Anna menarik Gina masuk dalam toilet wanita. “Ada apa? Kenapa kau menarikku ke dalam sini?” protes Gina.
Anna terlihat tidak nyaman. Berulang kali kepalanya keluar masuk, melihat seseorang yang dari jauh berjalan kian mendekat. Gina yang penasaran, ia juga langsung menoleh ke arah yang dimaksud. “Kamu menghindari siapa?”
“Rian. Sedari tadi, aku tidak dibiarkan sendirian. Dia mengikutiku kemanapun aku pergi. Bahkan ke toilet wanita.”
“Sepertinya dia menyukaimu.”
“Aku tau, dan dia sudah mengakuinya padaku kemarin. Tapi aku tidak suka padanya. Jadi aku tolak saja dia waktu dia ingin jadi pacarku.”
“Kau tau, sepertinya, Rian tidak buruk. Dia terkenal sebagai anak yang baik dan selalu dapat peringkat teratas. Dia juga sopan. Di tambah lagi, dia juga anak orang kaya. Keluarganya punya sebuah rumah sakit dan sebuah sekolah khusus anak perempuan di kota.”
“Entahlah. Aku merasa ada yang aneh padanya. Maksudku, jika ia memang menyukaiku, tidak seperti ini caranya jika ia ingin mendekatiku. Seharusnya, ia bisa melakukannya dengan cara yang normal, bukan dengan cara menguntit dan melihatku seperti mangsa.”
“Menguntit?”
“Dia pergi ke rumahku, menanyakan nomor telepon rumahku. Meneleponku lalu menutup teleponnya setiap kali aku yang berbicara. Setiap hari mengikutiku kemanapun aku pergi. Kau saja yang tidak sadar. Setiap pulang sekolah, dia selalu mengikuti kita. Setiap hari ia akan melihatku, menatapku dengan tatapan yang entah apa maksudnya. Melihat sikap anehnya itu saja sudah membuatku merinding. Kemarin saat jam istirahat, aku duduk di kelas, ada Rian di sana. Ketika aku hendak keluar dari kelas, ia menghalangiku dan tidak mau berpindah. Aku tanya kenapa, dia tidak mau menjawab dan hanya menatapku dengan tatapan aneh. Akhirnya aku bisa keluar saat ia mulai lengah.”
Gina terdiam sambil mengangguk. Akhirnya ia mengerti apa yang membuat Anna merasa tidak nyaman jika berada dekat Rian. Dia pun akhirnya membayangkan bagaimana rasanya diikuti, dan ia merasa ngeri.
-------------
Hari Rabu siang, semua orang di panggil ke ruang pertemuan, mulai dari staff hingga guru-guru di sekolah tersebut. Anna masuk ke dalam ruang itu dan menempati kursi yang ada di sana. Lalu semua orang berhenti bicara saat ketua yayasan akhirnya masuk ke ruangan dan duduk di depan, diikuti oleh seorang pria di belakangnya. Mata Anna terbelalak, ia melihat Rian ada di sana mengikuti kepala yayasan itu yang memang ia kenal sebagai paman dari Rian.
“Seperti yang kalian tau, kalau saat ini posisi kursi wakil ketua yayasan sudah kosong sejak meninggalnya ibu Mirna setahun yang lalu. Hari ini saya perkenalkan wakil ketua yayasan kita yang baru, Rian Antonius. Dia memang terlihat muda, tetapi dia sangat berbakat, dan punya gelar master di Singapura. Dia adalah keponakan saya.”
Bapak kepala yayasan lalu menoleh pada keponakannya itu untuk mempersilakannya mengucapkan sepatah dua patah kata.
“Selamat siang, nama saya Rian. Dan saya harap, kita dapat bekerja sama dengan baik.” Matanya memandang ke seluruh karyawan yang hadir disitu, hingga matanya tertuju pada Anna yang telihat terkejut. Bukan karena senang, tetapi karena kebetulan yang tidak menyenangkan itu membuat Anna merasa sedikit kaget. Orang yang selalu ia hindari, kini justru ada di sini.
