Share

Bab 4. Kedatangan Benalu

Hari Minggu telah tiba.

Seperti yang Mas Indra beritahukan sebelumnya, Irfan, adik kesayangannya itu benar-benar datang ke rumah. Tanpa salam tanpa mengetuk pintu ia main menyerobot masuk ke dalam rumah.

"Pinjam duit seratus ribu dong!!" Ucapan Irfan sukses membuatku terkejut sampai-sampai aku menjatuhkan wajan penggorengan bekas aku menumis capcay tadi.

Klonthang!

"Astaghfirullah!! Ngangetin aja sih! Orang itu kalau masuk rumah pakai permisi kek, salam kek, ini main selonongan aja!!" Aku menegur manusia yang entah berasal dari planet mana ia dilahirkan, sopan santunnya sangat minim sekali.

"Sini!! Ada gak uangnya?" Sepertinya teguranku tak digubrisnya sama sekali. Ia malah menengadahkan tangannya untuk meminta uang dariku. Udah macam preman pasar lagi memalak tukang sayur yang mangkal di lapak umum tanpa persetujuannya.

Hei manusia planet, enak kali hidupmu itu tinggal main tadah duit orang saja. Lagipula kamu itu sedang bicara sama kakak iparmu, bukan kepada temanmu. Pakailah itu sedikit ot4kmu! Sopan santun itu dikedepankan, jangan cuma bibir aja yang kau majukan.

"Buat apa? Datang-datang kok minta uang?" Aku pun lantas bertanya karena sedikit penasaran juga. 

"Tuh!!" Jawabnya singkat seraya menunjuk ke depan rumah dimana sebuah mobil menunggu dengan mesin yang masih menyala.

Aku melongok keluar, dan melihat sebuah mobil innova silver terparkir di depan gerbang rumah kami. "Siapa?" tanyaku semakin penasaran. Apa jangan-jangan dia sedang di kejar tukang kredit cicilan pinjaman online?

"Supir taksi." sahut Irfan datar.

Oohh, mungkin dia belum membayar ongkos taksinya.

Astaga naga, manja sekali rupanya adik iparku ini. Sudah tahu tak punya uang tapi pakai sok gaya-gayaan naik taksi online segala. Padahal jarak rumah mertuaku dengan jarak rumah kami ini hanya sekitar lima belas kilometer saja dan ada transportasi angkot yang menghubungkan jalan rumah kami.

"Kenapa gak naik angkot saja? Kan jauh lebih murah dan bisa berhemat!" Bukannya memberi uang, aku malah mengoceh menasehatinya.

Mungkin ia kesal karena tak segera kuberi uang. Ia langsung marah dan berkata, "Sudahi dulu ceramahmu! Itu supirnya udah kelamaan nungguin."

Apa?? Ini orang benar-benar sudah keterlaluan, bikin darahku mendidih saja. Sudah datang tak permisi, minta ongkos pula!

Aku benar-benar tak mengharapkan kehadirannya di rumah ini.

"Mbak gak ada duit!" Sengaja kutekankan kata panggilan 'Mbak' agar dia tahu siapa aku disini. Aku adalah kakak iparnya yang seharusnya ia hormati. Enak saja Mas Indra menyuruhku menghormati adiknya yang bahkan ia tak menghormati aku sama sekali.

Ia mencebik kesal, lalu melengos mencari keberadaan Mas Indra, kakaknya. "Minta aja sama Mas kamu! Tuh dia lagi ngorok di kamar." Sengaja kuarahkan dia untuk meminta uang kepada kakaknya. Tak sudi aku mengeluarkan uang sepeserpun untuk benalu tak tahu diri macam si Irfan ini.

Tin-tin...

Benar saja klakson mobil terdengar dibunyikan, mungkin si supir sudah tak sabar untuk mengejar setoran lainnya.

Aku tersenyum samar kepada sang supir taksi online. Sebenarnya aku merasa kasihan pada pak supir yang sudah kelamaan menunggu, tapi kalau aku memberi Irfan uang, bagaimana dengan uang belanjaku besok? Belum tentu Mas Indra mau menggantinya kan.

Aku berpikir panjang untuk memikirkan nasib si kembar kalau jatah bulananku habis sebelum waktunya. Mau ku kasih makan apa mereka nanti. Lha wong bapaknya aja sekarang pelit minta ampun.

