Share

Namira

“Mama nonton TV loh, Pa. Seluruh bandara di pulau itu di tutup dari pagi karena cuara buruk, hujan dan badai. Pertanyaan mama, Papa pulang naik apa, hah?”

Mati.

Melihatnya berkacak pinggang, nyaliku langsung menciut. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Mencoba menetralkan perasaan kacau yang tiba-tiba menyelimuti diri.

“Em ... sebenarnya, papa-“

“Apa? Mau ngeles?” Lolita tak memberiku kesempatan untuk mengulik.

“Bukan. Papa—“

Tiba-tiba ponselku berdering. Aku hendak beralih.

“Di sini saja ngangkat teleponnya. Mama mau dengar dengan siapa Papa bicara. Kalau perlu diload speaker sekalian. Mana tau Papa punya gun**k di luaran sana.” Lolita meradang, nada bicaranya naik satu oktaf.

“Astaga, ma. Ini Wina, Mama,” balasku.

Aku mengambil duduk di pinggir ranjang agar Lolita mendengar pembicaraanku dengan Wina.

“Halo, kenapa, Win?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Saya di depan rumah, Bapak,” jawabnya.

Lolita mencelos saat aku memandangnya setelah memutus panggilan.

“Wina ada di bawah. Ayo ikut papa kalau gak percaya.”

Aku bergerak mendekati Lolita. Lalu, menarik pergelangan tangannya.

“Nggak, ah!” Lolita menolak.

“Ayo ikut. Mama tanya langsung sama Wina. Pekerjaan papa ngapain saja.”

Akhirnya, Lolita menyerah juga dan mengikuti ajakanku. Aku dan Lolita menuruni anak tangga setelah memerintahkan seorang baby sitter mengawasi Tiara.

“Pak, Bu,” sapa Wina saat melihat kehadiran kami.

Aku menyuruhnya duduk.

“Sekarang, silahkan tanyakan dengan Wina. Papa ngapain saja semalam. Win, ngapain saja semalam sama saya?”

Aku melontarkan pertanyaan dengan perasaan kacau. Berharap Wina memiliki kepekaan yang tinggi.

“Oh, ini saya mau mengantarkan laptop milik Pak Tama yang saya bawa. Semalam Pak Tama menyuruh saya melanjutkan pekerjaan di rumah. Jadi, laptopnya saya bawa. Maaf Bu Lita, apa saya telah melakukan kekeliruan?”

Wina berucap sangat meyakinkan. Lolita terlihat menghela nafas. Mudah-mudahan dalam hatinya merasa lega dan melupakan kejadian ini.

“Gak ada,” jawab Lolita singkat.

“Baik, Pak, Bu, saya pamit dulu kalau begitu. Terima kasih, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Waalaikumsalam,” jawabku dan Lolita hampir bersamaan.

Kami menatap Wina hingga tubuhnya menghilang di balik pintu.

“Bagaimana? Masih curiga?” Aku bertanya sambil melingkarkan tangan ke pinggangnya.

Lolita tak menjawab. Ia malah melepas pelukanku dan bergegas pergi.

“Pa,” panggil Lolita. Rupanya dia berbalik sebelum menaiki tangga.

“Ya, kenapa?” Aku mendekatinya.

“Mama percaya, tapi masih ragu.”

Setelah mengucapkan uneg-unegnya, dia berlalu dari hadapanku.

Menimbang kecurigaan yang akhirnya terbantahkan, aku berinisiatif untuk menjauhi Namira. Kecurigaan Lolita juga harus aku waspadai. Terlebih wanitaku ini tipe wanita tegas yang mudah mengajukan protes jika tak sesuai dengan hati nuraninya.

**

Sejenak perdebatan tentang kepulanganku bisa diterima oleh Lolita. Apalagi yang mau dibantah olehnya. Saksi hidup juga sudah aku hadirkan untuk memperkuat alasan. Walaupun akhirnya, aku harus mentransfer sejumlah uang sebagai tutup mulut pada Wina, sekretarisku di kantor.

Aku pulang lebih awal. Hampir setiap hari seperti ini. Kulakukan demi Lolita dan putri kecil kami. Lagipula, Lolita juga meminta untuk membagi waktu lebih banyak agar bisa semakin dekat dengan Tiara. Sebab, akhir-akhir ini Tiara semakin jarang menanyakan keberadaanku. Lolita mengkhawatirkan Tiara akan kehilangan sosok ayah jika aku masih egois mengabaikan kebersamaan dengan putri kami.

“Pa,” panggil sambil Lolita menarik selimut menutupi tubuh kami.

“Papa,” panggilnya lagi karena aku tak merespon.

“Apa?” balasku. Tak menjawab bukan berati tak mendengar, tapi aku sedang terfokus ke layar ponsel.

“Tiara minggu depan ulang tahun. Rencananya mama mau bikin acara di rumah saja. Bagiamana, Pa?”

Aku meletakkan ponsel. Lalu merentangkan lengan kiri agar Lolita mendekat. Ia pun bergerak merapat.

