Lepas pukul tujuh malam, Keenandra dan Amira tiba di depan rumah yang selama ini ditempati Amira dan Citra. Mereka masih berada di dalam mobil tanpa ada niat untuk turun. Amira rupanya masih betah berada dekat dengan calon suaminya. Walau keheningan melanda tanpa ada percakapan sama sekali.
"Aletta telah bertindak nekat. Aku jadi bingung, kenapa dia bisa berbuat seperti itu?" tiba-tiba suara Keenandra memecah keheningan. Amira menoleh membiarkan calon suaminya mengoceh tanpa henti. "Secinta itukah dia sama aku?""Dia sama seperti kamu," ucap Amira. Kini giliran Keenandra yang menoleh dengan raut wajah bingung menatap wanita yang dicintainya itu. "Sama seperti kamu yang menggenggam karena masa lalu.""Maksud kamu?""Dia pasti tak pernah bercerita tapi aku tahu semua kisah cintanya saat masih remaja." Amira menghela napasnya sejenak. "Dia, pernah ditinggalkan oleh seseorang yang ia anggap adalah cinta sejatinya. Entah apa alasannya hingga membuaMenghabiskan waktu bersama seseorang yang disayangi, sangatlah menyenangkan. Terlebih lagi, orang itu adalah orang yang pernah membawa kita kepada kebahagiaan setelah melewati berbagai kesedihan. Satu kenangan manis yang terukir, mampu membuat segalanya begitu indah. Amira dan Keenandra menghabiskan minggu terakhir mereka sebelum resmi menjadi sepasang suami istri. Tak ada tamu, tak ada telpon, tak ada orang yang akan mengganggu mereka hari ini. Pintu luar dikunci rapat. Hanya ada suara berisik televisi dan dapur. Amira sedang membuat kue kesukaan Keenandra hari ini. "Terlalu manis," ujar Amira mencicipi satu potong brownies yang ia buat tadi pagi. Keenandra mengunyahnya tanpa kata tapi satu jari tangannya menyukainya. "Enak kok. Enggak masalah walau terlalu manis." Keenandra menyukai manis, pantas saja ia bilang rasanya tak masalah. "Nonton film horror dong." Keenandra menggelengkan kepalanya. "Seru tahu, siang begini nonton horor." "Kamu lagi hamil. Kalau mau, nonton film dram
Jantung Amira berdebar kencang, rasanya seperti akan jatuh ke perut. Lima menit lagi acara dimulai dan dia masih terdiam di dalam ruangan menunggu prosesi ikrar selesai dibacakan. Citra ikut terlihat resah, ia dengan setia menemani Amira memegangi tangannya yang dingin dan basah. Amira sangat gugup.“Jangan takut, Mbak. Mas Keenan adalah yang terbaik,” hibur Citra dengan senyumannya yang manis. Amira tersenyum lega.“Keenan sudah selesai. Kamu bisa keluar.” Andrew berdiri di depan pintu menyambut adiknya yang masih duduk diam di atas ranjang. “Sangat gugup?” Amira mengangguk.Andrew menggandeng tangan sang adik dan membawanya keluar ruangan dengan langkah tegapnya. Semua undangan yang hadir menyambut bahagia pasangan Keenandra yang baru itu. Amira duduk di samping Keenandra yang kini resmi menjadi suaminya. Keduanya tersenyum saling bicara lewat mata dan sentuhan tangan. Citra hampir saja berteriak heboh melihat interaksi mereka berdua.Pesta pernikahan digelar cukup meriah. Ini adala
Pesta terus berlanjut hingga menjelang malam. Saat tamu undangan telah pulang sebagiannya, Aletta yang belum beranjak dari tempat duduk tiba-tiba saja berdiri dan melangkah ke panggung pelaminan. Sam dan Andrew juga Andrinov ikut berjaga-jaga. Mereka takut Aletta berbuat macam-macam di atas sana.Dan benar saja, Aletta berdiri dengan tangan berada di pinggang lalu berteriak cukup keras. Tamu undangan yang belum pulang menoleh ke arahnya.“Oh, ini yang kemarin sudah merebut suami orang? Selamat ya, atas pernikahannya. Pasti senang karena sudah berhasil menjadikan Keenan sebagai suami kamu.” mata Aletta tertuju pada Amira, bibirnya menyeringai. “Senang kan?”Andrinov dan Sam berlari ke atas panggung, memegang tangan Aletta dan membawanya turun tapi wanita itu memberontak dengan suara yang cukup keras. Ia tak mau dipaksa turun.“Lepas! Kalian sama saja dengan Amira yang telah merusak rumah tangga aku dan Keenan!” teriaknya
Empat bulan berlalu sejak pernikahan Amira, perut yang kemarin rata kini mulai membulat sempurna. Amira semakin protekti, begitu juga dengan Keenandra. Setiap harinya, suami Amira itu selalu membuatkan makanan sehat untuknya sarapan dengan menu khusus untuk ibu hamil. Sedikit bosan, tapi Amira sangat senang saat melahapnya.“Enak?” Amira mengangguk. “Aku bawakan cemilan untuk kamu di kantor. Untuk makan siang, sudah aku pesan di catering yang aman.”“Sudah diganti menunya?” tanya Amira.“Sudah. Kamu bosan udang kan? Aku ganti tumis daging.” Amira tersenyum mendengar Keenandra sangatlah peka dengan segala kode yang diberikan olehnya. Padahal, Amira tak terus terang kalau dia bosan dengan makanannya.“Akhir-akhir ini aku tuh pengin banget teh dingin. Kamu tahu kan teh yang dicampur mawar itu? Aku pengin dibeliin sama kamu,” rengek Amira merayu dengan kedua mata bulatnya yang berkedip-kedip.“Mau aku belikan?”Amira mengangguk senang. Matanya berbinar cerah. “Teman aku ada yang mau pulang
