Nayyara tiba di rumah pukul tujuh malam, biasanya dia akan pulang sebelum matahari terbenam. Namun, akhir ini, kesibukannya di toko yang harus mengerjakan pesanan yang banyak, membuatnya telat sampai ke rumah hingga pulang malam.
“Bagus, ya. Apa kau pikir aku pembantu di rumah ini. Hah?” bentak Fania pada Nayyara yang baru saja masuk ke dalam rumah, membuat Nayyara terkejut.“Maaf, Bun. Tadi banyak pesanan di toko, itu sebabnya Nayyara pulang terlambat,” ucap Nayyara mencoba menjelaskan.“Apa kau pikir aku peduli dengan itu? Cepat buatkan makan malam. Rania sudah sangat kelaparan sedari tadi,” ujar Fania yang hanya memperdulikan Rania, padahal Nayyara baru saja pulang dan tubuhnya terasa pegal-pegal semua karena seharian bekerja di toko dengan pesanan yang begitu banyak yang harus dikerjakan secepat mungkin.“Tapi, Bun. Aku baru saja sampai dan aku masih harus bersih-bersih dulu. Rania kan juga sudah besar, sudah pasti dia bisa memasak untuk dirinya sendiri,” ucap Nayyara mencoba untuk memberi tahu Bundanya tersebut.“Sudah berani kamu menolak perintah dariku? Dengar, bersyukurlah aku masih mau menampungmu di rumah ini. Jadi, selama masih tinggal di sini, lakukan semua yang aku perintahkan!" ujar Fania dengan tatapan tajamnya bahwa Nayyara tidak boleh menolak ucapannya.Nayyara menatap ke arah Yacob yang hanya terdiam tanpa ekspresi dan pandangan matanya beralih ke arah Rania yang menunjukkan sebuah senyum licik penuh kemenangan. Lagi-lagi Nayyara harus menekan kuat rasa sakit dalam hatinya, dia meletakkan tas kecil dan segera menuju dapur. Kedua orang tuanya bukanlah orang yang tidak mampu untuk membayar seorang pembantu di rumah itu, hanya saja Fania berucap bahwa mereka tidak membutuhkan itu disebabkan ada Fania yang bisa mengerjakan semuanya.Setelah selesai menyajikan makanan di atas meja, Nayyara memanggil kedua orang tuanya dan juga Rania yang tengah asyik bercengkrama di ruang tamu dengan tawa yang menghiasi wajah mereka. Dulu sebelum Rania hadir, dia juga diperlakukan sangat spesial. Pernah, Nayyara bertanya kepada ayah dan juga bundanya akankah dia tetap disayangi nantinya meskipun kelak dia akan memiliki seorang adik? Dan saat itu kedua orang tua itu memeluk dirinya dan mengatakan bahwa apapun yang terjadi nanti, kasih sayang mereka tidak akan berubah.Namun, nyatanya itu semua hanyalah sebuah janji belaka. Kedua pasangan itu seakan-akan lupa pada janji yang pernah mereka ucapkan. Mereka seakan lupa pada anak yang menemani di kala rasa rindu ingin memiliki anak itu hadir dalam hati mereka. Dan sekarang Nayyara tersisihkan, dia ada namun hadirnya tidak lagi di butuhkan karena seseorang sudah mengganti posisinya.“Bunda, makanannya sudah siap,” ucap Nayyara memberitahukan seraya kembali menuju meja makan untuk segera mengisi perutnya yang juga sudah sangat kelaparan.“Kamu mau ngapain?” tanya Fania menghentikan pergerakan Nayyara yang bersiap untuk duduk.“Mau makan, Bun,” jawab Nayyara.“Enak saja, kamu baru boleh makan setelah kami selesai. Itu hukuman buatmu karena sudah berani pulang terlambat dan juga bersikap kasar pada Rania tadi siang. Kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi? Masih memiliki toko kumuh seperti itu saja sudah sombong,” ketus Fania meremehkan.Nayyara berbalik menuju kamarnya dengan menahan rasa lapar. Kenapa selalu saja ia yang disalahkan, padahal kenyataannya Rania yang selalu mencari masalah padanya, jika banyak yang mengatakan bahwa rumah adalah sebaik-baiknya tempat ternyaman untuk kita pulang, tapi mengapa Nayyara tidak lagi merasakan itu, lantas ke mana lagi Nayyara harus berpulang?Nayyara membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan nanar. Lelah di sekujur tubuhnya tidak ada apa-apa dibandingkan dengan lelah batinnya dan juga hatinya, ia tidak tahu mengapa Tuhan begitu gemar memberikan sakit yang tiada hentinya. Entah dari sisi mana Tuhan melihat ketangguhan serta kemampuannya untuk melewati semuanya. Nayyara sungguh tidak tahu kenapa Tuhan memilihnya sebagai salah satu manusia yang hidup dengan takdir yang keras. Karena terlalu kelebihan Nayyara perlahan Nayyara memejamkan matanya dan tertidur dalam keadaan lapar.