Setelah itu bapak kepala yayasan yang bernama Hendri itu mempersilakan semua orang kembali bekerja, Anna ditahan oleh Pak Hendri. Mereka pun duduk bersama-sama dengan Rian.
“Anna, kau adalah pegawaiku yang sangat loyal. Aku harap kau dan Rian bisa bekerja bersama-sama dengan baik dan dekat.”
Anna mengangkat alisnya,”tentu saja saya akan bekerja dengan baik pak. Tetapi apa maksudnya dengan dekat?”
“Dia akan lebih konsentrasi pada keuangan yayasan.”
“Baik pak.” Sialan, umpat Anna dalam hati. Hatinya kecewa mendengar keputusan bapak kepala yayasan itu. Ia tidak menyangka kalau ia akan menjadi pegawai Rian.
Rian menatap Anna dengan senyuman yang Anna tidak akan pernah mau membalasnya dengan cara yang sama.
-------------
Anna meregangkan tangannya ke atas kepalanya. Tubuhnya lelah dan wajahnya terlihat berantakkan. Ia menoleh ke kalender yang telah menunjukkan hari jumat di tanggal 28 Mei. Sudah 3 hari ia lembur di kantor untuk mengejar laporan keuangan bulan ini.
Penerimaan siswa baru dan pembayaran uang pangkal sekolah membuat pekerjaannya tambah banyak. Belum lagi dengan gaji karyawan serta para guru. Tepat di hari ini, ia megalami menstruasi hari pertama yang membuat perutnya sakit, wajahnya berjerawat dan tubuhnya ngilu.
Matanya lalu tertuju pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia menutup laptopnya dan bersiap untuk pulang. Ketika ia berdiri sambil membawa tasnya, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok seseorang yang sedang berdiri di depan pintu ruangannya yang sedikit terbuka.
“Selamat malam, Anna.” Ucap orang itu.
Anna melihat Rian berdiri di pintu itu dengan tangan yang dilipat di depan dadanya. “Kau?” Anna menyadari kalau dia adalah atasannya dan mengubah perangainya terhadap Rian. “Pak Rian, ada yang bisa saya bantu?”
“Kau tidak perlu formal, hanya ada kita berdua disini.”
Anna menjadi semakin tidak nyaman saat ini. Ia meletakkan tasnya di atas meja. “Aku sudah meletakkan laporan keuangan di mejamu.”
“Apa kau sudah makan?” Tanya Rian. “Ayo kita makan malam bersama.”
“Maaf, tetapi aku akan pulang.”
“Ayolah, sebentar saja. Jika kau tidak ingin makan, tidak apa-apa. Setidaknya temani aku sebentar. Tidak akan lama, dan jaraknya dekat.”
Anna menjadi ragu. Bagaimana kalau Rian melakukan hal nekat? Tetapi ia segera menepis pikiran itu. Mungkin saja, Rian telah berubah. Lagi pula, makan malam di tempat umum, apa salahnya?
Rian dan Anna lalu berjalan kaki dari kantor mereka hingga sampai ke sebuah restoran Jepang. Meski mereka makan dalam keheningan, Rian tetap tersenyum menatap Anna, namun Anna tetap menghindari tatapan Rian.
Setelah selesai makan malam, Rian lalu akhirnya berbicara. “Aku akan mengantarmu pulang.”
“Tidak perlu, aku akan memesan taksi.”
“Aku tau kalau mobilmu sedang diperbaiki. Ayolah, biarkan aku mengantarmu,” kata Rian memohon.
Anna memasukkan tangannya ke dalam tasnya untuk mengantisipasi sesuatu jika terjadi, ia meremas perfumnya, bersiap-siap jika Rian melakukan sesuatu yang nekat, ia akan menyemprotkan ini tepat di matanya. Mereka lalu kembali ke area sekolah dan kantor mereka.
Rian tidak melepaskan pandangannya dari Anna yang berjalan didepannya. Lalu tiba-tiba Anna kehilangan keseimbangannya saat menghindari genangan air akibat hujan tadi siang. Ditambah lagi dengan haid yang ia rasakan saat ini membuat kepalanya jadi sedikit pusing. Ia menahan dirinya agar tidak pingsan bersama orang ini. Dengan refleks Rian menangkap tubuh Anna. “Apa kau baik-baik saja?”
