Share

Gadis Tengil Milik Tuan Muda Arogan
Gadis Tengil Milik Tuan Muda Arogan
Author: sugi ria

GTMTMA BAB 1

Sebuah pesta pernikahan tengah dihelat. Sepasang pengantin baru saja selesai menyalami tamu undangan yang tak seberapa. Pesta memang tidak digelar meriah. Wajah pengantin lelaki yang tadinya tampak ramah dan penuh senyum. Seketika berubah seratus delapan puluh derajat, ketika tinggal dirinya dan sang istri.

"Ingat pernikahan ini hanya sementara! Jangan berharap lebih, apalagi sampai aku mencintaimu!" Wajah lelaki itu terlihat dingin dengan aura dominasi begitu kuat. Menekan mental sang istri yang buru-buru menunduk, enggan meladeni tatapan setajam elang pria yang beberapa waktu lalu sah menjadi suaminya.

Jemari tangan Zee, begitu nama pengantin perempuan bertaut resah, dia tahu pernikahan ini adalah pernikahan paksa, baik untuknya maupun Birru, suaminya. "Aku tahu," balas Zee segera.

"Bagus kalau kamu tahu!" Birru melangkah turun sendiri tanpa mengajak istrinya. Helaan nafas dalam Zee hembuskan. Saat ini dia gamang, ragu juga bingung akan masa depannya. Birru bilang hanya sementara, tapi sementara itu sampai kapan dia tidak tahu.

Bimbang akan masa depannya, Zee memilih turun dari pelaminan menuju satu meja yang berisi tiga orang. "Kamu baik-baik saja?" Nada cemas bisa terasa dalam pertanyaan pria dengan kacamata kotak tanpa bingkai, di mana Zee akan berdebar tiap kali berhadapan dengan pria ini.

Memasang wajah ceria seperti biasanya, Zee menjawab, "Oke." Dengan jari membentuk kode lingkaran. Setidaknya di depan lelaki ini, Zee akan berpura baik-baik saja. Satu pelukan Zee terima dari Rona, sahabat perempuan satu-satunya. Diiringi ucapan selamat tak ikhlas dari Wafa, sahabat sekaligus dokter pribadinya.

Di sisi lain satu olokan langsung Birru dapat. "Selamat Birru, tidak menyangka kamu akhirnya takhluk dengan yang namanya pernikahan." Ingin rasanya Birru memukul sang teman jika tidak ingat ada banyak orang di sana. Ekor mata Birru melirik Zee yang berbincang dengan teman-temannya.

"Cih, murahan sekali! Sudah tahu statusnya istri orang, tapi masih saja kegatelan sama pria lain!" batin Birru tanpa sadar merasa kesal dengan tawa Zee yang terdengar renyah di telinganya.

Pernikahan hari ini terjadi karena hutang budi. Birru sendiri sangat terpaksa melakoni hal ini. Berulang kali menolak tapi sang kakek kekeh menikahkan dirinya dan Zee.

"Ada banyak jalan untuk membalas budi, kenapa aku harus menikahinya?" protes Birru pada sang kakek.

Dan jawaban yang diberikan Abdi membuat Birru tak punya pilihan lain selain menerima pernikahan ini. "Jika kau mau menikah dengan Zee akan kuberikan apa yang jadi hakmu." Sudah seperti ancaman saja balasan yang diberikan Abdi, kakek Birru.

Malam menjelang. "Aku heran, berapa banyak uang yang kakekku tawarkan padamu, hingga kau sudi menikah denganku." Tatapan remeh terkesan mencemooh Birru berikan pada Zee yang masih mengenakan gaun pengantinnya, tampak kesulitan saat ingin melepasnya.

"Bukan urusanmu!" sahut Zee ketus. Birru terperangah dengan perubahan sikap Zee, tadi di pesta pernikahan tampak kalem dan penurut, tapi sekarang lihatlah, betapa judes tatapan yang Zee berikan padanya.

"He gemoy!" Zee mendelik mendengar panggilan Birru untuknya.

"Kenapa? Mau protes? Bukannya itu sesuai dengan bentuk tubuhmu yang lebar," sambung Birru.

"Body shaming itu. Bisa dipidana kamu!" seru Zee, mendekat ke arah Birru yang sama besar, hanya lebih tinggi sedikit darinya. Mengikuti saran Rona dan Wafa, serta mendukung sifat asli Zee yang memang berani, gadis itu tak akan sudi jika Birru merundungnya.

"Body shaming apaan? Itu nyata kok, benar, fakta ...."