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya dengan sempurna, begitu juga Nayyara seperti biasa sia sudah rapi dengan penampilan sederhananya. Namun, kesederhanaan itu yang membuat Nayyara kelihatan lebih cantik dan juga elegan. Dia berbeda dengan Rania yang selalu memakai baju-baju yang mewah.Saat hendak berangkat bekerja Nayyara sibuk mencari-cari sepeda motor miliknya, seingatnya dia memarkirkannya di tempat biasa. Tidak mungkin hilang atau pun maling mencurinya di sebabkan kompleks rumah Nayyara dijaga ketat oleh beberapa penjaga. Nayyara berbalik berniat untuk bertanya pada Ayahnya namun langkahnya terhenti saat mendengar bunyi suara motor yang sangat dikenalinya.“Tidak bisakah izin terlebih dahulu sebelum memakai barang milik orang lain?” tanya Nayyara mencoba untuk menahan amarahnya ketika melihat motornya yang saat ini sedang dinaiki oleh Rania.“Suka-suka aku dong, barang kamu kan barang aku juga,” jawab Rania dengan entengnya membuat Nayyara geram dengan sikap semena-mena Rania.“Come on Rania, dewasalah, kamu itu bukan anak kecil lagi yang harus selalu diperingati. Kamu sudah bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar, mau sampai kapan kamu kekanak-kanakan terus? Bahkan kamu sudah bisa berpacaran, masa hal sepele seperti ini saja tidak tahu,” ujar Nayyara mengambil dengan kasar kunci motornya yang berada di tangan Rania.“Apa maksudnya kamu berbicara begitu? Kamu mau bilang kalau kamu itu lebih pintar dari aku gitu?” ucap Rania tidak terima.Namun Nayyara tidak menggubris perkataan Rania, karena ia tahu akan panjang masalahnya jika terus berdebat dengan Rania yang selalu ingin menang sendiri itu.Amarah Rania semakin memuncak saat Nayyara tidak mempedulikannya. Ia mengambil kunci motor Nayyara dan melemparkannya ke dalam tong sampah yang berada di sampingnya membuat Nayyara geram dengan apa yang dilakukan oleh Rania.“Apa-apaan kamu Rania!” bentak Nayyara mendorong pelan tubuh Rania.Dengan sangat kebetulan Fania lewat dan Rania mengambil kesempatan itu untuk memberikan pelajaran pada Nayyara dengan berpura-pura terjatuh di hadapan Fania, lantas nanti Rania akan menyalahkan Nayyara dan kemudian Nayyara akan dimarahi oleh Bunda Fania.“Aduh,” ucap Rania sengaja menjatuhkan dirinya sendiri padahal tadi Nayyara mendorongnya pelan.Dan benar saja, Fania melihat itu dan segera menghampiri Rania yang terduduk di hadapan Nayyara.“Rania sayang, kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Fania membantu anak kesayangannya itu berdiri.“Tidak apa-apa, Bun. Ini salahku karena telah membawa motor Kak Nayyara tanpa ijin,” ujar Rania pura-pura merasa bersalah dan tentu saja semua itu tidak terlepas dari tatapan Nayyara yang seakan mengetahui kelicikan Rania.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Nayyara, ia tidak mengatakan apapun bahkan juga ia tidak menunjukkan ekspresi takut di depan Fania untuk pertama kalinya. Ia sudah lelah terus mengalah untuk Rania, Nayyara merasa lelah terus mempertanggung jawabkan kesalahan yang dilakukan oleh Rania sendiri.“Berani kamu menyakiti putriku. Hah?” bentak Fania yang amarahnya sudah memuncak melihat Nayyara yang tidak merasa bersalah sedikitpun.“Nayya tidak bersalah Bunda, aku hanya memperingatkan saja bahwa segala sesuatu yang bukan milik kita, jika ingin memakainya akan lebih baik kalau ijin terlebih dahulu. Bukannya Bunda sendiri yang mengajarkan itu kepada kami?” ujar Nayyara masih setia dengan wajah datarnya walaupun rasa perih menjalar pada pipinya.“Siapa bilang itu milikmu? Mulai sekarang motor itu milik bersama, jadi siapapun boleh menggunakannya,” ucap Fania tidak ingin dibantah.