Anna segera berdiri dan memperbaiki posisinya. “Maaf.” Katanya sambil terus berjalan lagi. Seperti makan malam tadi, perjalanan mereka tidak banyak hal yang dibicarakan. Anna hanya akan mengucapkan kata-kata yang seperlunya saja tanpa melihat Rian.
Ia berdoa dalam hati agar tidak pingsan di depan Rian saat tubuhnya semakin lemas.
Ketika mereka sampai di kompleks apartemen, Anna mengarahkannya ke tower apartemen yang ada di sebelahnya. Anna tidak ingin memberitahu letak persis di mana ia tinggal.
Sebelum Anna membuka pintu mobilnya, Rian menariknya untuk tetap berada didalam. “Anna, aku ingin bicara padamu sebentar.”
“Ada apa?”
“Kau mengacuhkanku.”
“Maksudmu?”
“Tentu kau tau maksudku. Sejak pertemuan pertama kita, kau tidak memberikanku perhatian yang sebagaimana mestinya. Kau tidak memperlakukanku seperti teman yang sudah lama tidak bertemu. Kau bahkan tidak mau menatap mataku saat berbicara. Dan jika kebetulan kau memandangku, aku tidak mendapatkan tatapan mata yang hangat, seperti yang kau berikan pada Gina atau pada Jonas.”
Anna meremas tasnya. Ia tau kalau apa yang dikatakan Rian adalah hal yang benar. Ia memang tidak ingin memberikan celah apapun untuk Rian.
“Anna, lihatlah aku.” Kata Rian.
“Apa maumu?”
“Waktu kita SMP, aku sudah lama menyukaimu. Dan kini, aku juga masih menyukaimu. Tidakkah kau akan memberiku kesempatan? Bahkan hanya untuk jadi teman bagimu?”
Anna berkata dalam hati mungkin benar, bahwa ia tidak memberikan kesempatan pada Rian untuk menjadi temannya. Mungkin ia terlalu menutup diri pada Rian. Anna bertanya dalam hati apakah ini hal yang benar untuk melunak pada Rian?
“Baiklah,” ucap Anna. Ia berusaha merubah pandangan matanya pada Rian.
Anna tertawa saat melihat Rian yang tersenyum lebar sekali. Ia memang tidak pernah memberi kesempatan pada Rian setelah ia menyatakan perasaan sukanya pada Anna saat mereka SMP dulu.
Dan saat ini, ia tidak punya alasan untuk tidak membangun hubungan baik dengan Rian.
“Terima kasih banyak atas tumpangannya.” Kata Anna sambil membuka pintunya.
“Apapun untukmu.” Kata Rian. Anna berjalan ke teras apartemen dan mengawasi Rian pergi dari sana.
Ia lalu segera berjalan menuju tower apartemen di mana ia tinggal. Pusing dan sakit yang ia rasakan semakin menjadi-jadi. Ia ingin segera naik ke apartemennya dan beristirahat di kasurnya.
Seharian ini, Anna menghindari bertemu dengan Jonas. Dirinya tidak bisa berhenti merasa grogi setiap kali harus berhadapan dengan anak laki-laki yang kini telah menjadi kekasihnya itu. Sepulang sekolah, Jonas mendatangi Anna yang baru saja mengambil sepedanya dari parkiran. Ingin sekali Anna kabur dari sana, tetapi Jonas meraih memegangi tangannya dengan lembut. Saat Anna melihat kalau Jonas tidak membawa sepeda, Anna lalu menawari Jonas untuk pulang bersama. Ia lalu menaiki sepedanya, tetapi Jonas malah berdiri di sana dengan bingung. “Kenapa?” tanya Anna. Wajah Jonas melembut. “Turunlah, tidak mungkin kau yang memboncengku.” “Tapi aku bisa, aku sering membonceng Gina, dia kan lebih berat darimu. Aku…” Jonas memotong omongan Anna dengan tertawa. “Kau ini lucu… Bukan seperti itu caranya. Tidak mungkin aku membiarkan kekasihku memboncengku. Di mana harga diriku?”
