"Ke mana sih, kenapa Adnan belum juga datang," ucap Naura sesekali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sebal menunggu sang tunangan yang tak kunjung datang. Padahal Adnan sendiri yang meminta dia untuk ketemuan di sebuah cafe. Tapi lama menunggu pemuda tampan itu tak kunjung menampakan batang hidungnya. "Kalau tau gini aku juga nggak mau datang! Percuma kan, cuma buang-buang waktu. Aku juga jadi terlambat berangkat ke kampus!" Dengan kesal Naura beranjak dari tempat duduknya untuk pergi. Namun sial. Dirinya yang berjalan tanpa memandang ke depan tak sengaja menabrak seseorang bertubuh besar yang membuat dia sedikit terpental ke belakang. "Eh, aduh!" Pria berusia sekitar 30 tahun itu tak juga melepas ponsel di telinganya sambil menelepon seseorang dan itu membuat Naura semakin kesal. "Astagfirullah! Pelan-pelan bisa nggak kalau jalan?" Tapi pria itu tak perduli dengan ucapan itu, dia terus saja berjalan ke depan. Merasa tidak dihiraukan, Naura kembali meng
"Sial! Apa itu bujang lapuk. Kalau semuanya sudah bisa aku dapatkan, untuk apa aku menikah!" "Wanita hanya bisa membuatku pusing. Lebih baik aku beli setelah itu aku bisa membuangnya!" Tapi perasaannya tak bisa dibohongi, semakin di mengelak semakin yakin kalau Sean memang jatuh cinta pada Naura. Dia memikirkan sesuatu. "Aku harus mencari sesuatu." Pria gagah itu mengendap-endap masuk ke dalam kamar Natasya dan mencari petunjuk yang mengarah pada gadis itu. Sean membuka lemari bufet dan menemukan sebuah foto terselip di tengah lembaran buku tebal perlahan dia mengambilnya. Ditatap lah wajah cantik yang hanya terlihat matanya saja. Manik mata coklat dengan bulu mata lentik membuat dia tanpa sadar tersenyum pada foto itu. Suara bising Natasya yang semakin mendekat membuat dia segera menyimpan foto tersebut di balik saku jasnya. Guprak! "Na_Natasya!" "Kakak, sedang apa kau di sini?" Sean segera mencari alasan. "Em, aku ..., aku mencari changer hand phone apa kau mel
"Mau apa juragan datang kemari?""Mana ayahmu? Ayahmu punya utang kepadaku. Bayar sekarang atau aku hancurkan rumah ini!"Naura bertanya-tanya dalam hati untuk apa ayahnya memiliki hutang pada juragan Sastra. Juragan yang tamak dan kerap menikah dengan beberapa wanita.Usai mengatakan itu juragan Sastra seolah menemukan berlian. Memandang Naura dengan tatapan nakal, dia semakin mendekat. "Oh, sepertinya aku tau. Kamu lebih menarik untuk dijadikan jaminan hutang ayahmu.""Jangan ganggu dia!" Adnan seketika merentangkan kedua tangannya di depan Naura mencegah agar juragan Sastra berhenti melangkah. "Siapa kamu? Minggir! Aku nggak punya urusan denganmu!"Tiba-tiba saja bu Ningrum keluar dari rumahnya. Wanita tua itu berlari dan menghentikan posisi Adnan di depan putrinya. "Jangan, Juragan. Saya mohon jangan sakiti putri saya." Juragan Sastra memicingkan matanya."Tolong beri kami sedikit waktu. Kami pasti bisa melunasi semua hutang itu, Juragan."Juragan Sastra tersenyum miring. "Bayar?