“Sepertinya Bunda mulai lupa bahwa motor ini adalah hadiah yang diberikan Nenek padaku, jadi motor ini milikku bukan milik bersama. Permisi Bunda Nayyara harus segera berangkat bekerja,” ujar Nayyara mengambil kunci motornya dan segera pergi meninggalkan Bundanya dan juga Rania yang masih tidak percaya dengan perubahan sifat Nayyara yang sudah mulai berani pada mereka.Nayyara duduk termenung di ruangan kecil miliknya. Sebuah foto dengan menampilkan senyum manis ketiga orang di dalamnya membuat Nayyara menatap sendu. Bagaimana tidak, kebahagiaan yang dirasakannya saat itu seakan tidak mau jauh darinya. Nayyara kecil sangat dicintai saat itu, bahkan tidak sekalipun ia mendengar suara bentakan yang ditujukan padanya. Nayyara mengingat semua kenangan manisnya kala itu yang kini hanya tinggal tangis berselimutkan tawa yang perih.Pernah sekali Nayyara berdoa minta waktu untuk di kembalikan ke belakang, dia meminta supaya adiknya Rania tidak pernah ada di antara mereka. Namun, sesaat kemudian Nayyara menarik kembali doanya, biar bagaimanapun dirinya juga sangat menyayangi Rania, walaupun Rania selalu berbuat masalah kepadanya.“Ada masalah lagi di rumah?” tanya Salwa yang sudah mengerti dengan permasalahan hidup Nayyara.“Seperti biasa,” jawab Nayyara pelan seraya menyimpan kembali foto yang dia pegang itu kedalam dompet miliknya.Nayyara dan juga Salwa
Isak tangis masih terdengar di sudut kamar Nayyara, sesekali ia meringis mengobati luka dari Fania Bundanya. Nayyara tidak tahu bahwa membuat mood Rania buruk juga akan menjadi kesalahannya. Nayyara bukan lagi anak kecil yang tidak bisa membela diri. Akan tetapi, percuma saja jika kenyataannya pembelaannya tidak berarti apa-apa.“Terlepas dari apapun yang sudah terjadi dan melukaiku, Nayya akan tetap sayang, Bunda,” ucap Nayyara lirih sambil menahan rasa perih pada lukanya.Setelah puas menangis dan juga mengobati lukanya, Nayyara turun ke bawah menuju dapur untuk mengambil air minum yang selalu ia sediakan di dalam kamarnya. Saat melewati ruang tamu, Nayyara melihat pemandangan yang lagi-lagi menyesakkan dadanya. Kedua orang tuanya sedang bersenda gurau bersama adiknya dengan Fania mengelus lembut rambut Rania yang berada di pangkuannya seketika air mata Nayyara kembali menetes dari mata indahnya padahal dirinya sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Namun, tetap saja hatinya kembali
Mobil Faris berhenti di depan pagar rumah mewah yang menjulang tinggi, membuat siapapun yang melihatnya akan terpukau dengan kemewahannya. Nayyara memperhatikan dengan seksama seakan-akan dia baru melihat rumah sebegitu mewahnya.“Ini rumah Kak Faris?” tanya Nayyara dengan wajah polosnya.“Iya ini rumah aku, tidak lucu dong aku mengundang kamu makan malam dengan menumpang di rumah orang lain,” jawab Faris tersenyum geli melihat wajah lucu Nayyara."Yaudah, yuk, masuk." Nayyara mengikuti Faris memasuki rumah mewah tersebut, di dalam sana Nayyara disambut oleh Delia dan juga Frans yang sudah menunggu di meja makan dengan tersenyum ramah ke arah Nayyara.“Malam, Om, Tante,” sapa Nayyara ramah sembari mencium punggung tangan sepasang suami istri itu dengan sopan.“Malam, Sayang. Ayo silahkan duduk Tante tidak tahu makanan kesukaan kamu apa. Jadi, Tante persiapkan saja segala jenis makanan yang mungkin salah satunya ada yang kamu sukai,” ujar Delia mempersilahkan Nayyara untuk duduk."Teri
Hujan kembali menyirami kota Jakarta. Nayyara mengeluarkan sepeda motor nya untuk memulai aktivitas nya seperti biasa, tak lupa ia memakai helm dan juga pelindung hujan untuk melindungi dirinya. Hujan itu tipis, namun bisa membuat pakaian basah bagi yang berjalan di bawahnyaBelum sempat Nayyara menaiki sepeda motor nya, seseorang menarik tangannya dari belakang menampilkan sosok Rania dengan wajah yang terlihat merah menahan amarahnya"Apa yang kau lakukan?" tanya Nayyara berusaha melepas cekalan tangannya"Sudah berulangkali aku katakan jangan pernah sekali-kali mencari kesempatan untuk mendekati kak Faris, perempuan murahan!" bentak Rania geram kala mengingat Nayyara pulang bersama Faris "Apa hubungannya denganmu? Apa kamu punya hubungan spesial sama kak Faris? Tidak, kan?" jawab Nayyara setenang mungkin walaupun sebenarnya ia merasa kesal Rania menyebutnya sebagai wanita murahanKemarahan Rania semakin memuncak melihat Nayyara yang sudah mulai berani padanya, dengan cepat ia meng
