Malam itu, Clara di temani oleh Alexander pergi ke kantor polisi. Saat mereka berada di ruang pengunjung, Clara tampak terkejut ketika mengetahui siapa pembunuh ayahnya."Bertha, kau..." ucap Clara dengan suara gemetar.Bertha hanya memandang Alexander dan Clara dengan tatapan sinis. "Puas kau wanita sialan. Puas kau sudah menghancurkan hidupku!" hardik Bertha tanpa ada rasa penyesalan sedikitpun.Clara merasa campur aduk antara marah dan sedih. Dia tidak pernah membayangkan bahwa sahabat karibnya sendiri akan melakukan sesuatu sekejam ini. "Kenapa kau tega membunuh Papaku? Apakah dia memiliki salah kepadamu?" tanya Clara berusaha untuk bersikap tenang meskipun hatinya hancur berkeping-keping.Bertha hanya mengangkat sudut bibirnya, "Aku sama sekali tidak ada masalah dengan lelaki tua itu. Kaulah yang membuat aku melakukannya."Clara mengepalkan tangannya dengan erat, mencoba menahan amarah yang menyala di dalam dirinya. Alexander melihat bagaimana istrinya sangat emosi saat itu dan m
"Alex, Mama menyesal telah membela Bertha yang ternyata manusia licik. Mama baru dapat kabar, jika Bertha telah membunuh Papa Clara demi egonya. Clara maafkan saya, karena telah salah menilai mu selama ini," sesal Selma dengan raut wajahnya yang sedih.Clara tersenyum bahagia, akhirnya Selma kini menerimanya sebagai menantu."Nyonya Selma, jangan meminta maaf. Anda tidak salah, wajar saja seorang ibu selalu ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka."Selma tak menyangka jika hati Clara sangatlah besar untuk menerima maafnya. Dia memeluk Clara dengan rasa haru."Mulai sekarang, jangan panggil aku 'nyonya', panggillah aku dengan Mama seperti Alex memanggilku," pinta Selma dengan senyumnya yang menawan.Hari itu terasa begitu berat bagi Selma ketika dia menyadari bahwa keputusannya untuk membela Bertha adalah sebuah kesalahan besar. Ia merasakan penyesalan mendalam saat mendengar kabar bahwa Bertha telah melakukan tindakan keji tersebut demi ego dirinya sendiri. Hatinya hancur dan ia tid
"Mama?" gumam Clara menggelengkan kepalanya pelan ketika. Dia merasa hatinya berdebar kencang, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.Selma terlihat gugup, keringat dingin mengucur di badannya. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan rasa takut dan kecemasan yang mendalam. Dia merasakan tekanan besar untuk memberikan kesaksian yang sebenarnya."Nyonya Selma, bisakah Anda ke kotak saksi?" pinta hakim kepada Selma yang terlihat sangat ketakutan. Suaranya gemetar saat dia menjawab bahwa ia siap untuk memberikan kesaksian.Alexander memandang Selma dengan penuh kekecewaan dan rasa khawatir kepadanya, berharap jika semuanya tidak benar. Hatinya hancur melihat ibunya dalam kondisi seperti itu, namun dia tetap bersikeras untuk percaya pada kemampuan dan integritasnya.Dalam keheningan ruang sidang yang tegang, Selma bangkit dari kursinya dengan langkah ragu. Setiap langkahnya terasa begitu berat karena beban emosional yang sedang dialaminya. Tatapan semua orang tertuju padanya saat
Di ruang sidang yang ramai, Selma duduk tegang di kursi terdakwa, mata penuh harap pada pengacara Alexander. Wanita paruh baya itu merasa gelisah namun tetap percaya pada kemampuan pengacara anaknya untuk membela dirinya. Alexander sendiri tampak tenang dan yakin bahwa ibunya akan dibuktikan tidak bersalah.Dengan langkah mantap, pengacara Alexander berdiri di hadapan juri dan mulai memaparkan bukti-bukti baru yang menunjukkan keberadaan saksi kunci yang sebelumnya terlewatkan. Suasana ruangan menjadi semakin tegang dengan setiap kata yang keluar dari mulut sang pengacara."Tuan Hakim yang terhormat," ucap pengacara tersebut dengan tegas, "anting itu memang milik nyonya Selma tapi Nyonya Bertha sengaja mencurinya untuk menjebak Nyonya Selma." Penjelasan tersebut membuat seisi ruangan terkejut dan beberapa orang bahkan mengeluarkan desahan tidak percaya. Semua mata tertuju pada Selma, yang wajahnya masih dipenuhi ketegangan namun juga sedikit lega karena akhirnya kebenaran mulai terung
