PoV Namira
Hatiku terbakar, panas dan rasanya ingin meledak.
“Malu, ah! Dilihatin Namira itu.”
Mbak Lita menunjukku. Seketika itu juga, Mas Tama menoleh dan bersitatap langsung denganku. Jelas, dia terkejut. Sangat terkejut.
Aku pun demikian, tetapi cepat menguasai keadaan. Sedangkan Mas Tama tak berani lagi memandangku. Bahkan dia membuang muka.
Aku sakit. Apakah sehina ini menjadi yang kedua? Kenapa sesakit ini luka yang harus kutuai? Padahal semestinya, kudapatkan senyum yang sama seperti Mbak Lita. Senyum kebebasan di atas kesenangan yang tidak dibuat pura-pura.
“Na, kamu tadi bikin apa?”
Aku gelagapan ketika Mbak Lita menanyaiku.
“Em, sub buah sama puding, Mbak,” jawabku.
“Bawa sini, gih. Kita makan sama-sama. Oya, mama panggil Tiara dulu ya, Pa? Lagi mandi kayaknya.”
Mas Tama mengangguk sambil berpura-pura memainkan ponsel.
Mbak Lita meninggalkan ruang makan. Kini tinggal kami berdua. Mas Tama sedang duduk di kursi, menghadap meja. Aku berada di depan kulkas, mengeluarkan puding dan sup buah dari sana.
“Na, kenapa sampai di sini?”
Aku tersentak dan puding di tanganku hampir terlepas. Beruntung langsung di pegang oleh Mas Tama.
“Bisa gak, sih, ngomongnya gak ngagetin begitu!” balasku bernada kesal.
“Mas syok lihat kamu di sini.”
“Sengaja datang ke sini karena kangen. Puas!” jawabku dengan ketus.
“Na.”
“Kamu berubah sekarang, ya?” balasku.
“Sayang, kita ‘kan sudah sepakat akan menjaga jarak sementara waktu.”
“Tapi gak begitu juga. Masa segitu mesranya sama mbak Lita. Gak bisa biasa aja, apa?”
Aku mengungkapkan kekesalan. Mas Tama melemah, ia menggenggam tangan dan menarikku agar kami sama-sama duduk. Aku menuruti keinginannya.
“Sayang, Mas dengan Lita ‘kan memang seperti ini dari dulu dan kamu tau itu. Apa yang menjadi masalah, hah?”
Mas Tama mencium tanganku hingga berkali-kali. Aku, tau sendiri jika mendapat perlakuan seperti ini. Aku pun luluh.
“Gak apa-apa kalau kamu kangen, datang aja ke sini.”
“Nggak, ah! Aku bisa mati terbakar kalau melihat kalian mesra-mesraan seperti tadi.”
“Iya, maaf, Sayang. Gak lagi-lagi kalau ada Namira.”
“Janji, ya?”
“Iya.”
Mas Tama melepas tangannya. Tiba-tiba berganti mengelus kepalaku. Aku merasa lega dan lebih tenang. Kemudian, dia menarikku hingga mendekat padanya.
“Jangan, Mas. Nanti ketauan,” tolakku.
“Sebentar saja.”
Mas Tama nekat. Ia menarik belakang kepalaku. Aku dan dia sama-sama terhanyut hingga beberapa saat. Mas Tama menarik diri. Mengelap bawah bibirku yang basah karena ulahnya. Lalu menjauh ke tempat semula.
Kami saling melempar pandang dalam diam, hanya berselang dua kursi. Rasanya rindu ini kian membuncah, ingin segera dilabuhkan.
“Besok Mas datang,” ucapnya tiba-tiba.
“Aku kuliah,” jawabku sambil mengiris puding dan memindahkannya ke piring.
“Bolos,” ucapnya. Aku menghentikan aktivitasku. Menatapnya dengan teramat sayang.
“Kenapa nggak,” jawabku sambil memainkan lidah dan bibir. Memamerkan sesuatu yang paling dia sukai.
Mas Tama terlihat gemas. Aku yakin, jika di kediamanku sendiri, dia tidak akan membiarkan aku beranjak dari tempat tidur.
