"Apa?! Dia belum juga keluar dari kamar?!"
Dua pelayan wanita itu menunduk ketakutan, mereka hanya takut jika tuannya salah mengira bahwa mereka sengaja membiarkan Angela tertidur hingga malam hari, padahal sudah tidak terhitung berapa kali mereka mengetuk pintu kamar Angela dan tidak ada sahutan darinya.
Sebastian menarik dasinya, meregangkan lehernya yang tiba-tiba terasa tercekik. Niat untuk berendam air hangat sambil menikmati segelas wine seketika buyar. Tanpa mengganti bajunya, ia segera naik ke lantai tiga, tempat di mana kamarnya dan Angela berada.
Tok! Tok!
"Angela??"
Tidak ada sahutan dari dalam.
"Hey, buat apa meminta pelayan mengantarkan makanan jika sama sekali tidak kamu sentuh? Merepotkan orang saja!"
Ia sengaja memancing emosi Angela, berharap wanita itu menjawab ucapannya dengan kemarahan seperti biasa. Namun hingga beberapa detik berlalu, Angela tidak mengatakan apapun.
Perasaan khawatir menyelimuti hati Sebastian. Ia segera merogoh kunci kamar Angela yang selalu dibawanya kemanapun.
Saat pintu terbuka, kamar tampak gelap. Hanya ada lampu tidur yang dibiarkan menyala. Mata Sebastian memicing, berusaha beradaptasi dengan kegelapan.
Melihat Angela yang masih tertidur dengan selimut tebal menutupi hampir seluruh tubuhnya membuat Sebastian kesal. Ia sudah berpikiran jika Angela kabur atau gantung diri di kamar. Tapi lihatlah, dengan enaknya dia tidur. Tidak memperdulikan teriakannya sedari tadi.
"Hey, Angela. Mau sampai kapan kamu tidur?"
Tidak ada jawaban. Kening Angela hanya sedikit berkerut, bibirnya bergetar.
Ada apa dengannya? Apa dia sakit?
Jemari Sebastian hendak meraba kening Angela, namun ia ragu. Ia takut Angela bangun dan malah berpikiran buruk tentangnya.
"Kamu baik-baik saja, Angela?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut.
Tubuh Angela gemetar kedinginan, tangannya menarik selimut menutupi separuh wajahnya.
Sebastian mendadak panik, ia segera menyalakan lampu kamar. Saat cahaya dengan sempurna menerangi ruangan, ia bisa melihat jelas wajah Angela yang memerah. Bibirnya berkali-kali mengigau kesakitan.
Tanpa pikir panjang, jemari Sebastian meraba kening Angela dan mendapati suhu tubuh wanita itu sangat tinggi. Ia segera berlari ke kamarnya, mengambil kotak obat lalu kembali ke kamar Angela.
Sebelum kembali ke kamar Angela, ia berteriak pada pelayan, "Bawakan aku bubur dan air hangat ke kamar! Cepat!!"
Gerak tangannya terampil mengambil air hangat dan memeras handuk kecil. Dengan sangat hati-hati menaruh handuk itu di kening Angela.
Ia mengambil obat penurun panas dan berbisik pelan, "Bangun, Angela. Minum obat ini."
Mata Angela memicing, ia memandangi wajah Sebastian, "Garvin?"
"Ya, minum dulu obatnya." Sebastian tersenyum getir.
Angela menurut, ia mengambil obat dari tangan Sebastian dan meminumnya. Setelah minum obat, ia kembali berbaring. Matanya sangat enggan untuk terbuka.
"Tuan, ini bubur yang anda minta," seorang pelayan wanita sudah berdiri di sampingnya.
Sebastian mengangguk. Gerak tangannya meminta pelayan itu pergi.
"Makan dulu, Angela. Perutmu perlu diisi."
"Aku ingin tidur..."
"Setelah makan, kamu bisa tidur."
Angela beringsut malas, ia membetulkan rambut panjangnya yang menutupi wajah cantiknya. Setengah kesal saat rambutnya tidak juga mau menurut.
Sebastian tersenyum, ia memegang tangan Angela, "Biar aku bantu..."
Tangan kiri Sebastian mengalihkan rambut Angela ke arah kanan, membuat matanya seketika terpaku pada leher jenjang milik Angela.
Hanya beberapa detik hingga ia bisa menguasai dirinya kembali. Dengan penuh kelembutan ia menyuapi Angela. Mengelap bibirnya yang belepotan bubur dan tersenyum saat Angela menahan kantuk sambil mengunyah makanan.
"Bagaimana bisa kamu sakit sendirian seperti ini? Padahal kamu bisa memanggilku.."
Angela tersenyum, ia berusaha membuka matanya, menatap wajah tampan pria di depannya, "Aku tahu kamu sibuk, Sayang. Aku tidak ingin mengganggumu."
