Share

From Allah to Allah
From Allah to Allah
Author: Ukhti Lutfiah Adilla

Perjodohan?

Tak

perlu

ku

jelaskan

lagi

betapa

kerasnya

jantungku

berdebar

ketika

mendengar

suara

mu.

Tak

perlu

ku

ceritakan

lagi

padamu

bahwa

gravitasi

seakan

menghilang

saat

tak

sengaja

bertatap mata denganmu.

Atau

bunga-bunga yang mendadak

bermekaran

memenuhi

ruang

dadaku

saat

kau

tersenyum

pada

diriku.

Apakah "rasa" ini

murni

dari Allah?

Atau

hanya

bujuk

rayu

setan

saja?

Apapun

itu, aku

tak

ingin "rasa" ini

menyakitimu

atau

menyakiti

diriku

sendiri.

Sangat

bohong

bila

aku

tak

ingin

menyapamu

ketika

bertemu.

Sangat dusta

bila

aku

tak

ingin

memandang

wajahmu

selama yang ku

bisa.

Sangat palsu

bila

aku

tak

ingin

mencari

tahu

asal

usulmu

pada orang lain.

Tapi

untuk

apa

aku

lakukan

semua

itu? hanya

untuk

kesenangan yang sementara?

Lalu

bila orang lain

melakukan

itu, apakah ada jaminan?

Jaminan

kelak

ia akan menikah

dengan orang yang digoda

itu?

Lalu

untuk

apa

aku

menggodamu?

Yang hanya akan menjerumuskan

ku

ke

ladang

dosa.

Aku pun tak

tahu

hatimu

untuk

siapa.

Aku pun tak

tahu

usaha yang kau

lakukan

untuk

menghalalkan

siapa.

Bahkan

dalam

doamu

tak

pernah

kutahu

kau

selipkan nama untuk

siapa.

Ketika

aku

menggodamu

itu

hanya

menjerumuskanmu

dalam

jurang

kemaksiatan, bukan?

Dan menjauhkan

ku

pada Sang Pemberi Rasa ini.

Aku

berdosa

kau pun berdosa.

Kalaupun

nanti Allah mengizinkan

kita

bersama

suatu

saat

nanti,

apa

aku

tega

menodai

hatimu

sampai

saat

itu

tiba?

Karena aku

menyukaimu

dan

menyayangimu

maka

wajib

hukumnya

menjauhkan

mu

dari

godaan.

Termasuk pula diriku.

Seiring

berjalannya

waktu, seiring

bertambahnya

umur, tak

luput

dosa-dosa yang kian

menumpuk.

Ku

rasa, sekarang

waktu yang tepat

untuk

memperbaiki

diriku.

Untuk Allah & kelak

calon

pendamping

dunia

akhirat

ku pula.

Pendamping yang sama

saja

seperti

cermin, bila

buruk

akhlakku, buruk pula akhlaknya

nanti.

Butuh

banyak

waktu, agar bisa

menjadi

Khadijah

maupun

Zulaikha.

Hari

ini, menit

ini, detik

ini,

hingga

seterusnya,

hanya

doa

dan

semoga yang ku

punya.

Semoga namaku

dan

namamu

terbuka

dilembar yang sama.

Kutitipkan

kamu

pada Allah. Sang maha

pemilik

dan

sebaik-baiknya

penjaga

hati.

Hembusan angin malam masih terasa hingga ke pori-pori kulit Aida.

Lantunan ayat suci Al-qur'an masih terus berputar & mengalun tepat dari gallery handphone nya.

Tak terasa, air mata mulai menetes membuat khimarnya basah oleh air mata.

Isakan tangis terdengar sangat pelan, selalu saja. Saat selesai menulis buku Diary, Aida selalu menangis. Sangat mustahil jika Aida tidak menangis saat menulis Diary.

