PoV Namira
Sebagai wanita kedua, aku merasa lebih beruntung dari istri sahnya. Lihat barang bawaanku, sepatu, tas, baju yang kesemuanya bermerek. Bahkan, aku bisa mentraktir teman-teman kuliahku. Semua yang kunikmati sama dengan istri pertama.
Hanya mobil yang belum kumiliki. Bukan tak mampu membeli, tetapi suamiku melarang aku memilikinya. Sebab, orang-orang bakal mempertanyakan, dari mana uangku itu berasal.
Sudahlah! Terpenting, aku bisa menikmati hidup tanpa kekurangan.
Aku baru saja memasuki rumah, meletakkan barang belanjaan dan mengempaskan tubuh ke ranjang. Aku meraih bantal di sisi kananku, lalu menciumnya. Aroma parfum maskulin masih bisa kubaui.
“Kangen, Mas,” gumamku.
Sudah seminggu ini, Mas Tama tidak datang menemuiku. Alasan klasik, takut istrinya curiga, karena liburan minggu lalu ketika bersamaku, berhasil diendus wanita berlesung pipi itu. Bersyukurnya tidak sampai terbongkar.
Aku pun akhirnya menyetujui ketika Mas Tama meminta menjaga jarak dan menggantikan kekecewaanku dengan mentransfer sejumlah uang. Lumayanlah, buat biaya hidup tiga bulan.
Meskipun Mas Tama memberikan uang banyak, tapi aku tak mau disebut pe***ur. Aku istri yang dinikahi sah secara agama. Walaupun harus pandai-pandai menyembunyikan jati diri dari teman dan juga Mbak Lolita.
Sebenarnya, Mas Tama bukan orang lain dalam kehidupanku. Dia sahabat kakaku, Mas Arif yang meninggal tiga tahun lalu. Aku dititipkan kepada Mas Tama dengan alasan sudah tidak memiliki saudara. Juga karena mas Arif pernah berjasa di kehidupan Tama. Hanya Mas Tama satu-satunya orang yang dipercayainya, sehingga memberikan wasiat untuk menjagaku.
Iya, hanya menjagaku. Itu tidak tahun yang lalu, saat usiaku lima belas tahun.
Tadinya aku tinggal bersama mereka, Mas Tama dan Mbak Lolita, hanya bertahan satu tahun.
Aku memutuskan hidup di kosan, supaya tidak merepotkan, tetapi tidak disetujui oleh keduanya. Kata mbak Lita tak aman bagiku. Lalu, Mas Tama mengontrakkan sebuah rumah khusus untuk kutinggali. Dan akhirnya resmi menjadi rumah pribadiku, tanpa sepengetahuan Mbak Lita.
Mas Tama sangat perhatian. Awalnya yang kuanggap sebagai seorang saudara, aku malah sampai beralih rasa menjadi sayang.
Rasa sayang dan kekaguman gadis pada pria pujaannya, bukan lagi saudara.
Mas Tama pria yang bertanggung jawab, sayang pada keluarga dan sangat pengertian. Setidaknya aku menyadari itu semua ketika tinggal bersamanya.
Rasa yang tak biasa ini menuntut lebih, membuatku harus tak bisa berpikir jernih, sehingga aku pun nekat mengungkapkan perasaanku, tepat diusia tujuh belas tahun.
Di luar dugaan, Mas Tama menolakku. Padahal aku ini lebih cantik dari istrinya. Ia pun sempat marah, saat terang-terangan mengungkapkan bahwa aku rela dijadikan istri kedua.
Kemarahannya tidak hanya diungkapkan dalam kata-kata, tetapi juga tindakan nyata. Mas Tama menjauh dan tak mau lagi menemuiku.
Cukup lama, hampir satu tahun lamanya. Aku frustrasi dan sempat meneguk minuman untuk melupakan sejenak perasaan yang masih ada. Satu tahun bukan waktu yang singkat untuk aku bisa menerima bahwa dia tidak akan bisa aku miliki.