Suara gaduh Mbak Lita dan Tiara yang sedang menuruni tangga membuat aksi kami terhenti.
Tampak Tiara berlari kecil dan berakhir di pelukan Mas Tama.
“Mama sudah mandi lo, Pa. Pakai parfum yang beliin Papa pas ke Singapur kemarin.”
Sial. Pemandangan seperti ini lagi. Mbak Lita merangkul Mas Tama dan mendekatkan lehernya.
“Papa suka?”
“Tiara suka. Tiara juga pakai punya mama. Coba cium, Pa.” Tiara pun ikut berceloteh.
Sumpah. Aku tak bisa dibuat begini. Dadaku tak berhenti berdentam. Hawa panas mengaliri sekujur tubuh. Apalagi saat Mas Tama mencium leher Mbak Lita. Tiba-tiba piring berisi puding lepas.
Semuanya terkejut bersamaa dengan bunyi yang cukup keras.
Aku terkesiap, memang sengaja mengalihkan perhatian. Sepiring puding beserta pecahan piring berserakan di bawah kakiku.
“Na! Kamu gak pa-pa?”
Mbak Lita terlihat khawatir.
“Nggak apa-apa, Mbak. Aku kaget, maaf ya?” Aku beralasan.
Mbak Lita berjongkok memeriksa kakiku. Kesempatan ini kupergunakan untuk mengajukan protes dengan cara memandang Mas Tama dengan penuh kekesalan.
Rupanya dia pun paham, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa.
Oh, jadi sebatas ini keberanian dia jika di hadapan mbak Nita. Oke. Aku akan buat sesuatu yang lebih seru lagi.
“Gak ada yang luka kok, Mbak.”
“Syukurlah kalau begitu. Sana bersihkan kakimu. Pecahan piringnya biar dibersihkan Mbok Ipah.”
Aku bergegas ke belakang untuk membersihkan kaki, juga mengguyur wajah ini yang rasanya seperti terpanggang bara api.
**
Acara ulang tahun Tiara berjanji lancar. Beruntung hanya keluarga kecil yang diundang, sebanyak dua puluhan orang saja, sehingga tidak terlalu merepotkan.
Aku berbaur selayaknya keluarga. Tetap menjaga jarak, bahkan Mas Tama sama sekali tidak menunjukkan perhatiannya sedikitpun padaku.
Kuputuskan, ini yang terakhir kali aku berada di tengah-tengah mereka. Aku sakit, sangat sakit. Merasa terbuang dan tidak dianggap.
Lebih parahnya lagi, mereka, keluarga Mbak Lita dan Mas Tama malah menjadikan aku tukang foto. Mereka berpose dengan berbagai gaya dan aku yang memegang kamera.
Jika bukan karena terlanjur berada di tengah-tengah dua keluarga ini, aku pasti sudah kabur.
Mas Tama, apa aku hanya berarti jika mengenakan lingerie saja dan bergaya layaknya pel**r di atas ranjang?
Nyatanya, kehadiranku di sini tak membuatmu mengalihkan pandangan dari istrimu itu.
Aku menjauh pergi saat mereka mulai pamit pulang. Aku menengadah ke langit yang tampak cerah, tapi tak ada bulan di sana.
Sendiri, merasai sakit yang kian menghimpit.
“Mas Aris, seandainya kamu gak tinggalin aku sendirian, aku nggak mungkin jadi pelakor diusia semuda ini.”
Aku bergumam dengan air mata yang menggenang, siap untuk ditumpahkan.
Salahkan aku, karena berusaha berjuang mendapat keinginan? Sejak hadir di rumah ini, aku sudah dihadapkan dengan pemandangan manis Mbak Lita.
Dia yang selalu memperlihatkan sederet barang pemberian Mas Tama ke hadapanku, lalu memamerkan keromantisan mereka ke F******k dan membuatku hanya bisa mengagumi pria itu dalam hayalan.
Aku terobsesi karena dirimu, Mbak Lita. Bukan salahku jika aku ingin menikmati sedikit saja milikmu. Tetapi malahan, aku mendapatkan bagian sama denganmu. Namun, lagi-lagi aku mengirikan senyummu itu. Satu-satunya yang tidak bisa aku miliki hingga saat ini.
