Hari Minggu telah tiba.
Seperti yang Mas Indra beritahukan sebelumnya, Irfan, adik kesayangannya itu benar-benar datang ke rumah. Tanpa salam tanpa mengetuk pintu ia main menyerobot masuk ke dalam rumah.
"Pinjam duit seratus ribu dong!!" Ucapan Irfan sukses membuatku terkejut sampai-sampai aku menjatuhkan wajan penggorengan bekas aku menumis capcay tadi.
Klonthang!
"Astaghfirullah!! Ngangetin aja sih! Orang itu kalau masuk rumah pakai permisi kek, salam kek, ini main selonongan aja!!" Aku menegur manusia yang entah berasal dari planet mana ia dilahirkan, sopan santunnya sangat minim sekali.
"Sini!! Ada gak uangnya?" Sepertinya teguranku tak digubrisnya sama sekali. Ia malah menengadahkan tangannya untuk meminta uang dariku. Udah macam preman pasar lagi memalak tukang sayur yang mangkal di lapak umum tanpa persetujuannya.
Hei manusia planet, enak kali hidupmu itu tinggal main tadah duit orang saja. Lagipula kamu itu sedang bicara sama kakak iparmu, bukan kepada temanmu. Pakailah itu sedikit ot4kmu! Sopan santun itu dikedepankan, jangan cuma bibir aja yang kau majukan.
"Buat apa? Datang-datang kok minta uang?" Aku pun lantas bertanya karena sedikit penasaran juga.
"Tuh!!" Jawabnya singkat seraya menunjuk ke depan rumah dimana sebuah mobil menunggu dengan mesin yang masih menyala.
Aku melongok keluar, dan melihat sebuah mobil innova silver terparkir di depan gerbang rumah kami. "Siapa?" tanyaku semakin penasaran. Apa jangan-jangan dia sedang di kejar tukang kredit cicilan pinjaman online?
"Supir taksi." sahut Irfan datar.
Oohh, mungkin dia belum membayar ongkos taksinya.
Astaga naga, manja sekali rupanya adik iparku ini. Sudah tahu tak punya uang tapi pakai sok gaya-gayaan naik taksi online segala. Padahal jarak rumah mertuaku dengan jarak rumah kami ini hanya sekitar lima belas kilometer saja dan ada transportasi angkot yang menghubungkan jalan rumah kami.
"Kenapa gak naik angkot saja? Kan jauh lebih murah dan bisa berhemat!" Bukannya memberi uang, aku malah mengoceh menasehatinya.
Mungkin ia kesal karena tak segera kuberi uang. Ia langsung marah dan berkata, "Sudahi dulu ceramahmu! Itu supirnya udah kelamaan nungguin."
Apa?? Ini orang benar-benar sudah keterlaluan, bikin darahku mendidih saja. Sudah datang tak permisi, minta ongkos pula!
Aku benar-benar tak mengharapkan kehadirannya di rumah ini.
"Mbak gak ada duit!" Sengaja kutekankan kata panggilan 'Mbak' agar dia tahu siapa aku disini. Aku adalah kakak iparnya yang seharusnya ia hormati. Enak saja Mas Indra menyuruhku menghormati adiknya yang bahkan ia tak menghormati aku sama sekali.
Ia mencebik kesal, lalu melengos mencari keberadaan Mas Indra, kakaknya. "Minta aja sama Mas kamu! Tuh dia lagi ngorok di kamar." Sengaja kuarahkan dia untuk meminta uang kepada kakaknya. Tak sudi aku mengeluarkan uang sepeserpun untuk benalu tak tahu diri macam si Irfan ini.
Tin-tin...
Benar saja klakson mobil terdengar dibunyikan, mungkin si supir sudah tak sabar untuk mengejar setoran lainnya.
Aku tersenyum samar kepada sang supir taksi online. Sebenarnya aku merasa kasihan pada pak supir yang sudah kelamaan menunggu, tapi kalau aku memberi Irfan uang, bagaimana dengan uang belanjaku besok? Belum tentu Mas Indra mau menggantinya kan.
Aku berpikir panjang untuk memikirkan nasib si kembar kalau jatah bulananku habis sebelum waktunya. Mau ku kasih makan apa mereka nanti. Lha wong bapaknya aja sekarang pelit minta ampun.
"Minggir!!" Seru Irfan sambil berlari kecil keluar rumah. Badannya yang besar hampir saja menyenggolku yang sedang berdiri di dekat pintu. Untung aku sigap dan meraih gagang pintu sekenanya, kalau tidak aku pasti sudah jatuh terjungkal.