Sayangnya, sifat nakalku meneguk minuman dipergoki oleh istrinya, mbak Lolita, sehingga mau tak mau aku harus kembali lagi bertemu dengan Mas Tama.
Dia marah. Sempat mengurungku di rumah itu dan mengancam tidak akan membiayai kuliahku setelah ini jika aku tidak bisa diatur.
Aku seperti tersihir oleh ucapannya. Kembali bersikap manis selayaknya seorang adik.
Namun, lagi-lagi masalah hati membuatku kembali mengungkapkan perasaan. Kali ini, aku nekat mendatangi rumahnya dan berdiam di sana sampai beberapa hari. Ternyata kehadiranku di sana tidak mendapat sambutan yang baik dari mas Tama. Malahan, dia semakin menjauhiku.
Aku memutuskan pulang dengan perasaan hancur. Ingin rasanya mengakhiri hidup, karena tak ada seorang pun yang perduli. Tanpa disangka-sangka, Mas Tama menyusulku.
Kami berada dalam kegamangan, tanpa ucapan atau permintaan apa-apa, keesokan harinya Mas Tama membawaku pada seorang penghulu. Aku terkejut, karena di sana sudah dipersiapkan segala sesuatunya sebagai persiapan ijab qobul.
Di hari yang sama, aku dinikahi secara siri. Tak mengapa bagiku, karena aku juga mendapat bagian yang sama dengan istri pertama.
Terhitung sudah empat bulan aku menjadi istrinya. Hidup bergelimang harta dan tak kurang kasih sayang. Mas Tama memberiku semua yang ia punya. Bahkan sama bagian yang diberikan kepada Mbak Nita.
Sekarang, merasa di atas angin. Apalagi Mas Tama juga semakin menyayangiku.
**
Siang ketika menuruni tangga di kampusku, seseorang memanggil jadi arah belakang.
“Namira!”
“Mbak Lita.” Aku terkejut. Keringat dingin membasahi pilipisku.
Jangan-jangan dia ....
“Sudah lama gak ketemu. Aku sengaja menjemputmu. Masuk ke mobil, yuk!”
Aku memenuhi ajakannya dengan hati berdebar-debar. Dari gelagatnya, mbak Lita menunjukkan sikap yang bersahabat, tapi ....
“Hei, melamun aja! Kenapa? Kamu sakit, Na?”
“Eh, gak, Mbak. Gak pa-pa,” jawabku gugup.
Kami menuju kediamannya, rumah yang pernah aku tinggali. Mbak Lita memintaku untuk membantu menghiasi ruangan untuk ulang tahun Tiara, putri mereka.
Memasuki halaman rumahnya, aku menjadi bimbang. Tidak seperti dulu. Di mana rumah ini menjadi tempat ternyaman, tetapi saat ini menjadi tempat menakutkan. Sebab, aku mendatangi sarang macan.
Aku tak dapat membayangkan jika sampai mbak Lita tau kalau aku adalah wanita selingkuhan suaminya.
“Tante ...!”
Seorang anak kecik datang menghampiriku, Tiara.
“Hei, apa kabar?” tanyaku basa-basi.
Tiara menyambutku dengan peluk kerinduan dan berceloteh banyak hal. Aku mendengarkan dengan baik, memang seharusnya begitu, kan? Papanya saja bisa aku taklukkan Semestinya, Tiara juga begitu. Bukankah ini awal yang baik agar aku bisa semakin dekat dengan keluarga ini. Tentu saja berbeda tujuan. Jika dulu kedatanganku sebagai tamu, tetapi saat ini berperan sebagai madu.
.
Sudah banyak balon-balon yang kutiup. Pipiku sampai sakit. Hiasan di dinding sudah selesai terpasang. Bahkan aku membantu hanya sedikit, selebihnya ada pembantu dan baby sitter yang menangani.