"Aku senang jika kamu menggangguku."
Angela mengerjapkan matanya, pandangan matanya sedikit kabur. Ia melihat Garvin di depannya, tapi kenapa suaranya berbeda? Dan mengapa lebih lembut dari biasanya?
"Aku selalu suka saat seperti ini. Aku suka meminum obat itu. Karena obat itu, aku selalu melihatmu, kamu selalu datang untukku."
Jari lentik Angela meraba wajah Sebastian, mengusap pipinya dengan lembut, "Tidak bisakah kenyataan sama dengan mimpi indah ini?"
"Kamu yakin ini mimpi?" suara Sebastian serak. Tangannya sudah dari tadi berhenti menyuapi Angela.
"Aku tidak melihatmu ketika pagi hari, bukankah ini mimpi?"
"Kamu ingin aku disini sampai pagi?"
Angela mengangguk seperti anak kecil yang baru saja dibelikan permen, "Kau tahu, kepalaku pusing sekali. Tapi untuk melihatmu lagi, aku sengaja meminum obat tidur lagi. Dan lihatlah, kini kamu pun datang kembali..."
"Kamu tidak membutuhkan obat tidur untuk melihatku, Angela."
Sebastian tidak bisa menahan dirinya, ia melingkarkan tangannya di pinggang Angela dan menarik tubuhnya hingga jarak diantara mereka semakin menyempit.
Napas hangat Angela tiba-tiba menyapa telinganya. Menyalurkan sebuah gelombang aneh dalam hatinya. Membuat bibirnya tanpa sadar mendekat dan mencium aroma tubuh Angela yang begitu memikat.
"Cium aku, Sayang..." lirih suara Angela.
"Bolehkah?" Deru nafas Sebastian yang sangat dekat di lehernya membuat Angela merinding. Tubuhnya dengan sangat cepat terbiasa dengan sentuhan pria itu di lehernya. Dalam hatinya merasa aneh, mengapa sentuhan pria ini terasa berbeda? Ia merasa sangat nyaman.
Angela mengedikkan bahu, kala bulu-bulu tipis menyentuh kulitnya. Sebastian dengan cepat memegang pinggul Angela dan mengangkat tubuhnya hingga berpindah ke atas pangkuan.
Angela menjerit tertahan, ia memegang kepalanya.
"Ya Tuhan, maafkan aku, Angela. Kamu baik-baik saja?" tanya Sebastian panik. Tangannya mengelus kepala Angela sambil menatap matanya khawatir.
Angela tersenyum, "Ini aneh, dulu kamu tidak pernah peduli apapun yang kurasakan."
"Apa?" wajah Sebastian nampak bingung.
Senyuman Angela berkembang, jari lentiknya dengan lihai meraba jas warna grey yang masih menempel di kulit Sebastian, bermaksud agar pria itu melepaskan jasnya. Membuat Sebastian ragu, apakah ia harus menuruti Angela yang masih dalam pengaruh obat dan alkohol?
"Aku rindu pelukanmu, Sayang. Maukah kamu memelukku?"
Lalu tanpa aba-aba Angela menyambar bibirnya. Mencumbunya tanpa ampun dan jeda, membuat Sebastian sejenak tidak mengenal siapa wanita yang sedang ada di atas pangkuannya saat ini. Suhu tubuh Sebastian meningkat, perlahan menjadi panas membara.
Adanya Angela di atas pangkuannya membuat ia bisa menyadari dengan jelas dorongan dari senjata laras panjang yang mulai mengembang, menunjukkan kegagahannya di bawah sana.
"Mmhh..." Lenguh suara Angela membuat hasratnya makin membara.
Saat Angela membimbing tangan Sebastian menuju dadanya, ia merasakan kedua benda yang terasa padat dan kenyal saat menyentuh kulitnya. Akal sehat Sebastian mendadak mati. Ia sudah tidak peduli Angela menganggap ia Garvin, yang jelas tubuhnya sangat menginginkan Angela sekarang juga.
Menyadari senjata pria ini sudah siap bertempur, Angela melepaskan bibir Sebastian, dengan sengaja memainkan emosi pria di depannya, "Kamu menginginkanku, Sayang?"
Mata Sebastian sayu, ia memandangi Angela dengan pandangan seakan ingin melahapnya sekarang juga, "Sangat! Aku sangat menginginkanmu, Angela."
Menyadari dirinya sebagai pemimpin permainan, Angela tersenyum menang, ia melepaskan piyamanya, membuat tubuh polosnya terekspos sempurna.
"Kamu tidak memakai celana dalam?!" tanya Sebastian kaget.
"Kenapa? Hanya ada aku di kamar. Laki-laki brengsek itu tidak akan bisa memasuki kamarku, Sayang.."
"Apa?" Sebastian menarik tangannya dari pinggang Angela, "Laki-laki brengsek?"