Kurang ajar sekali manusia alien itu. Ini rumah tempat tinggalku tapi dia bersikap seenaknya sendiri seperti itu.
"Kembaliannya dua puluh ribu ambil aja, Bang! Itung-itung buat ongkos nunggu. Makasih ya, Bang." Kudengar suara Irfan berbicara dengan supir taksi online. Walaupun jarak di depan gerbang, tapi aku masih bisa mendengarnya.
Benar-benar ajaib. Dia masih bisa berlagak sok kaya padahal duit dapat minta abangnya.
"Irfan, ka..." Baru saja aku mau menegurnya karena sikapnya barusan, tiba-tiba suara Mas Indra yang serak khas bangun tidur terdengar.
"May, kenapa si Irfan minta uang gak kamu kasih? Apa susahnya sih tinggal kasih uang ke adikku, pakai bangunin aku segala." Refleks aku menoleh dan melihat Mas Indra sudah berdiri dengan rambut acak-acakan khas baru bangun tidur. Tangannya berkali-kali menutup mulutnya yang masih menguap lebar. Mungkin ia masih mengantuk sekali dan terpaksa bangun karena Irfan mengganggunya.
"Kan kemarin Maya udah bilang kalau uang Maya udah mepet!" Sahutku setengah jengkel. Selalu memarahiku jika itu menyangkut adiknya.
Kalaupun aku punya uangnya, aku tak akan mau memberikannya pada cecunguk satu itu. Enak saja dia bilang pinjam tapi gak tau entah kapan balikinnya.
Tanpa permisi manusia alien itu lewat di tengah-tengah kami yang berbicara sambil berdiri di depan pintu. Minim akhlak sekali, bukan?
"Semalam kan Mas udah kasih uang dua ratus ribu. Emang udah habis?" tanya Mas Indra.
Aku menghela nafas panjang dan kasar. Mungkin suamiku ini benar-benar tidak tau kebutuhan rumah tangga sehari-hari dengan empat kepala yang harus diberi makan. Dan sekarang malah bertambah satu lagi kepala yang harus diberi makan, makanannya harus makanan sultan lagi.
"Uang Maya bener-bener dah mepet, Mas! Hari ini aja Maya udah belanja seratus ribu lebih di pasar buat nyiapin hidangan adikmu itu." Jawabku sambil melirik ke Irfan yang sudah duduk ongkang-ongkang kaki di depan televisi.
Mual rasanya aku melihat kelakuan si Irfan ini.
"Huhh!!" Mas Indra melengos pergi. Entah ia merasa kalah berdebat denganku atau mencoba mengalah karena tak mau ribut denganku. Ia langsung ngeloyor masuk ke kamar lagi. Mungkin mau melanjutkan tidurnya yang tertunda iklan sejenak.
Salah siapa juga uang belanja bulanan dipotong lebih dari separuhnya sendiri. Repot sendiri kan jadinya?
Aku melanjutkan menyapu dan mengepel lantai rumah. Maklum jika hari libur seperti ini pekerjaan rumahku bukannya cepat beres tapi malah jadi tambah banyak. Ini saja masih untung si kembar baru main ke rumah tetangga, kalau mereka ada di rumah sudah bisa dipastikan rumah dalam keadaan seperti kapal pecah berserakan mainan keduanya.
Biasanya aku menyapu dari belakang ke depan hingga ke teras. Lalu dilanjutkan mengepel dengan arah sebaliknya dari teras hingga ke belakang, terkahir di area dapur karena biasanya di lantai dapur agak sedikit kotor bekas asap minyak goreng atau ceceran bumbu masakan.
Saat aku hendak mengepel lantai dapur, mataku membelalak tak percaya melihat pemandangan si Irfan sedang makan di meja makan yang tepat berada di pojokan ruang dapur.
"Astaghfirullah, Irfan!!" Pekikku seraya mendekatinya.