Kenapa aku tak pernah bisa memiliki senyum tulus sepertimu? Apakah hatimu berasal dari titisan bidadari? Sehingga tak pernah mendapatimu berkata kasar dan bertindak bodoh.
Kenapa kamu tampak begitu sempurna di mataku, mbak? Aku memiliki apa yang kamu miliki, tapi aku tak merasa bahagia.
Mbak Lita, aku inginkan senyum itu. Aku mengirikannya.
“Na, kamu di mana?” Suara Mbak Lita memanggil. Aku segera mengelap sudut mata sebelum ketahuan hampir menangis.
“Di sini, Mbak,” jawabku.
“Mau menginap atau pulang?” tanyanya dengan lembut.
“Pulang saja, Mbak.”
“Kalau begitu, biar diantar Maman.”
Maman? Sopirnya? Ish!
“Iya, Mbak,” jawabku akhirnya. Padahal berharap diantar Mas Tama.
Aku mengikuti langkah Mbak Lita.
“Papa mau ke mana?” tanya Mbak Lita saat kami berpapasan.
Mas Tama tampak sedang mengenakan jaket. Dia langsung menoleh.
“Mau keluar sebentar. Ada urusan.”
“Malam-malam begini?”
“Sebentar doang, Ma.”
“Sekalian antar Namira, ya?”
Aku tercekat, Mas Tama terlihat biasa saja.
“Boleh. Ayo?” ajak Mas Tama.
Benarkah ini?
“Na, pulang sama Mas Tama, gih!” Mbak Lita mengusap lenganku.
“Oya, kamu masih ada uang, Na?”
Mbak Lita meraih tanganku, meremasnya perlahan. Masih sama seperti dulu.
“Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan ngomong sama mbak Lita, ya?”
“Iya, Mbak. Masih ada uang, kok,” jawabku hampir tak terdengar, tersekat oleh sesuatu yang tak tampak. Semacam rasa berdosa. Bagiamana mungkin aku mengatakan kurang, jika apa pun yang dia miliki, aku juga memilikinya? Bahkan suaminya juga.
****
PoV Namira Aku menaiki mobil Mas Tama, hanya berdua saja. Mbak Lita melambaikan tangan, masih tampak berdiri di teras rumah sampai bayang tubuhnya tak terlihat lagi. Aku tersentak ketika Mas Tama meraih jemariku. “Dingin tanganmu.” Dia membawa dalam genggaman. Aku menikmati dengan segenap rasa. Rindu yang teramat dalam ini seakan mampu mengesampingkan kemarahan yang tadinya minta ditumpahkan. “Maaf, Mas tadi cuek. Sebenarnya gak tega melihatmu diabaikan seperti tadi,” ucapnya. Aku seperti mereview kejadian tadi yang membuatku terlihat sangat bodoh. “Lain kali gak usah minta Mbak Lita untuk menjemput ke kampus dan minta bantuan ngurus ini dan itu. Aku sudah seperti kacung di rumah suamiku sendiri.” Aku mengadu. “Maaf, Sayang. Tapi mas gak pernah menyuruh Lita buat mendatangi kampusmu. Mungkin dia kangen sama kamu. Kan sudah lama kamu nggak pernah main ke rumah.” “Cih, untuk apa? Aku juga punya rasa khawatir kali, Mas. Masa mendatangi kandang macan.” “Jangan gitu dong, Sayang.