“Boleh. Mama aturlah. Butuh bantuan?” tanyaku menawarkan. Biasanya, jika seorang wanita sudah berbicara tentang suatu acara, maka diakhiri dengan permohonan dana.

“Em ....” Lolita mulai berpikir. Ah, barangkali sedang menghitung.

“Butuh berapa?” tanyaku langsung. Lolita tampak tersenyum manja. Sebab, aku langsung bisa menebak keinginannya.

“Nanti saja, deh. Biar pakai uang mama dulu. Soalnya mama mau ajukan yang lebih, hehehe ....”

Bisa ditebak.

Lolita memang cerdas. Soal hitung-hitungan uang, dia ratunya. Tak masalah bagiku. Terpenting adalah dia dan Tiara sama-sama senang.

**

Dua hari lalu, aku menemui Namira di kediamannya. Sebuah rumah yang kubeli atas namanya. Sekitar lima belas menitan dan itu cukup membuatnya marah karena beberapa hari aku abaikan, pasca peristiwa kedokku yang hampir terbongkar oleh Lolita. Jadi, aku memutuskan menjaga jarak dengan Namira.

“Aku nggak bisa lama-lama jauh dari Mas Tama,” protesnya saat aku ungkapkan keinginan.

“Sementara waktu, Sayang. Sampai Lolita percaya lagi sama Mas. Percaya, deh, Mas juga gak bisa lama-lama seperti ini.” Aku memberi pengertian.

Namira mencebik. Lalu, menjatuhkan diri di sofa.

“Mas sudah transfer, kok. Di cek deh.”

Namira mencebik lagi.

“Ayo, cek dulu,” perintahku.

Dengan malas, dia meraih ponselnya.

Satu menit, ekspresinya masih biasa saja.

Dua menit, dia mulai gelisah karena loading lama.

Tiga menit, senyum itu merekah juga. Namira langsung berdiri dan memeluk, memberikan sebuah kecupan ringan di bibirku.

“Cukup?” tanyaku memastikan.

 Sebenarnya tanpa bertanya pun, aku sudah tau jawabannya. Raut wajah itu tak bisa disembunyikan lagi.

“Hu’um,” jawabnya sambil mengangguk. Lalu, aku meninggalkannya setelah itu.

.

Aku tersenyum membayangkan wajah imutnya. Jadi kangen ingin bertemu.

“Menepi sebentar, Pak,” ucapku pada Maman.

Aku menekan nomor kontak Namira. Sebentar kemudian tersambung, tetapi tak diangkat.

“Kemana, sih?” gerutku. Memutuskan melakukan panggilan ulang. Nada dering lagu favorit Namira masih kudengar sampai berhenti dengan sendirinya.

Aku mulai kesal.

“Gak mungkin masih kuliah. Ini ‘kan sudah sore.” Aku bergumam sendiri.

Aku memeriksa pesan terkirim, hanya dibaca saja, tanpa dibalas.

“Pasti lagi shopping. Begini nih kalau habis dapat transferan. Pasti sibuk belanja.”

Aku menutup ponsel. Meminta Maman melanjutkan perjalanan.

Aku harus segera sampai di rumah. Sebab, Lolita memintaku segera pulang untuk membicarakan acara ulang tahun Tiara.

Sebenarnya aku kurang setuju jika Lolita membuat acara di rumah. Karena pastinya bakal ribet dan menghabiskannya banyak tenaga. Aku lebih suka dia menyewa tempat. Dengan begitu, akan lebih mudah menghemat waktu dan tenaga.

Namun, lagi-lagi aku tak bisa menolak keinginannya

Sesampainya di rumah, aku langsung di sambut oleh Lolita, seperti biasanya.

“Tiara lagi mandi, Pa, tapi sepertinya sudah selesai,” ucap Lolita saat aku mengedarkan pandangan. Ia bisa menebak, bahwa aku sedang mencari Tiara.

“Oh, itu di belakang ramai.”

Terdengar suara riuh di belakang.

“Oh, itu. Mama tadi kerepotan menghias ruangan ini. Jadi, mama meminta bantuan seseorang. Coba tebak, siapa yang datang?” Lolita tersenyum menggoda. Ia menarik tanganku untuk diajak ke belakang. Ia bergelayut manja. Aku dan Lolita berjalan beriringan.

“Siapa?” tanyaku penasaran.

“Tebak, dong!”

“Malas. Papa gak suka bermain teka-teki.”

“Is, papa begitu.” Lalu kami tertawa bersamaan. Aku mencubit hidung Lolita yang bangir dan enyibakkan rambut yang terjatuh menghalangi sebagian wajahnya.

Lolita menghentikan langkah tepat saat aku memberi sebuah kecupan di pipinya. Dia membalas dengan pukulan kecil di lenganku.

“Malu, ah! Dilihatin Namira itu.”

Seketika menoleh dan langsung bertemu pandang dengan ... Namiraku.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status