Bugh! Satu pukulan mendarat di wajah Birru. Lelaki itu tertegun untuk sesaat, hingga satu umpatan mengalir lancar dari bibir tipisnya. "Brengsek!" Bersamaan dengan itu, Zee ngibrit kabur ke kamar mandi, menguncinya dari dalam.

"Zeeniya! Zeeniya Agatha! Buka pintunya! Ayo tanggung jawab!" Teriakan Birru melengking seantero rumah tiga lantai itu. Di dalam kamar mandi, jantung Zee berdebar kencang. Dia segera menarik nafas, menghembuskannya perlahan. Dia harus menurunkan debar jantungnya. Atau Wafa akan menertawakannya, malam pertama naas yang berakhir di rumah sakit.

Hampir tengah malam, Zee melangkah keluar dari kamar mandi. "Untung si manusia batu sudah tidur," gumam Zee. Gadis itu berhasil membuka gaun pengantinnya susah payah. Kini sudah berganti piyama. Mengambil bantal dan selimut tambahan, Zee memilih tidur di sofa.

"Bagus, tahu diri juga kamu, gemoy!" Zee melompat kaget, mengira Birru sudah tidur. Alih-alih membalas, Zee lebih memilih mengabaikan sindiran Birru. Menempatkan diri dengan nyaman, lalu mulai terlelap.

"Ingat, sampai kapanpun aku tidak sudi tidur seranjang denganmu." Itu kalimat terakhir yang Zee dengar sebelum alam mimpi benar-benar menjemputnya. Kejam, sikap Birru sungguh keterlaluan untuk orang yang sudah menolongnya.

***

Sementara itu, sepasang suami istri terlihat masih berbincang di ruang tengah rumah mereka. "Menurutmu berapa lama dia akan bertahan?" tanya sang suami, meminum anggurnya.

"Tidak akan lama. Dengan watak temperamental dan sifat sesuka hati Birru, siapa perempuan yang betah berada di sisinya." Sang suami tersenyum mendengar analisa si istri.

"Gadis itu tidak penting, sebab kita tahu siapa pemenangnya." Dua orang itu tersenyum puas, mengira kalau kemenangan akan berada di pihak mereka.

Pagi menjelang. Baik Zee maupun Birru sarapan dalam diam. Abdi mengerutkan dahi melihat lebam di wajah Birru. "Brutal amat unboxing-nya," celetum lelaki tua. Pasutri baru kompak tersedak. Dengan Birru dan Zee melotot bersamaan, saling tatap tidak percaya.

"Gak nafsu Birru sama dia, Kek." Ada sakit yang mendera hati Zee. Dia tahu tubuhnya tidaklah langsing, tapi mendengar perkataan itu diucapkan terang-terangan di hadapannya, jelas jika hatinya terluka.

"Bagus deh kalau begitu, aku juga tidak mau digituin sama manusia batu kayak kamu." Dari pada dia menunjukkan sifat lemahnya, akan lebih baik jika dia memperlihatkan betapa kuatnya dia. Zee tidak akan kalah dengan mudah pada Birru. Semalaman dia sudah berpikir. Masa depannya dengan Birru tidak pasti, karena itu dia akan melindungi diri dengan baik, termasuk menjaga agar Birru tidak sampai menyentuhnya.

Mendengar jawaban Zee, Birru terdiam. Sejak awal dia ingin menekan sekaligus menghabisi mental Zee, agar gadis itu mundur dengan sendiri dari pernikahan ini. Namun sepertinya semua tak akan berjalan mudah, Zee tampak tangguh untuk dia remehkan.

"Mas, itu kan Nyonya Zee. Mau dibawa sekalian?" tanya si supir. Birru menoleh melihat Zee yang berjalan riang, menenteng paperbag cukup besar dengan ransel di punggungnya. "Wah, dia berani sekali menolak fasilitas dariku," batin Birru tercengang.

"Perlu tumpangan?" Zee mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. Melihat Birru yang memandangnya dari dalam mobil.

"Tidak perlu, terima kasih," ujar Zee, meneruskan langkahnya. Tak perlu bertanya dua kali, mobil Birru melesat melewati Zee begitu saja. Sungguh keterlaluan. Sepeninggal Birru, helaan nafas terdengar.

Detik berikutnya, nafas Zee mulai tersengal dengan keringat sebesar biji jagung mulai keluar dari pori-pori kulit dahinya. Gadis itu membungkuk, memegangi dada kirinya yang terasa nyeri, seiring dengan wajah Zee yang mulai memucat. "Jantungku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status