kecil di atas pipi kiri sang ibu.Sorot lugu pada sepasang mata hitam Laksmi dengan melekat jelas. Walau, kejahilan sekarang ini sedang coba dilakukan batita perempuan itu pada ibunya."Mamaa ...," Batita perempuan itu pun sedikit meninggikan suara, kembali memanggil sang ibu yang berbaring lelap di samping kirinya.Tak ada balasan diperoleh batita itu."Laksmi udah bangun, Nak?"Menangkap pertanyaan yang ayahnya lontarkan dalam nada begitu pelan, Laksmi secepatnya coba mengalihkan perhatian serta