PoV LolitaJam berdentang dua belas kali, saat aku memutuskan memasuki kamar. Tadinya berdiam di kamar Tiara sambil menunggu Tama, tapi belum tampak juga. Bahkan ponselnya tidak aktif. Kebiasaan.Seperti inilah Tama akhir-akhir ini. Tiba-tiba pamit pergi, lalu pulang lewat tengah malam. Ke mana lagi kalau bukan pergi sama Roy, kaki tangannya yang sangat dia percayai.Ya sudahlah, toh semua demi pekerjaannya.Aku merebahkannya diri. Membuka-buka galeri, memilih foto-foto yang paling menarik untuk kuunggah ke Facebook.Ternyata Namira pintar mengambil gambar, rata-rata foto yang dihasilkannya bagus-bagus. Aku sampai bingung memilihnya.Mata semakin berat saja, malah enggan untuk beralih posisi. Aku menggeletakkan ponsel di samping kiri. Lalu, menikmati buaian malam.*Hawa dingin membuatku terbangun. Lupa merapatkan selimut. Tiba-tiba perasaanku tak enak, kemana Tama?Aku mengerjab, meraih ponsel dan melihat jam di sana terpampang angka dua.Aku memeriksa aplikasi perpesanan. Tama mengi
“Iya, Tama memang pergi semalam,” akuku.Aku mulai terfokus menunggu ucapan Mita selanjutnya. Dia mencurigakan Tama, apa alasannya?“Aku melihatnya bersama wanita di sebuah rumah,” ucapnya pelan dengan suara berbisik. Mungkin menghindari pengunjung lain agar tidak mendengarnya.Aku mengingat-ingat kembali. Mungkinkah wanita yang dimaksud Mita adalah Namira?Lalu tiba-tiba tawaku menyembur. Mita jelas terkejut melihatku menertawakannya.“Namira,” sebutku. “Dia saudara kami. Saudara sambung, sih. Semalam memang suamiku mengantarnya pulang. Kan di rumah lagi ada acara ulang tahunnya Tiara.” Aku memberi penjelasan, tapi Mita tak tampak lega.“Kamu percaya pada gadis itu?” tanyanya serius. Dia terus menebarkan pengaruhnya.“Kenapa memangnya?” Aku balik bertanya karena merasa diinterogasi.Mita mendekatkan ponsel miliknya, membuka galeri dan menunjukkan deretan foto-foto di sana.“Mereka memasuki rumah ini," ucapnya sambil menunjuk sebuah rumah yang memang terlihat asing dalam penglihatanku
Tiara melompat-lompat kegirangan sambil menunjuk ke depan. Di mana hamparan pasir membentang di hadapannya.Baru saja menginjakkan kaki di sebuah vila yang dipesan Tama, aku sudah dibuat takjub dengan interior vila mungil ini. Belum lagi keberadaannya yang langsung menghadap ke laut. Membuatku berdecak kagum.Di samping kanan vila terdapat kolam renang dan sebuah paviliun unik khas Bali yang langsung menghadap ke pantai.“Suka?” Tama memelukmu dari belakang.“Hu’um.”Aku masih terkesiap dengan pemandangan yang ada.“Walaupun dekat pantai dan ombaknya tenang, tapi papa gak izinkan kalian mandi di sana, ya?”Aku hendak memprotes, tapi Tama buru-buru menghadapkan aku ke samping kiri.“Ke sini aja kalau mau berenang.”Tama menunjukkan sebuah kolam renang yang menjadi fokusku sejak tadi.“Ini tempat asing. Apapun alasannya, papa nggak mau dibantah,” lanjutnya memperingatkan.“Siap!” jawabku. Tak masalah bagiku, toh demi keselamatan kami.“Sana, ajak Tiara main dulu. Papa mau mengirim kerja
PoV Tama“Pa, mama pakai HP papa tadi buat upload foto. Nanti biarmama aja yang balas komentarnya pake HP mama. Dimatiin aja HP-nya kalau malas berisik dengar notifikasinya.”Lolita berucap sambil memasang dasi. Aku hanya sekali menjawabnya dengan gumaman. Semenjak liburan ke Bali Minggu lalu, Lolita tampaksemakin senang. Apalagi ketika aku mengizinkan menggunakan ponselku untukmengunggah statusnya. Sebab, sebelumnya aku tak pernah memberi izin. Aku perlu meyakinkan Lolita setelah dia bertemu dengan Mita.Sebelumnya, aku memergoki Lolita menemui sahabatnya, Mita. Lolitatak cukup pintar bermain di belakangku. Dia tak mengetahui jika aku memasang GPS yang langsung terhubung ke ponselku sehingga aku mengetahui kemanapun dia pergi.Setelah itu, aku mengendalikan Namira agar jangan dulumeminta untuk bertemu. Dia menyetujui, oleh sebab tugas kuliah yang menumpukdan sebuah pekerjaan yang baru saja aku rekomendasikan kepadanya. Kalau bukan alasan itu, Namira pasti menolak. Dia 'kan keras kep