Bertepatan Naura menutup teleponnya, dari arah seberang Sean mengangkat. "Nggak, rasanya kurang sopan jika aku bicara dengan Natasya lewat telepon. Lebih baik aku bicara langsung dengannya."Bunyi tut tut yang menandakan panggilan itu terputus membuat Sean mengerutkan alisnya. Hampir saja dia mendengar suara jernih dari si gadis bercadar tapi ternyata panggilan itu telah berakhir. Naura bergegas ke kampus dan menemui Natasya yang kini tengah makan di kantin, gadis berambut pirang itu dengan lahapnya makan sambil mengangkat satu kakinya ke kursi. "Hem, Nau. kau baru datang?" Naura mengangguk lesu. "Kau kenapa? Sepertinya ada yang sedang kau pikirkan?" "Sya. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." "Mau ngomong apa? Ngomong aja." Tapi Naura ragu untuk bicara, dia justru terdiam walau Naura sendiri yakin kalau Natasya pasti bisa membantunya. "Hei kenapa kau diam! Apa yang mau kamu katakan?" "Aku ..., em aku ..." "Iya, aku?" Ucapan Naura yang tak kunjung usai membuat Natasya semakin
Sean menunjuk ke luar yang ternyata membuat tuan Erdo kesulitan menelan salivanya sendiri.Sebuah mobil jeep berhenti di area parkiran, Jhoni datang dengan beberapa temannya dan berjaga di depan cafe, bersiap dengan kemungkinan buruk yang terjadi pada bosnya. Anak buah andalan itu memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Jhoni tau tugasnya tanpa harus diperintah Sean terlebih dahulu."Sial!" Reaksi wajah tuan Erdo kalang kabut seketika, sedikit banyaknya dia merasa malu karena sempat menganggap Sean kecil."Kita pergi dari sini!" Pengusaha culas itu berdiri dari duduknya bersama anak buah yang siap mengikutinya. "Awas saja! Urusan kita belum selesai. Akan ku buat kau menyesal telah menolak kerja sama denganku!" Sean hanya menyerkitkan bibirnya.Ancaman seperti itu sudah biasa baginya, bukan hanya dari tuan Erdo tapi dari pengusaha lainnya yang tak cocok dengannya.Kini hanya tinggal dirinya dan Bertha yang berada di tempat itu. Mendadak Sean mempunyai keinginan untuk pergi ke suatu t
"Ibu, ada apa Ibu meneleponku." Diangkatlah ponsel tersebut ke telinganya."Iya, Bu. Ada apa?""Naura, kamu ada dimana, Nak?" Suara bu Ningrum terdengar cemas."Aku ada di tempat latihan, Bu. Ada apa?" Perasaan Naura mendadak tidak enak. Dia bangun dari duduknya dengan perasaan khawatir."Ayah kamu, Nak. Jantung Ayah kamu kambuh lagi.""Apa?" Lemas sudah tubuh Naura seketika. Kakinya serasa tak punya tulang penyangga dia pun terduduk lunglai membayangkan bagaimana kondisi ayahnya sekarang."Iya, Nak. Ibu sedang membawanya ke rumah sakit. Kamu susul Ibu sekarang!""Iya, Bu. Aku ke sana sekarang!"Tanpa membuang waktu lama Naura segera menyusul ibunya. Bahkan tak terpikir olehnya untuk pamit pada pelatih yang membuat pelatih bertanya-tanya.Kenapa dia pergi begitu saja tanpa menyelesaikan latihannya.Sekitar 10 menit menggunakan taksi kini Naura sampai di rumah sakit dan mendapati ibunya yang ten
"Halo, siapa ini?""Sayang, ini aku Adnan." Suara Adnan dari sambungan telepon."Adnan, kamu pakai nomer baru?""Iya, Sayang. Hari ini aku mulai kerja, tolong doakan aku supaya pekerjaanku lancar."Sedikit lega perasaan Naura setelah mendengar suara orang terkasih walau setelah ini dia kembali harus dihadapkan dengan pil pahit mengenai keluarganya."Pasti, aku pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu. Kamu hati-hati dalam bekerja yah.""Terima kasih, sekarang aku sudah sampai di tempat kerja. Nanti aku hubungi lagi saat jam istirahat."Pria tampan ini berdiri dan menatap bangunan tinggi sebuah hotel tempat dia bekerja. Dengan penuh keyakinan Adnan melangkahkan kakinya masuk dan mulai kerja dengan beberapa temannya.Mengenakan seragam cleaning service sambil membawa sapu dan beberapa alat pembersih hotel."Permisi, Mas Adnan. Tolong buatkan teh hangat untuk Mommy Jihan, bawa teh itu ke ruang kerjanya." uc