"Sebastian Evan Sanders! Siapa lagi kalau bukan dia?!"
Sialan! Perempuan sialaaann!!Dorongan yang menggebu-gebu seketika menghilang. Menyisakan rasa sakit yang menyesakkan dada."Kenapa, Sayang?" tanya Angela dengan wajah polosnya. Ia tidak mengerti mengapa pria itu tiba-tiba marah.Dengan hati-hati Sebastian mengangkat tubuh Angela lalu kembali membaringkannya ke atas tempat tidur."Mungkin aku sudah gila. Bisa-bisanya aku berharap lebih."Saat melihat pria itu membalikkan badan hendak pergi, Angela panik. Dengan cepat tangannya menyambar lengan Sebastian, mencegahnya pergi.Terdengar helaan nafas berat dari Sebastian, ia menoleh ke arah tangannya yang dipegang erat oleh Angela, "Sebaiknya kamu istirahat, Angela.""Temani aku, Garvin. Please..."Emosi Sebastian kian memuncak. Ia sangat muak mendengar nama Garvin. Dengan emosi yang meluap, ia membalikkan badannya, hendak memaki wanita yang ada di depannya. Namun saat matanya menatap manik mata berwarna coklat milik Angela, kemarahannya lenyap. Bagaimana mungkin ia tega memarahi wanita me
Emosi yang memuncak membuat kepala Sebastian sakit. Dengan penuh kemarahan ia membawa langkah kakinya ke lantai lima, tempat dimana tempat gym pribadinya berada.Ia perlu menyalurkan amarah ini sebelum membuat orang lain terluka.Saat lift membawanya sampai di lantai lima, ia langsung memilih untuk menyalurkan emosinya pada samsak tinju.BUG!!Jemari kokoh Sebastian meninju dengan kekuatan penuh samsak yang tergantung di depannya.Berani-beraninya ia membentakku berulang kali!!BUG!!Dia pikir aku mau memasuki kamarnya secara sukarela jika tidak karena aku khawatir padanya?!BUG!!Sialaaann!! Andai aku bisa membuang perasaan cinta sialan ini!!BUG!!WANITA SIALAN!! Jika ia begitu membenciku, mengapa ia masih tinggal di rumahku?!!BRAAKK!!Samsak tinju pecah berantakan. Mengeluarkan isinya yang berhamburan mengenai lantai sekaligus sepatu sneakers Sebastian. Membuat mulutnya berkali-kali mengumpat penuh kemarahan."AAARGHHH!!!"Dering handphone membuat kekesalan Sebastian memuncak. Ia
Angela menutup pintu kamarnya dengan kasar. Deru nafas yang memburu membuat tangannya tanpa sadar memegang wajahnya yang memanas.Ada apa ini? Ada apa denganku?Semua sel di dalam otaknya bekerja keras memahami situasi apa yang sedang terjadi. Saat ia sampai pada satu kesimpulan, hatinya berteriak keras menolak kenyataan."Tidak mungkin! Tidak mungkin aku mulai menyukai laki-laki brengsek seperti dia! Otakku memang sering bermasalah akhir-akhir ini."Ingatannya beralih pada kejadian malam itu, tiga tahun lalu. Saat Ayahnya memerintahkan Angela untuk pulang bersama dengan Sebastian setelah mereka menghadiri acara ulang tahun BCB Royal Bank yang ke 155 tahun.Ayahnya yang selalu saja mendekatkan ia dengan Sebastian. Bahkan sebelum pergi ke pesta, ia harus menahan rasa tidak nyaman memakai gaun pemberian ayahnya yang terlalu terbuka. Walau bagaimanapun, ia tidak begitu suka memakai gaun yang terlalu terbuka.Angela tidak mempunyai pilihan lain. Ia sangat menyayangi ayahnya dan berjanji p
#12BCB Royal Bank adalah bank terbesar sekaligus perusahaan terbesar di Kanada. BCB adalah merek dagang utama yang digunakan untuk semua unit usaha dan anak perusahaannya.Didirikan pada tahun 1865 di Toronto, Kanada dengan pendapatan C $ 170,35 miliar pada awal tahun 2022 membuat bank ini menjadi bank terbesar dari lima besar dalam hal pendapatan bersih. Mempunyai 18 juta klien lebih di seluruh dunia, lebih dari 75.000 karyawan tetap dan lebih dari 1.500 cabang."Bagaimana? Wanita itu menerima tawaran anda?" tanya Sebastian sambil menikmati secangkir teh di ruangannya."S-sulit, Tuan. Dia menolak menerima telepon saya dan juga menolak ketika kami mengundangnya ke kantor. Ia selalu marah dan memerintahkan kami segera mencairkan jumlah pinjamannya dengan dalih membawa nama besar anda. Maafkan saya, Tuan. Saya sudah berusaha sebaik mungkin, " jawab Milly setengah takut. Kaki dan tangannya terasa dingin, aura menakutkan pria di depannya membuat mentalnya melemah.Sebastian menghela nafa