Diary ini adalah sumber pendengar baiknya, sumber semangatnya. Disini semua pengalamannya dicoret dengan indah, ditulis sesuai dengan isi hatinya. Diary adalah tempat kedua yang bisa mendengarkan kisahnya, dan menjaga rahasinya, selain Allah.

Pulpen yang sehabis dipakai untuk menulis tergeletak begitu saja di atas meja belajarnya. Ditemani malam ini, Aida akui. Sungguh, Aida sangat terbawa suasana.

Dalam diamnya, Aida juga selalu berharap pada Sang Pencipta, agar kelak suaminya pandai mengaji dan mempunyai suara yang merdu untuk melantunkan ayat suci-Nya setiap waktu, lalu mengajaknya muroja'ah bersama di akhir salat malam.

Aida juga berharap pada Allah agar suaminya senantiasa melaksanakan salat wajib berjamaah di masjid. Aida selalu berdoa agar langkah kakinya ringan saat hendak pergi menuju masjid dekat rumah. Tak lupa senantiasa mengajarkannya menjadi istri yang baik, tanpa kenal lelah di sepanjang waktu.

Seseorang yang ketika

dengan

bersamanya

membuat

surga

begitu

dekat.

Seseorang yang ketika

dengan

berada

disampingnya

membuatku

merasakan

bahwa

kebahagiaan

telah

dimiliki

sepenuhnya.

Seseorang yang ketika

berada

di

pelukannya

membuatnya

merasakan

bahwa

kehangatan

terbaik

adalah

di

dalam

keluarga.

Ah, Aida berfikiran sudah terlalu jauh, bila berharap seperti itu.

Hanya disini, di dekat jendela kamar, menatap langit luas sambil melafalkan dzikir untuk Sang Pemilik hati.

Disini ditempatnya terduduk, tempat Aida melihat betapa indahnya langit ciptaan Allah. Bintang kemerlap-kemerlip sangat indah, tak lupa bulan ikut menemaninya. 'Sungguh nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?'

Aida ingin tidur untuk bangun salat Tahajjud nanti. Ditutup buku diary nya itu, tak lupa diselipkan pulpen tadi didalamnya.

Aida segera beregegas ke kamar mandi. Untuk berwudhu agar ia bisa tidur dengan nyenyak dalam lindungan para malaikat.

*****

Aida menggelar sajadah berwarna tosca nya menghadap kiblat.

Tahajjud pun dimulai, saat hendak sujud air mata tak henti-hentinya menetes ke mukena putih yang ia kenakan.

Aida tak tahu, air mata ini mengapa selalu saja jatuh saat bertemu pada Allah juga saat memikirkan calon imamnya.

Memang karena cengeng, atau memang murni air matanya dari Allah, karena sayang padanya atau-? Aida juga tidak tahu.

Akhir salat tak henti-hentinya Aida melafalkan segala doa. Agar kelak bertemu dengan jodohnya dalam keadaan diri yang sudah baik.

Ya entah kapan, Aida pun takkan pernah tahu. Masih menjadi misteri baginya. Yang terpenting, sekarang itu waktunya memperbaiki diri karena Allah dan kelak untuk imamnya nanti.

Saat selesai mengerjakan Tahajjud, tak mungkin baginya untuk terlelap lagi, Aida mengambil mushaf Al-qur'an yang sering dibawanya kemanapun. Bagi Aida, Al-qur'an itu sangat berarti. Al-qur'an itu adalah pemberian Abi dan Umminya ketika pulang dari Madinah. Aida sangat suka Al-Qur'an itu, bahkan bisa dibilang lebih dari kata suka.

Ayat demi ayat mulai ia lantunkan, tak lupa dimaknai dan dipahami artinya.

Tak terasa waktu subuh mulai tiba, adzan dari masjid dekat rumahnya sudah terdengar.

Aida mulai melaksanakan salat sunnah qabliyah 2 rokaat. Lalu, setelah selesai melaksanakan salat sunnah qabliyah, Aida melaksanakan salat subuhnya.