"Kamu serius? Nggak, aku nggak mau membebani kamu, Nan."Adnan jongkok di depan Naura sembari memandang lekat wanita yang dia sayang. "Kamu percaya padaku, orang tuamu sudah seperti orang tuaku sendiri. Apapun yang terjadi kita akan lalui bersama-sama."Mendadak Naura seperti punya kekuatan setelah mendapat dukungan dari kekasihnya. Sesekali dia menoleh ke atas menahan bulir bening yang sudah di pelupuk matanya."Makasih, Nan. Aku nggak tau musti ngomong apa sama kamu.""Sudah, lebih baik kita temui dokter dan bilang padanya untuk segera melakukan operasi pemasangan ring." Naura mengangguk yakin.Tanpa mereka sadari bu Ningrum menguping di balik pintu dan mendengar semua obrolan mereka. Betapa terharunya dia mendengar ucapan calon menantunya yang begitu tulus.Tak salah bu Ningrum dan pak Danu memilihkan jodoh untuk putrinya."Syukurlah, akhirnya kalian menentukan pilihan. Baik, kalau Mba dan Mas setuju, silahkan isi for
Tuan Gultaf mengambil ponsel milik Sean yang tersimpan di saku celananya. "Bawa dia masuk ke dalam. Helena, kau bersiaplah." Dua memerintah kedua anak buahnya untuk mengangkat Sean yang sudah tidak berdaya membawanya ke dalam kamar.Sementara Helena masuk ke dalam kamar mandi dan mengganti baju yang dia kenakan menjadi baju tidur berbahan satin tipis berwarna hitam.Tuan George bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh tuan Gultaf dengan ponsel milik putranya yang kini sedang dimainkan olehnya sambil menjauh."Apa yang sedang anda lakukan dengan ponsel anakku?" Dia memberanikan diri untuk bertanya.Tuan Gultaf justru menyerkitkan bibirnya. "Menyuruh Nyonya Alexander untuk datang kemari.""Apa?""Kenapa? Kau keberatan?""Tapi itu tidak ada dalam kesepakatan kita."Semula memang tuan George ingin memisahkan Sean dari Naura tapi entah mengapa sekarang hatinya berkata lain. Dia seperti tidak rela jika tuan Gultaf menyakiti Naura.Namun semua itu sia-sia, Naura bergegas kemari setelah t
"Atau jangan-jangan kau belum bisa move one darinya?" Naura dibuat salah tingkah oleh ucapan Sean. "Apa maksud kamu? Aku bukan berniat untuk mengingat Adnan lagi tapi ..., tapi wanita itu_" ucapannya itu seperti tercekat di tenggorokan. Sean semakin penasaran. "Wanita? Siapa yang kau maksudkan?" Sambil menahan sebak di dada Naura berusaha mengatakan semuanya pada Sean. "Tadi ada seorang wanita datang ke sini dan mengatakan kalau kamu ada hubungannya dengan foto Adnan dan seorang wanita di hotel waktu itu. Tapi aku tidak tau siapa namanya." Sean menyerkitkan bibirnya. Rupanya masih ada yang ingin bermain-main dengannya. Dia berusaha mendekati Naura dengan halus, berharap tidak ada perlawanan lagi darinya. "Baby kau dengar. Banyak sekali orang di luaran sana yang berusaha menjatuhkan kita. Jadi aku harap kau jangan mudah percaya dengannya." Naura sadar kalau masa l