"Astaghfirullah, Irfan!! Kenapa kamu makan duluan?! Kamu kan bisa nungguin Mas Indra sama si kembar, kita bisa makan sama-sama!" Aku menegurnya saat melihat sayur dan lauk pauk yang ada di meja makan sudah hampir tandas setengah piring. Irfan sudah memporak-porandakan isi piring saji hingga terlihat seperti makanan sisa di piring bekas di orang hajatan.Berkali-kali aku menelan ludah kecewa. Ia bahkan tak peduli apakah yang lain sudah makan atau belum, masih cukup atau tidak. Yang ia pedulikan hanyalah perutnya sendiri. Benar-benar egois!!Untung aku sudah menyisihkan sedikit dari beberapa menu yang ku masak tadi dan menyembunyikannya di lemari rak piring tempat persembunyianku. Aku memang sudah mengantisipasi akan hal ini dari awal. Dan dugaanku kejadian bener kan? Kalau saja aku belum sempat menyisihkannya, sudah pasti aku akan mengamuk dan memaki-makinya. Apa dia tidak tahu aku capek sekali membuat berbagai menu makanan dari subuh hingga siang. Seenaknya saja dia habiskan sendiria
Pov IrfanKesel deh... minggu besok, bapak dan ibu ada acara keluarga besar di luar kota. Kata mereka aku gak boleh ikut, takut mereka malu kalau banyak yang tanya pekerjaanku sekarang apa."Kamu gak usah ikut! Jagain rumah aja." Saran Bapak saat mereka sedang membahas rencana pernikahan si Salsa, saudara sepupuku yang tinggal di luar kota. Ibu yang sedang mengemas pakaian dan memasukkannya ke dalam koper langsung mengiyakan saran bapak. "Iya, kamu di rumah saja gak usah ikut!"Aku pun sedih mendengarnya. "Nanti siapa yang mengurusi Irfan kalau bapak sama ibu pergi?" protes ku karena tak diperbolehkan ikut. Lagian kenapa harus merasa malu sama anaknya sendiri? Namanya juga aku belum ketemu pekerjaan yang cocok, jadi wajarlah jika masih menganggur.Bapak mencebik kesal. "Heh, kamu itu udah besar, bukan anak TK atau anak SD lagi. Masak iya mau ngetek melulu sama orang tua. Belajarlah mandiri di rumah sendiri! Sukur-sukur mau pergi cari kerja." Ujar Bapak sedikit sewot. Mungkin dia sudah
Pov Irfan "Mmm... naik taksi online ajalah." Gumamku dalam hati saat melihat teriknya cuaca pagi ini. Masih juga pagi tapi matahari sudah bersinar begitu terang seperti di siang hari. Aku langsung mengurungkan niatku untuk naik angkutan umum dan mengutak-atik gawai guna memesan moda transportasi roda empat dari aplikasi yang didominasi oleh warna biru. Buat apa panas-panasan dan berdesak-desakan di angkutan umum kalau bisa duduk santai ditemani semilir angin dari AC mobil taksi online. Masalah ongkos itu gampang, tinggal minta sama Bang Indra atau istrinya, beres!! "Bang, tunggu sebentar ya! Saya gak bawa ongkos." pamit ku pada sang sopir saat mobil sudah sampai di rumah Bang Indra. Entah kenapa rumah abangku terasa sepi, biasanya dua keponakan kembarku bermain di halaman rumah dengan sangat berisik. Aku langsung masuk saja ke dalam rumah untuk meminta ongkos pada abangku. Tapi si4l, yang kutemui malah si Maya, istrinya Bang Indra yang cerewet dan sok ngatur. Kakak iparku itu be
Pov Irfan Hmm norak sekali kamar si kembar ini. Sudah catnya didominasi warna pink dan kuning, di sepanjang temboknya juga banyak bertebaran stiker barbie dan unicorn dimana-mana. Tapi tak apalah daripada aku tidur di depan TV. Masa iya aku tidur di kamar bareng Bang Indra sama istrinya, kan gak lucu. Belum ada setengah jam aku memejamkan mata, kudengar suara anak kecil bersahut-sahutan memanggilku dan menarik-narik tanganku. "Om, bangun Om!!" "Om, ini kamar kita. Jangan tidur di sini." Lama-lama aku tak sabar juga dan terpaksa bangun. "Heh gak sopan sekali jadi anak. Kalau ada orang lagi tidur jangan berisik! Gangguin aja." Ku bentak mereka dan itu sukses membuat mereka langsung kicep tak berani mengusikku lagi. Bahkan kulihat si Keyla langsung mewek setelah ku bentak. Aku melanjutkan tidur siang yang sempat terganggu tadi. Entah selang berapa lama dari kejadian itu, seseorang masuk kamar dan langsung memaki-maki aku. "Heh!! Irfan!! Kalau numpang itu sadar diri. Ini kamar ana
"Keyra, Keyla, dengerin ibu!!" ucapku penuh penekanan begitu membawa si kembar masuk ke dalam kamar mereka. Aku mendudukkan keduanya di kasur Keyra yang spreinya dipenuhi dengan motif unicorn. Aku berlutut untuk menyamakan tinggi dengan keduanya, "Lain kali jangan biarkan Om Irfan masuk ke kamar kalian. Kalau perlu kalian kunci dari dalam, ingat ya!" Keduanya mengangguk dengan patuh. Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar berita dari desa sebelah, katanya ada seorang paman yang tega berbuat kurang ajar kepada keponakannya. Jujur, aku takut banget kalau manusia alien itu berbuat hal yang tidak wajar kepada kedua putriku. Mana tau dia seorang ped*fil. Kita kan harus selalu waspada terhadap ancaman bahaya, sekalipun itu saudara ipar. "Bu, kenapa sih Om Irfan itu galak banget sama kita? Tadi aja pas keluar dari kamar, Om Irfan pelototin kita berdua lagi." Tanya si kecil Keyla yang matanya masih sedikit sembab. Mungkin dia ketakutan karena mendapat tatapan tajam dari pamannya.