Rintihan dan rentetan doa keluar dari mulutnya. Memanjatkan apa yang ingin dia ceritakan pada Rabbnya saat ini.

Setitik, dua titik. Air matanya semakin bercucuran.

Saat selesai melaksanakan salat, dilipat mukena dan sajadahnya itu. Aida menaruh Al-Qur'an nya kedalam tas yang sering dibawa kemanapun saat ia pergi.

Lalu Ummi Aida--Umi Salma--mengetuk dari balik pintu kamarnya.

"Assalammua'laikum Aida," Umminya masuk dengan senyuman khasnya.

"Wa'alaikumussalam Mi, masuk aja. Nggak Aida kunci kok," sahut Aida. Dia masih sibuk merapikan barang-barangnya yang berada di dalam tas.

"Aida, maafkan Ummi Nak, Abi mu memiliki pesan yang hendak di sampaikan. Dia menunggu mu di ruang tamu. Temui dia Nak." Umminya berucap dengan tatapan yang sendu.

"Baik mi."

Aida pergi ke ruang tamu dengan menggunakan khimar, takut-takut ada yang datang untuk sekedar bertamu.

Ditemui Abinya yang sudah duduk manis disana. Sepertinya Abi ingin bicara sangat penting pada dirinya.

Matahari mulai masuk lewat celah jendela, hordeng mulai tersibak diterpa angin. kicauan burung bersenandung ria di pagi yang cerah ini.

Abinya menyuruh Aida duduk disampingnya. Abi menatap Aida dengan senyuman khasnya. Ummi keluar dari kamarnya dan hendak terduduk disamping Aida juga. Aida berada ditengah Orang tua yang sangat ia cintai sejak kecil. Abinya pun mulai menmbuka suara.

"Aida, Abi harap kamu siap untuk ini ya ..." Abinya--Abi Khalil--berucap lirih.

"Untuk apa bi? jelaskanlah ... Aida nggak ngerti." Aida menatap Abinya dengan tatapan yang bingung.

"Abi akan menjodohkanmu dengan lelaki yang shaleh. Abi yakin kamu tidak akan menyesalinya." Abi Khalil berucap dengan senyum yang sudah terukir indah wajahnya.

"Apa bi? Aida nggak salah dengar kan?" Aida menampakkan raut kagetnya, seakan tidak percaya, lalu ditambah bola matanya yang hampir keluar dari tempatnya.

"Tidak Da, kamu sudah dewasa, kamu pasti sudah siap, Abi yakin seyakin-yakinnya. Iyakan mi?" Abi melirik Ummi sekilas hendak memastikan.

"Iya. benar apa yang Abi bilang, Kamu dikit lagi lulus SMA. Dan melanjutkan kuliahmu bersama dengan suamimu. Lagipula usiamu sudah cukup matang Da, Abi dan Ummi tak akan ingin anak perempuannya menjadi fitnah bagi kaum adam." Ummi Salma mulai membuka suaranya hendak menyahuti Ucapan Abi.

"Oh iya Da, pernikahan ini akan dilakukan 2 bulan lagi, persiapkan dirimu. Abi dan Ummi tak lupa akan senantiasa mendoakanmu yang terbaik." Abi mengusap Punggung Aida agar Aida tenang. 

"Yasudah Bi, Aida serahkan masalah ini pada Abi, tentunya Ummi. Tak lupa, Akan Aida libatkan Allah saat mengambil keputusan ini. Aida masuk kekamar ya ..." Aida langsung bergegas kekamarnya

"Iya nak." Orang tuanya mengangguki.

*****

"Apa Bi? dijodohkan? dengan siapa? apa Aida mengenalnya? apa Aida sudah bertemu dengannya? atau ..."

"Ya Allah bagaimana dengan perjodohan ini?" gumam Aida pelan.

------------------------------------------------------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status