"Mencari aku? Untuk apa kamu mencari aku?"Kate kembali menyunggingkan senyumnya. "Kau memang bodoh! Bisa-bisanya kau tertipu oleh suamimu sendiri."Degh!"Apa maksud kamu?" Perasaan Naura semakin tidak enak. Wajahnya seketika memucat dengan nafas memburu karena merasa wanita ini tau banyak tentang Sean."Asal kau tau! Demi mendapatkan-mu Sean rela melakukan apa saja, termasuk menuduh kekasihmu itu.""Kekasihku?" Pikiran Naura mengingat kembali kekasih siapa yang Kate maksudkan. Sedang dia hanya punya satu mantan kekasih yaitu Adnan."Iya, kekasihmu yang sudah mati itu!"Tidak salah lagi, yang Kate maksudkan adalah si Adnan. "Adnan, me_memang apa yang sudah Sean lakukan pada Adnan?" Suara Naura bergetar. "Kau ini benar-benar bodoh! Coba kau pikir secara logika apa mungkin kekasihmu itu melakukan itu dengan wanita lain?" Jauh dari lubuk hati Naura memang dia menolak kenyataan itu karena dia tau bagaimana sifat A
Pagi hari Sean yang masih menutup matanya sambil tengkurap menggerayangi tempat tidur mencari istrinya, tapi Naura tidak ada di sampingnya.Penasaran apa yang sedang dilakukan oleh istrinya Sean pun membuka matanya dan segera beranjak turun.Dia mengendus, menghirup bau masakan yang tidak pernah terhirup di pagi harim"Hem, wangi sekali masakan ini."Dalam hatinya sudah menebak-nebak kalau yang masak di dapur adalah Naura. Walau Sean suka dengan aroma masakan itu tetapi dia mengerutkan keningnya.Dia tidak pernah mengizinkan orang yang disayang terjun langsung ke dapur dan mempercayakan pada kedua asisten rumah tangganya yakni Hilda dan Yusa.Sean turun. "Pagi, Honey," sapa Naura sambil tangannya tak berhenti memegang pekerjaan dapur."Sedang apa kau di sini?""Bikin nasi goreng! Kamu pasti suka nasi goreng buatanku.""Nasi goreng?" Rasanya nama itu tidak asing bagi Sean tapi dia belum pernah memakannya
"Kalian berdua sudah siap?""Tunggu sebentar, Honey." Naura berdiri sesaat melihat bangunan tua rumahnya. Rumah sederhana itu penuh dengan kenangan bersama sang ayah yang telah lama tiada. Hari ini dia harus ikut Sean ke kota untuk tinggal di istananya.Naura tak mungkin meninggalkan ibunya sendirian oleh karena itu dia mengajak bu Ningrum juga ikut ikut tinggal di sana.Sementara Jhoni sudah menunggu di dalam mobil. Sean mendekatinya dan memeluk Naura dari samping. "Aku tau ini tidak mudah untukmu, tapi aku yakin kalau Ayah pasti setuju dengan keputusanku." Naura menunduk sambil menahan air mata yang akan terjatuh."Kita berangkat sekarang." Karena Sean merasa dia akan lebih mudah untuk mengawasi dan melindungi keluarga barunya ini. Naura dan ibunya akan aman tinggal bersamanya.Mereka lalu berangkat ke istana Alexander dalam satu mobil yang dikendarai oleh Jhoni.Sekitar 15 menit mereka sampai di sana. Bu Ningrum membelalakkan matanya saat melintasi sebuah istana yang begitu besar
"Kau serius?" Tuan besar George mengangguk. "Iya, aku serius! Maafkan Daddy-mu ini, Nak." Sambil menahan rasa haru mereka mendekat satu sama lain dan berpelukan.Saat itu juga Naura keluar. "Hon, aku ..." Ucapannya terhenti saat melihat dua pria itu berpelukan. Dirinya yang baru saja selesai mandi kehilangan suaminya yang tidak ada di kamar, oleh karena itu Naura keluar untuk memastikan dimana Sean berada.Mendengar suara Naura datang mereka segera melepas pelukannya. Keduanya terlihat malu."Em, Babby. Kau sudah selesai mandi?" Naura menggeleng heran kenapa tuan George ada di sini. Kenapa mereka berpelukan, apakah mereka sudah baikan? Lalu apa tuan George mau menerima dirinya?Banyak sekali pertanyaan yang menaungi pikiran Naura saat ini."Kalian sedang apa di sini?""Kemari." Sean menyuruh Naura mendekat, tapi sepertinya dia masih ragu."Babby kemari." Wanita itu tidak melangkahkan kakinya sama sekali.