Aku lebih disibukkan bermain dengan Tiara. Membuat sup buah dan membuat sereal kesukaannya.
Saat kami sibuk berceloteh, tiba-tiba aku dihadapkan pada pemandangan yang membuat jantungku hampir terlompat dari tempatnya.
Bagiamana tidak? Aku melihat Mbak Lita bergelayut manja di lengan kokoh itu, sengaja merapatkan tubuhnya. Laki-laki yang bersamanya yang juga suamiku itu sedang menatapnya dengan penuh cinta. Bahkan di hadapanku, keduanya mengumbar kemesraan dengan mencubit hidung mbak Lita dan menyibakkan rambutnya. Lalu, mencium pipi dengan manja.
Hatiku terbakar, panas dan rasanya ingin meledak.
“Malu, ah! Dilihatin Namira itu.”
Mbak Lita menunjukkan. Seketika itu juga, Mas Tama menoleh dan bersitatap denganku. Jelas, dia terkejut. Sangat terkejut.
Aku pun demikian, tetapi cepat menguasai keadaan. Sedangkan Mas Tama tak berani lagi memandangku.
Aku sakit. Bahkan dia membuang muka. Apakah sehina ini menjadi yang kedua? Kenapa sesakit ini luka yang harus kutuai? Padahal, semestinya kudapatkan senyum yang sama seperti Mbak Lita. Senyum kebebasan di atas kesenangan yang tidak dibuat pura-pura.
****
PoV NamiraHatiku terbakar, panas dan rasanya ingin meledak.“Malu, ah! Dilihatin Namira itu.”Mbak Lita menunjukku. Seketika itu juga, Mas Tama menoleh dan bersitatap langsung denganku. Jelas, dia terkejut. Sangat terkejut.Aku pun demikian, tetapi cepat menguasai keadaan. Sedangkan Mas Tama tak berani lagi memandangku. Bahkan dia membuang muka.Aku sakit. Apakah sehina ini menjadi yang kedua? Kenapa sesakit ini luka yang harus kutuai? Padahal semestinya, kudapatkan senyum yang sama seperti Mbak Lita. Senyum kebebasan di atas kesenangan yang tidak dibuat pura-pura.“Na, kamu tadi bikin apa?”Aku gelagapan ketika Mbak Lita menanyaiku.“Em, sub buah sama puding, Mbak,” jawabku.“Bawa sini, gih. Kita makan sama-sama. Oya, mama panggil Tiara dulu ya, Pa? Lagi mandi kayaknya.”Mas Tama mengangguk sambil berpura-pura memainkan ponsel.Mbak Lita meninggalkan ruang makan. Kini tinggal kami berdua. Mas Tama sedang duduk di kursi, menghadap meja. Aku berada di depan kulkas, mengeluarkan puding
PoV Namira Aku menaiki mobil Mas Tama, hanya berdua saja. Mbak Lita melambaikan tangan, masih tampak berdiri di teras rumah sampai bayang tubuhnya tak terlihat lagi. Aku tersentak ketika Mas Tama meraih jemariku. “Dingin tanganmu.” Dia membawa dalam genggaman. Aku menikmati dengan segenap rasa. Rindu yang teramat dalam ini seakan mampu mengesampingkan kemarahan yang tadinya minta ditumpahkan. “Maaf, Mas tadi cuek. Sebenarnya gak tega melihatmu diabaikan seperti tadi,” ucapnya. Aku seperti mereview kejadian tadi yang membuatku terlihat sangat bodoh. “Lain kali gak usah minta Mbak Lita untuk menjemput ke kampus dan minta bantuan ngurus ini dan itu. Aku sudah seperti kacung di rumah suamiku sendiri.” Aku mengadu. “Maaf, Sayang. Tapi mas gak pernah menyuruh Lita buat mendatangi kampusmu. Mungkin dia kangen sama kamu. Kan sudah lama kamu nggak pernah main ke rumah.” “Cih, untuk apa? Aku juga punya rasa khawatir kali, Mas. Masa mendatangi kandang macan.” “Jangan gitu dong, Sayang.