Setelah pemakaman ibunya, mereka akhirnya pulang ke rumah. Gina tidak berhenti melepas genggaman tangannya dari tangan sahabatnya yang sedang berduka cita itu sambil memeluk Darryl digendongannya. Anak kecil itu tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada orang tuanya. Ia tertidur setelah acara pemakaman itu selesai dan belum bangun hingga sekarang. Di sana, Gina bisa melihata air mata Anna telah mengering, matanya bengkak, dan wajahnya terlihat kusut. Setelah sampai di rumah itu, paman Rudy memarkirkan mobilnya di luar tanpa memasukkannya ke dalam garasi. Mereka lalu melompat ke luar satu per satu dari dalam mobil itu. “Aku akan mengurus Darryl, kau bisa beristirahat,” ucap Gina pada sahabatnya itu. Anna menunggu hingga semua orang masuk saat matanya tertuju pada rumah yang menjadi saksi bisu tragedi mengerikan yang terjadi dua hari sebelumnya. Tiba-tiba sebuah mobil sedan muncul dari ujung jalan. Mobil itu ter
Di hari Sabtu, Anna telah bersiap-siap di apartemennya. Rian bilang, ia ingin makan malam di sebuah restoran mewah yang ada di lantai 5 sebuah mall. Ketika Anna menolak untuk makan di tempat seperti itu, Rian tidak memberinya banyak pilihan saat mengatakan kalau meja mereka telah dipesan dari jauh-jauh hari. Mau tidak mau, Anna akhirnya mengikuti saja, dan ia harus mengenakan dress. Ia memakai gaun warna beige selutut dan heels setinggi 5cm. Ia melihat dirinya di cermin dan menundukkan kepalanya, ia belum bisa membayangkan seperti apa makan malam bersama orang yang selama ini selalu dihindari olehnya itu. Setelah menerima kabar dari Rian kalau ia ada di lobby tower apartemen disebelah, Anna segera turun menggunakan lift, bermaksud untuk menggunakan junction di lantai bawah di sana agar ia terlihat seperti turun dari apartemen sebelah. Ia masih tidak ingin Rian tahu di mana sebenarnya ia tinggal. Langkahnya terhenti saat melihat Jonas duduk di sebuah
Hari itu menjadi hari yang luar biasa mengerikan untuk Anna dan Jonas. Kata Gina, anak laki-laki itu tidak turun sekolah hari ini setelah dipukuli oleh ibunya hingga tubuhnya dipenuhi bekas cambukan. Awalnya, Anna mencari-carinya ke rumahnya, tetapi tidak ada jawaban, sehingga ia kembali ke rumah dengan terlambat setelah cukup lama menunggu kalau-kalau Jonas muncul. “Apa dia pergi ke rumah tetangga yang lain?” Tanya Gina. Anna mengangkat bahunya sambil menoleh ke belakang di mana jalanan dan perumahan itu terasa sangat sepi sekali. Sebelum mereka berpisah, tiba-tiba seseorang yang tidak diharapkan muncul. Ayahnya sedang duduk sambil minum minuman keras di ruang tamu. Di ruang tengah, terlihat ibunya yang tengah menangis dengan wajah yang memar. “Kenapa kau pulang terlambat, Anna?” Tanya ayahnya dengan dingin. Anna hanya berdiri di pintu yang setengah terbuka itu dengan wajah ket