Dok… dok… dok… Aku terlonjak kaget saat pintu kamar si kembar di gedor keras dari luar. "Ada apa lagi sih? Gak tau anak-anak lagi tidur apa?" Aku membuka pintu seraya ngedumel sendiri. Terlihat kepala Mas Indra menyembul dan langsung mendorong paksa pintu kamar hingga terbuka lebar. Wajahnya sudah memerah seperti sedang menahan amarah. "Heh, Maya!! Kamu udah berani nyolong uang, Mas sekarang? Apa kamu kekurangan uang sampai-sampai berani mencuri uang suamimu sendiri?" Seru Mas Indra dengan suara nyalang. Beruntung si kembar masih tertidur pulas dan tak terusik dengan teriakan ayahnya. Aku bergegas keluar kamar dan menutup pintu kamar si kembar rapat-rapat. Sungguh tak baik membiarkan anak-anak mendengar pertengkaran orang tuanya. Hal itu akan berpengaruh pada kesehatan mental anak-anak di kemudian hari. "Uang apa, Mas? Maya gak ngambil! Maya juga gak ngerti, Mas ngomongin apa." Sahutku yang memang tidak tahu kemana arah tuduhan Mas Indra akan bermuara. Kekurangan uang sih iya,
Nasi goreng ini adalah menu favorit Mas Indra. Kulihat ia seperti menelan ludah kecewa menatap sajian nasi goreng di depan matanya. Mungkin ia juga sudah menahan lapar sejak tadi. "Ini nasi gorengnya enak banget loh, Fan. Cobain dulu gih." Mas Indra mencoba membujuk adiknya. Aku dan si kembar diam mematung menyaksikan drama lebai yang Irfan mainkan. "Gak, Bang. Irfan gak selera sama sekali. Ayuk kita makan di luar aja, Bang!" Tak bisa menolak keinginan adik tersayangnya, akhirnya Mas Indra beranjak untuk membawa Irfan pergi makan di luar. Ku kira Mas Indra akan mengajak kami bertiga pergi bersama juga. Tapi ternyata harapanku sirna, mereka hanya pergi berdua saja dengan berboncengan motor Nmax milik Mas Indra. Nanar kutatap punggung mereka yang semakin menjauh dari pandangan mataku. Semenjak menjalani pola hidup ala frugal living, aku tak pernah merasakan yang namanya makan jajan di luar lagi. Jadi jika ada yang mengajak kami pergi jajan walaupun itu hanya semangkuk seblak, rasa
Aneh… ada apa sih? Aku semakin penasaran dibuatnya. Ku pertajam tatapan mataku pada Mas Indra hingga dia merasa tak nyaman. Berharap ia mau berbagi rahasia yang baru saja di dengarnya. "I-itu telepon dari teman kantor. Ya.. itu teman kantor ngabarin kalau lagi ada masalah." Mas Indra mencoba memperjelas jawabannya sebelum aku kembali menyerang dengan pertanyaan yang lain. Okelah, kalau sudah ranah pekerjaan aku tak akan ikut campur. Aku hanya bisa mengangguk walaupun rasanya masih belum puas dengan jawaban mengambang dari Mas Indra. Saat malam menjelang, kulihat Mas Indra bersantai sambil melihat acara TV yang menyajikan segmen dunia dalam berita. Si kembar duduk lesehan di karpet depan TV sambil menyelesaikan tugas mewarnai yang harus dikumpulkan ke ibu guru besok pagi. Sama sekali tidak ada interaksi antara anak dan ayah tersebut. Mereka saling larut dalam kesenangannya masing-masing. Kadang aku hanya membatin apa Mas Indra ini gak punya cita-cita ingin bermain dan belajar bersa