Ada apa ribut malam-malam begini?" suara berat itu menghentikan aksi tarik menarik di antara mereka berdua. Keduanya menoleh kearah suara dengan dua tatapan yang berbedaTak kunjung mendapat jawaban dari Rania ataupun Nayyara membuat Yacob semakin murka, bukan apa-apa. Ia baru saja mengistirahatkan diri seusai satu harian menghabiskan waktu di perusahaan dengan pekerjaan yang kian menumpuk, niat hati ingin mencari kedamaian di rumah. Namun nyatanya ada saja yang mengganggu acara tidurnya"Nayya! Apa kau tidak mempunyai mulut untuk menjelaskan apa yang terjadi?" kali ini suara Fania yang menginterupsi, wanita berusia senja itu keluar setelah mendengar suara ribut-ribut di luar kamarnya"Ini bukan kesalahan Nayya bunda, Rania! Dia memasuki kamar aku dan membuatnya sangat berantakan, bahkan barang milik-ku juga di ambil olehnya" jelas Nayyara berharap bundanya mau membujuk putri kesayangannya itu untuk mengembalikan apa yang bukan menjadi miliknya"Bukannya bunda yang bilang, bahwa apapu
Nayyara memasuki gedung mewah yang menjulang tinggi di depannya, ia melangkahkan kakinya menuju meja resepsionis yang terletak tidak jauh dari tempat dimana ia berdiri. "Assalamualaikum, Mbak," sapa Nayyara ramah melihat petugas resepsionis nya memakai hijab, sudah pasti wanita itu beragama Islam. Pikir Nayyara."Waalaikumsalam, ada yang bisa saya bantu?" balas wanita berhijab itu tak kalah ramah."Saya ingin mengantarkan pesanan dari Umi Syafanah. Apa beliau ada?""Oh, iya, mari mbak saya antar."Nayyara mengikuti langkah wanita yang berjalan mendahuluinya itu dengan sesekali menatap kagum interior bangunan itu. Banyak orang yang berlalu lalang, sepertinya sedang sibuk dengan urusan masing-masing."Silahkan masuk, Mbak," ujarnya mempersilahkan."Terima kasih, Mbak," balas Nayyara."Sama-sama." Resepsionis itu pun berlalu meninggalkan Nayyara seorang diri.Nayyara mengetuk pintu bercorak abstrak tersebut dengan hati-hati, takut membuat orang yang didalamnya merasa terganggu. Dengan g
Nayyara telah selesai mengerjakan segala pekerjaannya dengan sempurna tanpa tertinggal apapun. Ia merasa perutnya sangat perih karena belum di isi makanan sama sekali, Nayyara berjalan menuju meja makan dan mendapati pemandangan yang kembali membuat kesedihan itu terpancar di mata indahnyaEntah kapan terakhir kali ia duduk dan makan bersama keluarganya, yang pasti Nayyara sangat merindukan saat-saat itu. Dimana ia masih diperlukan selayaknya seorang anak yang begitu di cintaiNayyara berniat ingin melewati ruang makan itu dengan hati-hati dan tanpa mengeluarkan suara. Namun, belum sempat melangkah menuju kamarnya Faris menghentikannya, membuat Nayyara seketika menoleh ke arah suara itu"Nay, kamu sudah makan? Sini gabung sama kita, masa kami makan kamu malah sibuk dengan pekerjaan kamu sih,?" ujar Faris tanpa tahu kalau sebenarnya hadirnya Nayyara akan membuat kedua orangtuanya dan juga Rania kehilangan selera makan jika ia turut andil bersama mereka"Aku sudah lebih dulu sarapan ta
Faris menyudahi pembicaraannya dengan Rania dalam sambungan telepon, ada rasa bersalah dalam hatinya yang membatalkan janjinya secara sepihak. Tapi mau bagaimana lagi, malam ini ia memang benar-benar merasa sangat kelelahan Faris berbalik dan segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur king size miliknya. Bayang-bayang wajah teduh Nayyara terus berputar di pikirannya, bagaimana bisa seorang Nayyara yang ia kenal dengan sifat ramah dan juga rendah hati itu bisa berubah seperti yang di katakan oleh Fania dan juga Rania? Ada keraguan dalam hatinya, tapi mengingat kembali wajah sedih Fania juga membuat hatinya semakin dibuat bingung harus mempercayai yang manaFaris yang masih setia dengan tatapan lurus memandang langit-langit kamarnya itupun terkejut dengan sebuah tangan yang mengelus lembut bahunya. Faris pun menoleh pada pemilik tangan yang sangat di kenali nya itu"Anak mama ini lagi mikirin apa,?" tanya Delia lembut, seraya memindahkan kepala anak laki-laki satu-satunya itu kepan