PoV TamaAku terbangun saat ponsel di bawah bantal berdering.“Pa, alarmnya bunyi tu. Katanya mau lembur.” Lolita berucap dengan mata yang masih terpejam.Pukul sebelas malam. Aku beranjak dari pembaringan. Menyambar piyama yang teronggok di pinggir ranjang, lalu mengenakannya. Segera ke luar kamar menuju ruang kerja.Baru saja hendak membuka pintu, terdengar seseorang melangkahkan memasuki ruang sebelah.Penasaran, aku mengikuti bayang di bawah pencahayaan yang temaram itu.Namira? Ngapain masuk ke ruangan gym.Aku bergerak lebih cepat. Lalu, menyambar tubuh itu dan membungkam mulutnya.“Diam, ini aku!" Aku membawanya masuk ke ruang gym."Mas lepaskan, tapi jangan teriak."Perlahan, aku melepaskan tangan pada bekapan mulutnya."Jahat, ih!" Namira memukul dadaku beberapa kali."Jangan berisik. Nanti ada yang dengar." Aku mengingatkan. "Kenapa? Ada apa datang kemari? Kenapa gak bilang mau datang, hah?"Karena panik, aku melontarkan pertanyaan berulang kali."Salah sendiri ingkar janji.
PoV TamaNamira, satu nama yang tidak asing. Dia gadis yang rapuh, tapi menyenangkan. Dia berjiwa besar untuk menerima takdir menjadi yang kedua saat aku menyetujui keinginannya.Enam bulan lalu, dia terang-terangan menyatakan perasaannya, kedua kali setelah sebelumnya pernah aku tolak. Saat itu, akupun tetap berpegang teguh menolaknya. Sampai pada peristiwa mencengangkan itu terjadi. Lolita menemukan Namira tengah mabuk-mabukan di sebuah bar. Beruntung seorang teman mengabari Lolita, sehingga malam itu juga Namira dijemput paksa dan berdiam di rumah ini.Sayangnya, Lolita terlalu polos untuk bisa menebak sisi lain dari seorang Namira, sehingga hanya aku yang mengetahui jika Namira memang sengaja menjajakan dirinya di sana. Di hadapanku dia mengaku, jika aku tidak memilikinya, maka dia akan menyerahkan dirinya kepada orang lain yang menginginkannya.Dilema. Aku seperti berdiri di antara jurang yang dalam nan terjal. Di mana jika memutuskan bergerak ke kiri atau ke kanan tanpa perhitun
“Ma, apa untungnya mengoleksi video seperti itu. Nanti malah dilihatin Tiara, HP Mama kan sering dipakai Tiara.” Aku memprotes.“Ck, buat seru-seruan, Pa. Sekarang kan lagi viral pelakoran. Gak Cuma di sini, noh di Korea sana, film yang diangkat juga tentang perpelakoran. Oya, Ma, masih suka nonton film Korea?” Lolita bertanya sambil menghabiskan suapan terakhirnya.“Lama gak pernah nonton,” jawab Namira.“Tenang, Mbak punya banyak koleksi. Malah yang lagi trending juga punya.”“Sudah makannya , Ma. Papa mau berangkat ini.” Aku menengahi. Lolita tampak beranjak mendekati Tiara.“Sudah, Pa. Sayang, baik-baik di sekolah, ya?”“Namira mau ikut sekalian?” aku menawarkan. Basa-basi saja sebagai kedok.“Jangan, Namira mesti cuci piring dulu. Kebetulan pembantu lagi sibuk nanam janda bolong di belakang. Nanti yang bersihin ini siapa?”“Loh, Namira kan mau kuliah, Ma. Nanti dia telat, loh.”“Gak pa-pa. Kebetulan jam pertama kosong, kok.”“Tuh, kan. Namira saja nggak pa-pa, kok.”“Ya sudah, pa