PoV LolitaJam berdentang dua belas kali, saat aku memutuskan memasuki kamar. Tadinya berdiam di kamar Tiara sambil menunggu Tama, tapi belum tampak juga. Bahkan ponselnya tidak aktif. Kebiasaan.Seperti inilah Tama akhir-akhir ini. Tiba-tiba pamit pergi, lalu pulang lewat tengah malam. Ke mana lagi kalau bukan pergi sama Roy, kaki tangannya yang sangat dia percayai.Ya sudahlah, toh semua demi pekerjaannya.Aku merebahkannya diri. Membuka-buka galeri, memilih foto-foto yang paling menarik untuk kuunggah ke Facebook.Ternyata Namira pintar mengambil gambar, rata-rata foto yang dihasilkannya bagus-bagus. Aku sampai bingung memilihnya.Mata semakin berat saja, malah enggan untuk beralih posisi. Aku menggeletakkan ponsel di samping kiri. Lalu, menikmati buaian malam.*Hawa dingin membuatku terbangun. Lupa merapatkan selimut. Tiba-tiba perasaanku tak enak, kemana Tama?Aku mengerjab, meraih ponsel dan melihat jam di sana terpampang angka dua.Aku memeriksa aplikasi perpesanan. Tama mengi
“Iya, Tama memang pergi semalam,” akuku.Aku mulai terfokus menunggu ucapan Mita selanjutnya. Dia mencurigakan Tama, apa alasannya?“Aku melihatnya bersama wanita di sebuah rumah,” ucapnya pelan dengan suara berbisik. Mungkin menghindari pengunjung lain agar tidak mendengarnya.Aku mengingat-ingat kembali. Mungkinkah wanita yang dimaksud Mita adalah Namira?Lalu tiba-tiba tawaku menyembur. Mita jelas terkejut melihatku menertawakannya.“Namira,” sebutku. “Dia saudara kami. Saudara sambung, sih. Semalam memang suamiku mengantarnya pulang. Kan di rumah lagi ada acara ulang tahunnya Tiara.” Aku memberi penjelasan, tapi Mita tak tampak lega.“Kamu percaya pada gadis itu?” tanyanya serius. Dia terus menebarkan pengaruhnya.“Kenapa memangnya?” Aku balik bertanya karena merasa diinterogasi.Mita mendekatkan ponsel miliknya, membuka galeri dan menunjukkan deretan foto-foto di sana.“Mereka memasuki rumah ini," ucapnya sambil menunjuk sebuah rumah yang memang terlihat asing dalam penglihatanku
Tiara melompat-lompat kegirangan sambil menunjuk ke depan. Di mana hamparan pasir membentang di hadapannya.Baru saja menginjakkan kaki di sebuah vila yang dipesan Tama, aku sudah dibuat takjub dengan interior vila mungil ini. Belum lagi keberadaannya yang langsung menghadap ke laut. Membuatku berdecak kagum.Di samping kanan vila terdapat kolam renang dan sebuah paviliun unik khas Bali yang langsung menghadap ke pantai.“Suka?” Tama memelukmu dari belakang.“Hu’um.”Aku masih terkesiap dengan pemandangan yang ada.“Walaupun dekat pantai dan ombaknya tenang, tapi papa gak izinkan kalian mandi di sana, ya?”Aku hendak memprotes, tapi Tama buru-buru menghadapkan aku ke samping kiri.“Ke sini aja kalau mau berenang.”Tama menunjukkan sebuah kolam renang yang menjadi fokusku sejak tadi.“Ini tempat asing. Apapun alasannya, papa nggak mau dibantah,” lanjutnya memperingatkan.“Siap!” jawabku. Tak masalah bagiku, toh demi keselamatan kami.“Sana, ajak Tiara main dulu. Papa mau mengirim kerja