"Clara, maafkan Mama. Sebenarnya saat itu tengah di hasut oleh Barbara. Mama termakan ucapannya jika Alexander tidak lagi peduli dengan Mama karena hasutanmu."Clara merasa hatinya teriris mendengar penjelasan dari Selma. Dia tidak pernah menyangka bahwa Bertha bisa begitu jahat dan licik untuk memanipulasi ibu mertuanya. Clara mencoba memahami situasi yang rumit ini, sambil tetap mencerna informasi yang baru saja dia dengar.Selma terus menjelaskan dengan penuh emosi, "Bertha benar-benar ingin menghancurkan hubunganmu dan Alexander. Dia iri dengan kebahagiaanmu yang bisa bersama dengan Alexander." Clara semakin terkejut mendengar semua ini. Hatinya campur aduk antara marah pada Bertha dan iba pada ibu mertuanya yang telah menjadi korban tipu daya Bertha.Sementara itu, di taman halaman pengadilan yang dipenuhi dengan pepohonan rindang dan bunga-bunga yang bermekaran, suasana semakin hening ketika Selma melanjutkan ceritanya. Bertha, wanita licik berambut pirang panjang, ingin tahu s
"Plak!!!" sebuah tamparan keras tiba-tiba saja melayang ke pipi Selma yang masih duduk di meja makan. Tuan E-Manuel berdiri dengan ekspresi kecewa dan marah, matanya menatap tajam ke arah istrinya, Selma, yang duduk di depannya dengan air mata berlinang. Di sudut ruangan, Clara, menantu mereka, hanya bisa diam, tak tahu harus berbuat apa.E-Manuel menggebrak meja, "Selma, bagaimana bisa kau berbuat seperti ini? Aku sangat kecewa kepadamu!" Suaranya bergema di seluruh ruangan membuat udara terasa tegang. Selma menundukkan kepalanya terisak dalam tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Dia merasakan rasa sakit tidak hanya dari tamparan fisik itu tapi juga dari tatapan penuh penyesalan suaminya."Suamiku," ucap Selma lirih sambil mencoba menjelaskan dirinya sendiri. "Kumohon dengarkan aku. Aku tidak bersalah. Bertha menjebakku. Aku tidak tahu apa yang dia rencanakan." Air mata terus mengalir deras membasahi pipi mulusnya.Namun E-Manuel tetap tak bisa menerima penjelasan sang istri. Dengan
"Tuan, sudahlah. Jangan kau terus menerus marah kepada Mama. Kau harusnya bersyukur masih memiliki Mama, berbeda denganku yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini," bujuk Clara terlihat sedih ketika mengingat kedua orang tuanya yang sudah tenang di surga.Alexander menutup mulut Clara dengan jari telunjuknya. "Jangan pernah kau bilang kau Tidka punya siapapun di dunia ini. Ingatlah Clara, ada aku yang akan selalu menemanimu," ucap Alexander dengan tatapan hangatnya pada Clara.Clara mengangguk pelan, "Tuan, selagi ada orang tua, perlakukan mereka dengan baik. Tidak semua orang sesempurna yang kita inginkan, Mama memang salah tapi dia juga memiliki hak untuk menerima maaf dan kesempatan ke dua."Mata Alexander penuh dengan kehangatan saat ia melihat ekspresi sedih Clara. Ia merasa bertanggung jawab untuk memberikan dukungan dan kasih sayang pada wanita itu. Meskipun tak bisa menggantikan kedua orang tua Clara yang telah tiada, setidaknya ia ingin menjadi sosok yang dapat di
Selma menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan saat aroma masakan mulai memenuhi dapur penthouse Alexander. Penthouse itu megah dan modern, dengan peralatan dapur lengkap yang berkilauan di bawah pencahayaan hangat. Di atas kompor, panci berisi osso buco mendidih perlahan, menyebarkan aroma lezat yang mengingatkannya pada rumah.Dia merapikan apron yang dipakainya dan memeriksa sekali lagi apakah semua sudah siap. Selma tahu betapa Tuan Smith menyukai osso buco, dan dia berharap makanan ini bisa menjadi awal yang baik untuk meminta maaf."Ayo, Selma, kamu bisa melakukannya," gumamnya pada diri sendiri sambil memeriksa saus yang mengental sempurna.Sementara itu, Clara yang mencium aroma kelezatan masakan ibu mertuanya mendekati wanita paruh baya yang kini sudah menata masakannya di dalam tempat makan. "Aromanya sangat lezat," ucap Clara dengan senyum yang mengembang."Semoga saja, Papa mertua kamu menyukainya dan bisa memaafkanku." Selma menatap kosong kedeoan dengan penuh