"Minggir!!" Seru Irfan sambil berlari kecil keluar rumah. Badannya yang besar hampir saja menyenggolku yang sedang berdiri di dekat pintu. Untung aku sigap dan meraih gagang pintu sekenanya, kalau tidak aku pasti sudah jatuh terjungkal.

Kurang ajar sekali manusia alien itu. Ini rumah tempat tinggalku tapi dia bersikap seenaknya sendiri seperti itu.

"Kembaliannya dua puluh ribu ambil aja, Bang! Itung-itung buat ongkos nunggu. Makasih ya, Bang." Kudengar suara Irfan berbicara dengan supir taksi online. Walaupun jarak di depan gerbang, tapi aku masih bisa mendengarnya.

Benar-benar ajaib. Dia masih bisa berlagak sok kaya padahal duit dapat minta abangnya.

"Irfan, ka..." Baru saja aku mau menegurnya karena sikapnya barusan, tiba-tiba suara Mas Indra yang serak khas bangun tidur terdengar.

"May, kenapa si Irfan minta uang gak kamu kasih? Apa susahnya sih tinggal kasih uang ke adikku, pakai bangunin aku segala." Refleks aku menoleh dan melihat Mas Indra sudah berdiri dengan rambut acak-acakan khas baru bangun tidur. Tangannya berkali-kali menutup mulutnya yang masih menguap lebar. Mungkin ia masih mengantuk sekali dan terpaksa bangun karena Irfan mengganggunya.

"Kan kemarin Maya udah bilang kalau uang Maya udah mepet!" Sahutku setengah jengkel. Selalu memarahiku jika itu menyangkut adiknya.

Kalaupun aku punya uangnya, aku tak akan mau memberikannya pada cecunguk satu itu. Enak saja dia bilang pinjam tapi gak tau entah kapan balikinnya.

Tanpa permisi manusia alien itu lewat di tengah-tengah kami yang berbicara sambil berdiri di depan pintu. Minim akhlak sekali, bukan?

"Semalam kan Mas udah kasih uang dua ratus ribu. Emang udah habis?" tanya Mas Indra.

Aku menghela nafas panjang dan kasar. Mungkin suamiku ini benar-benar tidak tau kebutuhan rumah tangga sehari-hari dengan empat kepala yang harus diberi makan. Dan sekarang malah bertambah satu lagi kepala yang harus diberi makan, makanannya harus makanan sultan lagi.

"Uang Maya bener-bener dah mepet, Mas! Hari ini aja Maya udah belanja seratus ribu lebih di pasar buat nyiapin hidangan adikmu itu." Jawabku sambil melirik ke Irfan yang sudah duduk ongkang-ongkang kaki di depan televisi.

Mual rasanya aku melihat kelakuan si Irfan ini.

"Huhh!!" Mas Indra melengos pergi. Entah ia merasa kalah berdebat denganku atau mencoba mengalah karena tak mau ribut denganku. Ia langsung ngeloyor masuk ke kamar lagi. Mungkin mau melanjutkan tidurnya yang tertunda iklan sejenak.

Salah siapa juga uang belanja bulanan dipotong lebih dari separuhnya sendiri. Repot sendiri kan jadinya?

Aku melanjutkan menyapu dan mengepel lantai rumah. Maklum jika hari libur seperti ini pekerjaan rumahku bukannya cepat beres tapi malah jadi tambah banyak. Ini saja masih untung si kembar baru main ke rumah tetangga, kalau mereka ada di rumah sudah bisa dipastikan rumah dalam keadaan seperti kapal pecah berserakan mainan keduanya.

Biasanya aku menyapu dari belakang ke depan hingga ke teras. Lalu dilanjutkan mengepel dengan arah sebaliknya dari teras hingga ke belakang, terkahir di area dapur karena biasanya di lantai dapur agak sedikit kotor bekas asap minyak goreng atau ceceran bumbu masakan.

Saat aku hendak mengepel lantai dapur, mataku membelalak tak percaya melihat pemandangan si Irfan sedang makan di meja makan yang tepat berada di pojokan ruang dapur.

"Astaghfirullah, Irfan!!" Pekikku seraya mendekatinya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nathalie
waah seru mpe bab ini...br tau saya ada konsep hidup beginian keknya 11/12 ma pelit yak......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status