Tahun 2008 “Anna, apakah kau sudah siap?” Anna melihat tubuhnya di cermin, memperhatikan seragam baru yang akan ia kenakan saat bekerja nanti. Entah sampai kapan ia harus memakai seragam ini, ia tidak tahu. Pakaian itu berwarna putih, bagian atas maupun bagian bawahnya terlalu terbuka. Lehernya bermodelkan leher kemeja, sedangkan kancing depannya memakai ritsleting panjang. Panjang dress itu hanya sampai sepaha, dan Anna sadar kalau ini terlalu pendek. Ia menggunakan celana stocking berwarna beige sehingga ia tidak kuatir kalau celana dalamnya akan terlihat. Gina muncul di cermin itu dengan pakaian yang lebih tertutup, ia melihat pakaian Anna dengan sedikit sedih. Ia mengambil sebuah jaket dalam lemari Anna dan memberikan itu padanya. “Apa kau yakin dengan pekerjaan ini?” “Aku tidak punya pilihan, Gina. Aku sudah banyak merepotkan ayahmu dan kau. Tolong jangan beritahu paman Ru
Anna dan Gina mendapat tugas piket di hari itu sehingga mereka bertahan di kelas untuk membersihkan ruangan kelas mereka sebelum mereka pulang. Saat itu, Anna sedang sibuk membersihkan laci-laci meja yang dipenuhi sampah kertas dan pulpen yang sudah habis tintanya. “Dasar anak laki-laki,” umpat Anna sambil berbisik dan membuang sampah-sampah itu ke lantai. Saat Anna datang ke sebuah meja dan membersihkannya, Anna menemukan sebuah ponsel Nokia seri 6600. Ponsel ini mirip dengan ponsel yang dimiliki Jonas, hasil dari kerja sampingan di kebun Paman Rudy Pada awalnya, ia berniat untuk memberikannya pada Jonas langsung. Tetapi rasa penasaran membuat Anna memutuskan untuk membuka saja kunci ponsel itu yang ternyata tidak memerlukan sandi apapun. “Ini aneh,” katanya. Ia mengingat kalau ponsel Jonas selalu terkunci dengan sandi nomor ulang tahun Jonas sendiri. Saat ia membuka galeri fot
“Apa kau lelah, Jonas?” Tanya Anna saat akhirnya mereka telah memasuki kembali kota Balikpapan. Jonas memperbaiki topinya dan menoleh pada Anna. “Tidak. Perjalanan kita cukup singkat. Hanya satu jam setengah.” “Satu jam?” Anna mengangkat kepalanya untuk memperhatikan awan yang masih memerah. Jonas tidak bohong. “Apa kau ngebut?” Jonas menutup matanya karena sudah jelas kalau wanita ini tidak bisa dibohongi. Ia tidak bilang kalau jalan tol yang baru saja dibangun pemerintah pusat itu sudah buka, yang dapat mempersingkat perjalanan antara kedua kota itu. Sial, umpatnya dalam hati. Ia lalu mengaku, “sebenarnya, jalan tol itu sudah dibuka dari minggu lalu.” “Astaga Jonas, jadi untuk apa kita berlama-lama di jalan?” Anna tahu kalau Jonas sangat menyukainya. Tetapi tidak seperti ini juga. Tidak seharusnya Jonas buang-buang waktu dan tenaga hanya untuk dapat berlama-lama dengannya. “Kau sudah bolak balik menjemputku, banyak waktu yan
Ketika hari jumat tiba, suasana hati Anna telah menjadi lebih baik. Ia menampakkan diri di kantornya dengan percaya diri dan sumringah. Semua orang telah bersikap lebih baik, meski ada beberapa yang masih suka bergosip tentangnya, namun ia tidak akan mengambil pusing. Hatinya cukup bersemangat untuk menuntaskan pekerjaan yang ia kan hadapi hari ini. “Semoga harimu menyenangkan,” ucap Jonas di ujung telepon ketika Anna telah duduk di mejanya. Pria itu semakin aktif menghubunginya dan membuat Anna merasa diperhatikan. Lalu tiba-tiba, Anna dipanggil oleh kepala yayasan ke ruangannya. Di sana sudah ada Rian yang duduk dengan santainya di atas sofa kulit itu sambil membaca koran. Ia tidak menyadari kalau Anna masuk, hingga wanita itu mendaratkan bokongnya tepat di sofa yang ada di seberangnya. “Selamat pagi, Anna.” Ucap Rian sambil meletakkan koran itu di atas meja. Pikrian Anna sudah melayang ke mana-mana. Ia belum mengetahui alasa