Mentari terlihat cukup bersemangat hari ini. Meski sudah cukup lama kota tidak diguyur hujan namun Angela merasa kedinginan tadi malam.Saat memandangi taman di balik jendela besar di kamarnya, tiba-tiba ia merindukan kabut pagi. Ia merindukan musim dingin. Musim yang selalu mengingatkannya pada Ibunya dan juga pada Garvin.Tadi malam ia tidak tidur dengan nyenyak. Ia mencoba mengurangi ketergantungan pada obat tidur. Sejak ia melihat rekaman CCTV yang mempermalukan dirinya sendiri saat meminum obat tidur membuatnya segera membuang semua obatnya."Argh! Andai kejadian itu bisa aku hapus dari ingatanku!"Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Seharusnya, ia sudah berada di ruang makan bersama Sebastian sekarang. Namun ia tidak sanggup. Bahkan hanya sekedar memandang wajah Sebastian saja membuat bayangan kejadian malam itu langsung terbayang jelas di pelupuk matanya. Sangat memalukan. Tubuhnya membuat harga dirinya runtuh seketika. Ia masih tidak habis pikir, bagaimana b
#14"Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku mau pergi bersamamu?!"Angela memandang pria di depannya dengan tatapan penuh kebencian. Jika bukan karena pelayan yang sengaja tidak mengantarkan makanannya ke kamar, ia tidak sudi duduk satu meja dengan pria menyebalkan ini.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua siang namun Angela masih memakai piyamanya. Semua kegiatan di media sosial di hentikan olehnya. Dengan mental seperti ini, ia tidak yakin kuat menghadapi pertanyaan yang menyakitkan seperti waktu itu.Kesibukan yang padat dan tiba-tiba terhenti membuat suasana hatinya makin kacau. Ia ingin keluar, menikmati keindahan danau Toronto yang memukau. Tapi ia terlalu takut. Ia takut ada yang mengenalinya dan berkata semaunya sedangkan hatinya tidak siap dengan itu.Padahal musim panas adalah waktu terbaik menikmati matahari di pantai atau sekedar piknik kecil di tepi danau Ontario.Sambil menghentakkan kaki Angela berdiri, hendak kembali ke kamarnya. Ia sangat kesal melihat wajah Seba
Sebastian menegakkan punggungnya, ia terlihat berusaha dengan maksimal agar terlihat gagah di depan Angela. Sesekali sudut matanya mencuri pandang ke arah wanita yang duduk tepat di sampingnya. Aroma parfume kombinasi bunga oriental dan tuberose meninggalkan kesan khusus di hatinya. Sejak awal mereka bertemu, perfume ini sudah lekat di ingatannya.The Ritz-Carlton, Toronto terletak tidak jauh dari rumah Sebastian. Hanya berjarak 0,3 meter, menghadap Danau Ontario dan cakrawala kota sebagai ikon kota Kanada. Merupakan salah satu hotel bintang lima terbaik dikelasnya.Pada malam itu, salah satu ballroom andalan mereka sedang dipesan oleh Yayasan Future Foundation. Yayasan yang dikelola ayah Angela berfokus pada kegiatan sosial dan pendidikan terutama bagi anak-anak di pinggir jalan. Kegiatan lain yang dilakukan Yayasan ini juga berfokus pada partisipasi pembangunan sarana dan prasarana pendidikan akibat bencana alam.Acara amal atau penggalangan dana memang rutin dilakukan setahun sekal
Indah dan menawannya dekorasi, suara musik yang mendominasi ruangan, beberapa orang berkerumun dengan topik pembicaraan masing-masing. Angela menghirup udara malam yang terasa segar begitu masuk melalui hidungnya. Pesta yang sudah sangat lama ia hindari kini menyapanya kembali.Ia sedang bersandar di pembatas balkon, menikmati udara malam dari lantai 10 dengan pemandangan yang sangat menawan. Ketika sedang asyik menikmati semilir angin, tiba-tiba seseorang menyenggol pundaknya."Oh my God! Maaf, Nona..."Saat ia menoleh dan menatap wajah laki-laki di depannya. Kedua manik mata Angela langsung membulat tak percaya, tangannya gemetar, gelas yang berisi shampanye seketika terlepas dari tangannya.PRANG!!Suara pecahan gelas kaca yang begitu nyaring tidak sepadan dengan rasa terkejut yang dirasakan oleh Angela. Ia tanpa sadar melangkah, menginjak pecahan gelas lalu berniat memegang wajah pria di depannya. Tangannya hampir saja menyentuh wajah pria itu namun segera ditariknya saat mendeng