Amira dan Citra tiba di sebuah gedung perkantoran besar yang tengah mengadakan sebuah pameran produk lokal. Produk mereka juga akan dipamerkan di sana. Tak ada perubahan, pelanggan produknya masih tetap banyak. Sepertinya mereka tak begitu terpengaruh dengan rumor yang berkembang tentang kehidupan pribadinya dan Keenandra.Mungkin mereka tak tertarik, hanya Aletta saja yang tertarik.“Bu Amira!” teriak seseorang dari arah meja pameran. Amira menoleh ke belakang mencari orang itu. “Bu Amira!” orang itu berteriak lagi lalu berlari menghampiri Amira.“Bu, ingat saya tidak?” tanya orang itu yang kini berdiri di depan Amira dengan wajah kelelahannya.“Saya lupa. Maaf ya, faktor umur,” kekeh Amira.“Saya Susi, bu. Saya dulu sales di kantor pusat. Sekarang saya naik jadi supervisor di cabang.” Amira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia memang banyak merekrut sales beberapa tahun lalu t
"Sudah diputuskan." Ardiwira menarik napas panjang sejenak lalu mengembuskannya perlahan. Ruangan keluarga itu dipenuhi aura menegangkan sejak satu jam yang lalu. Ada lebih dari lima anggota keluarga berkumpul dengan raut wajah sulit diartikan. Amira duduk tak jauh dari tempat Ardiwira berbicara saat ini. Tangannya mengepal di atas lututnya yang rapat dengan punggung sedikit membungkuk. Jantungnya berdetak kencang menunggu hasil perundingan keluarga besar Winata tadi malam. "Jangan mengulur waktu. Semua sudah penasaran," protes Sonia, istri Ardiwira yang sedang berdiri tegap di depan sana. "Baiklah. Sesuai dengan wasiat dari mendiang tuan El Pasha, beliau menuliskan surat berharga yang menyatakan bahwa cucu pertama keluarga Winata harus menikah dengan cucu pertama keluarga El Pasha. Oleh sebab itu, maka rencana pernikahan Keenandra dan Amira resmi dibatalkan." Jantung Amira serasa turun dari tempatnya. Kenyataan pahit harus diterimanya saat jati dirinya terkuak di depan publik ji
Kain halus berbalut manik berkilauan bagai kristal itu terpasang apik di tubuh Aletta, adik Amira yang akan menikah dengan salah satu pria terbaik di kota ini. Pria yang telah lama menjadi kekasih Amira dan kini harus tersematkan namanya di atas kertas bersanding dengan Aletta. Pria itu bernama Keenandra. Pria yang telah menemani Amira selama tujuh tahun terakhir. Ia tak direstui menikah dengan Amira karena satu hal yang membuatnya tak bisa menerima kenyataan itu hingga hari ini. Amira bukanlah anak kandung pasangan Ardiwira dan Sonia. Kenyataan pahit itu diperparah dengan kehadiran Andrinof, kakak sepupunya yang ternyata mencintai Amira. Hari ini, hari bahagia pernikahan Keenandra dan Aleeta dan Amira datang sebagai tamu bukan sebagai keluarga pendamping. "Mira, nanti kamu masuk lewat pintu belakang ya. Om sama tante akan lewat gapura depan. Awas, jangan lewat di sebelah sana," Sonia dengan gaya khasnya memberi peringatan pada Amira. Wanita cantik itu hanya menunduk dan menganggu
Menyesal, Keenandra menyesal telah meninggalkan Amira yang membutuhkannya saat itu. Mengapa pula ia langsung terlibat dalam perjodohan yang seharusnya tak terjadi di kehidupannya. Melihat kesedihan di wajah Amira tadi, ia yakin bahwa wanita yang dicintainya itu masih sangat mengharapkan dirinya. Takdir begitu bodoh telah menghancurkan semua yang ia miliki. Pukul sebelas malam, Keenandra baru masuk ke dalam kamar tidur menyusul Aletta yang telah lebih dulu masuk. Tak ada yang istimewa, Keenandra hanya melihat ruangan putih yang telah dihias dengan bunga dan wewangian parfum yang menusuk hidung. Begitu ia masuk, Aletta yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu kamar mandi tiba-tiba datang dan melonjak memeluk pinggang Keenandra dari belakang. Bibirnya tersenyum. Sedikit berjinjit, ia berbisik di telinga Keenandra. "Sayang, aku sudah tunggu dari tadi. Kamu lama banget. Aku—" "Panggil aku kak." Keenandra melepas tangan yang melilit pinggangnya, menghempasnya ke bawah. "Kita tidak pe