"Uncle, kau di sini?" Lucas terlihat gelagapan memandang wajah tuan besar George yang terlihat tak bersahabat. Sepertinya dia tau kalau hari ini putranya menikah padahal Sean sengaja tidak memberitahukannya."Dimana Sean?" Lucas hanya diam. Dia menoleh sesaat pada Natasya yang juga bingung harus berbuat apa. Terpaksa tuan George mengulang pertanyaannya kembali sambil menunjuk ke wajah Lucas."Aku bilang dimana Sean? Kau jangan coba-coba menyembunyikan dia dariku. Aku tau sekarang dia ada dimana." Pria tua itu bergegas untuk pergi, Lucas dan Natasya berusaha mencegah, berusaha bicara baik-baik dengannya tapi tuan George sama sekali tidak menghiraukan panggilan itu.Mereka hanya takut kalau tuan besar George berbuat semena-mena di sana dan mengganggu kebahagiaan pengantin baru."Eh, Uncle. Tunggu! Kau mau kemana?""Uncle dengarkan aku dulu!""Kalian dan Sean sama saja! Aku benci pada kalian. Aku yakin kalian pasti tau dimana Sean.
"Sssttt! Hei, kenapa kau berteriak?" Sean menyunggingkan senyumnya. Wajah Naura tampak memucat saat Sean mendekatkan wajahnya untuk mencium. Dia begitu grogi dihadapkan dengan seorang laki-laki dalam satu kamar.Secepat mungkin dia mencari alasan untuk menutupi kegugupannya itu. "Aku tadi ..., aku anu ..., em aku ..., aku mau ke toilet dulu. Iya, ke toilet dulu." Tanpa permisi wanita itu beranjak dari hadapan Sean dan masuk ke dalam kamar mandi. Sean tertawa sambil menggeleng karena tau kalau istrinya itu sedang salah tingkah.Dengan nafas yang memburu Naura berdiri di depan cermin sambil melihat pantulan dirinya sendiri. Menahan senyumnya saat merasakan sentuhan jari kokoh di lengan tangannya."Ya Allah, bagimana ini. Apa aku harus ..." Padahal dia tau kalau itu kewajiban istri terhadap suaminya. Naura merapikan dirinya sebelum keluar menemui suaminya."Hufh! Bismillah, aku pasti bisa!"Dengan malu-malu dia keluar kamar mandi, tapi yang
"Saya terima nikah dan kawinnya, Naura binti Bapak Danu Atmaja dengan mas kawin tersebut dibayar. Tunai." "Bagaimana saksi. Sah?" Hanya sekali tarikan nafas Sean berhasil mengucapkan ijab qobul dengan suara lantang terdengar sampai ke dalam kamar. Naura menghela nafas lega dengan mata yang berkaca-kaca. "Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah engkau mudahkan semua urusan kita. Semua yang terjadi atas kehendak mu, ya Allah." Selalu saja wanita itu melibatkan Tuhannya dalam segala urusan dia. Perias masuk dan meminta Naura untuk keluar, dia mengikuti di belakang sambil membawakan buntut gaun yang menjuntai. "Shit!" ucap Sean sambil menyerkitkan bibirnya melihat istrinya datang bak bidadari yang turun dari syurga. Gaun putih dengan cadar transparan berwarna senada membuat dia terlihat begitu cantik sampai membuat Sean mengeluarkan keringat dingin. Wanita itu duduk di samping sang ma