PoV Tama“Pa, mama pakai HP papa tadi buat upload foto. Nanti biarmama aja yang balas komentarnya pake HP mama. Dimatiin aja HP-nya kalau malas berisik dengar notifikasinya.”Lolita berucap sambil memasang dasi. Aku hanya sekali menjawabnya dengan gumaman. Semenjak liburan ke Bali Minggu lalu, Lolita tampaksemakin senang. Apalagi ketika aku mengizinkan menggunakan ponselku untukmengunggah statusnya. Sebab, sebelumnya aku tak pernah memberi izin. Aku perlu meyakinkan Lolita setelah dia bertemu dengan Mita.Sebelumnya, aku memergoki Lolita menemui sahabatnya, Mita. Lolitatak cukup pintar bermain di belakangku. Dia tak mengetahui jika aku memasang GPS yang langsung terhubung ke ponselku sehingga aku mengetahui kemanapun dia pergi.Setelah itu, aku mengendalikan Namira agar jangan dulumeminta untuk bertemu. Dia menyetujui, oleh sebab tugas kuliah yang menumpukdan sebuah pekerjaan yang baru saja aku rekomendasikan kepadanya. Kalau bukan alasan itu, Namira pasti menolak. Dia 'kan keras kep
PoV TamaAku terbangun saat ponsel di bawah bantal berdering.“Pa, alarmnya bunyi tu. Katanya mau lembur.” Lolita berucap dengan mata yang masih terpejam.Pukul sebelas malam. Aku beranjak dari pembaringan. Menyambar piyama yang teronggok di pinggir ranjang, lalu mengenakannya. Segera ke luar kamar menuju ruang kerja.Baru saja hendak membuka pintu, terdengar seseorang melangkahkan memasuki ruang sebelah.Penasaran, aku mengikuti bayang di bawah pencahayaan yang temaram itu.Namira? Ngapain masuk ke ruangan gym.Aku bergerak lebih cepat. Lalu, menyambar tubuh itu dan membungkam mulutnya.“Diam, ini aku!" Aku membawanya masuk ke ruang gym."Mas lepaskan, tapi jangan teriak."Perlahan, aku melepaskan tangan pada bekapan mulutnya."Jahat, ih!" Namira memukul dadaku beberapa kali."Jangan berisik. Nanti ada yang dengar." Aku mengingatkan. "Kenapa? Ada apa datang kemari? Kenapa gak bilang mau datang, hah?"Karena panik, aku melontarkan pertanyaan berulang kali."Salah sendiri ingkar janji.
PoV TamaNamira, satu nama yang tidak asing. Dia gadis yang rapuh, tapi menyenangkan. Dia berjiwa besar untuk menerima takdir menjadi yang kedua saat aku menyetujui keinginannya.Enam bulan lalu, dia terang-terangan menyatakan perasaannya, kedua kali setelah sebelumnya pernah aku tolak. Saat itu, akupun tetap berpegang teguh menolaknya. Sampai pada peristiwa mencengangkan itu terjadi. Lolita menemukan Namira tengah mabuk-mabukan di sebuah bar. Beruntung seorang teman mengabari Lolita, sehingga malam itu juga Namira dijemput paksa dan berdiam di rumah ini.Sayangnya, Lolita terlalu polos untuk bisa menebak sisi lain dari seorang Namira, sehingga hanya aku yang mengetahui jika Namira memang sengaja menjajakan dirinya di sana. Di hadapanku dia mengaku, jika aku tidak memilikinya, maka dia akan menyerahkan dirinya kepada orang lain yang menginginkannya.Dilema. Aku seperti berdiri di antara jurang yang dalam nan terjal. Di mana jika memutuskan bergerak ke kiri atau ke kanan tanpa perhitun